Bagian 8

Aku semalam malah ketiduran, Gais. Padahal udah rencana mau republish part 8 malam.

Maafkan, ya. 😭

Jadi, tuh, kisah keluarganya Tera rumit.

Oke, happy reading. Jangan lupa vote dulu buat pembaca baru. 🤗🥰

====🌻🌻🌻====


Aya melempar ransel ke lantai begitu saja. Ia masih terlalu lelah untuk hanya sekadar meletakkan tas gendong itu ke tempatnya. Baru saja melakukan perjalanan menggunakan kereta ekonomi dari Jakarta ke Jogja cukup membuat Aya merasa ngantuk luar biasa. Jujur saja, gadis berusia 20 tahun dengan mata lebar dan bulu mata lentik itu paling tidak bisa tidur di kendaraan. Tidur pun masih sanggup mendengar decitan roda kereta saat masinis sedikit memperlambat kendaraan yang mengular di setiap pemberhentian stasiun. Belum lagi bila oa harus duduk di berjejeran dengan penumpang paruh baya yang semakin membuatnya sungkan untuk sekadar memejam.

Andai ini bukan karena mengingat ia ada ujian besok siang, Aya masih ingin berlama-lama di rumah bersama ibu dan ayah. Sayangnya, hampir tidak ada waktu untuk bersantai bagi mahasiswi kedokteran yang terkenal rajin macam Aya. Untuk kali ini saja, gadis itu meminta waktu barang 30 menit sebelum azan salat Asar terdengar. Perlahan mata itu mulai tertutup. Suara detik jam di dinding kamar di kontrakan yang dihuni 5 mahasiswi semakin meninabobokan Aya.

"Aya!"

Oh, tidak! Aya melenguh. Siapa lagi orang yang akan mengganggu istirahatnya? Suara ketukan pintu terdengar berikut suara panggilan kembali. Aya bangkit, membenarkan posisi jilbab instannya yang berantakan. Dengan langkah sedikit gontai ia meraih kenop pintu. Dengan malas ia menyandarkan kepala pada daun pintu yang baru dibuka.

"Assalamualaikum," ucap Aya sedikit ketus sebagai sindiran pada teman satu kontrakannya.

Rona—gadis berkacamata tebal dengan pipi tembam—nyengir. Ia paham bagaimana lelahnya Aya setelah perjalanan jauh. Dan lagi, Rona lupa mengucapkan salam pada gadis yang terkenal taat itu. "Waalaikumsalam, Cantik!" pujinya sebagai bahan permohonan maaf.

Aya tersenyum geli. "Ada apa?"

"Oh, ada tamu di teras. Nyariin kamu katanya," terang Rona dengan bahu mengedik saat kening Aya berkerut.

Hampir 2 tahun bersama, seisi kontrakan paham Aya bukan tipe orang yang rajin menerima tamu keculi ayah ibunya. Itu pun hanya 3 bulan sekali bila Asiyah rindu berat pada Aya.

"Buruan samperin. Cantik orangnya," kekeh Rona.

Aya berdecak sambil berlalu.

Rona mengerucutkan bibir. "Terima kasih," sindirnya.

Aya terkikik sembari menoleh dan menepuk kening karena lupa berterima kasih.

**

Wanita dengan dress chongsam modern berwarna putih di teras sebuah rumah tampak gelisah. Sepertinya ia sedikit tegang. Beberapa kali terlihat ia menggosok kedua telapak tangan yang mendingin. Ia juga sempat meraba french twist bergaya klasik pada rambutnya. Ia juga sempat merapikan dress bagian bawah yang meramping mengikuti lekuk tubuh. Wanita itu baru saja akan berdeham seraya menyentuh leher dengan kerah tinggi berkancing sanghai, seketika gadis berjilbab itu muncul.

Ia tersenyum kaku. Namun, bisa dirasakannya ekspresi terkejut gadis berbalut kulot lebar itu. Mata lebarnya semakin lebar.

"Apa kabar ... Aya," sapanya ragu.

"Ibu ... A-arum?" Aya sedikit tergagap.

Wanita itu tersenyum. Lama sekali ia tak pernah mendengar panggilan nama Indonesia pemberian lelaki itu. Harus ia akui, sapaan nama itu kadang membuat jantungnya sedikit berdenyut.

**

Aya duduk dengan posisi tegang. Manik hitamnya masih terus menatap wanita berdarah Cina itu yang tertunduk. Ia sama sekali tak menyangka bila Ibu Arum yang dikenalnya dulu kembali seperti ini.

"Lentera apa kabar?" Arum bersuara pelan.

"Baik. Mbak Tera baru saja menikah 4 hari yang lalu," sahut Aya masih dengan kekakuan. "Ke mana saja Ibu selama ini? Tidakkah merindukan kami? Atau setidaknya merindukan anak-anakmu, Bu."

Arum tersenyum getir. "Maaf, tapi saya tidak punya pilihan. Asiyah terlalu banyak mengalah untukku, Aya."

Keduanya diam. Arum bahkan sebentar-sebentar sudah menghapus titik bening di sudut mata. Beberapa menit hanya diisi keheningan hingga Arum mengembuskan napas sebelum ia bicara kembali.

"Kakek ... meminta Tera untuk ikut dengannya. Tera adalah harapan kami satu-satunya."

Aya yang semula tertunduk kembali mendongak. Kedua tangannya terkepal di atas pangkuan. "Ibu boleh kembali pada kami, tapi jangan ambil Mbak Tera dari kami," tegasnya.

Aya bangkit. Sungguh ini tidak masuk akal. Kakaknya bukan lagi anak-anak. Akan tetapi, melihat ketegangan Tera dengan ayahnya, sudah pasti Aya tahu apa yang akan dilakukan kakaknya itu. Sementara Aya, tak ingin membuat Asiyah terluka lagi.

"Maaf, Aya capek. Assalamualaikum," pungkas Aya. Ia berlalu meninggalkan wanita itu terisak di teras dengan kedua telapak tangan menutup wajah.

Aya menutup pintu pelan. Bayang masa lalu itu kembali muncul, menyeruakkan air mata yang selama ini ia pendam. Bagaimana bila wanita itu menemui ayah dan ibu di Jakarta? Tidak. Aya tak ingin pertengkaran itu kembali mencuat. Sudah cukup. Ia tak mau lagi.

**

Tera baru saja menghabiskan segelas teh hangat pemberian kepala desa di sini. Ia dan Sam semalam menginap di rumah saudara dari kepala desa yang pergi ke negara tetangga untuk mencari nafkah. Bukan perkara mudah tinggal di sebuah rumah panggung berdinding kayu dengan alas tikar berbahan plastik. Tera sempat tak bisa tidur karena ia terbiasa berguling dengan bedcover empuk. Berbeda dengan Sam yang entah bagaimana Tera bisa mendengar dengkur halusnya, pertanda laki-laki itu bisa tidur nyenyak.

Tera mencebik saat menengok layar ponsel. Percuma sekali membawa ponsel canggih berkekuatan sinyal 4G. Sama sekali tak berguna. Semua akun media sosial Tera sepi. Tak ada notofikasi masuk. Bahkan suara panggilan video melalui WhatsApp dari Bela tak lagi terdengar. Ah, bagaimana ini? Apa Bela marah padanya karena tak mengundang di acara ijab qabul sederhana waktu itu?

Ia harus menghubungi Bela sekarang. Cukup sudah bersembunyi dari sahabatnya itu. Tera bangkit seraya merapikan kemeja dan celana cargo berwarna krem yang dikenalan. Mungkin di luar akan mendapat sinyal meski sedikit. Baru sampai di depan pintu, langkah Tera terhenti. Sam tampak bersandar pada pembatas teras berbahan kayu. Laki-laki itu sibuk mengenakan ponsel khusus, mengetikkan sebuah pesan singkat.

"Selamat pagi," sapanya tanpa beralih dari ponsel yang tampak kecil di genggamannya.

Tera hanya tersenyum malu. Sewaktu bangun tadi, Sam sudah tak ada di sampingnya, dan dua gelas teh ditambah sepiring singkong rebus ada di ruang tamu.

Tera menepi ke pembatas teras di sisi Sam. Ia mengangkat ponsel tinggi-tinggi. Tak ada hasil. Tak satu pun sinyal internet menyambangi benda pipih berwarna hitam miliknya. Tera mendengkus. Ia kembali mengangkak ponsel tinggi-tinggi lalu berjinjit. Hingga wanita berkaus hitam berbalut kemeja kotak-kotak itu sedikit berjengit saat merasakan lengan lelaki di sampingnya merangkul perut. Tera menahan napas. Mencari kesempatankah?

Namun, saat sudut mata Tera melirik ke arah Sam, laki-laki itu masih dengan santainya mengetik sesuatu dengan tangan kanan. Sampai akhirnya Tera melongok ke bawah diikuti jinjitan kakinya yang semakin meninggi mencari sinyal.

"Astaga!" pekik Tera hampir jatuh, tetapi tertahan lengan Sam. Sontak ia melakukan gerak refleks berpegangan kuat pada bahu kiri Sam.

"Sudah dapat sinyal?" tanya Sam seraya melepas rangkulan dan membetulkan posisi tubuh Tera agar sedikit menjauh dari pembatas teras.

Tera menggeleng kikuk. Ia lupa kalau rumah di sini berbentuk rumah panggung guna menghindari luapan air dari sungai saat musim hujan tiba.

"Di sini mana ada sinyal internet. Pakai ini untuk menghubungi Bela," tukas Sam sembari meraih ponsel pintar Tera dan menggantinya dengan ponsel Sam yang hanya berfungsi untuk telepon dan SMS saja.

Apa? Bagaimana Sam tahu Tera akan menghubungi Bela? Yak, astaga! Apa iya Sam rajin menilik isi ponsel Tera mengingat Tera hampir tak pernah mengunci ponselnya? Tera mengembuskan napas kasar hingga juntaian poninya tersibak.

"Kita ke mana hari ini, Pak?!" tanya Tera sedikit berteriak mengingat Sam sudah berlalu masuk ke rumah dengan ponsel Tera di tangan.

"Tau Lumbis," sahut Sam singkat tanpa menoleh.

Ah, susah sekali berkomunikasi dengan laki-laki yang suka membuatnya terkejut sampai jantungan! Tera berdesis seraya berkacak pinggang. Tidak! Ia tak punya pilihan sekarang. Sam adalah teman hidupnya. Apa iya Tera akan sering jantungan begini seumur hidup? Tidak bisakah Sam bersikap sedikit ramah dan tak selempeng ini?

Aaargh! Tera ingin sekali mengacak rambutnya sambil berteriak sekencang yang ia bisa.

**

Pertama kali publish: 23-09-2019
Republish: 10-12-2024

====🌻🌻🌻====

Kan, kan, kan ... Sam suka bikin jedag-jedug. 🤣

Kenapa nggak ngomong dari awal, "Awas, jatuh! Jangan terlalu mendekat ke pembatas!"

Main peluk aja si Manusia Irit Ngomong ini. 🤣

Terima kasih sudah baca ulang cerita ini. Buat pembaca baru, terima kasih atas dukungan vote-nya. 🤗

Sehat dan lancar rezeki selalu untuk kita semua. Aamiin. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top