Bab 24
Cewek berkaos merah cerah dengan celana jins ketat yang duduk di sofa usang di ruang tengah itu, tidak pernah menyangka kalau ia masih punya hal baik untuk disyukuri, saat ia merasa bahwa hidupnya tak pernah lekang dari gempuran masalah. Untuk sejenak, wajah muram yang seakan menjadi identitas dirinya, kini berubah menjadi wajah semringah penuh kebahagiaan.
Bagaimana tidak, setelah sekian lama tidak bertemu dengan sosok cowok yang telah lama ia kenal, yang sudah menjadi tempatnya mencurahkan isi hati, tanpa diduga sekarang mereka duduk berhadapan. Berulang kali cewek itu menepuk pipi, mencoba menyadarkan diri dari mimpi yang terasa nyata baginya. Namun, ia tidak bermimpi. Ini nyata, karena beberapa waktu lalu, Lavirgo memintanya datang ke tempat ini.
Sebuah rumah yang tidak begitu luas dengan satu kamar. Di mana ruang tamu merangkap dengan ruang belajar. Suasana yang cukup baik untuk ditinggali satu orang. Leona masih merasakan jantungnya berdetak cepat, setiap kali cowok di hadapannya tersenyum.
Setibanya di rumah itu, Leona bahkan belum mengatakan apa-apa. Ia hanya menghambur ke pelukan Lavirgo, dan saat itu pula ia merasakan ada yang salah dalam dirinya. Ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bahkan saat Stevano merangkul bahunya, menyenderkan kepalanya ke bahu cowok itu, Leona tidak pernah merasa senyaman itu.
Apakah itu karena Leona sudah begitu dekat dengan Lavirgo?
Atau ada hal lain yang tidak disadari oleh Leona?
Leona merasakan pipinya memanas setiap kali cowok di hadapannya menyunggingkan senyum, menunggu dirinya membuka suara lebih dulu. Setelah sekian lama tidak bertemu, Lavirgo tampak berbeda di mata Leona. Lavirgo seakan menjelma menjadi sosok yang lebih dewasa, lebih rapi dan pastinya terlihat lebih tampan meski tubuhnya hanya terbalut kaos abu-abu.
Satu hal lain yang menarik dari Lavirgo, yang bahkan baru disadari Leona adalah postur tubuh Lavirgo yang kini lebih berisi. Tidak seperti pada masa kuliah dulu. Semenjak bekerja, Lavirgo sering menyempatkan waktu untuk berolahraga. Dan sekarang, ia bahkan membuat Leona tak mampu berkata-kata.
"Kok diem aja, sih?" tanya Lavirgo setelah membuang napas karena terlalu lama menunggu respon Leona. "Nggak kangen sama aku?"
Leona nyaris menyahut "kangen banget!", tetapi ia merasa malu jika harus mengakuinya. Bahkan ia mulai khawatir, Lavirgo bisa melihat sikapnya yang tampak gugup.
"Kangen, kok," jawab Leona. Ia mencoba bersikap santai. "Em, gimana kerajaan Kakak di Jakarta?"
Lavirgo mendesah, kemudian kembali tersenyum. Leona nyaris melompat kegirangan melihat itu.
"Ya, bisa dibilang lancar dan menyenangkan," jawab Lavirgo. "Tapi aku nggak lama di sini. Mungkin tahun baru nanti atau akhir tahun aku akan balik ke Jakarta."
Rasa gugup dalam diri Leona berubah menjadi kesedihan. Ia merasakan dadanya sesak saat mendengar kalau cowok yang baru disadarinya semengagumkan ini, tidak lama lagi akan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, Leona merasa berat jika harus melepas Lavirgo. Jauh lebih berat daripada melepas Raneo.
Mungkinkah sekarang ia mulai menyukai Lavirgo?
Tapi bagaimana bisa? Bukankah selama ini Leona menganggapnya sebagai Kakak? Dan tidak mungkin Lavirgo juga menyukai cewek penuh curhatan seperti Leona. Usia mereka berbeda beberapa tahun. Sudah jelas Lavirgo akan lebih memilih cewek yang lebih dewasa, mungkin yang sudah bekerja.
Leona semakin merasa sesak memikirkan segala kemungkinan tak pasti itu. Ia bermain dengan pikirannya sendiri, hingga ia tak sadar saat Lavirgo mendekatkan wajahnya ke wajah Leona.
Lavirgo meniup mata Leona, sontak cewek itu terperanjat kaget. Ia mengusap wajah, kemudian menatap sekeliling. Mendadak ia merasa seperti orang bodoh. Kenapa begini? Seharusnya Leona bisa bersikap santai di depan Lavirgo. Bukankah ia selalu tampak santai saat bercerita dulu?
Namun bagaimanapun Leona menekankan itu pada dirinya sendiri, detak jantungnya seakan tak mau diajak kerja sama. Darahnya berdesir, membuat bulu kuduknya meremang. Ia mengusap tengkuk karena gugup, kemudian memaksakan tawa kecil untuk menutupi rasa gugupnya.
Lavirgo menyadari ada yang aneh pada Leona, tetapi tidak paham apa yang mungkin sedang dipikirkan cewek itu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengalihkan topik.
"Gimana kabar Om Bastian?" tanya Lavirgo. "Udah ditentuin kapan tanggal pernikahannya?"
Leona memutar bola mata mata mendengar itu. Beberapa hari ini ia berusaha menghindar dari Bastian saat mereka berada di rumah. Ia mencoba untuk melupakan tanggal yang tertera pada contoh undangan yang ia temukan di meja waktu itu.
Leona berdecak kesal, kemudian membuang napas pasrah.
"Papa baik, kok," jawab Leona. Ia mulai bisa menikmati suasana. "Tanggal pernikahan mereka udah ditentukan. Kakak mau datang?"
Lavirgo tampak antusias mendengar itu. Cowok itu menggeser posisi duduknya lebih maju, kemudian menopang kedua siku di lutut.
"Wah, bagus dong," ujar Lavirgo. Sorot matanya menunjukkan ia begitu senang mendengar kabar yang seharusnya menggembirakan juga bagi Leona. "Kok kamu cemberut gitu? Harusnya senang dong kalau Om Bastian nikah lagi?"
Leona menunduk. Lavirgo merasa menyesal telah mengatakan itu. Leona pernah bercerita perihal ketidaksetujuannya akan pernikahan itu. Namun, manusia pasti bisa lupa kan? Barangkali Lavirgo terlalu senang akan kabar itu, hingga ia lupa akan curhatan Leona tempo hari.
"Em, maaf," kata Lavirgo. Ia mengusap tengkuk, merasa tak nyaman dengan situasi. "Tapi nggak ada gunanya kamu begini terus. Cepat atau lambat, semua itu pasti terjadi. Oh, ya, kamu udah bilang sama Stevano soal ini?"
Leona mendongak. Itu adalah salah satu hal yang juga ia pikirkan, hingga ia tidak masuk sekolah. Ia takut berhadapan dengan Stevano. Ia takut menyakiti cowok setulus Stevano. Ia tidak tahu harus berkata apa saat berhadapan dengan cowok itu.
"Gue belum ngomong apa-apa ke dia soal ini," kata Leona. "Tapi kayaknya dia udah tahu, deh. Tapi gue belum siap buat ketemu sama dia. Gue nggak tega liat dia terluka gara-gara gue."
Lavirgo bisa melihat perubahan ekspresi Leona yang semakin buruk. Matanya berubah bening, air mata menggantung di pelupuk matanya. Lavirgo yang merasa iba, beranjak ke samping Leona. Dengan pengertian, ia merangkul bahu cewek di sebelahnya, membenamkan kepala Leona ke dadanya.
Entah dengan kata apa Leona menggambarkan suasana hatinya saat ini. Mulutnya terisak, matanya meneteskan air mata, tetapi hatinya terasa menghangat. Ia merasakan kenyamanan yang selama ini ia harap bisa didapat dari Raneo. Mungkinkah selama ini Leona menaruh hati pada Lavirgo? Atau selama ini, kekagumannya pada sosok Lavirgo bukan sebagai kakak?
Apa pun itu, Leona tak mau memikirkannya. Ia hanya ingin terus berada di sana, kalau bisa sampai malam tiba. Ia ingin terlelap dalam pelukan hangat itu, menikmati syair malam dari sang dewi mimpi. Meninabobokan hatinya yang terus terluka.
Apakah cinta memang selalu tak terduga?
***
Leona tak hentinya memandangi wajah tampan di hadapannya. Wajah yang selalu tersenyum saat ia bercerita. Bahkan saat mata itu terpejam, Loena masih bisa melihat pesona dari wajah itu. Bibir kemerahan yang selalu mengucapkan sejuta kalimat motivasi.
Tanpa sadar, Leona mengangkat tangan, hendak mengusap pipi cowok yang terbaring di sofa itu. Namun, niatnya urung karerna ponsel di saku celananya berdering. Ia buru-buru bangkit berdiri, kemudian terkejut melihat nama Stevano terpampang di sana.
Leona menoleh ke arah Lavirgo yang masih terpejam, kemudian berjalan perlahan ke kamar. Cewek itu duduk di tepi tempat tidur, mengamati sekitar kamar yang bahkan tak ia perhatikan tadi malam saat ia terlelap di sana. Tidak ada perabotan apa pun selain tempat tidur tua dan lemari kayu yang dipenuhi stiker.
Leona menginap di sini kemarin, karena ia malas jika harus bertemu lagi dengan Bastian. Lavirgo sudah beerulang kali memintanya agar pulang, tetapi Leona bersikeras untuk tidur di sana. Lavirgo akhirnya memilih untuk tidur di sofa, sementara Leona di kamarnya. Bastian sempat menelepon Leona, tetapi cewek itu berdalih bahwa ia tidur di rumah Salsa.
"Na, lo masih di sana, kan?"
Leona tersadar dari lamunannya. Ia lupa bahwa saat duduk di tepi kasur, ia menekan tombol hijau.
Cewek itu mengusap kening yang mulai berkeringat dengan punggung tangan.
"Ya, kenapa, Van?"
"Lo di mana? Kita bisa ketemu bentar, aja?" tanya Stevano. "Gue pengin ngomong serius sama, lo."
Leona diam sesaat. Tadi malam sebelum ia tidur, Lavirgo kembali mengingatkan dirinya untuk segera memberitahu Stevano, dan memutuskan hubungan mereka. Hal itu pula yang membuat Leona akhirnya mau menerima panggilan dari cowok itu.
"Em, boleh, deh," kata Leona. "Ketemu di mana?"
Stevano bergumam, kemudian menyebutkan tempat mereka bertemu. Setelahnya, Leona menekan tombol merah di ponsel. Saat ia hendak beranjak, mendadak tubuhnya membeku. Di pintu kamar, seorang cowok dengan rambut berantakan berdiri seraya menyunggingkan senyum aneh.
Apakah ia mendengar pembicaraan Leona tadi?
***
"Hah? Jadi, tadi malam lo tidurr di serumah sama cowok?" tanya Stevano tak percaya. Matanya membelalak saat mendengar penuturan Leona perihal mengapa ia terlambat beberapa menit, yang seharusnya Leona bisa tiba lebih dulu.
Leona mengangkat bahu.
"Ya, gitulah," jawab Leona santai. "Tapi lo nggak usah mikir yang aneh-aneh, deh. Gue nggak ngapa-ngapain sama dia."
Stevano memanyunkan bibir, kemudian membuang napas.
"Oke lupain itu," kata Stevano. "Gue mau tanya sama, lo. Kenapa selama ini lo nggak bilang kalau orang tua kita bakal nikah?"
Leona nyaris tersedak minuman saat mendengar ucapan Stevano.
"Lo nggak perlu bohong lagi, Na, gue tahu selama ini lo udah tahu kalau calon nyokap lo itu nyokap gue," kata Stevano.
Leona tak punya jalan lain. Akhirnya ia menceritakan semua, mendetail. Stevano sesekali menunduk, menarik napas, atau membuang pandangan ke sekeliling kafe untuk menghindarkan kedua bola matanya yang nyaris meneteskan air mata.
"Gue cuma takut melihat lo nangis kayak gini, Van," ujar Leona. "Tapi kayaknya nggak ada lagi yang perlu gue sembunyiin. Hubungan kita sampai di sini aja."
Stevano agak terkejut akan kalimat terakhir Leona, meski ia sudah pernah memikirkan itu. Mereka tidak mungkin menjalin hubungan asmara jika kedua orang tua mereka sudah menikah nanti. Mau tak mau, mereka akan menjadi saudara.
Namun, meski kenyataan itu sudah jelas di depan mata, Stevano masih enggan untuk menerima. Perjuangannya untuk mendapatkan Leona bukan perkara mudah. Banyak hal yang akhirnya ia korbankan untuk itu. Dan setelah mendapatkannya, ia harus kehilangan?
ODOC BATCH 3 DAY 24
TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top