Bab 17
Aroma makanan tercium begitu Leona membuka pintu. Lavirgo memutuskan untuk segera pulang usai mengantarnya. Gadis remaja itu memejamkan mata, aroma makanan yang menggiurkan seakan memperingan langkahnya menuju meja makan.
Leona menadapati hidangan yang tidak biasa di meja makan. Makanan yang hampir tidak pernah ia lihat di meja makan, terlebih dengan porsi yang cukup banyak. Cumi goreng tepung, udang asam pedas, ayam goreng, dan kepiting. Semua sajian ini lebih terlihat seperti sajian makan malam keluarga besar.
Bibi datang beberapa saat setelah Leona berdiri di dekat meja makan. Bi Ina membawa mangkuk besar berisi nasi putih. Tanda tanya besar semakin menggerogoti benak Leona. Siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini?
"Eh, Non Leona udah pulang," sapa Bibi sembari meletakkan nasi di meja. Ia merapikan letak piring berisi hidangan.
Leona bergumam, kemudian menarik salah satu kursi. Ia duduk, memandangi setiap hidangan penuh selera.
"Bi, kok tumben masak sebanyak ini?"
Bi Ina menoleh, kemudian tersenyum.
"Tadi Tuan hubungi saya, katanya siapin makan malam untuk calon mama baru Non Leona," ujar Bibi. Wanita itu tampak puas akan hasil kerja kerasnya.
Leona tak menyahut. Hidangan menggiurkan itu tak lagi menarik baginya. Ia kehilangan selera makan. Cewek itu mendorong mundur kursi, lalu bergegas menuju kamar. Bi Ina terdiam di tepi meja, memandang aneh pada Leona yang kini telah lenyap di balik pintu.
Leona membanting pintu saat ia masuk ke kamar. Tak lupa, ia turut menguncinya agar tidak seorang pun masuk tanpa izin. Ia mengempaskan tubuh di tempat tidur. Cewek itu meringkuk sembari memeluk bantal. Wajahnya ditekuk. Ia benar-benar kesal atas ketidakpekaan papanya. Ia sudah pernah menentang hubungan mereka, tetapi papanya seakan tidak peduli.
Waktu terus berlalu, Leona masih menggerutu tidak jelas di kamar saat terdengar ketukan di pintu kamarnya. Awalnya ia mengabaikan ketukan itu, sampai terdengar suara berdeham. Suara yang berat, dan ia tahu itu Bastian.
"Sayang, ayok makan malam," panggil Bastian. "Kata Bi Ina kamu belum makan tadi. Di bawah ada Tante Anaya nungguin kamu."
Leona bergeming. Ia sama sekali tidak berniat makan malam, terlebih jika ada orang yang ia benci di sana.
"Leona, kalau kamu masih kesal, nggak apa-apa," ujar Bastian. "Tapi tolong, kali ini aja, kamu mengerti. Papa tahu perasaan kamu, tapi kamu juga harus tahu perasaan Papa. Sekarang kamu turun, kita bicarakan baik-baik di meja makan."
Leona tak menyahut. Namun, akhirnya ia keluar dari kamar saat Bastian memutuskan untuk menyerah, lalu turun.
Mereka tersenyum saat Leona mendekat ke meja makan. Terlebih Anaya, ia terlihat begitu ramah. Kali ini, wanita itu mengenakan kemeja berenda di bagian dada. Tidak seformal waktu itu.
Leona masih cemberut. Ia menarik kursi dengan malas, kemudian menopang dagu di atas meja. Ia memandangi nasi putih di piring. Aroma makanan yang tadi tercium masih sama, tetapi ia tidak tergugah untuk mencicipi.
"Leona kok cemberut gitu?" tanya Anaya. "Ini makanannya enak, lho. Bi Ina pinter deh masaknya."
Leona mendelik seraya tersenyum sinis. Baginya Anaya tak lebih dari aktris sinetron yang berlagak baik, dengan tutur kata yang diatur sedemikian rupa.
Bastian membuang napas. Leona menoleh sekilas, kemudian kembali menunduk.
"Leona, Papa tahu ini nggak mudah buat kamu," ucap Bastian. Ia meletakkan kembali sendok dan garpu ke piring. "Tapi kamu nggak boleh egois, Nak. Mama kamu udah lama meninggal. Nggak seharusnya kamu mengingat apa yang sudah tidak ada. Lagian apa salahnya kalau kamu punya mama baru? Kan kamu jadi punya teman."
Leona mendongak, menatap tajam pada Bastian.
"Pa, apa Papa tahu gimana rasanya hidup sendiri saat punya orang tua?" tanya Leona. Matanya berair. "Papa nggak tahu kan perasaan Leona. Leona punya Papa, tapi seolah-olah nggak punya. Papa sibuk sama pekerjaan, atau mungkin juga sibuk sama Tante Anaya. Papa ngobrol terus di telepon, pagi atau malam. Apa Papa pernah tanya gimana aku di sekolah?"
Bastian menunduk, ia sadar akan hal itu. Sejak kematian istrinya, ia merasa terpukul. Pikirannya sangat kacau saat itu, sehingga ia melampiaskan semuanya dengan beekerja sampai malam. Sampai akhirnya ia mengenal Anaya, orang yang membantunya perlahan pulih. Namun, tanpa diduga, ia jatuh hati setelah beberapa tahun berkenalan.
Bastian ingin menceritakan itu, tetapi rasanya sudah terlambat. Bagaimanapun, Leona tidak akan mau mendengar penjelasan darinya. Ia sudah melakukan kesalahan dengan mengenalkan Anaya secara tiba-tiba. Sekarang, semua seakan begitu sulit untuk diperbaiki.
"Papa nggak tahu kan?" tanya Leona setelah beberapa saat hening. "Selama bertahun-tahun Leona hidup sendiri. Nggak pernah ditanyain kegiatan Leona, atau setidaknya tanya udah makan, atau apa. Leona seolah-olah hidup sendiri. Jadi untuk apa sekarang Leona punya mama baru? Leona udah terbiasa sendiri."
Anaya menarik napas, mengembuskannya perlahan. Ia merasa kasihan melihat Bastian yang hanya terdiam.
"Leona, Tante minta maaf kalau kehadiran Tante bikin kamu kesal," ujar Leona. "Tante juga punya anak, seumuran kamu. Tapi Tante sering mengabaikan dia. Setelah menikah nanti, Tante akan membagi waktu untuk anak Tante dan kamu."
Anak? Jadi Anaya punya anak? Dan nasibnya sama seperti Leona?
Leona semakin jengkel mendengar itu.
"Tante juga baru tahu, kalau kamu sama anak Tante satu sekolah," ujar Anaya seraya tersenyum. "Mungkin kalian saling kenal."
Leona tidak menjawab. Sebenarnya ia penasaran, siapa orang yang dimaksud, tetapi ia terlalu gengsi untuk bertanya.
"Namanya Stevano. kamu kenal?" tanya Anaya seakan tahu apa yang dipikirkan Leona.
Mendengar nama itu, Leona tersentak. Mungkinkah Stevano yang dimaksud adalah kekasihnya sekarang? Tapi, bagaimana mungkin?
Leona tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia harus tahu, siapa Stevano yang dimaksud.
"Stevano kelas XI IPA 1?"
Anaya mengangguk seraya tersenyum.
"Iya, Leona. Kamu kenal?"
Tidak hanya kenal, bahkan sekarang mereka berpacaran. Leona tidak menjawab, ia memilih untuk segera beranjak dari meja makan.
"Aku mau tidur," katanya tanpa memandang dua orang di meja makan. Leona bergegas menaiki anak tangga, menutup pintu dengan keras. Pikirannya semakin kacau. Belum beres masalah mama barunya, sekarang ia harus menerima kenyataan kalau sebentar lagi ia harus satu ibu dengan Stevano.
Lantas, bagaimana nasib hubungan mereka?
Leona meraih ponsel, kemudian mencari nama Stevano pada kolom pencarian. Namun, saat hendak mengetikkan pesan, ia mengurungkan niat. Awalnya ia ingin memberitahukan Stevano, tetapi urung karena memikirkan nasib hubungan mereka. Leona masih belum menyerah. Selagi masih ada waktu, ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Stevano, meski kini alasannya adalah agar orang tua mereka tidak menikah.
ODOC BATCH 3 DAY 17
TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top