Bab 3

Restoran Nelayan.

Nama itulah yang terpampang di atas sebuah restoran yang tidak begitu besar di dalam area Mal Sun Plaza. Suasana di sini cukup ramai. Berapa restoran lainnya yang berada di sebelah kanan dan kiri tak kalah ramai. Suara berisik dari setiap mulut yang beradu seakan sudah menjadi melodi rezeki bagi setiap pemilik restoran.

Seorang gadis berambut ikal kemerahan tengah menyeruput es jeruk yang ia pesan beberapa saat yang lalu. Di hadapannya, seorang cowok berparas kebulean tengah sibuk dengan ponsel. Seakan tidak ada orang di hadapannya. Sesekali cewek itu menggerutu, menarik tangan cowok yang duduk di seberang meja.

"Lo kok diam aja, sih?" tanya Abila setelah setengah jam mereka duduk di sana, tetapi Raneo tak banyak bicara. Mungkin hanya mengatakan "iya" dan "terima kasih" saat pelayan mengantar pesanan mereka. Setelahnya, cowok itu seakan bisu. "Lo nggak senang gue ajak ke sini?"

Raneo mendengkus. Ia meletakkan ponsel di meja, agak ke tepi agar tidak terkena risiko jika minumannya tumpah ke meja. Ia menatap cewek bawel yang sedari tadi mengomel, meminta ditemani beli baju ke mal. Awalnya Raneo malas, tetapi karena Abila berjanji hanya beli baju, akhirnya Raneo menuruti. Namun, hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. Abila memaksanya untuk menemaninya ke salon kecantikan, dan sekarang makan di restoran ini.

"Gue senang, kok," jawab Raneo terpaksa. Ia memaksakan senyum di bibir, meski rasanya ia ingin mengumpat. "Lain kali, kalau mau pergi ke mal, ajak sopir lo aja deh. Capek gue nemenin lo dari siang sampai sekarang. Janjinya beli baju doang, eh malah keenakan di salon."

Abila mengerucutkan bibir, kemudian merengek seperti anak kecil. Hal yang selalu membuat kepala Raneo migrain. Sudah capek, dibawelin, dan sekarang ia harus menahan malu saat orang di sekitar menoleh karena rengekan Abila.

Raneo menggaruk kepala, kemudian mengembuskan napas pasrah.

"Ya, deh, gue minta maaf," jawab Raneo asal. Matanya mendelik.

"Gitu doang?" tanya Abila dengan muka ditekuk. "Nggak ada kata sayang?"

Raneo hampir menggebrak meja karena emosi. Kemudian ia mengepalkan tangan, sebisa mungkin meredam kemarahannya. Ia tersenyum, meski rasanya sulit.

"Maaf, ya, Sayang."

***

Aroma makanan menelusup ke rongga hidung Leona. Ia memejamkan mata sembari berjalan di belakang Lavirgo yang tampak melihat-lihat nama restoran yang berderet. Kemudian langkahnya terhenti di depan sebuah restoran yang sudah cukup familier baginya. Ia dan teman kampusnya sering makan di tempat ini. Restoran Nelayan.

"Kita makan di sini, ya," kata Lavirgo seraya berbalik.

"Hah? Di mana?" Leona tampak linglung karena sedari tadi ia terhanyut oleh aroma makanan yang menguar dari dapur tiap restoran yang mereka lewati. Udang saus pedas, cumi goreng tepung, stik saus lada hitam. Semua itu berseliweran di kepalanya.

"Di restoran ini," kata Lavirgo seraya menunjuk restoran di hadapan mereka. Kemudian Leona mengangguk.

Sebenarnya, Lavirgo tak perlu bertanya. Ke tempat makan pinggir jalan pun Leona tidak keberatan. Ia bukan tipe orang yang pemilih soal makanan. Meski hidup mewah, ia tak pernah merasa bahwa segalanya harus serba mewah. Buktinya, kemewahan itu tak berarti apa-apa sekarang. Sejak mamanya meninggal saat ia berusia 10 tahun, kebahagiaan itu lenyap begitu saja. Papanya mulai sibuk dengan pekerjaan, tak lagi punya waktu untuknya. Memang, kebutuhan selalu terpenuhi. Namun, apakah itu cukup untuk membesarkan seorang anak hingga dewasa?

Lavirgo masuk lebih dulu, kemudian disusul oleh Leona. Namun, belum sempat Lavirgo menemukan tempat mereka duduk, ekor mata Leona lebih dulu menangkap sosok Raneo bersama Abila. Raneo menggenggam tangan Abila. Sungguh pasangan romntis, seandainya mereka sepasang kekasih.

Leona merasa tulang kakinya melemah. Ia gemetar, tubuhnya seakan remuk. Ada sesuatu yang hilang darinya. Dadanya kembali sakit, hingga ia menopangkan tangan ke pundak Lavirgo. Cowok itu lantas berbalik, mendapati Leona yang pucat. Lavirgo panik, kemudian membopong Leona.

"Kamu nggak apa-apa, Ona?" tanya Lavirgo. "Kamu sakit, ya?"

Leona merasakan persendiannya ngilu. Ia seakan tak punya tenaga untuk berdiri lebih tegak. Kesekian kalinya ia harus menyaksikan kepahitan ini.

"Kita pulang aja, Kak," kata Leona lirih.

Lavirgo tak bertanya lebih jauh. Ia membantu Leona berjalan ke luar restoran. Orang yang berada di restoran tampak memperhatikan mereka. Beberapa bergumam, memancing Raneo untuk melihat apa yang terjadi. Saat itu pula, ia melihat punggung Leona menjauh. Ia ingin mengejar, tetapi ia sadar Abila akan menahannya.

***

"Kamu sakit, ya?" tanya Lavirgo saat mereka tiba di parkiran. Setelah istirahat sebentar di sana, Leona merasa lebih baik. "Aku antar kamu ke klinik, ya."

Leona mendongak. Menatap wajah khawatir cowok yang berdiri di hadapannya. Kemudian ia tersenyum, ia tak benar-benar sendiri. Selain Verina dan Salsa, ia masih punya Lavirgo yang begitu peduli. Oh, ia hampir lupa, ada Stevano yang selalu hadir sebagai pahlawan.

"Gue nggak apa-apa, kok," kata Leona. Ia memegang tiang di belakang untuk membantunya berdiri. Lavirgo hendak membantu, tetapi Leona mengangkat satu tangan untuk menolak. "Gue cuma nggak enak badan aja. Mungkin masuk angin."

Lavirgo memandangi tubuh ramping Leona yang mengigil terkena terpaan angin malam. Ia baru sadar, Leona tidak mengenakan jaket sedari tadi. Padahal mereka sudah menempuh perjalana beberapa kilo meter menggunakan sepeda motor.

Lavirgo membuka jaket, kemudian membungkuskannya ke punggung Leona. Gadis itu nyaris menolak, tetapi Lavirgo mentap tajam pertanda ia tidak suka jika dibantah. Bagaimana pun, ini demi kebaikan Leona. Akhirnya, Leona memakai jaket itu. aroma parfum Dunhill Blue menguar begitu kuat. Aroma khas pria yang begitu disukai Leona.

"Kita langsung pulang?" tanya Lavirgo memastikan. "Nggak mau beli makanan dulu?"

Leona menggeleng. "Bi Ina udah masak, kok."

Lavirgo hanya mengangguk, kemudian memakai helm. Leona melakukan hal yang sama, kemudian naik ke atas motor. Buku yang ia beli dimasukkan ke tas selempang yang menggelayut di bahunya. Saat motor melaju, Leona mengamati tangan kekar cowok itu tampak kedinginan. Lantas, Leona memaksakan diri untuk kembali memeluknya. Namun, kali ini, ia memejamkan mata karena grogi. Berbeda dengan sebelumnya, saat Lavirgo mengenakan jaket. Kali ini, ia benar-benar merasakan bagaimana menyentuh perut cowok itu yang hanya terbalut kaos tipis.

***

"Hati-hati ya, Kak," ucap Leona sebagai kalimat perpisahan untuk Lavirgo. Ia sudah membuka jaket yang tadi ia kenakan. Kemudian tersenyum. Entah apa yang membuatnya berubah secepat itu. Yang pasti, sejak ia duduk di atas motor, merasakan tubuh cowok itu, nyaris menyentuh secara langsung tanpa busana, ia merasakan bahwa hidupnya tidak akan sia-sia. Selalu ada harapan saat ia berada dekat dengan Lavirgo.

"Ya, Ona," jawab Lavirgo. "Kamu langsung istirahat, ya. Makasih udah nemenin aku beli buku. Meski akhirnya, kamu malah sakit."

Leona terkekeh. "Nggak usah dipikirin, Kak," jawab Leona. "Oh, ya, makasih buat bukunya."

Lavirgo hanya tersenyum. Kemudian ia kembali mengenakan helm.

"Ya, udah, aku pulang, ya," katanya.

Kemudian suara mesin berdebum mengiringi kepergian Lavirgo. Semakin lama, semakin pelan. Di saat yang bersamaan, Leona merasa hatinya semakin pedih. Ia hanya berpisah dengan Lavirgo dengan jarak yang tak lebih dari 30 menit perjalanan. Tetapi ia merasa seolah-olah mereka akan berpisah untuk waktu yang lama.

Gadis itu menutup gerbang. Suara derit besi berkarat yang beradu kembali mengingaktkannya untuk meminta agar gerbang ini diperbaiki. Leona berjalan gontai ke rumah. Sepanjang jalan ia memikirkan, kenapa ia begitu kahwatir jika kehilangan sosok pemuda yang mungkin hanya menganggap dirinya sebagai adik?

***

Cahaya mentari menelusup lewat jendela yang terbuka, memaksa Leona untuk bangkit dari tempat tidur. Bola lampu yang menggantung di langit-langit kamar sudah padam berapa saat yang lalu. Bi Ina yang setiap pagi mengambil pakaian kotor di kamar Leona dan Bastian-papa Leona, memadamkan lampu jika dirasa cahaya mentari pagi sudah cukup untuk menerangi kamar.

Dengan malas, Leona menggeliat di balik selimut berwarna kebiruan. Kemudian ia mengucek mata, sebelum ia benar-benar membuka mata. Sekujur tubuhnya mendadak nyeri, kepalanya seakan dihantam benda tumpul, saat membayangkan jika pagi ini mungkin ia akan bertemu lagi dengan Raneo juga Abila. Ditambah lagi jam pelajaran pertama adalah pelajaran Matematika yang diajar oleh guru killer.

Namun tak ada pilihan lain. Tak mungkin ia beralasan untuk tidak masuk sekolah. Sebenarnya ia bia berdalih, tetapi ia sangat paham pada cara mendidik guru killer itu. tidak masuk kelas sama dengan tidak mendapat nilai. Ia tidak mau mengurusi anak yang tidak bisa diatur dengan memberi hukuman.

Leona beranjak ke kamar mandi. Matanya benar-benar melek saat air yang menyembur dari shower membasahi tubuhnya. Setelah mandi, ia bergegas untuk berpakaian, kemudian memantaskan diri di depan cermin. Semua atribut sudah lengkap.

Ia meraih ransel yang tergeletak di atas meja, menyampirkannya di salah satu bahu, kemudian melenggang santai menuruni anak tangga. Ia berjalan agak cepat saat menginjak anak tangga pertama, kemudian semakin lambat sampai akhirnya berhenti di anak tangga terakhir. Tangannya memegang penyangga kayu di sisi kiri.

"Iya, secepatnya Leona akan aku beri tahu, kamu nggak usah khawatir," ujar Bastian yang duduk di sofa.

Leona yang begitu penasaran berjalan mendekat, tetapi dengan langkah pelan agar tidak menimbulkan bunyi. Ia berdiri tidak jauh di belakang Bastian. Samar-samar ia mendengar seorang perempuan memanggil Bastian Papa. Hah? Papa? Apakah Bastian punya anak selain Leona?

Sesaat kemudian, Leona paham kalau itu bukan anak Bastian. Mereka membicarakan mengenai sesuatu yang tidak dipahami Leona, tetapi tidak jauh dari masalah kantor. Leona menebak, wanita itu bukan lagi anak remaja atau anak 20 tahunan. Saat ia menajamkan pendengaran, suara wanita itu terdengar keibuan.

Leona pura-pura mengikat tali sepatu saat papanya selesai menelepon. Kemudian ia mendongak saat Bastian menoleh ke arahnya dengan raut wajah panik.

"Papa nelpon siapa?" tanya Leona langsung. Ia benar-benar tidak ingin bersilat lidah. "Leona dengar dia manggil 'papa'."

Bastian mengusap tengkuk. "Ah, itu sekretaris Papa, dia kasih tahu kalau ada kesalahan penghitungan angaran perusahaan."

"Oh, semoga aja yang Papa bilang itu benar,' kata Leona. Kemudian ia segera keluar rumah. Selera makannya sudah hilang. Lantas ia menemui sopir pribadinya yang baru kembali tadi sore.

"Pak, antar Leona sekarang, ya," ucapnya.

Pria paruh baya yang juga suami Bi Ina itu mengangguk. Ia menyimpan lap yang sedari tadi ia pakai untuk mengelap kaca mobil. Kemudian ia membukakan pintu untuk Leona. Setelah gadis itu masuk, sopir menyusul.

"Kok cepat banget berangkatnya, Non?" tanya Mamat.

"Leona ada perlu di sekolah, Pak," jawab Leona sekenanya. Ia sama sekali tak berminat untuk membahas tentang papanya yang menelepon seorang perempuan. Entah kenapa, Leona merasa Papanya menyembunyikan sesuatu.

***

Leona merasakan bahwa dirinya seolah de ja vu. Entah kebetulan atau memang takdir, lagi-lagi ia bertemu dengan Raneo di area parkir.

Setelah meminta Mamat untuk menjemputnya sepulang sekolah, Leona bergegas menuju kelas. Namun, langkahnya terhenti saat sedan merah melintas tanpa dosa di hadapannya. Ia nyaris tertabrak jika tak buru-buru mundur. Matanya awas sampai akhirnya si pengemudi keluar dari mobil.

Ada kelegaan yang menelusup di dalam batinnya setelah beberapa saat, setelah Raneo turun. Abila tidak turut bersamanya. Leona bermaksud menemui Raneo, sebelum cowok dingin itu pergi begitu saja ke kelas.

"Raneo, tunggu!" seru Leona saat Raneo hendak melangkah. Coeok itu menyunggingkan senyum ramah, seraya melihat ke sekitar area parkir. "Gue nggak bawa mobil."

Raneo mengangguk, kemudian menatap serius ke arah Leona.

"Kemarin lo di Restoran Nelayan ngapain? Kok sama cowok?" tanya Raneo. Tatapannya tajam, seakan-akan Leona melakukan kesalahan. "Selingkuhan, lo?"

Leona terkejut, kemudian, mengepalkan tangan.

"Harusnya gue yang nanya itu ke, lo!" ketus Leona. "Ngapain lo di sana sama Abila? Pake acara pegangan tangan lagi."

Raneo tersenyum geli, mengingat musibah yang menimpanya semalam.

"Abila minta ditemenin beli baju, terus ke salon, abis itu makan malam. Gitu doang, kok," tutur Raneo. Wajahnya tampak santai. "Ada yang salah?"

Leona ingin sekali menghajar Raneo dengan kepalan tangannya. Ini orang terbuat dari apa, ya? Kok nggak pernah peka.

"Sejak kita pacaran, pernah nggak sekali aja lo ngajak gue jalan?" tanya Leona. suaranya pelan, tetapi tegas. "Gue yang pacar lo aja nggak pernah jalan bareng sama lo. Setidaknya makan bareng di kantin sekolah. Lah, si cewek manja itu lo temenin nyalon. Gue heran sama, lo, Ran."

Raneo berdeham, kemudian mendekat. Namun, baru selangkah, tiba-tiba Abila menarik tangan Raneo. Leona terkejut, karena tidak menyadari kedatangan cewek manja itu. Raneo juga sama terkejutnya. Entah dari mana cewek itu muncul.

"Udahlah, Ran, ngapain sih ladenin dia," keluh Abila. Ia menarik tangan Raneo untuk menjauh dari area parkir.

"Dia cowok gue, terserah dia dong mau ngapain sama gue!" seru Leona. ia tak bisa tinggal diam seperti ini terus. "Lo yang cuma bisa jadi hama di hubungan orang lain, mending nggak usah ikut campur deh. apa perlu gue semprot pestisida biar lo minggat?"

Abila tak terima, ia melepas genggamannya dari tangan Raneo. Namun, saat ia hendak mendekati Leona, Ranoe buru-buru menahan Abila.

"Apaan sih, Ran?" protes Abila. "Biar gue kasih pelajaran nih cewek. Punya mulut kok kayak nggak disekolahin."

Leona terkekeh. Kemudian kedua tangan bersilang di dada.

"Otak lo tuh yang nggak disekolahin, isinya cuma parasit doang," sindir Leona. "Mending lo periksa deh ke dokter. Takutnya tuh parasih makin menyebar."

Abila mengentakkan kaki. Namun ia tak bisa berbuat banyak karena Raneo masih menggenggam tangannya.

"Leona, harusnya lo sadar kalau Raneo nggak pernah cinta sama, lo," kata Abila akhirnya. "Kalau dia beneran sayang sama, lo, harusnya dia belain lo. Lo liat sekarang, tangan siapa yang dia pegang?"

Leona terdiam. Uacapan Abila begitu menohok batinnya. Ia terdiam, memandangi siswa-siswi yang mulai memadati area parkir. Bersamaan dengan lenyapnya Raneo dan Abila dari pandangannya, demikian pula harapannya kian menipis.

Haruskah Leona mengangkhiri penderitaan ini?

Rasanya, sia-sia jika Raneo sama sekali tidak mau mengerti.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top