PART 4 ~ RUMAH JOHAN
#Lentera_Sang_Mualaf
Part 4
Tiga hari di rumah sakit, akhirnya Isabel diperbolehkan pulang. Maria yang menjemputnya di rumah sakit. Karena Isabel sudah tidak boleh pulang ke rumah Faruk, maka Maria menawarkan untuk sementara tinggal di rumah mamanya.
Sebenarnya Isabel menolak. Dia lebih nyaman jika mengontrak rumah sendiri. Tapi bujukan Maria membuatnya luluh.
"Aku punya rumah yang disewakan. Walau hanya tipe 45, tapi cocok untuk kamu. Masa kontraknya akan habis dua minggu lagi. Jadi sementara kamu bisa tinggal di rumah mama dulu," ujar Maria saat menjemput Isabel di rumah sakit.
"Sebenarnya aku tak masalah kalau mencari rumah sewa, Mar. Aku masih ada tabungan." Isabel merasa tidak enak jika terus merepotkan teman baikknya itu.
Apa yang dilakukan Maria dan Johan sudah sangat banyak untuk keluarganya. Dia tidak mau merepotkan mereka lagi. Dia akan berjuang dengan kemampuannya yang ada.
"Sudahlah, Bella. Aku mohon terima saja saranku. Lagian kamu baru melahirkan. Kalau di rumah mama, ada Bik Imah yang bisa membantu mengurus Baby Yafiq. Uangmu bisa kamu gunakan untuk keperluan lain." Maria masih membujuk ibu dua anak itu agar mau menerima bantuannya.
Sebagai teman dan sesama ibu, nalurinya tak tega jika Isabel harus tinggal sendirian dengan dua anak yang masih kecil. Dia seorang dokter dan tahu bagaimana keadaan psikologi ibu yang baru melahirkan. Apalagi dengan tekanan masalah pribadinya yang memilukan. Dia ingin temannya itu bisa merawat bayi dan anaknya dengan baik. Setidaknya sampai kondisi tubuhnya benar-benar fit.
"Tapi aku belum pernah bertemu dengan mamamu. Apa beliau mengizinkan?" tanya Isabel memastikan. Tentusaja dia merasa tak enak hati jika tinggal di rumah orang tetapi belum pernah bertemua atua bersua dengan empunya.
"Aku sudah minta izin sama mama. Dia masih di Bali selama satu bulan ke depan."
Isabel mencerna saran temannya tersebut. Memang benar, dia butuh bantuan orang lain untuk mengurus anak-ankanya. Selain itu dia juga harus berhemat karena tabungannya menipis. Faruk belum mengirim biaya hidup Yusuf sebulan belakangan.
"Masya Allah ... aku sungguh beruntung mengenalmu, Maria. Terima kasih banyak untuk semua kebaikan hatimu."
Luluh sudah hati Isabel. Dia tahu Maria orang yang tulus. Berkali-kali rasa syukur dia ucapkan dalam hati.
"Sudah, jangan berterima kasih terus. Ayo kita siap-siap. Yusuf sudah tak sabar ingin memeluk adiknya." Isabel menyapu matanya yang basah. Lalu mereka tersenyum bersama.
Isabella juga sangat kangen dengan anak sulungnya. Selama Yusuf tinggal dengan Maria, dia tak pernah membesuk bundanya. Hanya berkomunikasi lewat video call saja. Tawa riang dari Yusuf adalah sumber kekuatan bundanya.
Mobil berhenti di pelataran rumah bergaya minimalis modern yang cukup mewah. Isabel segera turun dengan mengendong Baby Yafiq yang sedang tertidur. Seorang ART berusia sekitar tiga puluh tahunan membukakan pintu dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
"Johan masih tidur, Mbak?" tanya Maria pada ART tersebut.
"Iya, Non."
"Anak itu, sudah jam sepuluh masih molor saja. Kapan berubahnya," gerutu Maria pada kebiasaan adiknya.
Maria mengajak Isabel masuk. Pertama yang dia lihat adalah ruang tamu bernuansa monocrome dengan beberapa walldecor senada yang tertata rapi. Di ruang keluarga, suasana lebih hangat dengan warna pastel mendominasi. Sepertinya mama Maria termasuk orang sanga memerhatikan detail rumahnya. Maria mengajak Isabel menuju kamarnya yang berada di lantai satu.
"Ini dulu kamarku. Sekarang jadi kamar tamu. Tidurkan dulu Baby Yafiq agar kamu bisa istirahat. Aku mau ke atas dulu membangunkan Johan."
Isabel menganguk lalu dengan hati-hati, dia membaringkan bayinya di kasur. Sementara itu Maria mengetuk beberapa kali pintu kamar adiknya. Johan yang memang langganan bangun di atas jam sepuluh pagi, akhirnya terusik suara berisik yang diperbuat sang kakak.
"Kakak! Apa-apaan, sih? Gue masih ngantuk," gerutu Johan ketika pintu sudah terbuka.
"Sudah jam sepuluh dan kamu bilang masih ngantuk. Dasar! Sampai kapan sih, kamu bakal berubah, Jo? Sudah saatnya kamu membantu mama mengembangkan bisnisnya. Bukan males-malesan seperti ini setiap hari," celoteh Maria panjang lebar pada adik semata wayangnya tersebut. Bukan sekali dua kali dia ngomel seperti itu, tetapi Johan tetap tidak mau berubah.
Johan kembali tidak menghiraukan omelan kakaknya. Dia kembali ke kasur dan bergelung dengan selimutnya. Maria mendegkus sebal karea tidak diacuhkan sang adik.
"Jo, mulai hari ini sampai dua minggu ke depan, Isabel akan tinggal di rumah ini."
"What!" Mendengar kalimat yang diucapkan sang kakak, ambyar sudah rasa kantuk lelaki yang hanya memakai celana pendek itu.
"Isabel tidur di kamar tamu sekarang. Kakak sudah minta izin mama."
"Kenapa dibawa ke sini? Dia kan bisa menyewa rumah? Emangnya ini rumah penampungan?" Kini giliran Johan yang mengomel, tidak terima dengan keputusan kakaknya.
"Eh, pelankan sedikit suaramu! Dia bisa dengar, nanti gak enak," ujar Maria mengingatkan.
"Syukur kalau dia denger. Bukankah itu lebih baik?" Lelaki itu tetap bersikap sewot.
Maria melempar satu bantal ke muka Johan. "Kasihan dia, Jo. Tak ada seorang pun keluarganya yang bisa membantu. Selagi kita bisa, kenapa enggak?" Maria mencoba memberi pengertian agar Johan bisa memaklumi keadaan Isabel.
"Serah lo, deh, Kak!" Johan menyerah karena dia tak pernah menang jika berdebat dengan dokter itu.
"Kakak hanya berpesan sama kamu. Jaga bicara selengekan kamu yang bisa membuat Isabel sakit hati! Ingat, dia teman baikku! " Maria memberi ultimatum agar Johan bisa menjaga perasaan Isabel. Dia tak ingin Isabel mendengar ucapan aneh-aneh dari adiknya tersebut.
"Iya bawel. Sekalian temanmu yang tidak punya rumah, tampung semua di sini. Biar mama buka panti sosial!"
Johan masih sebal dengan keputusan kakaknya.
Maria tidak menghiraukan celoteh adiknya. Setelah melempar satu bantal lagi ke adiknya, Maria meninggalkan kamar bernuansa monokrom tersebut. Sedangkan Johan masih terlentang dan menyunggingkan senyum miring.
"Ada mainan baru."
---***---
Tinggal di rumah orang asing sendirian, sedikit banyak membuat Isabella tidak nyaman. Walau perlakuan Maria dan ART sangat ramah. Tapi dia belum bertemu sang tuan rumah, mama Maria juga Johan.
Apalagi mengingat ucapan Johan terakhir saat di rumah sakit, 'Syukurlah kalau lu merasa telah merepotkan orang lain.'
Isabel berpikir apakah mungkin Johan keberatan karena direpotkannya? Belum lagi sekarang Isabel menumpang di rumahnya. Perasaan was was atas penolakan Johan masih menghantui.
Saat Isabel sedang berkutat dengan pikirannya, terdengar suara bel. Isabel mengintip dari balik pintu kamarnya. Seorang gadis belia nan rupawan. Dengan dress selutut berwarna kuning cerah. Rambut panjang kecokelatan dan riasan ringan yang mempertegas kecantikan gadis itu.
"Johan masih tidur, Bik?" tanya gadis itu sambil melangkah masuk ke ruang tengah.
"Sepertinya baru bangun, Non. Tadi dibangunkan Nona Maria."
"Tumben Kak Maria ke sini pagi-pagi."
Tanpa menunggu jawaban Bik Imah, gadis itu mengayunkan langkah ke anak tangga. Isabel bertanya dalam hati, apakah dia akan masuk ke kamar Johan? Siapanya Johan gadis itu?
Sepertinya dia sering berkunjung ke sini. Entah teman akrab, saudara, atau pacar Johan.
Untuk menuntaskan pertanyaan dalam pikirannya, Isabel mengikuti Bik Imah ke dapur.
"Bik, tamu tadi siapa?"
"Oh, itu pacarnya Mas Johan, Cindy namanya."
"Dia sudah biasa masuk ke kamar Johan?"
"Em ... iya, Mbak. Sudah sering."
"Astagfirullah halazim ...."
Isabel menutup mulutnya karena terkejut dengan jawaban Bik Imah. Dia menyayangkan pergaulan yang dilakukan Johan. Apa yang sepasang anak manusia berstatus pacar lakukan berdua di dalam kamar? Tentu tidak jauh-jauh dari pelukan, ciuman dan hal lain yang tak berani Isabel bayangkan.
Beberapa saat berselang, Johan bersama Cindy turun. Isabel sengaja tidak menutup rapat pintu kamarnya. Entah kenapa hatinya merasa risau melihat dua sejoli di depannya saling merangkul.
"Bik, gue pulang malam. Jadi gak usah siapkan makanan."
"Iya Mas," jawab Bik Imah. Lalu Johan ke luar bersama Cindy yang bergelayut mesra di sampingnya.
Sebenarnya Isabel ingin cuek pada sikap Johan, tapi kenapa tak bisa? Padahal lelaki itu cukup cuek dan ketus kepadanya.
---***---
Pukul dua siang, Isabel dikejutkan dengan kedatangan Yusuf. Putra sulungnya itu diantar oleh supir Maria bersama Alice. Baru tiga hari tidak bertemu dengan Yusuf, Isabel merasakan kerinduan yang teramat. Dipeluknya bocah pintar tersebut dengan penuh kasih sayang. Begitu pulan dengan Alice, Isabel memberikan sebuah kecupan di puncak kepala putri Maria tersebut.
"Bu Maria akan ke sini nanti sore," ujar sopir Maria.
"Oh, iya, Pak. Terima kasih," jawab Isabel ramah.
Kedua bocah itu segera berhambur menuju Baby Yafiq yang sedang terbangun. Mungkin dia tahu kalau hari ini kakaknya akan datang. Isabel memperhatikan mereka dengan perasaan campur aduk. Sedih juga bersyukur karena masih ada orang baik yang mau menolong anak-anaknya. Sedangkan ayah mereka sama sekali tidak menghubungi.
Isabel memang tidak memutus komunikasi dengan Faruk. Walau mereka sudah berpisah, tapi Faruk masih bertanggungjawab menafkahi anak-anaknya. Setidaknya, seminggu sekali dia masih mengantarkan Yusuf ke sekolah dan mengajaknya jalan-jalan.
Sudah lima bulan berlalu dari perpisahan mereka. Dan Faruk akan menikahi perempuan pilihan ibunya sebentar lagi. Walau rasa cinta masih ada, tapi Isabel berusaha mengendalikannya. Dia tidak boleh larut dalam kesedihan akan kisah cintanya yang kandas. Ada dua malaikat kecil yang membutuhkan dia tetap waras. Dia harus tetap semangat melanjutkan hidup, walau sebagai single parent.
Sepulang dari rumah sakit, Maria langsung meluncur ke rumah mamanya untuk menjemput Alice. Berprofesi sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit ternama, membuat dia sering kehilangan waktu bersama buah hatinya tersebut.
"Yusuf anak yang baik dan mudah bergaul, Bel. Kemarin tanpa diingatkan waktu salat, dia berani pergi ke masjid kompleks."
"Alhamdulillah. Aku juga bersyukur memiliki anak seperti Yusuf yang tidak pernah menyusahkan. Dia anaknya pengertian dan cerdas."
"Iya. Dia juga bercerita tentang suka citanya mendapat adik baru. Cowok pula. Jadi dia punya teman untuk menjaga bunda, katanya."
"Yusuf bilang seperti itu?"
"Iya, dengan mata berbinar dia mengatakannya."
"Masya Allah ... aku terharu, Mar. Walau jarang bertemu ayahnya, tapi aku selalu berusaha untuk memberikan kasih sayang seorang ayah kepadanya." Isabella tak bisa menahan desakan air matanya. Maria ikut terharu lalu mendekat dan memeluknya.
"Kamu yang kuat, ya. Kamu wanita yang hebat. Aku salut sama kamu."
"Terima kasih atas dukunganmu, Maria."
Usapan lembut di punggung Isabel, mampu memberikan ketabahan.
"Oh, ya. Kamu sudah bertemu Johan hari ini?" tanya Maria setelah keadaan Isabel lebih baik.
Isabel mengangguk. "Tadi siang dia keluar dengan kekasihnya."
"Amelia?"
"Bukan. Cindy."
"Cindy? Cindy yang mana? Ya ampun ... ganti lagi berarti pacar tuh anak," gerutu Maria.
"Memangnya Johan suka gonta ganti cewek?"
"Entah pacarnya atau hanya teman saja, tapi sering banget dia bawa cewek ke rumah."
"Ah, pantas saja. Tadi sempat heran kenapa si Cindy itu langsung naik ke kamar Johan. Lalu kata Bik Imah, sudah biasa," tutur Isabel mengingat kejadian siang tadi.
"Begitulah Johan. Tapi aku percaya kalau dia tidak akan macam-macam."
"Kamu yakin? Eh, maksudku ... apa kamu yakin Johan tidak berbuat macam-macam dengan pacarnya di dalam kamar?"
---Bersambung---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top