Bab 9
Pertemuan Leona dengan Lavirgo seminggu yang lalu, cukup membantunya untuk memikirkan kembali apakah ia masih ingin bertahan atau memilih untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Meski masih terasa sulit, tetapi Leona mulai terbiasa akan sikap dingin Raneo. Ia menguatkan diri untuk tidak cemas saat cowok dingin itu tidak mengabarinya seharian.
Leona dan Salsa duduk di tepi taman dekat parkiran, seraya menunggu Stevano yang tadi izin ke toilet saat bel pulang sekolah berdering. Saat jam pelajaran terakhir, mereka mendapat tugas kelompok dari guru Bahasa Indonesia untuk nilai tambahan menjelang akhir semester ganjil.
"Dia ke mana, sih? Kok lama banget," gerutu Salsa yang kini berjalan mondar-mandir. Kedua tangannya mencengkram kuat tali ransel yang menggelayut di punggungnya. Matanya terus saja melihat ke arah toilet, berharap sosok Stevano segera muncul.
Leona hanya termenung. Sesekali melihat siswa-siswi yang berlarian ke luar gerbang. Sejenak kemudian, ia mengalihkan pandangan ke bunga-bunga yang ada di belakangnya. Ia mendengkus, kemudian ikut menoleh ke arah toilet.
"Tuh orang nggak niat ngerjain kita, kan?" tebak Salsa. "Awas aja kalau sampai dia nggak datang dalam waktu satu menit."
Leona mendogak, kemudian kembali menatap tanah kering yang ia pijak.
"Oi, nungguin siapa?" tanya seorang gadis berambut hitam. Ia setengah berlari di lapangan, menghampiri Leona dan Salsa yang tampak kelelahan.
"Nungguin Stevano," keluh Salsa. "Tadi dia ke toilet, tapi belum balik juga."
Verina manggut-manggut, lalu menatap tajam kedua sahabatnya. Ia tersenyum curiga pada Leona. Gadis yang ditatap balik menatap tajam, merasa curiga akan seringai aneh di wajah Verina.
"Kenapa, lo?" tanya Leona. "Gak usah mikir aneh-aneh, deh. Kita mau ke rumah Stevano buat kerja kelompok."
Verina tertawa, kemudian duduk di sebelah Leona.
"Ya, deh, iya," katanya meredakan ketegangan dalam diri Leona. "Gue boleh ikut, gak?"
Leona dan Salsa sontak menatap aneh pada Verina. Mereka kan mau kerja kelompok, kenapa Verina juga ikut.
"Ngapain lo ikut-ikut?" tanya Salsa curiga. "Jangan-jangan ...."
"Eh, nggak usah mikir aneh-aneh, deh," sergah Verina. Kemudian ia tersenyum tipis, seakan tengah membayangkan sesuatu. "Gue cuma pengin liat kucing di rumah Stevano. Kayaknya tuh kucing udah melahirkan, deh."
Leona mendesah.
"Gue sih nggak keberatan, Ver," jawab Leona. Kemudian ia menoleh ke arah Salsa yang kini tampak sumringah saat melihat sosok cowok yang mereka tunggu muncul. "Nggak tahu deh, kalau dia."
Verina mendelik. "Dia nggak usah dipikirin," ujar Verina. "Hak apa dia ngelarang gue. Terus kalau Stevano, gue yakin dia nggak bakalan nolak. Gue tahu kok gimana dia."
Leona tersnyum melihat keyakinan Verina yang begitu besar. Kemudian teringat pada dirinya sendiri, yang memiliki tekad begitu besar dan sangat yakin kalau apa yang ia rasakan tidak akan sia-sia. Sesaat, usahanya untuk melupakan Raneo mulai luntur.
"Maaf, ya, agak lama," ucap Stevano sembari tersnyum ramah, berharap itu bisa mengurangi rasa dongkol teman-temannya.
"Ya, nggak apa-apa," jawab Leona. 'Tapi sekarang kita langsung berangkat aja. Biar tugasnya cepat selesai, terus bisa pulang ke rumah masing-masing."
Stevano hendak menyahut, tetapi akhirnya diam. Ia tak ingin bertanya lebih jauh, tentang apa yang membuat Leona sedikit cuek. Mungkinkah Leona berusaha untuk menghindarinya? Setelah apa yang mereka lalui beberapa waktu yang lalu?
***
"Bener kan kata gue," seru Verina begitu melihat anak kucing mungil berlarian ke sana kemari. Gadis itu tersenyum puas saat salah satu anak kucing berwarna putih polos berlari ke arahnya. Dengan sigap, ia menangkap anak kucing itu. "Uh, anak manis."
Kemudian ia duduk di sofa, sembari mengelus-elus punggung kucing di pangkuannya. Sesekali ia menoleh ke arah teman-temannya yang tengah berdiskusi. Sesekali ia tersenyum saat melihat Stevano curi-curi pandang ke arah Leona dan wajah masam Salsa saat tahu Stevano lebih fokus ke Leona daripada tugas yang mereka kerjakan.
"Na, kamu cantik banget hari ini," ucap Stevano tiba-tiba. Leona terdiam sesaat, menatap aneh ke arah Stevano yang duduk bersila di hadapannya. Sementara Salsa menatap tak percaya. Hatinya semakin dongkol dibuat oleh Stevano. "Eh, maaf. Sampai mana tadi?"
Leona mengembuskan napas kasar, kemudian melanjutkan penjelasannya yang sempat terputus. Tak terasa, dua jam berlalu. Tugas yang mereka kerjakan akhirnya selesai. Leona berdiri, meregangkan tubuh yang terasa pegal, juga pinggangnya terasa panas.
"Mau minum apa?" tanya Stevano. Ia mentap ketiga temannya bergantian. "Jus, atau air putih aja?"
"Apa aja, deh," jawab Leona malas. Ia mengenyakkan tubuh di sofa, menatap aneh pada Verina yang tampak seperti orang tak waras. "Lo mau minum apa, Nyonya Kucing?"
Orang yang dimaksud mendongak, kemudian menatap sinis.
"Jus aja deh," katanya kemudian sembari tersenyum. Ia kembali mengelus punggung kucing di pangkuannya.
"Tunggu sebentar ya," ujar Stevano. Namun, saat ia hendak melangkah, Salsa menarik tangan Stevano.
"Gue bantuin, ya?" ucap Salsa menawarkan. "Boleh?" Gadis itu memasang tampang memelas, seraya mengedipkan mata. Stevano tergelak, kemudian mengiyakan.
Sementara Salsa dan Stevano sibuk di dapur, Leona memilih untuk mengamati interior rumah Stevano. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat ini. Rumah berlantai dua dengan desain yang unik. Beberapa bagian dinding tertutup stiker, sebagian lagi dibiarkan terlapisi cat kekuningan. Beberapa guci keramik bermotif batik berdiri layaknya penyambut tamu di beberapa sudut.
Ada beberapa tanaman hijau yang tumbuh subur di dalam pot. Kemudian, ia menatap sofa empuk yang menjadi tempatnya melepas lelah sekarang. Mungkin sofa ini ditempa khusus. Motifnya cukup unik. Leona menjadi pensaran, siapa pencetus ide menarik ini. Mama Stevano atau papanya. Oh, bahkan Leona tak pernah bertanya lebih banyak tentang keluarga Stevano.
Ia terlalu sibuk untuk menghindar, hingga tak pernah berpikir untuk sekadar bertanya-tanya.
"Udah, nggak usah dilihatin," sindir Verina. Kucing di pangkuannya tak lagi terlihat. Pantas saja ia mulai mencari objek lain untuk dijadikan pelepas kebosanan. "Entar ini rumah juga bakal jadi rumah, lo."
Leona menatap tajam, kemudian mengepalkan tangan ke arah Verina. Gadis berambut hitam itu tergelak. Kemudian memberi kode dengan matanya, pertanda Stevano sudah datang.
"Minuman datang!" seru Salsa dengan suara cemprengnya.
Dengan cekatan, gadis itu meletakkan gelas berisi jus di atas meja. Kemdian ia kembali ke dapur untuk meletakkan nampan. Sementara Stevano duduk di sebelah Leona. Cukup dekat, hingga Leona merasa dadanya mulai sesak. Seakan-akan Stevano menyedot habis semua oksigen di sekitarnya.
Ketegangan terlihat jelas di wajah Leona. Stevano menyadari hal itu, tetapi ia masih terlalu canggung untuk mulai berbicara. Untuk sesaat, mereka hanya diam. Verina seakan pura-pura tidak peduli akan keadaan sekitar. Dengan santai, ia menyeruput jus di gelasnya. Kemudian ia sibuk memanggil anak kucing yang berlari di sekitarnya.
"Kok pada diem, sih?" tanya Salsa saat ia kembali dari dapur. Leona menoleh ke belakang, disusul Stevano. Leona menatap sekilas ke arah Stevano yang ternyata juga menatapnya. Kemudian ia buru-buru membuang pandangan ke anak tangga yang sedikit meliuk ke lantai dua. Kayu penyangganya begitu indah, meski hanya dilapisi cat berwarna cokelat gelap. Namun, ukiran pada tiang penyangga itu begitu unik. Terlihat sekali pencetus ide itu adalah orang berjiwa seni tinggi.
"Em, papa kamu arsitek?" tanya Leona ragu-ragu. Setelah cukup lama ia dan Stevano diam, akhirnya ia merasa bosan. Verina masih sibuk dengan kucing, yang kini menular pada Salsa. Kedua temannya itu kini pergi entah ke mana, bermain dengan anak kucing.
Stevano mengamati rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman baginya. Namun, nyatanya, rumah ini tak seindah yang terlihat. Meski penuh dengan kemewahan, semua itu tidak serta-merta membuat Stevano bahagia. Rasanya ia tak butuh semua ini jika hidupnya selalu kesepian.
Cowok berkulit putih dengan tahi lalat di wajah itu mendesah, kemudian menopangkan siku ke lutut.
"Ya, Papa gue arsitek," katanya lirih. Sebenarnya ia enggan mengulang semua masa lalu keluarganya, tetapi tidak ada salahnya jika membagi sedikit dengan teman. "Seperti yang lo lihat, semua ini hasil desain beliau. Bagus, kan?"
Leona masih mengitari seisi ruangan dengan netra cokelatnya, sejenak kemudian mengangguk.
"Gue pasti nyaman banget kalau tinggal di sini," ucap Leona.
Stevano tersenyum penuh arti, ia meraih sebelah tanngan Leona, kemudian menggenggamnya. Leona terkejut, lantas berbalik melihat ke arah Stevano. Cowok itu tersenyum tipis melihat keterkejutan Leona.
"Suatu saat nanti, kamu juga bakal tinggal di sini," ucap Stevano.
Air muka Leona langsung berubah. Ia menarik tangannya, kemudian memalingkan wajah dari Stevano. Untuk sesaat, keheningan membentangkan jarak yang tak tertempuh di antara mereka.
"Mungkin sekarang lo belum bisa terima semua ini," ucap Stevano. Ia bergeser sedikit, lebih dekat dengan Leona. "Tapi gue yakin, suatu hari nanti, lo pasti bakal capek berjuang terus. Lo pasti butuh tempat bersandar saat lo udah nggak kuat berlari lebih jauh lagi. Gue yakin, lo pasti berbalik arah."
Leona merasakan hatinya semakin pedih. Ucapan Stevano terdengar begitu yakin di telinganya. Sama sekali tak ada keraguan. Mungkin benar apa yang dikatakan Stevano. Ia butuh seseorang untuk menerimanya saat semua perjuangannya gagal. Namun, entah kenapa, Leona merasa orang itu bukan Stevano.
Stevano baik, tulus, juga pengertian. Namun, semua itu seperti belum cukup untuk membuat Leona menyadari bahwa mungkin suatu saat ia akan benar-benar kehilangan segalanya dari hidupnya. Saat ia benar-benar tak berdaya untuk mengubah semua itu.
Keheningan yang begitu panjang akhirnya buyar saat ponsel Leona berdering. Satu pesan masuk dari Raneo sukses membangkitkan sisi positif dalam diri Leona. Lagi-lagi, saat ia berpikir untuk berhenti, saat itu pula harapan itu semakin terbuka lebar di hadapannya.
Pesan Raneo yang menanyakan keberadaannya sekarang, juga balasan bernada cemburu yang dikirim Raneo saat Leona mengatakan ia berada di rumah Stevano untuk kerja kelompok. Semua itu sudah lebih dari cukup bagi Leona untuk tidak berhenti berjuang. Semua akan begitu mudah sekarang.
"Siapa?" tanya Stevano curiga. Sedari tadi ia hanya termenung menatap Leona yang senyum-senyum sendiri.
"Raneo," jawab Leona santai. Kali ini, ia tak merasa canggung menatap ke arah Stevano. Raut wajah Stevano berubah kecewa. Namun ia tak berdaya. "Dia nanyain gue di mana, terus gue bilang kalau gue kerja kelompok di rumah, lo."
Stevano mengertukan kening. "Terus?"
"Em., dia sepertinya cemburu," ujar Leona sembari berusaha menahan diri untuk tidak berteriak bahagia. "Katanya dia mau jemput gue sekarang. Jadi lo nggak perlu capek-capek nganter gue pulang."
Stevano mencelos, kemudian menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Leona seakan tak mengengerti bahwa mungkin saja ia sudah melukai perasaan orang lain. Ia tahu Stevano begitu menyukainya, tetapi terang-terangan ia membuat cowok itu terluka.
ODOC wH BATCH 3 DAY 9
TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top