PART 6 ~ SECUIL PERHATIAN


#Lentera_Sang_Mualaf

Part 6

Mohon maaf lama tidak update. Selamat membaca ya🥰🙏

*****

"Eh, lu ajarin apa sih, anak ini?"

Merasa kesal dengan celotehan berfaedah Yusuf, Johan malah nyolot ke Isabel.

"Banyaklah. Mangkannya dia pintar," ucap Isabel sembari tersenyum geli melihat ekspresi Yusuf.

Untuk menumbuhkan semangat anaknya salat, Isabel dulu pernah bilang jika orang wudu lalu salat, maka wajahnya akan bersinar dan tambah ganteng. Ternyata ucapan itu diingat oleh Yusuf sampai sekarang. Karena itu dia juga lumayan terkejut saat Yusuf bisa berbicara seperti tadi kepada Johan. 

Karena Johan hanya menekuk wajah tanpa ada jawaban, maka Isabel menengahi. Jangan sampai lelaki itu dipermalukan bocah lima tahun lagi.

"Sayang, Om Johan tidak bisa ikut salat. Dia ibadahnya ke gereja, bukan ke masjid."

"Kenapa berbeda?" tanya Yusuf penasaran.

"Iya, kepercayaan Om Johan dengan kita berbeda. Jadi cara ibadahnya berbeda juga. Seperti Yusuf dengan Alice," terang bundanya dengan sabar.

"Oh, begitu? Jadi Tuhannya beda sama kita?" Ternyata pertanyaan Yusuf masih berlanjut. Dia memang anak yang kritis dan suka bertanya hal-hal baru yang tidak dimengerti. Isabel melirik muka Johan yang masih ditekuk. Entah apa yang dia pikirkan. Membahas tentang ilmu tauhid di depan orang yang berbeda agama, membuatnya kurang nyaman. Walau Yusuf masih kecil yang tidak berniat mengadu domba, tetapi Isabel berusaha menjaga perasaan Johan.

"Iya Sayang. Ayo kita berangkat!" ajak Isabel memungasi agar Yusuf tidak bertanya aneh-aneh lagi.

Baru selangkah kaki bundanya melangkah, Yusuf bertanya lagi. 

"Tapi kenapa Tuhan jadi banyak, Bun? Kata Bunda, Allah itu satu." Mendapat pertanyaan sensitif lagi, kembali Isabel melirik Johan. Dia tahu anaknya tidak akan berhenti bertanya sebelum rasa penasarannya terpuaskan dengan jawaban yang menurutnya logis.

"Em ... begini, Sayang. Seumpama Yusuf ingin pergi ke taman di tengah perumahan ini. Yusuf lewat jalan A sedangkan Alice lewat jalan B. Walau berbeda jalannya, tapi semua memiliki tujuan yang sama, kan? Kecuali jika jalannya buntu, maka akan tersesat. Yusuf bisa mengerti yang Bunda maksud, kan?"

Bocah lima tahun itu terdiam dan berpikir. beberapa detik kemudian, mengangguk. Penjelasan tentang perbedaan agama bagi anak kecil tidak bisa menggunakan bahasa yang idealis, bisa jadi malah mereka akan kebingungan. Yang terpenting mereka tahu kalau jalan mereka berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama. Sehingga tidak ada celaan satu dengan yang lain, tetapi justru saling menghormati.

Isabel mengembuskan napaf lega karena putra sulungnya itu sudah tidak bertanya lagi. "Ya sudah, ayo berangkat ke masjid!"

Sebelum berlalu, Isabel minta tolong kepada Johan agar menjaga Yafiq jika terbangun. Sebenarnya dia sudah titip ke Bik Imah, tetapi tak ada salahnya dia titip juga ke Johan karena Bik Imah sedang sibuk membersihkan kamar mandi tadi. Johan tidak menganguk maupun menggeleng. Isabel mengartikan bahwa dia oke dititipi bayinya. Untung saja masjidnya tidak terlalu jauh dari rumah Johan. Hanya beda dua gang saja. Sehingga Isabel tega meninggalkan Yusuf dan kembali ke rumah. 

Sementara itu Johan masih duduk diam mencermati obrolan ibu dan bocah tadi. Ucapan mereka tidak ada yang sarkasme, tapi cukup menohok hati Johan. Dulu papanya juga bicara seperti itu. Sewaktu kecil seusia Yusuf, dia pernah bertanya kenapa ada yang beribadah di masjid, sedangkan keluarganya di gereja. Dan jawaban papanya kurang lebih sama dengan yang diutarakan Isabel. Johan kecil adalah anak yang suka bertanya banyak hal. Papa adalah kamus berjalan baginya, apapun yang ditanyakan selalu terjawab oleh papa. Namun kadang mama memarahinya saat dia sedang bertanya pada papa. Lalu Yusuf diajak masuk kamar oleh Maria, dan orang tuanya bertengkar. Johan tidak tahu letak kesalahan dan sumber kemarahan mamanya. Kelakuan orang dewasa kadang sangat membingungkan baginya kala itu.

Johan memejamkan mata dan menggeleng-geleng saat mengingat akan kejadian-kejadian itu. Seolah ingin mengusir setiap bayangan buruk yang pernah dialami dulu.

"Jo ... kamu kenapa?" tanya Isabel yang ternyata sudah berdiri di depannya dengan alis mengkerut.

"Tak ada," jawab Johan ketus seperti biasanya saat sadar.

Setelah mendapat jawaban itu, Isabel berpamitan masuk rumah. Namun dihentikan dengan ucapan Johan. "Gue ... gue mau ... minta maaf."

Isabel berbalik menatap Johan yang ternyata tidak melihat ke arahnya, tapi ke taman di depannya.

"Minta maaf untuk apa?" tanya Isabel bingung.

"Tadi gue berkata kasar pada lu saat menyiapkan sarapan."

"Oh ... yang itu ... iya nggak pa-pa. Sudah aku maafkan, kok."

Jujur Isabel merasa terkejut karena seorang Johan mau meminta maaf atas perbuatannya yang sempat membuat sakit hatinya.

"Saya juga minta maaf kalau pertanyaan-pertanyaan Yusuf tadi menyinggungmu. Kami tidak bermaksud--"

"Iya gue tahu. It's oke," Jawabnya datar.

Isabel tersenyum, mengangguk lalu berjalan masuk. Meninggalkan Johan yang masih bergeming entah memikirkan apa.

---***---

Malam hari setelah salat Magrib, Yusuf belajar membaca iqra ditemani Isabel di dalam kamar. Biasanya mereka akan mengaji di ruang tengah, tapi sekarang keadaannya berbeda. Dengan cermat, Yusuf melafalkan huruf per huruf hijaiyah. Johan yang baru pulang dan hendak ke kamarnya di lantai dua, berhenti sejenak karena mendengar suara Yusuf. Pintu yang dibuka sejengkal membuat suara bocah itu cukup terdengar dari luar kamar.

Sampai di depan pintu, dia mematung, memperhatikan ibu dan anak tersebut yang terlihat khusyuk hingga tak tahu jika ada orang lain yang memperhatikan mereka. Entah kenapa dia senang melihat pemandangan di depannya. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi ada kedamaian yang menyusup dalam relung hatinya.

Untuk beberapa lama, Johan masih mematung di depan kamar Isabel, hingga panggilan dari Bik Imah membuatnya menoleh.

"Maaf, Mas Johan sudah makan malam? Kalau belum, mau dibuatkan apa? Saya belum masak karena saya kira Mas makan di luar."

"Em ... Buatkan apa saja, Bik." Bik Imah mengangguk lalu beranjak melaksanakan perintah majikannya.

Johan kembali menoleh Yusuf, ujung bibirnya tertarik sedikit lalu melangkah ke kamar. Setelah mandi, dia turun untuk makan malam. Menu sudah terhidang di meja makan. Johan memandang ke menu yang terhidang, lalu memanggil Bik Imah.

"Em ... Bik, apa Yusuf sudah makan?"

"Belum, Mas."

"Ajak makan sekalian saja, Bik. Sama Bik Imah juga ikut makan di sini, ya."

"Hah! Kenapa saya ikut makan juga, Mas?"

"Ya karena saya yang minta." Tanpa membantah, ART yang sudah bekerja di rumah sejak Johan masih kecil itu segera memanggil Isabel dan Yusuf.

Beberapa menit kemudian mereka bertiga masuk ke ruang makan dengan meja persegi dan enam kursi mengelilinginya.

"Kalian belum makan malam, kan? Ayo kita makan bersama," ajak Johan mempersilakan.

"Terima kasih, Johan. Tapi tadi sore aku sudah beli bakso yang lewat di depan."

"Setahu gue, ibu menyusui butuh banyak makanan, 'kan?"

Sebenarnya Isabel tidak enak kalau makan bersama Johan. Dia sudah menumpang tinggal, masih juga menumpang makan. Tapi perkataan Johan benar. Setelah makan bakso sore tadi, sekarang perutnya sudah terasa lapar lagi. Mungkin karena Yafiq menyusunya kuat.

Akhirnya dia menurut, menggeser kursi lalu duduk di dekat Yusuf. Di pertengahan menyantap hidangan makan malam, Yusuf menyeletuk, "Kita sudah lama tidak makan rame-rame, ya, Bun? Seperti saat bersama ayah."

Sontak Isabel menghentikan sendok berisi nasi dan lauk yang akan disuap. Meletakkan kembali lalu mengelus kepala Yusuf. "Apakah Yusuf tidak suka makan sama Bunda selama ini? Kenapa masih mencari ayah? Ayah sedang bekerja dan sangat sibuk." 

"Yusuf suka makan sama Bunda. Tapi lebih suka lagi kalau ada ayah juga."

Bulir bening meluncur dari pelupuk mata ibu dua anak tersebut. Segera dia menyapunya dengan tangan lalu tersenyum menguatkan dirinya sendiri.

"Ya sudah, sekarang makanannya dihabiskan, ya," ujar Isabel mengalihkan pembicaraan.

Dia tak berani menatap Johan atau pun Bik Imah karena tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Apalagi itu menyangkut kehidupan keluarganya. Di sisi lain, Johan memperhatikan mimik muka Isabel yang terlihat sendu. Sedikit banyak dia mengerti apa yang dirasakan wanita itu. Hidup tanpa suami dengan dua anak yang masih kecil, pasti membuat hidupnya menderita.

---***---

[Beb, ayolah. Kita sudah menunggumu dari tadi. Acaranya akan dimulai setengah jam lagi.]

[Gue lagi malas ke luar.]

[Ayolah, Sayang. Semua temanmu datang. Masak kamu gak datang? Lagian kamu sudah janji sama Bram akan datang, bukan?]

Johan berpikir sejenak. Hai ini temannya di kampus--Bram--mengadakan Grand opening restoran barunya. Dan memang Johan sudah berjanji jika akan datang. Hanya saja akhir-akhir ini dia malas keluar malam. 

Seharian Cindy gencar mengingatkannya, bahkan mau menjemputnya ke rumah, tapi dilarang. Karena merasa tak enak dengan Bram, akhirnya dia mengiyakan ajakan Cindy.

Mengendarai motor gede favoritnya, Johan melesat membelah jalanan menuju tempat acara. Di sana Cindy sudah menantinya dengan penampilan begitu menawan. Peluk dan ciuman adalah hal yang biasa mereka lakukan saat bertemu. 

Tak kuasa mengendarai motor karena pengaruh alkohol, Cindy membawa Johan pulang menggunakan taksi. Kali ini Bik Imah yang membukakan pintu. Sedangkan Isabel hanya mengintip dari pintu kamar yang dibuka sedikit. Dalam hati, dia kembali menyayangkan kebiasaan Johan yang suka pulang larut dan dalam keadaan mabuk. Dua kali dalam dua minggu, hal itu terjadi lagi.

Mentari bersinar cerah saat kaki Johan menginjak dapur. Perutnya keroncongan dan badannya terasa pegal semua. Cindy masih terlelap dalam balutan selimut tebal milik Johan.

"Bik Imah, bikinkan sarapan, ya."

"Mau nasi goreng, Mas?"

"Terserah." 

Johan melongok ke arah kamar Isabel. Pintu tertutup rapat dan tak ada tangisan bayi. 

"Sepi sekali pagi ini, Bik. Mana yang lain?"

"Em ... Susi ke pasar diantar Paidi, Mas. Kalau Mbak Isabel pergi ke dokter."

"Ke dokter? Siapa yang sakit? Sama siapa perginya? Sejak kapan?" Pertanyaan beruntun bak gerbong kereta api yang diajukan Johan membuat Bik Imah melongo.

"A-anu, Mas. Yafiq agak demam. Tadi jam sembilanan perginya naik taksi."

"Bayi itu demam? Kok bisa? Lalu bagaimana keadaannya?" Johan kembali memberondong pertanyaan kepada Bik Imah. Entah kenapa dia merasa khawatir saat mendengar kalau bayi Isabel itu demam. 

"Ya ... tadi badannya panas, Mas. Karena itu dibawa ke dokter," jelas Bik Imah seadanya.

Lelaki berambut coklat kecoklatan itu mengembuskan napas panjang. Pikirannya tak tenang sebelum tahu keadaan bayi yang dia tolong saat kelahirannya itu.

"Beb, kok nggak bangunin aku?" Tiba-tiba suara Cindy membuyarkan lamunan Johan. Sekilas dia mencium bibir Johan tanpa malu di depan Bik Imah yang malah memalingkan wajah.

"Apaan, sih, Cin? Ada orang juga, main sosor aja," gerutu Johan.

Sebenarnya itu hal biasa dalam gaya pacaran mereka. Hanya saja akhir-akhir ini dia merasa risih jika Cindy menciumnya. Kalau dulu, tak usah dikata. Selalu Johan yang memegang kendali.

"Kenapa, sih? Biasanya juga begini." Cindy menekuk mukanya mendramatisir. Sedangkan Johan hanya mengedikan bahu. Malas meladeni gadis berparas menawan tersebut.

---***---

Sebuah taksi berhenti di depan rumah Johan. Isabel keluar dengan mengendong Yafiq serta menenteng sebuah tas. Johan yang sejak dua jam lalu mengantar kepergian Cindy di teras rumah, belum berniat masuk. Ada yang dia tunggu kedatangannya.

"Jo, ngapain di luar panas-panas?"

Tak menghiraukan pertanyaan Isabel, Johan yang sudah berdiri malah menanyakan keadaan bayinya. "Kata Bik Imah, Yafiq demam?"

"Iya. Badannya panas, jadi aku bawa ke dokter."

"Sekarang gimana keadaannya?"

"Tadi sudah diperiksa semuanya, hasilnya normal. Ya demam biasa saja, disuruh gempur ASI sebagai obat alami bayi."

"Berarti lu harus makan yang banyak."

"Iya. Makasih ya, sudah peduli dengan keadaan Yafiq."

"Bu-bukan begitu. Hanya saja kalian tinggal di rumah gue. Kalau ada apa-apa, gue juga yang bakal repot."

Setelah mengatakan sanggahan itu, Johan ngeluyur masuk ke dalam rumah. Isabel tersenyum simpul menatap punggung lelaki itu. "Aku percaya kamu orang baik, Jo."

Angin berembus sepoi-sepoi menjelang sore. Beberapa daun pohon kelengkeng di sudut pekarangan berguguran tertiup sang bayu. Karena badannya panas, seharian Yafiq rewel dan minta gendong terus. Bik Imah yang sudah tidak ada pekerjaan, menghampiri Isabel yang sedang meninabobokan bayinya di halaman belakang.

"Masih rewel?"

"Sudah enggak, Bik. Tapi gak mau ditaruh. Minta gendong terus."

Bik Imah menawarkan untuk mengendong bayi Yafiq tapi ditolak oleh Isabel karena merasa kasihan pada Bik Imah yang sudah bekerja keras seharian. Jadi mereka hanya mengobrol di gazebo. Tak lama berselang, Johan menghampiri mereka. Tangannya menjinjing sebuah kresek dengan logo makanan merek ternama.

"Em ... ini," ucap Johan sembari menyodorkan kresek tersebut ke arah Bik Imah.

"Apa ini, Mas?" tanya Bik Imah penasaran.

"Pizza."

"Untuk siapa?"

"Buat ayam! Ya buat ... em ... buat kalian biar tidak kelaparan!"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top