Bab 20

Leona menatap kesal ponsel di genggamannya. Tepat saat ia duduk di kursi kantin, ponselnya berdering. Nama papanya muncul di notifikasi pesan masuk. Leona mengernyit heran, tidak biasanya Bastian mengirimnya pesan.

Leona membuka pesan itu karena begitu penasaran. Namun, setelah melihat isinya, mendadak wajahnya muram. Ia seakan menyesal telah membaca pesan itu. Verina dan Salsa menatap aneh pada Leona. Sejak tadi, Leona terlihat baik-baik saja.

"Lo kenapa, sih?" tanya Verina heran. "Suka banget masang muka cemberut tiba-tiba."

"Tahu, tuh," timpal Salsa. "Bukannya lo sama Raneo udah nggak ada hubungan lagi? Ngggak mungkin kan lo masih galau gara-gara dia."

Leona mengalihkan pandangan dari ponsel ke temannya. Matanya menatap kesal.

"Siapa juga yang mikirin Raneo? Sok tahu, lo!" ketus Leona. Cewek itu meletakkan ponselnya di meja, kemudian menyeruput jus jeruk di gelas. Tenggorokannya yang kering, kini terasa lebih baik.

"Terus kenapa?" tanya Salsa.

Leona mengembuskan napas. Matanya liar mengamati sekitar. Verina dan Salsa ikut melihat sekitar, mencari tahu apa yang diamati Leona.

"Lo lihatin apa, sih?" tanya Salsa. Ia mulai geram karena Leona tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Stevano mana?" tanya Leona tanpa memedulikan pertanyaan Salsa.

Verina mengedikkan bahu. Salsa begumam, kemudian menjawab.

"Tadi kalau nggak salah dia ke ruang guru, deh," ujar Salsa. "Kok lo nyariin dia? Kangen, lo? Idih, tiap hari juga ketemu di kelas."

Leona mendelik mendengar ocehan Salsa.

"Gue mau cerita sama kalian berdua, tapi jangan bilang sama Stevano, ya," ujar Leona setengah berbisik. Verina dan Salsa mencondongkan tubuh, ekspresi mereka begitu serius.

"Barusan bokap gue bilang kalau nanti malam kami makan bersama di restoran bareng calon nyokap baru gue," kata Leona malas.

"Emang apa salahnya, sih lo ikut?" tanya Salsa. "Kan dengan begitu lo bisa makin dekat sama calon nyokap lo itu. Kalau lo terus menghindar kayak gini, ya lo nggak bakalan tahu gimana calon nyokap lo itu. Siapa tahu aja kan dia baik."

Leonda mendesah frustrasi.

"Masalahnya calon nyokap gue itu, nyokap Stevano," bisik Leona.

Verina dan Salsa terbelalak, mereka saling menatap dengan mulut terbuka. Salsa mengedipkan mata beberapa kali, seakan-akan mencoba menyadarkan diri dari lamunan. Namun, ia tidak melamun. Jelas-jelas Leona mengatakannnya tadi.

"Lo serius?" tanya Verina. "Kok lo nggak pernah cerita sama kita?"

Leona mengedikkan bahu, kemudian tersenyum sinis.

"Ya gue kira nggak bakal begini jadinya," jawab Leona santai. "Makanya gue pemdam sendiri. Bahkan Stevano nggak tahu kalau bokap gue sama nyokap dia bakal nikah. Gue belum siap buat ngelepasin dia."

"Tapi sampai kapan lo bakal pendam ini terus?" tanya Salsa. "Cepat atau lambat Stevano juga bakalan tahu, kan? Akhirnya hubungan kalian bakal berakhir."

Leona bergidik membayangkan itu. Seandainya ada cara lain, ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Stevano, meski ia sendiri ragu apakah ia mencintai Stevano atau tidak. Terlebih, pertanyaan Lavirgo tempo hari masih terngiang di benaknya. Apakah ia benar-benar mencintai Stevano?

***

Leona menyenderkan kepala di sofa. Handuk merah muda masih melilit di kepalanya. Kedua kakinya dilipat di atas sofa, tangan kanannya sibuk memencet remot, mencari siaran yang pas untuk menghilangkan kebosanan. Beberapa menit yang lalu, ia kembali dibuat jengkel oleh pesan Bastian yang mengingatkan dirinya untuk segera bersiap-siap. Bastian mengatakan kalau ia tidak akan lembur hari ini.

Leona berdecak kesal membaca pesan itu. Bagaimana tidak, Bastian bahkan meluangkan waktu demi Anaya, sedangkan untuknya? Bastian bahkan tidak pernah memberi waktu sedikit pun.

Leona menegakkan tubuh begitu mendengar bunyi mesin mobil di luar. Ia merapikan kaos biru muda yang melekat di tubuhnya. Matanya masih menatap lurus pada layar televisi yang menayangkan acara komedi. Bahkan saat pintu terbuka, ia masih enggan untuk melirik.

Bastian yang sempat tersenyum, berubah kesal mendapati Leona yang belum berganti pakaian. Melihat putrinya bersantai di sofa, seakan menyulut api amarah dalam dadanya. Sejak tadi, ia sudah memnduga-duga kalau masalah ini akan timbul. Dan benar saja, Leona tidak berniat untuk ikut makan malam.

"Leona, kok belum ganti pakaian?" tanya Bastian. Pria itu memaksakan senyum, berusaha meredam emosi. "Ini udah jam berapa, Sayang?"

Leona mendengkus, matanya masih menatap layar televisi. Ketika iklan muncul, tangannya kembali menekan remot. Bibirnya tetap bungkam, seakan-akan ia tidak mendengar ucapan Bastian.

"Leona, kamu dengar Papa, nggak?" tanya Bastiann dengan suara meninggi. Ia berjalan ke sofa, berdiri di depan televisi. Leona terpaksa meletakkan remot ke meja, kemudian mendongak. Ekspresinya datar.

"Dengar, kok, Pa," jawab Leona. "Tapi apa bedanya kalau Leona jawab atau nggak? Toh akhirnya Leona nggak bakal nurutin kemauan Papa. Mending sekarang Papa mandi, terus pergi makan malam sama Tante Anaya. Leona nggak ikut."

Bastian berdecak kesal. Pipinya terasa memanas.

"Leona, berani kamu ngomong begitu sama Papa!" bentak Bastian. "Mana rasa hormat kamu pada orang tua?"

Leona tidak terkejut, atau merasa takut. Matanya menatap lurus pria di hadapannya.

"Harusnya Leona yang tanya, di mana kasih sayang seorang ayah pada anaknya?" tanya Leona, menantang. "Papa menuntut Leona buat hormat, tapi Papa sendiri nggak bisa ngasih apa yang aku butuhkan."

"Apa semua ini belum cukup buat kamu?" tanya Bastian kesal.

"Leona nggak butuh semua harta Papa," ujar Leona. "Leona cuma butuh kasih sayang. Leona pengen bisa ngobrol berdua bareng papa. Leona pengen Papa nanya gimana Leona di sekolah. Sejak mama meninggal, Leona harap Papa bisa jadi tempat Leona bercerita. Ternyata nggak. Papa sibuk sama dunia sendiri."

Bastian terdiam. Ucapan Leona seakan menamparnya begitu keras. Lagi-lagi, ia gagal menjadi orang tua yang baik. Ia senagaja mengatur makan malam di restoran agar Leona bisa semakin dekat dengan Anaya. Tetapi, emosinya yang sulit dikontrol membuatnya gagal untuk membujuk Leona.

Leona bangkit dari sofa saat tak terdengar apa-apa dari mulut Bastian. Leona beranjak menuju kamar. Bastian membuka mulut hendak mencegah, tetapi urung. Ia membiarkan Leona menenangkan diri. Tentu sulit bagi Leona menerima kehadiran Anaya di keluarga mereka sedangkan ia sendiri tidak pernah ada untuk Leona.

Leona membanting pintu kamar. Ia mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Matanya yang sejak tadi perih, kini meneteskan air mata. Ia terisak sembari meringkuk memeluk bantal guling. Matanya menatap kosong tembok putih dihiasi lampu thumbler dan photocard dirinya dan ibunya. Ada banyak kenangan yang ia lalui di masa kecil, dan semua itu diabadaikan di sana.

"Ma, kenapa Leona harus kehilangan Mama?" tanya Leona. "Kenapa Leona harus hidup sendiri padahal Leona masih punya papa? Andai Mama tahu, papa udah berubah. Udah nggak sayang lagi sama Leona."



ODOC BATCH 3 DAY 20

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top