Bab 4

Leona begitu gelisah atas apa yang ia rasakan. Ia terjebak oleh perasaan dan pikiran yang bertolak belakang. Memang akan sulit untuk menyelaraskan jalan pikiran dengan perasaan. Sejujurnya ia sudah tidak kuat menghadapi Raneo dengan segala ketidakpekaanya. Namun, ia masih cukup yakin, suatu hari nanti Raneo akan luluh.

Saat bel istirahat berbunyi, Salsa langsung menarik tangan Leona. Kali ini, gadis itu tak menolak. Tadi pagi ia tak jadi sarapan karena Papanya.Ia tak mau pingsan di kelas hanya karena tidak sarapan. Namun, sekarang ia hanya mengaduk-aduk mie goreng yang dipesan beberapa saat yang lalu.

"Woi!" seru Salsa sembari menggebrak meja. "Melamun aja nih anak. Entar kesambet, baru tahu."

Leona mendelik malas. Tangannya kembali mengaduk-aduk mie di atas piring. Pikirannya melayang entah ke mana. Beberapa saat kemudian, ia terpaksa membuyarkan semua khayalan itu saat Stevano turut bergabung dengan mereka.

"Kosong kan?" tanya Stevano sembari menunjuk kursi di sebelah Leona dengan dagunya.

Salsa tersenyum penuh arti, kemudian mengangguk.

Stevano duduk tepat di sebelah Leona, kemudian tersenyum. Mau tak mau, Leona membalas senyuman itu.

"Nggak lapar, Na?" tanya Stevano. Ia menyeruput terh manis dingin yang ia bawa bersama semangkuk bakso. "Kok mie-nya diaduk-aduk doang? Bumbunya belum tercampur rata, ya?"

Leona tersenyum geli mendengar lelucon Stevano. Leona semakin bingung pada dirinya sendiri. Stevano begitu baik, ramah, dan selalu punya cara untuk menghibur. Namun, entah kenapa, Leona tidak bisa membuka hati untuk menerima Stevano sebagai kekasih. Nama Raneo masih terpatri di dalam hatinya.

"Rayuan lo nggak bakal mempan sama, dia, Van," komentar Salsa. "Mending lo gombalin gue aja. Gue pasti mau kok kalau abis itu lo ngajak gue pacaran."

Leona langsung terbahak. Stevano mengerutkan kening. Bukan pertama kalinya Salsa bicara blak-blakan soal perasaannya pada Stevano. Verina dan Leona sudah maklum akan sifat pecicilan Salsa.

"Tuh, dengerin kata, Salsa," timpal Leona. "Dia siap kok jadi pacar lo. Jadi lo nggak perlu capek-capek deketin gue."

Stevano mengembuskan napas berat.

"Idih, belagu amat, lo," protes Verina. "Lo aja masih berjuang mati-matian buat Raneo, padahal dia sama sekali nggak peduli sama, lo. Apa bedanya lo sama Stevano?"

Leona mengusap tengkuk seraya tersenyum menahan malu. Stevano menatap serius ke arah Leona, seakan ia begitu tertarik mengenai topik yang tengah mereka bahas.

"Lo masih pacaran sama dia?" tanya Stevano. Ia meraih tangan Leona, mengenggamnya begitu erat, seakan ia enggan untuk melepas. Leona menaikkan sebelah alisnya. Apakah ia akan dilamar? "Kenapa, sih, lo nggak bisa nerima gue? Jelas-jelas Raneo nggak peduli sama perasaan lo. Lo bertahan sama dia, sama aja lo ngorbanin diri sendiri."

Leona menunduk. Entah sudah berapa kali ia mendengar kalimat ini dari mulut kedua temannya, juga Stevano. Ia ingin menyanggah, tetapi tidak ada kata yang tepat untuk menyangkal. Mereka benar. Leona seharusnya bisa mengambil sikap tegas.

"Bener kata Stevano, Na," tambah Verina. "Mending lo sama Stevano aja, deh. dia baik, ganteng, dan yang pasti beneran sayang sama lo."

Leona merasa dirinya semakin terpojok. Napasnya terdengar berat.

"Gue ...."

Tiba-tiba Raneo muncul kemudian menarik kerah baju Stevano. Spontan Leona menarik tangannya, terkejut akan kehadiran Raneo. Dari tatapannya, Raneo tampak begitu kesal.

"Berani banget lo pegang tangan cewek gue!" bentak Raneo. Tatapannya mengintimidasi. Stevano balas menatap tajam, tak mau kalah.

Ternyata dia masih anggap gue pacar, batin Leona.

"Eh, Raneo, harusnya lo sadar, Leona tuh nggak bahagia sama, lo!" ujar Stevano. "Dia tertekan pacaran sama cowok nggak peka kayak lo."

Raneo melepas cengkramannya di kerah baju Stevano. Namun, tatapannya masih sama tajam, emosinya pun kian membara.

"Lo nggak usah ikut campur hubungan gue sama Leona," ketus Raneo. "Leona pacar gue. Gue berhak ngelakuin apa aja sama dia."

Stevano berdecak. "Lo kira dia mainan apa, suka hati lo mainin dia?"

Raneo mengepalkan tangan. Kemudian, tangan kanannya terangkat, siap melayangkan tinju. Namun, Leona buru-buru menarik Raneo menjauh dari kantin. Raneo mencoba menepis, tetapi Leona mencengkram tangannya begitu kuat.

Leona menyeret cowok berdarah campuran Indo-Eropa itu sampai ke depan kelas XI IPS 2 yang berada tak jauh dari kantin. Dari sana, ia masih bisa melihat beberapa orang di kantin melihat ke arah mereka.

"Lo kenapa sih kasar gitu sama Stevano?" tanya Leona. Sejujurnya ia merasa senang saat Raneo cemburu melihat dirinya bersama cowok lain.

"Gue nggak suka lo deket sama cowok lain, termasuk Stevano!" ucap Raneo. Dadanya naik turun.

"Sejak kapan lo peduli sama gue?" tanya Leona heran. "Bukannya selama ini lo nggak mau tahu soal perasaan gue?"

Raneo membuang pandangan ke lapangan futsal, menghindari tatapan sendu Leona. Kemudian ia menggaruk kepala.

"Lo itu pacar gue, wajar kalau gue cemburu," ucapnya saat ia merasa terpojok.

Mendengar itu, Leona sudah merasa bahwa Raneo masih pantas untuk diperjuangkan. Ya, paling tidak, sekarang usahanya membuahkan hasil. Raneo menunjukkan reaksi saat dirinya dekat dengan Stevano.

"Ok, kalau lo emang peduli, gue mau lo jaga jarak sama Abila," ucap Leona.

Raneo tak langsung menjawab. Ia diam sejenak, membiarkan pikirannya mencerna ucapan Leona lebih dalam. Kemudian ia mengangguk, tanda setuju. Namun, tidak ada yang tahu seperti apa kemudian.

Leona yang tak bisa membendung kebahagiaanya , menghambur memeluk Raneo. Namun, Raneo hanya diam. Tak berniat untuk memeluk Leona. Apakah ini adalah sandiwara? Meski sadar akan reaksi dingin Raneo, Leona tetap merasa bersyukur, setidaknya Raneo tidak mendorongnya.

"Udah, gue mau balik ke kelas, bentar lagi udah bel," ucap Raneo. Leona melepas pelukannya.

"Oke, deh," ucap Leona.

Kemudian ia termangu memandang punggung Raneo yang kian menjauh. Senyumnya masih merekah, sampai akhirnya Salsa berteriak sembari menepuk pundaknya.

"Apaan, sih, Sa?" keluh Leona. Ia memijat pundaknya yang terasa sakit.

"Ngapain lo sama Raneo di sini?" tanya Salsa curiga. "Ngaku lo!"

Leona mendelik. "Main kelereng," ucap Leona sembari berjalan meninggalkan Salsa. Verina berlari menyusul Leona, sementara Salsa sibuk dengan pikirannya tentang Leona yang bermain kelereng dengan Raneo.

***

"Lo bawa mobil?" tanya Salsa begitu bel pulang berbunyi. Ia memasang wajah memelas di hadapan Leona yang tengah membereskan buku di meja. "Anterin gue ke toko buku ya. Gue mau beli novel, stok gue udah abis."

Leona menatap sekilas, kemudian kembali menatap tas di hadapannya.

"Gue dijemput Pak Mamat," jawab Leona. Raut wajah Salsa seketika berubah kecewa. "Lain kali aja, deh. Kenapa nggak ngajak Verina? Dia kan bawa motor?"

Salsa mendesah. "Lo tahu kan dia perhitungan banget soal duit," keluh Salsa. "Yang ada, entar gue disruruh ngisi bensin dia. Bisa bangkrut gue."

Leona tertawa, kemudian menyandang ranselnya. Mereka berjalan beriringan menuju gerbang.

"Bokap lo kan pengusaha, masa bensin seliter aja lo mikir buat beli?" tanya Leona. "Lagian gue heran, kenapa lo nggak mau minta tolong ke sopir lo aja buat anter ke toko buku."

"Uang jajan gue dikurangin gara-gara sering beli novel," keluh Salsa. "Kalau gue ngajak sopir, yang ada gue bakal diaduin ke bokap. Lo tahu sendiri, kan, sopir gue nurut banget sama bokap gue."
Leona menghela napas. Ia hendak mengajak Salsa untuk ikut denganya, tetapi buru-buru Salsa menepuk-nepuk pundaknya.

"Eh, eh, itu Raneo, kan?" tanya Salsa. "Kok dia sama si cewek manja itu, sih?"

Leona melihat ke area parkir. Raneo tengah berbicara dengan Abila, sembari berpegangan tangan. Mereka tampak begitu ceria. Leona kembali merasakan sakit luar biasa di dadanya. Haruskah ia menyesali kebahagiaannya beberapa saat yang lalu?

Ternyata, kutub es itu sama sekali tak tersentuh.




ODOC wH BATCH 3 DAY 4


TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top