Bab 18

Raneo merasa gelisah di kamarnya. Suara berisik di ruang tamu belum juga mereda sejak tadi. Ia berusaha menutup telinga, tetapi sama saja. Ia masih bisa mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Masih dengan masalah yang sama, perceraian yang tiada ujung.

Saat-saat seperti ini membuat Raneo kian merasa gelisah. Ia merasa bersalah karena mengabaikan Leona. Raneo sesungguhnya menyukai Leona, sampai akhirnya semua berubah begitu cepat. Raneo dijodohkan dengan Abila, ditambah lagi pertengkaran kedua orang tuanya yang tiada akhir. Raneo merasa frustrasi, bingung harus bagaimana.

Papa Raneo juga tak segan-segan membentaknya jika Abila mengadukan hal-hal yang tidak benar. Setiap Raneo dekat dengan Leona, ia harus siap menerima ceramah dari papanya. Tentu, Abila pasti melebih-lebihkan cerita.

Sejak itu, Raneo perlahan berubah. Ia berusaha untuk cuek, berusaha tidak peduli pada Leona. Ia selalu bersikap dingin, hanya untuk membuat Leona membencinya, kemudian memilih pergi. Raneo tidak bisa menjamin kebahagiaan bagi Leona. Bahkan membahagiakan diri sendiri pun ia tak mampu.

Sekarang ia tak tahu harus bagaimana. Rasanya ia butuh tempat untuk melampiaskan emosi di dadanya. Raneo meraih jaket di balik pintu, kemudian bergegas meninggalkan rumah. Papa Raneo sempat membentak karena Raneo berlalu begitu saja dari ruang tamu. Memangnya apa mereka benar-benar peduli? Selama ini mereka juga sibuk bertengkar.

Raneo mengumpat saat tiba di luar. Ia lupa mengambil helm. Akhirnya ia memutuskan tidak kembali ke rumah. Emosinya kian meledak. Tanpa pikir panjang, ia melajukan sepeda motor ke jalanan.

Minggu lalu, papanya menarik mobil yang biasa ia kenakan karena aduan dari Abila. Mau tak mau, ia hanya bisa mengendarai sepeda motor. Ia melirik jam di tangan kiri, pukul 19.35. Jalanan masih cukup ramai, tetapi Raneo tidak memikirkan dampak yang akan ia terima jika tidak mengurangi kecepatan.

Raneo tidak mengurangi sedikit pun kecepatan saat memasuki jalanan yang menjadi kawasan pertokoan. Di sini jalanan selalu ramai. Karena pikiran yang kacau, tanpa sadar Raneo nyaris menabrak seorang anak kecil yang hendak menyeberang. Dengan cepat ia berbelok tajam, hingga motornya menabrak trotoar. Tubuhnya terpelanting beberapa meter. Luka di ditubuhnya tidak begitu parah, tetapi kepalanya terbentur ke jalan hingga berdarah. Ia sempat melihat beberapa orang berkerumun, tetapi setelahnya semua menggelap.

***

Raneo yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit menunggu dengan perasaan gelisah. Kepalanya diperban karena luka yang cukup parah. Saat ia bergerak, kepalanya terasa pusing. Berulang kali ia menoleh ke arah pintu, tetapi orang yang ditunggu belum datang.

Kedua orang tua Raneo datang setelah tahu anak mereka kecelakaan. Untuk sesaat, mereka bisa meredam pertengkaran. Beberapa saat yang lalu, mereka memutuskan untuk pulang berganti pakaian. Dokter juga mengatakan kalau Raneo butuh istirahat.

Pintu terbuka, Raneo menoleh cepat kemudian tersenyum. Cewek yang ia tunggu sedari tadi akhirnya tiba. Namun, secepat ia tersenyum, secepat itu pula senyumnya memudar. Di belakang Leona, turut cowok yang ia benci.

Leona berjalan kikuk. Sesekali menoleh ke belakang.

Leona duduk di kursi di sebelah ranjang, sementara Stevano berdiri di belakangnya. Suasana semakin kaku karena tidak ada yang bersuara. Leona hanya menatap iba pada perban di kepala Raneo.

Raneo mendesah, kemudian berkata, "Bisa kasih waktu gue ngomong sama Leona?" tanya Raneo. Matanya mengarah pada Stevano. Cowok itu melirik Leona, kemudian tersenyum. Tanpa kata, ia meninggalkan Leona bersama Raneo.

"Kok dia ikut, sih?" tanya Raneo. Leona bisa melihat kekesalan di wajah itu. Namun apa salahnya? Bukankah Raneo tidak berhak lagi melarang Leona?

"Kenapa?" tanya Leona bingung. "Oh, ya, gue lupa bilang kalau kami udah pacaran."

Raneo tersentak. Luka di kepalanya seakan kembali berdarah. Ia mencoba untuk bangkit, tetapi kepalanya semakin nyeri.

"Jangan dipaksain," ujar Leona. Ia menarik selimut hingga menutupi dada Raneo.

Raneo membuang napas, kemudian tersenyum. Leona mengernyit melihat ekspresi Raneo.

"Kenapa?" tanya Leona.

"Makasih, ya, udah mau jenguk gue," kata Raneo. Ia menarik tangan Leona, menggenggamnya erat. "Gue tahu lo masih peduli sama gue."

Leona merasa tidak nyaman, lantas menarik tangannya. Ia merasa tidak seharusnya Raneo memperlakukannya demikian. Kisah mereka sudah usai, maka semua hal tentang mereka harus dilupakan. Raneo tidak pantas memegang tangan Leona, lagi.

"Maaf, Ran," ujar Leona. "Gue ke sini juga karena saran Stevano. Awalnya gue nggak mau, tapi gue nggak enak kalau nggak jenguk lo. Akhirnya gue minta izin sama Stevano, dan dia nyaranin gue emang harus ke sini. Dan soal hubungan kita, gue udah nggak pernah mikirin itu lagi. Kita udah nggak ada apa-apa lagi."

Raneo berdeham. Matanya menyiratkan ketidakterimaan atas ucapan Leona.

"Tapi, Na, gue sayang sama, lo," ujar Raneo. Matanya berubah bening, nyaris meneteskan air mata. "Gue nyesel udah cuek sama lo. Gue tahu, kalau dulu gue salah karena buat lo benci sama gue. Gue ngelakuin itu karena gue nggak mau lo menderita. Gue nggak bisa jamin kebahagiaan buat lo, sementara gue nggak pernah tahu gimana itu bahagia.

Andai lo tahu gimana gue hidup di tengah pertengkaran yang nggak pernah abis. Orang tua gue selalu ribut karena perceraian dan perjodohan gue sama Abila, tapi sampai sekarang mereka belum bercerai. Gue capek hidup begini terus. Gue butuh lo, Na."

Leona mendesah. Dadanya kembali sesak. Matanya perih karena menahan air mata. Kenapa baru sekarang Raneo mengatakannya? Kenapa setelah semua berakhir, Raneo mengatakan ini? Leona sudah menutup hati. Dan sekarang, Leona juga diperhadapkan dengan masalah rumit.

"Ran, maaf ya, gue nggak bisa," ujar Leona. "Saat hubungan kita berakhir, artinya gue nggak berkewajiban selalu ada buat lo. Lo udah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semua ini."

Leona bangkit berdiri. Sembari berjalan, ia mengusap pipinya yang basah. Raneo hendak menahan, tetapi urung. Ia terdiam di tempat tidur, memikirkan semua ucapan Leona.

Stevano terkejut melihat Leona tiba-tiba keluar dengan pipi basah. Namun belum sempat ia bertanya, Leona sudah berlari di koridor rumah sakit.

Stevano berlari menyusul. Pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apa yang terjadi pada Raneo dan Leona?





ODOC BATCH 3 DAY 18

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top