Hakikat Pujian
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Selamat pagi, sahabat. Apa kabarmu pagi hari ini? Semoga senantiasa dalam perlindungan dan limpahan rahmat-Nya. Aamiin.
Sahabat...
Pernahkah kita menjadi sebagian orang yang senang memuji demi menyenangkan hati orang lain? Atau sebaliknya? Senang ketika kita ada yang memuji?
Pasti!
Karena memang sudah menjadi bagian sifat manusia selalu haus akan pujian. Dipuji cantik, tampan, kaya, hebat, dan banyak lagi sanjungan yang membuat kita jadi lupa. Jujur hayooo, lebih banyak lupanya atau bersyukurnya? Menyadari bahwa hakikatnya pujian hanya untuk Allah semata. Dan kita lupa mensyukurinya.
Padahal sahabat, ketika kita memuji seseorang itu dengan cara yang berlebihan, itu artinya kita membahayakan lisan kita. Dan kita pun telah dzolim pada saudara kita.
Rosulullah bersabda;
"Celakalah engkau. Engkau telah memenggal kepala saudaramu itu..."
(HR. Bukhori Muslim)
Pada hakikatnya ketika kita memuji seseorang dengan berlebihan, kita sama saja dengan sengaja menjerumuskan dia pada jurang kelalaian yang lebih dalam. Kita yang menyebabkan dia terbuai sehingga menjadi orang yang ujub. Lalu kita? Kita yang tidak tahu kebenaran dan memujinya secara berlebihan, sama saja kita telah berdusta dan mencelakakan lisan kita sendiri.
Riya, ingin dipuji adalah termasuk ke dalam syirik kecil. Berharap pujian selain Allah. Bahayanya akan menghanguskan amalan ibadah kita.
Manusia sekarang lebih senang akan pujian dari pada nasihat yang datang sebagai teguran agar kita bisa lebih baik lagi memperbaiki diri. Padahal pujian lebih banyak mudhorotnya.
Sahabat yang mulia Abu Bakar Ash Shiddiq, yang terbaik setelah Rasul kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berdo’a pada Allah agar dirinya lebih baik dari pujian tersebut. Ia pun meminta pada Allah agar tidak disiksa karena sebab pujian tersebut. Karena Allah lebih tahu isi hati kita, juga diri kita lebih tahu lemahnya diri kita dibanding orang lain. Jadi jangan terlalu merasa takjub dengan sanjungan orang apalagi diucapkan di hadapan kita.
Terkadang ada di antara kita yang condong dan merasa lebih tinggi dari orang lain, baik dari segi kekayaan, kecerdasan, pamer ini dan itu, merasa diri lebih pandai melebihi yang lainnya demi sebuah pujian.
Padahal ada kalanya seseorang itu rendah hati bukan berarti dia tak mampu. Tapi memang dia sadar siapa hakikat dirinya, dari mana ilmu yang dia dapatkan dan untuk apa dan siapa.
Coba, kita cek dan uji diri kita. Apakah kita lepas dari sifat sombong? Uji dengan empat perkara.
1. Ujilah diri kita di saat kita berdebat dengan orang lain, hingga nyata apakah kita akan marah ketika lawan kita benar? Atau sebaliknya kita akan senang mengenai keunggulannya itu atau tidak?
2. Mampukah kita mendahulukan teman-teman kita sebelum kita?
3. Mengerjakan pekerjaan rumah bersama pelayannya, memasak bersama dengan pembantunya, lalu makan bersama juga dengan mereka, apakah bisa kita demikian?
4. Memakai pakaian sederhana di hadapan banyak orang. Karena Rosulullah menyatakan dalam sabdanya, bahwa kesederhanaan itu termasuk iman.
Naaah udah dicoba?
Dan satu lagi, "Sifat rendah hati atau rendah diri yang terpuji adalah, merendahkan diri terhadap teman-teman dan sesama, tanpa kita menjadi hina. Rendahkan dirimu pada orang yang memandang kerendahanmu adalah suatu kemuliaan yang ada padamu. Tapi jangan kau rendahkan dirimu pada seseorang yang menganggap hal itu menjadi suatu kebodohan yang ada padamu."
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top