PART 3 PERTOLONGAN MARIA
#Lentera_Sang_Mualaf
Part 3
"Jadi ... Johan mengazani bayi kamu?" tanya Maria masih tak habis pikir dengan ulah adiknya.
"Tenang saja. Dia tetap denger suara azan, kok."
Maria menatapnya bertanya-tanya, menuntut jawaban.
"Dari Youtube."
"What!"
"Astagfirullah halazim ...."
Maria dan Isabel berseru bersamaan mendengar penuturan Johan.
"Kamu itu, ya. Bilang sebenarnya, kek. Kan bisa diganti orang lain yang bisa azan," gerutu Maria pada Johan. Betapa malu dia pada Isabel karena perbuatan adiknya tersebut. Mana ini kali pertama pertemuan mereka setelah lama tak berjumpa.
"Gue udah mau bilang, tapi gak dikasih kesempatan ngomong. Yaudah! Yang penting bayinya selamat udah brojol.” Johan membela diri. Dia tidak mau disalahkan atas perbuatan yang baru saja dilakukan. Dia sudah berusaha mengatakan bahwa dirinya non muslim, juga bukan orang tua bayi tersebut, tetapi semua orang tidak memberinya kesempatan. Bagi Johan kala itu adalah dirinya bisa segera keluar dari rumah sakit dan terbebas dari tanggungjawab moral yang seharusnya bukan tanggungjawab dia.
"Dasar!" geram Maria pada adiknya. "Maafin adikku, ya, Bel. Dia memang agak oleng orangnya," bisik Maria agar Issabel bisa memaklumi kelakuan adinya itu.
"Kalian ngatain gue?" tuduh Johan sewot. Ternyata suara Maria masih terdengar oleh Johan.
Isabel merasa tak enak jika ada keributan antara kakak beradik itu gara-gara menolongnya.
"Ya, sudah tak apa-apa. Saya minta maaf karena tidak memberi kesempatan kamu untuk bicara yang seharusnya. Saya juga berterima kasih karena kalian sudah mau membantu. Mungkin kalau tak ada adikmu, saya ...." Isabel tidak bisa melanjutkan ucapannya. Bulir bening tiba-tiba melesat dari mata. Pikirannya sedang kacau karena banyak sekali beban yang dia tanggung.
Maria yang menangkap aura kesedihan temannya, mencoba memberi kekuatan dengan mengelus lengan Isabel.
"Suami kamu … kemana, Bel?" tanya Maria mencoba mencari tahu sumber kesedihan Isabel karena dia tak melihat sosok lelaki pendampingnya di tempat itu.
Ragu antar menceritakan keadaannya pada Maria, atau menyembunyikannya. Namun selama ini dia mengenal Maria orang yang baik, tidak suka mengusik kehidupan orang lain. Dia butuh orang lain untuk sekedar bercerita mengurai beban yang dipikul. Ini aib baginya, tetapi keadaan emosionalnya saat ini benar-benar sedang diuji.
"Aku ... sudah diceraikan suamiku, Maria," lirih Isabel mengatakannya, bersamaan dengan semakin banyak air mata yang keluar membasahi pipi.
"Diceraikan? OMG, tega bener suami kamu menceraikan istri yang lagi hamil. Kenapa bisa seperti itu, Bel?" Maria terkejut dnegan fakta yang diungkapkan temannya itu. Tak menyangka kalau keadaannya seperti itu sekarang. Setahu Maria, Isabel adalah perempuan pendiam dan tak banyak tingkah sewaktu sekolah. Bahkan tergolong pandai. Mereka pernah menjabat rangking tiga besar bersamaan saat menerima raport.
"Panjang ceritanya, Mar." Isabel mencoba tersenyum walau perih di hati kian terasa kalau mengingat semua kejadian yang dia alami.
"Ya sudah, kamu yang kuat, ya. Anak-anakmu butuh Momy yang kuat."
Maria mencoba memberi support agar Isabel lebih kuat menerima takdirnya. Dia tidak memaksa temannya itu bercerita sekarang karena dia tahu psikis wanita setelah melahirkan seperti apa. Apalagi keadaannya seperti Isabella. Jelas, bebannya sangat berat. Jadi sebagai teman yang baik, dia harus memberinya dukungan moril agar tidak terlalu stress menghadapi kenyataan sekarang.
"Makasih Maria," ujar Isabel lirih.
Johan yang tadi berniat meninggalkan ruangan, terpaksa ikut hanyut dalam suasana haru.
'Si*l! Kenapa gue bisa iba sama orang ini?' batin Johan menggerutu.
"Kak, gue cabut dulu." Dari pada ikut terbawa suasana, Johan memutuskan untuk meninggalkan ruangan tersebut. Sepertinya Isabel ingin berbicara banyak dengan Maria. Bisa jadi dia tidak nyaman kalau ada Johan di sana.
"Oke. Makasih ya, Jo," jawab Maria tulus. Dia sudah melupakan sikap menyebalkan yang tadi dilakukan Johan. Walau menyebalkan, tetapi berkat adiknya, Isabel bisa tertolong saat melahirkan. Dan Maria sangat bersyukur akan hal itu.
"Sekali lagi terima kasih ya, Johan," ucap Isabel setelah mengusap air mata yang lolos di pipinya.
Johan mengangguk, lalu meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan rasa penasaran yang masih mengganggunya. Entah kenapa dia sedikit terusik dengan keadaan Isabel. Padahal biasanya dia selalu cuek pada orang lain, apalagi orang asing yang belum dikenal, seperti Isabel.
---***---
Setelah Johan pamit dan dua bocah bermain di luar ruangan, Maria mendesak Isabel untuk cerita tentang keadaan sebenarnya. Dia cukup prihatin dengan kondisi temannya itu. Apalagi dia baru melahirkan, yang seharusnya dikelilingi orang-orang tercinta. Tapi sekarang Isabel sendirian.
Sebenarnya Isabel tidak ingin aib rumah tangganya menyebar, tapi kali ini hanya Maria yang bisa membantunya. Dia tak mungkin merepotkan kakaknya yang tinggal di luar pulau.
Setelah mendengarkan cerita Isabel, beberapa kali Maria mengumpati Faruk dan ibunya.
"Aku nggak habis pikir. Kok ada orang tua yang ingin melihat rumah tangga anaknya hancur. Dan mantan suami kamu juga tidak punya pendirian kuat, Bel. Mau saja dihasut ibunya!" Maria bersungut-sungut.
"Mungkin ini sudah jalan takdirku, Mar. Satu per satu orang yang kucintai menjauh. Sekarang hanya anak-anak yang menjadi penyemangatku untuk tetap bertahan." Isabel mencoba tetap kuat walau batinnya sangat rapuh.anak-anak adalah sumber kekuatan terbesa yang dia miliki sekarang. Karena itu saat proses perceraian kala itu, Isabel mengajukan hak asuh anak ada padanya. Dia tak bisa bayangkan kalau dipisahkan dengan Yusuf.
"Ya Tuhan, kamu yang sabar ya, Bel. Semua pasti ada hikmahnya. Mungkin mantan suamimu itu bukan jodoh terbaik bagimu." Maria juga terharu dengan kisah hidup Isabel yang diuji begitu berat. Dia mensyukuri kehidupannya sekarang yang memiliki keluarga lengkap dan kecukupan materi serta kasih sayang.
"Iya. Aku percaya itu." Isabel tersenyum tipis agar suasana hatinya lebih baik.
"Begini saja, nanti sore biar salah satu ART mama temani kamu di sini. Kalau kamu tidak keberatan, biarkan Yusuf ikut pulang bersamaku. Kasihan kalau dia tidur di rumah sakit." Maria menawarkan bantuan yang semoga bisa meringankan beban temannya itu.
"Maria ... aku nggak tahu harus berterima kasih seperti apa kepadamu. Tapi, aku benar-benar bersyukur mengenalmu. Walau kita sudah berbeda keyakinan, tapi kamu tidak membenciku. Kamu tetap temanku yang dulu, baik hati sekali."
Mata Isabel berkaca-kaca, terharu dengan bantuan yang diberikan Maria. Dia tak bisa bayangkan bagaimana kelanjutan hidup mereka jika Johan dan Maria tidak membantunya.
"Iya, Bel. Apa pun keyakinanmu, kamu tetap temanku. Kamu orang baik, pasti Tuhan akan selalu menolong kamu."
Kedua wanita itu berpelukan, saling memberi semangat. Isabella sangat bersyukur memiliki teman seperti Maria. Beda kepercayaan tidak membuat mereka saling membenci, tapi justru saling memberikan bantuan dan support.
---***---
“Bunda, Yusuf mau tidur di sini saja sama Bunda. Kasihan Bunda nggak ada temannya.” Bocah kecil itu enggan diajak puang oleh Maria.
Walau masih kecil, tetapi Yusuf anak yang cerdas. Dia mengerti kondisi bundanya yang merawatnya sendirian tanpa kehadiran sosok ayah. Isabel dan Faruk sepakat mengatakan pada Yusuf setelah bercerai dan tinggal terpisah, bahwa ayahnya sedang bekerja jauh. Mereka akan mengatakannya yang sebenarnya jika usia Yusuf sudah siap mendengar penjelasan orang dewasa tentang hubungan orang tuanya.
“Yusuf sayang … bunda tidak sendirian di sini. Ada tante perawat yang akan bantu bunda dan mengurusi adik Yusuf. Yusuf kan besok harus sekolah, jadi sementara tinggal di rumahnya Alice dulu ya, Sayang. Nanti kalau Bunda sudah kuat dan boleh oulang, Yusuf tidur sama Bunda lagi,” bujuk Isabel pada anak pertamanya itu.
Dengan mata berkaca-kaca dan bergelayut manja di lengan bundanya, akhirnya Yusuf mau diajak tinggal di rumah Maria.
“Mar, titip Yusuf, ya. Tegur dia dengan lembut jika berbuat salah. Dan tolong ingatkan jika waktu salat tiba. Kalau rumahmu jauh dari masjid, tidak apa-apa dia salat di kamar saja.” Isabel berpesan kepada Maria dengan perasaan haru karena baru kali ini mereka tinggal terpisah.
“Kamu tenang saja, Bel. Aku sudah anggap Yusuf seperti anakku sendiri. Satpam dan ART ku ada yang muslim. Nanti biar Yusuf ibadah sama mereka.” Ujar Maria menenangkan Isabel.
Setelah berpelukan erat, Yusuf pergi bersama Alice dan Maria. Meniggalkan Isabel yang luruh dengan air matanya. Sekali lagi dia bersyukur ada orang baik seperti Maria dalam hidupnya.
Matahari telah kembali ke peraduannya saat seorang laki-laki disusul wanita paruh baya masuk ke ruang rawat Isabella. Bayi merah itu sudah selesai minum ASI dan sekarang tertidur dalam gendongannya.
"Johan?" ucap Isabel terkejut melihat sosoknya kembali ke ruang perawatannya.
"Gue disuruh kakak mengantar Bik Imah ke sini. Dia akan menemanimu selama di rumah sakit."
Wanita yang berdiri di samping Johan tersebut tersenyum ramah. Isabel menyambut senyumnya lalu memperkenalkan diri.
"Lu ada nomor telepon? Tadi kakak mau hubungi lu, tapi lupa gak tanya nomor lu."
Isabel mengangguk, lalu mengambil tas di nakas sebelah brankar. Merogoh benda pipih tersebut lalu menyebutkan deratan nomor. Johan segera menyimpannya lalu mengirimkan via pesan pada Maria.
"Oke, gue mau cabut. Bik Imah di sini dulu, ya."
"Eh, Johan ...." Isabel menghentikan langkah Johan, "terima kasih, ya. Dan maaf karena merepotkanmu lagi," ujar Isabel tulus.
"Syukurlah kalau lu sadar sudah telah merepotkan orang lain," sahut Johan datar tetapi Isabel bisa memakluminya.
Johan berlalu dari kamar rawat tanpa menengok lagi. Dia berusaha bersikap cuek seperti biasanya agar Isabel tidak merasa mendapat perhatian darinya. Sejujurnya Johan kasihan dengan wanita yang baru saja melahirkan tersebut, tapi dia tak mau terlihat sebagai lelaki lemah yang ikut mellow mengetahui nasib Isabel yang menyedihkan.
"Jangan diambil hati, ya, Mbak. Mas Johan memang orangnya cuek. Tapi dia baik, kok," ujar Bik Imah setelah kepergian Johan.
"Iya, Bik. Saya mengerti. Terima kasih ya, Bik. Saya berhutang budi pada kalian," jawab Isabel dengan senyuman.
"Jangan bilang begitu, Mbak. Sebagai manusia, sudah seharusnya kita saling tolong menolong."
Isabel merasa terharu dengan orang-orang yang baru dia temui tapi sudah banyak membantunya.
Pikirannya mengembara ke mantan suaminya. Sampai sekarang dia belum memberi kabar pada Faruk tentang kelahiran putranya. Sebenarnya dia ingin langsung mengirim pesan setelah kepulangan Maria tadi siang, tapi saat mengingat ucapan ibu mertuanya agar tidak lagi mengganggu kehidupan Faruk, Isabel mengurungkan niatnya.
Biarlah dia tidak mengabari Faruk. Jika memang Faruk mengingatnya dan anak-anak, pasti dia akan menghubungi Isabel lebih dulu. Tapi sudah seminggu yang lalu, terakhir komunikasi mereka. Isabel tidak ingin berharap banyak pada ayah anaknya tersebut.
Sementara dia akan memakai uang tabungannya untuk menyewa rumah dan bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Setelah kondisinya pulih, dia akan mencari pekerjaan untuk menghidupi anak-anaknya. Ya, apa pun itu asalkan halal, akan dia kerjakan. Demi kedua buah hatinya. Satu-satunya keluarga yang ada di dekatnya.
Bulir bening melesat dari pelupuk mata Isabella. Mengingat satu per satu kejadian memilukan yang telah dialami. Hingga kelahiran putra keduanya. Serta rasa syukur atas pertolongan yang tulus dari Johan dan Maria.
Dia yakin semua ini sudah diatur Allah. Dia tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang meminta tolong dalam setiap doa. Allah Maha Baik. Allah Maha Kuasa.
---***---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top