Bab 2

Leona mendorong pintu kamar dengan kasar, hinga menimbulkan bunyi debum cukup kuat. Namun, ia tak peduli. Toh tidak akan ada yang peduli. Mungkin Bi Ina mendengar, tapi ia tak pernah begitu peduli akan urusan pribadi majikannya. Ia hanya seorang pembantu, kerjanya ya membereskan rumah, bukan membereskan masalah orang lain.

Gadis itu mencampakkan tasnya begitu saja ke atas meja belajar. Tubuhnya terasa lemas meski ia tak melakukan olahraga berat di sekolah. Mungkin fisiknya tidak, tetapi pikirannya bekerja begitu keras. Ditambah rasa sakit yang terus mendera di dalam dada. Ia ingin mengangis, tetapi entah kenapa, air matanya hanya menggantung di pelupuk mata. Seakan air mata itu terlalu berharga untuk menangisi Raneo.

Leona mendengkus frustrasi. Ia merebahkan tubuh rampingnya ke tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar yang dihiasi bintang-bintang warna-warni yang akan menyala jika gelap. Sekarang, bintang-bintang itu tak lebih dari kaca bening yang bertengger layaknya cicak yang enggan untuk merayap.

Bayangan Raneo kembali melintas di benaknya. Kenapa ia harus bertemu Raneo dan menjalin hubungan dengannya? Leona tak bisa memikirkan alasan apa yang dulu membuatnya menerima cowok dengan julukan Ice Prince itu. Mungkin karena Raneo adalah salah satu most wanted di sekolah. Tapi ada banyak most wanted lainya, jauh lebih baik dan pastinya tidak dingin. Stevano misalnya.

Hanya saja, kedatangan Stevano sedikit terlambat. Raneo lebih dulu menyatakan perasaanya pada Leona-entah atas dasar apa—yang kemudian diterima dengan sepenuh hati oleh Leona. Sebulan mereka berpacaran—meski dengan situasi yang bisa dibilang tak lebih dari sekadar teman satu sekolah—Stevano mulai mendekati Leona.

Meski Stevano begitu hangat, baik dan penuh perhatian, Leona tidak pernah berniat untuk meninggalkan Raneo. Entah alasan apa yang menahan Leona. Mungkin ambisinya yang terlalu berlebihan. Ia begitu yakin kalau dinginnya kutub bisa ia luluhkan dalam pelukannya. Meski akhirnya, ia akan melukai diri sendiri.

Leona menopangkan kedua tangan ke tempat tidur, lantas ia duduk. Kedua kakinya disilangkan. Ia merogoh saku, mengeluarkan ponsel. Tidak ada pesan masuk dari Raneo. Ah, hal bodoh jika harus menunggu pesan darinya. Leona meneliti setiap pesan yang masuk di Whatsapp-nya. Ratusan pesan dari grup, pesan dari Stevano, dan Lavirgo. Namun, Leona sedang tidak berminat untuk membaca setiap pesan itu. Ia hanya menandai semua pesan sebagai pesan telah dibaca.

Sesaat kemudian, ia mengetikkan nama Raneo pada pecarian kontak. Begitu ketemu, ia langsung menekan ikon video. Ia menunggu beberapa saat. Di layar tampak wajahnya yang begitu kacau. Rambutnya yang tergerai tampak berantakan. Mata cokelatnya sayu, seperti orang sakit.

Dua kali ia menghubungi, dua kali Raneo tidak menjawab. Leona mengembuskan napas frustrasi. Entah dengan cara apa lagi ia harus meluluhkan Raneo. Apakah sebaiknya ia menuruti kedua temannya untuk memutuskan hubungan dengan Raneo? Namun, ia terlalu takut jika akhirnya ia putus dengan Raneo, setelah ia berjuang hampir satu tahun. Mungkin saja, sebentar lagi ia bisa menakhlukkan cowok dingin itu. Bagaimana jika gagal? Leona bergidik membayangkan jika hidupnya akan dihabiskan untuk menakhlukkan Raneo.

Tak ada pilihan lain, Leona akhirnya mengirimkan pesan pada Raneo. Tak banyak pesan yang ia ketikkan, hanya kalimat pertanda bahwa perjuangannya masih akan berlanjut sampai waktu yang tidak ditentukan.

Ran, meski banyak yang bilang ke gue, buat mutusin hubungan kita, gue bakalan tetap berjuang, kok. Gue yakin, sekalipun lo lebih dingin dari gabungan kutub utara dan selatan, gue tetap bisa memeluk lo.

Setelah pesan pada Raneo menampilkan ceklis dua, Leona menekan tombol back. Kemudian ia melihat pesan masuk dari Lavirgo. Sekitar satu menit yang lalu.

Kamu lagi sibuk, ya?

Kok pesanku cuma diread doang?

Leona mendengkus. Ada perasaan tak nyaman dalam dirinya karena telah mengabaikan Lavirgo. Cowok itu sudah seperti kakak bagi Leona. Ia selalu menjadi sandaran atau tempat Leona berbagi kisah. Loena mengenalnya karena dulu mereka bertetangga. Dulunya Lavirgo mengontrak rumah di dekat rumah Leona. Sebelum akhirnya Lavirgo pindah karena rumah kontrakannya akan dijual oleh si pemilik rumah.

Namun, meski sudah tak berdekatan, komunikasi mereka masih berjalan lancar. Leona masih sering menghubungi Lavirgo saat ia merasa butuh orang untuk mendengar keluhannya. Jika ada orang yang tahu, bagaimana sulitnya perjuangan Leona menakhlukkan Raneo, maka orangnya adalah Lavirgo.

Leona segera menekan ikon telepon pada layar ponselnya. Ia tak mau Lavirgo merasa bahwa dirinya berusaha menjauh.

Pada dering ketiga, terdengar suara cowok yang begitu khas di telinga Leona. Suara yang sedikit serak, tetapi selalu berkata lembut setiap berbicara. Suara itu seakan menjadi lagu penenang di telinga Leona. Bahkan mampu meredam emosi yang bergolak di dadanya. Untuk kesekian kali, Leona merasakan ada sesuatu yang salah pada dirinya.

"Maaf, ya, Kak, tadi gue lagi di jalan, jadi nggak sempat balas," kata Leona. Ia sengaja berbohong. Jika ia menceritakan masalah ini lagi pada Lavirgo, cowok itu pasti akan menunda niat sebelumnya. "Tadi Kakak mau bilang apa?"

Terdengar gumaman di seberang. "Kamu ada waktu nggak?"

Leona diam sesaat. Kenapa tiba-tiba Lavirgo menanyakan waktunya? Padahal, biasa Leona yang menanyakan itu jika ia ingin curhat. Gadis itu menarik napas, ia merasakan dadanya mulai sesak. Namun, bukan karena kecewa seperti yang ia rasakan pada Raneo. Ini sesuatu yang lain. Tak bisa dimengerti oleh logika.

"Em, aku free, kok," jawabnya tak yakin. "Emang ada apa, Kak?"

Leona mengetuk-ketuk kepala dengan tangan. Ia tak pernah segugup ini kalau berbicara dengan Lavirgo. Baik secara langsung atau lewat telepon. Entah kenapa, ia merasa ada yang berbeda jika dia mengajak ketemu dengan dia diajak ketemu. Padahal akhirnya adalah mereka akan bertemu. Terkadang, perasaan memang sulit didefinisikan.

"Temenin aku ke toko buku, ya?" pinta Lavirgo. Leona yang hampir kehabisan oksigen, akhirnya bernapas lega. Bahkan Lavirgo tertawa saat ia membuang napas. "Kamu kenapa, Ona?"

Ona? Ya, panggilan yang diberikan oleh Lavirgo padanya saat mereka baru berkenalan beberapa tahun lalu. Terdengar aneh, nama secantik Leona akhirnya diubah menjadi Ona. Sangat buruk. Namun Leona tidak membantah, ia merasa senang jika Lavirgo memanggilnya Ona.

"Jam berapa?" tanya Leona. Ia melirik jam di dinding atas sebelah kanan tempat tidur. Sudah pukul dua sore. Ia bahkan belum berganti pakaian, atau makan siang. "Gue baru nyampe rumah soalnya. Pengin istirahat bentar abis makan siang nanti."

"Nggak apa-apa, kok," kata Lavirgo. "Kita pergi sekitar jam lima aja, sekalian nanti kita makan di luar. Kamu mau, kan?"

Lagi-lagi, Leona merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Jika berdiri di depan cermin, ia akan menyadari bahwa pipinya yang kini memanas telah berubah kemerahan. Hanya saja ia terlalu malas untuk beranjak dari sana.

"Bisa, Kak," ujar Leona. "Nanti kabarin aja, ya."

Setelah panggilan berakhir, Leona meletakkan ponselnya di tempat tidur. Ia beranjak untuk berganti pakaian, kemudian makan siang. Namun, saat melintas di depan cermin, rona di pipinya masih terlihat. Lantas ia termenung, menatap dirinya yang kini tersenyum.

"Kok gue nggak pernah kayak gini ya kalo ketemu Raneo," bisiknya pada diri sendiri.

***

Untuk kedua kalinya gadis itu memantaskan diri di depan cermin. Entah sejak kapan ia begitu peduli akan penampilan. Padahal ia tidak akan pergi berkencan atau ke pesta meriah. Ia hanya akan pergi menemani Lavirgo ke toko buku, kemudian mampir untuk makan malam. Hanya itu. Namun, mendengar kata makan malam, Leona merasa ia harus tampil setidaknya rapi. Tidak seperti biasanya.

Ia menyelipkan anak rambut yang jatuh di wajah ke belakang telinga. Saat itu pula, ponselnya berdering. Satu panggilan masuk dari Lavirgo. Leona menekan tombol hijau, kemudian mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Seraya mendengar suara serak itu di seberang, sekali lagi ia menatap tubuh rampingnya terbalut kaos merah maroon dan celana jins. Tas selempang menggantung di bahu. Rambutnya tetap tergerai tetapi sudah disisir rapi. Ia tak memakai riasan berlebihan.

"Aku udah di depan rumah, nih," kata Lavirgo.

"Tungguin ya, Kak, gue ke sana sekarang," ucap Leona. Sejenak kemudian ia memikirkan kembali kata-katanya yang terdengar seperti dialog dalam sinetron saat polisi menghubunginya karena saudaranya kecelakaan.

Rambutnya bergoyang-goyang saat ia berlari menuruni anak tangga. Sepatu lepek yang membungkus kakinya menimbulkan bunyi hentakan yang memancing Bi Ina yang berada di dapur, berlari ke ruang tengah.

"Bi, Leona pergi sama teman, ya," ujar Leona saat Bi Ina melihat seperti orang kebingungan. "Kalau Papa pulang, bilang aja Leona pergi sama, Kak Lavirgo."

Papa Leona sudah mengenal Lavirgo. Dulu, saat Lavirgo masih tinggal di dekat rumah mereka, pemuda itu sering mampir ke rumah Leona. Sehingga Papa Leona sudah tidak asing lagi dengan pemuda itu. Terlebih karena Leona anak tunggal, ia merasa beruntung dengan adanya Lavirgo yang selalu membantu Leona.

"Ya, Non. Nanti Bibi sampaikan," jawab Bi Ina seraya tersenyum.

Leona bergegas menarik gagang pintu, kemudian menutupnya kembali. Di luar pagar, seorang pemuda duduk di atas motor CBR berwarna merah dan hitam tengah menunggu. Helm berwarna nyaris seperti motor itu melekat di kepalanya. Tangannya terbungkus sarung tangan. Ia mengenakan jaket berbahan jins, sementara kakinya hanya terbalut celana pendek selutut.

Betisnya yang terbilang besar ditumbuhi bulu lebat, yang selalu memancing keisengan Leona untuk mencabutnya. Entah kenapa, Leona merasa setiap bagian dari pemuda itu adalah kebahagiaan dirinya.

Setelah menutup pintu, Leona berlari kecil menuju pagar. Sekuat tenaga ia menarik gerbang yang mulai kerkarat. Derit besi yang bergesekan memilukan telinga. Leona mendengkus. Setelah ini, ia harus memberitahu Papanya agar meminta tukang memperbaiki gerbang ini.

"Udah lama, Kak?" tanya Leona, merasa tidak enak.

"Baru, kok," jawab Lavirgo santai. Kaca helmnya terbuka, menampakkan kedua bola matanya yang mampu membius setiap cewek yang menatap. Tak bisa disangkal. Lavirgo tak hanya tampan, tetapi juga memesona. Salsa dan Verina kerap kali meminta agar Leona memberikan nomor ponsel Lavirgo pada mereka.

Leona tak menjawab, ia memutuskan untuk naik ke atas motor. Lavirgo menyodorkan Helm berwarna pink dengan motif Hello Kitty. Leona tergelak, yang kemudian memaksa Lavirgo untuk menoleh.

"Kenapa, Ona?"

"Ini helm, Kakak?" tanya Leona seraya menahan diri untuk tidak kembali tertawa. "Kok warna pink? Ada gambar Hello Kitty lagi."

Lavirgo tersenyum geli.

"Itu punya temen kampus, ketinggalan di rumah," kata Lavirgo menjelaskan.

"Oh."

Hanya itu yang mampu ia ucapkan. Ia merasakan dadanya sesak, seakan ia tak terima kalau Lavirgo mungkin beberapa kali berboncengan dengan cewek. Sekalipun itu teman. Tapi, apa masalahnya kalau Lavirgo boncengan dengan cewek? Atau punya pacar sekalipun? Toh Leona bukan siapa-siapa? Bukan siapa-siapa. Kalimat itu seakan menghardik Leona, menyeretnya pada kenyataan pahit. Harusnya ia sadar akan hal itu.

"Pegangan ya," seru Lavirgo. Leona tersentak, kemudian tanpa sadar melingkarkan tangannya di pinggang Lavirgo saat motor itu melaju. Bunyi knalpot motor yang membelah jalanan membawa Leona kembali pada khayalan. Wajahnya diterpa angin sore, membuatnya merasa begitu nyaman. Meski sebenarnya ia agak risih, lebih tepatnya segan. Posisi tempat duduk motor itu memaksanya untuk membungkuk, dan tubuhnya menempel dengan punggung Lavirgo.

Lagi-lagi, Leona mengingatkan diri sendiri untuk tidak terhanyut dalam khayalan.

***

Leona terperangah saat melihat deretan buku yang tersusun rapi di rak-rak kayu. Lavirgo meninggalkannya di rak buku fiksi, sementara Lavirgo mencari buku yang bisa membantunya untuk tugas akhir.

"Ambil aja kalau ada buku yang kamu suka," katanya sebelum pergi meningalkan Leona.

Sesekali gadis itu menarik novel dari rak, memperhatikan sampul depannya. Kemudian ia beralih ke bagian belakang, membaca blurb dari buku yang ia ambil. Namun entah sudah berapa banyak buku yang ia pisahkan dari rombongannya, tetapi ia kembalikan lagi.

Sebenarnya ia tidak begitu menyukai dunia membaca. Kegiatan mengambil buku dan mengembalikannya lagi hanyalah usaha kecil untuk menghilangkan kebosanan. Hal yang ingin dihindarkan Lavirgo jika Leona ikut ke deretan buku non fiksi. Namun, nyatanya keadaan sama saja. Leona tak memilih satu pun buku yang ada di sana sampai akhirnya ia mendengar suara berisik di balik rak kayu bertuliskan teenfiction.

Ah, Leona sudah dapat menebak. Pasti ada banyak novel remaja di sana. Dan dapat dipastikan, suara berisik itu dari anak-anak remaja yang sibuk menentukan buku mana yang akan mereka beli.

"Yang ini aja, lebih murah," kata seorang cewek berambut ikal sebahu. Di tangannya ada buku fiksi remaja yang tidak begitu tebal.

"Tapi ini lebih menarik loh ceritanya, gue udah baca di Wattpad," kata temannya tak mau kalah.

Leona yang sedari tadi hanya bengong, akhirnya tertarik untuk mengambil buku yang sama dengan buku yang dipegang oleh anak remaja itu. Lebih menarik dan sudah dibaca di Wattpad. Kalimat itu akhirnya membangkitkan rasa penasaran Leona untuk membaca blurb-nya. Benar saja, blurb buku itu menarik. Meski tak jauh dari seputar kisah remaja dengan bumbu bucin ala anak sekolahan.

"Udah nemu yang kamu cari?"

Suara serak itu mengalihkan pandangan Leona dari buku yang ia pegang. Kemudian ia teringat akan ucapan dua remaja tadi. Leona baru mau mengecek harganya, tetapi Lavirgo sudah lebih dulu menyambar buku itu kemudian membayarkannya ke kasir. Leona merasa tidak enak. Setelah Lavirgo pergi, ia sempat mengambil satu buku lagi untuk mengecek harganya. Rp. 95.000.





ODOC BATCH 3 WITH HWARIEN DAY 2

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!

JANGAN LUPA KOMEN DAN VOTE, YA!  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top