Bab 10

 "Hah, Raneo jemput lo?" tanya Salsa tak percaya. Beberapa menit setelah keheningan lagi-lagi melingkupi ruang antara Stevano dan Leona, akhirnya Salsa kembali, disusul Verina. "Tuh cowok maunya apa, sih?"

"Tahu, tuh," ketus Verina. "Lo kok gampang banget sih luluh sama dia?"

Leona mendengkus. Kebahagiaanya seketika menguap saat ia kembali dicekoki sejuta pertanyaan yang sudah berulang kali ia dengar.

"Gue kan udah pernah bilang, perjuangan gue masih terus berlanjut," ucap Leona. Lalu tersenyum penuh arti. "Apalagi sekarang dia udah mulai berubah. Nggak mungkin dong, kesempatan begini gue lewatin begitu aja?"

Verina mendengkus, kemudian melipat kedua tangan.

Belum sempat gadis itu melontarkan nasihat lagi, tiba-tiba terdengar bunyi klakson di depan rumah Stevano. Leona yang tak sabar menunggu, akhirnya berdiri, kemudian menghambur ke luar. Saat ia berdiri di ambang pintu, senyumnya kian merekah melihat sedan merah milik Raneo.

"Gue balik duluan, ya!" seru Leona pada sahabatnya yang kini berjalan menuju pintu. Tanpa menunggu jawaban, Leona bergegas. Ia segera membuka pintu depan mobil, duduk di sebelah Raneo yang tampak kaku, kemudian menutup pintu. Leona tak bisa membendung kebahagiaanya saat mobil melaju.

"Makasih, ya," ucap Leona. Senyumnya belum hilang hingga sekarang.

"Buat apa?" tanya Raneo datar. Ia sama sekali tak menoleh pada cewek di sebelahnya.

"Em, karena lo udah jemput gue," ujar Leona. Namun, perasaanya mulai tak nyaman melihat reaksi tak bersahabat dari Raneo. Sejenak ia menyesal telah berlebihan tadi di hadapan teman-temannya, terutama di hadapan Stevano. Semua ini jauh dari ekspektasinya.

"Nggak usah baper, kali," ujar Raneo. Suaranya terdengar meledek, nyaris merendahkan. "Kebetulan aja gue bakal lewat sini. Jadi sekalian aja."

Cuma kebetulan? Leona berbisik dalam hati. Ia tak menyangka akan kembali pada titik terendah. Posisi di mana ia tengah berusaha meluluhkan kutub es di pelukannya. Raneo bahkan tak berubah sedikit pun. Astaga, kenapa Leona begitu bodoh?

Sampai mobil Raneo berhenti di depan rumah Leona, mereka tak lagi berkata apa-apa. Setelah Leona turun, Raneo melaju begitu saja. Leona merasa dadanya perih, kemudian ia mengutuki dirinya yang begitu lemah.

***

Berhari-hari berlalu, sementara Leona hanya bisa mengutuki dirinya yang tak kunjung mengambil keputusan tegas. Ia masih terbelenggu oleh perasaannya sendiri. Ia menjerat diri oleh ambisi yang berlebihan.

Sejak Raneo mengantarnya pulang dari rumah Stevano, Leona tak pernah mendapat kabar dari Ranaeo. Cowok itu kembali pada jati diri yang sebenarnya. Pun Leona memilih untuk membiasakan diri tanpa keberadaan Raneo. Mungkin ini saat yang tepat untuk membentengi diri.

Mereka hanya bertemu di sekolah, lebih tepatnya saling melihat dari kejauhan. Setelahnya, mereka saling mejauh. Menempuh jalan masing-masing, layaknya dua orang yang tak saling mengenal. Dua orang yang bersatu, tetapi punya tujuan yang berbeda. Ya, tujuan mereka tak sama, sejak awal. Harusnya Leona sadar akan hal itu.

Kini gadis itu hanya duduk termangu di depan televisi yang tidak menyala. Namun, entah kenapa, sejak lima belas menit yang lalu, matanya terus saja menatap layar datar itu. Seolah-olah ia bisa melihat bagaimana ia berjuang di dalam sana. Seolah-olah kisah hidupnya ditayangkan di sana.

Lamunan Leona buyar saat ponselnya berdering. Ia beranjak malas dari atas sofa berwarna cokelat gelap. Tangan kanannya meraih ponsel di atas meja, kemudian mendadak terkejut melihat nama Stevano di sana.

Sejak kerja kelompok yang berujung tak nyaman kala itu, Leona semakin memperjauh jarak dengan Stevano. Ia tak mau, Stevano semakin terluka oleh sikapnya yang seakan tak pernah peduli. Di kelas, Leona berusaha untuk menghindar. Dan beberapa hari terakhir, Stevano seakan mulai lelah mengejar. Dan Leona senang akan hal itu.

Gadis itu menekan tombol hijau di ponsel, kemudian mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Ia kembali mengenyakkan tubuh ke sofa. Sungguh, ini adalah akhir pekan yang membosankan.

"Halo, kenapa, Van?" tanya Leona. Ia memuntir rambut sembari terus menatap layar hitam di atas meja TV.

Terdengar gumaman di seberang, sebelum akhirnya Stevano menyahut.

"Nanti malam lo ada kegiatan, nggak?"

Leona berpikir sejenak.

"Nggak ada. Kenapa?" tanya Leona pensaran.

Kembali hening. Leona mengernyit, seolah-olah Stevano bisa melihat wajah penasarannya.

"Lo mau nggak nemenin gue ke pesta ulang tahun sepupu, gue?" tanya Stevano ragu. "Harusnya sih, gue pergi bareng mama. Tapi, tadi mama bilang dia kerja lembur. Jadi, gue nggak tahu harus pergi sama siapa."

Leona diam sejenak. Ia berpikir bagaimana caranya untuk menghindar. Ia tak mau usahanya untuk menjauhi Stevano gagal.

"Kenapa nggak ajak Salsa?" usul Leona. "Dia pasti mau, kok."

Terdengar suara desahan di seberang. Leona merasa semakin tak nyaman.

"Na, kenapa sih, lo selalu menghindar dari gue?" tanya Stevano. Suaranya terdengar memelas. "Kalau lo nggak bisa balas perasaan gue, nggak masalah. Tapi, tolong, jangan menghindar kayak gini."

Leona mendesah frustrasi. Timbul perasaan tak nyaman yang semakin dalam. Ia merasa dirinya adalah manusia tak punya hati. Jelas saja, cowok itu begitu tersakiti oleh sikapnya yang terang-terangan menjauhi Stevano.

"Maaf, Van," kata Leona. Setelah diam cukup lama, ia tak juga menemukan kata yang tepat. "Gue nggak bermaksud buat meghindar. Gue Cuma ngggak mau lo makin terluka."

"Justru gue makin terluka kalau lo terus menghindar kayak gini," bantah Sevano.

Leona terdiam. Ucapan Stevano telak menamparnya. Ia sadar akan hal itu. Stevano tak akan mudah menyerah. Sama seperti dirinya, belum ingin menyerah.

"Gue mohon, kali ini aja, jangan nolak gue," pinta Stevano.

Leona tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Oke, lo jemput gue nanti malam," katanya.

Setelahnya, ia mengusap wajah. Ia tak benar-benar yakin akan pilihan yang ia ambil. Namun, jika itu bisa memperbaiki kecanggungan antara dirinya dan Stevano, tidak ada salahnya untuk dijalani. Pun selama ini ia terlalu menutup diri untuk Stevano. Demi alasan yang tak benar-benar nyata.

***

Sebelum keluar kamar, sekali lagi Leona meantaskan diri di depan cermin. Ia tersenyum menatap bayangan dirinya yang terbalut gaun biru navy. Rambutnya tergerai rapi di balik punggung. Kemudian, ia meraih tas di atas meja, lantas bergegas menemui Stevano yang sudah menunggu di ruang tamu.

Wajah Leona memerah saat ia menuruni tangga. High heels yang ia kenakan menimbulkan bunyi gemeletak pada anak tangga, sontak memancing perhatian Stevano yang tengah duduk di sofa bersama Bastian.

Stevano memandanginya, seolah-olah ia tengah melihat bidadari. Memang, penampilan Leona kali ini, sangat jauh berbeda dengan Leona yang biasa hanya terbalut seragam SMA atau kaos lengan pendek dan celana jins. Kali ini, ia benar-benar cantik.

Leona mengulum senyum, sembari menyalam tangan Bastian. Setelah mencium punggung tangan pria paruh baya itu, lantas ia berjalan lebih dulu menuju halaman depan. Stevano menunduk, kemudian tersenyum pada Bastian.

"Kami pamit ya, Om," ucap Stevano saat ia hendak menyusul Leona.

Bastian tersenyum ramah.

"Hati-hati, ya," ucap Bastian. "Jangan kemaleman pulangnya."

"Ya, Om," ujar Stevano, kemudian ia berlalu di balik pintu yang kemudian menutup.

***

Leona cukup menikmati pesta ulang tahun sepupu Stevano. Meski ia tergolong orang asing di sana, tetapi ia cukup menikmati kemeriahan pesta ulang tahun itu. Ia tidak sungkan untuk mengobrol dengan beberapa teman Stevano. Meski sesekali ia merasa tak nyaman karena dikira kekasih Stevano.

"Makasih, ya," ujar Stevano saat mereka sudah kembali ke mobil. Stevano belum menyalakan mesin. Wajahnya yang tampan masih terlihat jelas di mata Leona meski penerangan di sana tidak begitu terang.

"Buat apa?" tanya Leona. Tatapannya lurus ke dasboard mobil Stevano, enggan menatap mata cowok di sebelahnya.

"Makasih udah mau nemenin gue malam ini," kata Stevano tulus. Ia tersenyum, berharap Leona mau melihat sedetik saja ke arahnya. "Gue kira, lo nggak bakal mau ketemu gue lagi."

Leona mengembuskan napas, kemudian menoleh ke arah Stevano. Rasa tak nyaman kembali merasuk dalam dirinya. Kasihan dan rasa lain yang tak bisa ia jelaskan. Leona tidak tahu, kenapa ia begitu sulit untuk membuka hati pada Stevano.

"Santai aja, kali," ujar Leona sembari tertawa kecil. Sejujurnya ia merasa canggung, tetapi ia juga tak mau berlarut-larut dalam ketidaknyamanan itu. "Lo kan temen gue, wajar dong kalau saling membantu."

Teman. Stevano memaksakan senyum mendengar kata itu. Ia meneguk ludah, tadinya ia berharap, Leona mengatakan alasan lain. Alasan yang bisa meyakinkan dirinya bahwa Leona sudah membuka hati untuknya. Namun, harapannya pupus begitu saja.

"Ya, gue lupa kalau kita teman," ujar Stevano setengah sadar atas apa yang ia katakan. Leona mengernyit, kemudian tertegun.

Untuk sesaat keheningan mengisi ruang di antara mereka. Beberapa orang mulai keluar dari rumah, memadati halaman depan rumah sepupu Stevano. Namun, mereka seakan tak terusik.

Akhirnya Leona menarik napas panjang, mengembuskannya secara perlahan.

"Van, udah saatnya lo ambil jalan lain," ujar Leona hati-hati. "Maksud gue, lo berhak suka sama siapa aja. Termasuk gue. Tapi, gue nggak tega liat lo menderita terus gara-gara gue. Van, please. Jangan sakiti diri lo sendiri."

Stevano tak menyahut. Ia menatap lurus ke depan, seakan menerawang jauh. Sejurus kemudian, ia menyalakan mesin. Mobil melaju dalam keheningan malam. Leona memilih untuk diam, memberi ruang bagi Stevano mencerna kata-katanya. Terkadang, diam adalah cara untuk menghentikan suatu masalah. Ada saatnya di mana hati beristirahat dari semua ocehan sekitar. Hati butuh merndengarkan apa kemauannya sendiri.

***

Raneo merasakan dadanya semakin perih. Telinganya semakin panas mendengar teriakan yang terus menyembur dari mulut kedua orang tuanya. Sudah beberapa bulan terakhir mereka menyerukan perceraian, tetapi sampai sekarang, tidak ada yang bertindak untuk mengurus surat cerai.

Raneo tak tahan mendengar semua itu lebih lama lagi, lantas ia pergi dari rumah. Ke mana saja. Asalkan ia bisa membuang semua kepenatan di dalam benaknya. Ia lelah jika terus hidup dalam belenggu persoalan yang sama, tetapi tak ada habisnya. Papanya ngotot akan menjodohkannya dengan anak rekan bisnisnya, sementara mamanya menolak.

Dengan pikiran yang kacau, ia melaju dengan kecepatan tinggi. Namun, saat Raneo hendak berbelok, tiba-tiba saja sebuah sedan berwarna silver muncul dari arah berlawanan. Raneo yang terkejut, sempat hilang kendali. Beruntung, jalanan saat itu tidak begitu ramai. Kakinya dengan sigap menginjak rem. Sedikit lagi, ia menabrak sedan silver di depannya.



ODOC BATCH 3 DAY 10

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top