Bagian 7

Selamat sore, republish kedua untuk hari ini. 😘

Tar malem lagi boleh, yak?

Tapi aku mau dukungan dan komentar yang kenceng, dong. 🤩

Cerita ini nggak bisa diskip-skip, ya. Harus urut per part biar nggak bingung.

Happy reading. 🥳

====🌻🌻🌻====


Huanran:
"Apa kabar, Sam?"

Sebuah pesan masuk dari ponsel yang sedari tadi Sam genggam. Sahabat jauhnya itu kembali menghubungi setelah sekian lama tak ada kabar. Sam tersenyum sebelum ia mengetikkan sederet kalimat pada papan ketik balasan akun WhatsApp-nya.

Sam:
"Baik. Lama tak bersua."


Huanran:
"Aku dengar kamu sudah menikah dengannya. Benar?"

Lagi-lagi sudut bibir laki-laki yang tengah duduk di karpet itu mengembang. Ia menoleh ke sofa di belakangnya. Sosok itu sudah tertidur pulas di balik selimut tebal bermotif garis putih dan abu-abu. Seketika itu juga Sam mengubah posisi duduk menghadap wanita yang baru tadi siang ia nikahi. Perlahan ia menyibak helaian poni yang menutupi wajah Tera. Hanya butuh waktu 5 detik Sam menyesuaikan posisi kamera ponsel demi mendapat citra wajah nyenyak itu untuk ia kirim pada Huanran.

Sam:
"Dia tak kalah cantik denganmu."


Balasan dari Huanran menyusul beberapa saat setelah Sam meneguk sisa kopi di cangkir yang tergeletak di meja kaca.

Huanran:
"Cantik." :)

Sam:
"Kapan menyusul mengakhiri masa lajang?"


Huanran:
"Sayangnya aku belum sanggup melupakan laki-laki dari masa laluku." :")

Sam menghela napas panjang. Wanita itu masih saja menyimpan masa lalunya. Tidak ada lagi pesan masuk dan Sam sendiri sedang tidak ingin memperpanjang obrolan. Ponsel ia letakkan begitu saja di karpet bersamaan dengan kepalanya yang ia rebahkan di sofa di mana Tera tidur. Malam ini seharusnya menjadi malam yang panjang untuk pengantin baru pada umumnya, tetapi Sam tidak ingin membuat Tera ketakutan mengingat mereka belum saling mengenal terlalu jauh. Sepertinya hanya jalan kesabaran yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kecanggungan.

**

Tera merapikan poninya yang berantakan. Beberapa kali ia menghela napas kasar. Hidup sebagai istri Sam memang penuh ketegangan. Belum lagi bila laki-laki yang sedang duduk di sampingnya ini mengambil keputusan mendadak. Ya, seperti sekarang. Mereka berdua sudah berada dalam perjalanan udara menuju Kalimantan Utara. Tera hampir mati kelabakan menata pakaian, menyiapkan kartu pers dan identitas lain.

"Santai saja. Aku sudah mempersiapkan perjalanan ini beberapa bulan yang lalu, kok," ucap Sam datar sambil mencatat sesuatu dalam buku agenda kecilnya.

A-apa? Santai katanya? Yang benar saja! Tera terus mengumpat dalam hati, tetapi demi menghargai atasan sekaligus suaminya ini, ia hanya mampu menahan sumpah serapah dengan senyum terpaksa. Tera merogoh saku jaket, meraih kacamata tidur berbahan kain warna hitam. Lebih baik ia tidur sekarang demi membunuh waktu perjalanan dan emosinya yang kadang tak mampu ia tahan.

Namun, gerakan Tera memasang kacamata tidur terhenti saat Sam beralih mengangkat agenda dan menggantinya dengan acara baca buku. Buku berwarna merah bata dengan nama penulis yang amat Tera kenal. Arum Senja. Perkataan Bela memang benar. Sam mengidolakan penulis itu.

Tera berdeham sembari mengubah posisi duduk menghadap Sam. "Omong-omong soal Arum, bukankah cerpen dia pernah diterbitkan majalah wanita dari redaksi kita beberapa tahun yang lalu?"

Sam menoleh, mengangguk ragu. "Ya, majalah wanita terakhir yang kami terbitkan."

Ya, berdasarkan rapat akhir tahun, pemimpin redaksi dan tim kreatif konten telah memberhentikan terbit majalah wanita dari perusahaan. Semua keputusan itu diambil mengingat seiring perkembangan zaman, para wanita lebih suka membaca media sosial ketimbang majalah cetak. Baru beberapa bulan ini Lianti juga sempat menggagas kembali majalah wanita versi online. Namun, Sam masih belum tertarik kembali menerbitkan majalah wanita. Ia pun belum menyampaikannya pada sang papa.

Tera berdeham kembali. "Apa Bapak pernah bertemu dengannya?"

Sam mengerjap dan perlahan menutup bukunya.

"Maksud saya, apa Arum pernah ke kantor sebelumnya?" ralat Tera tergesa sebelum Sam berbicara banyak.

Manik mata Sam mengunci tatapan gelisah Tera, seolah tahu ada sesuatu dari nama penulis yang baru saja ia tanyakan. Sam mengembuskan napas perlahan sambil menyandarkan punggung. "Sebelum kamu bekerja di kantor kami, dan saat majalah itu terbit. Aku masih di Chengdu, China. Mana aku tahu kalau dia pernah ke kantor."

"Apa ada salah satu orang kantor yang mengenalnya?" Tera mendesak.

"Mana aku tahu. Kenapa tidak tanya Bela dan Juan?"

Tera menggigit bibir. Andai Bela tahu, sudah pasti Bela akan bercerita padanya. Bela tahu siapa Arum dan tidak mungkin Bela menyembunyikannya dari Tera bila ia menemukan Arum. Lagi pula Bela tidak memegang kendali soal majalah wanita.

Ke mana perginya penulis Arum Senja itu? Mengapa ia selalu meninggalkan jejak karya di sini? Kenapa tak menghilang sekalian saja?

"Kenapa bertanya soal Arum? Penasaran?"

Tera menghela napas, mengabaikan cecaran Sam dengan sibuk memasang kacamata tidur. "Tidak. Aneh saja, banyak penulis yang ingin beken, tapi dia sok bikin penasaran."

Giliran Sam yang berdeham. Namun, ia lebih memilih diam dan tak melanjutkan pembicaraan karena melihat Tera sudah ada dalam posisi nyaman, memulai acara tidur.

**

Sam masih sempat mengamati perubahan sikap wanita di sisinya. Tera merebahkan kepala dengan posisi menengadah. Sesekali Sam bisa melihat pergerakan leher wanita itu pelan saat menelan susah payah salivanya. Dan saat Sam beralih menatap ke arah wajah Tera, ia tahu istrinya itu menahan sesuatu. Ketika itu juga, Sam bisa melihat rembesan air di kacamata tidur Tera. Basah. Wanita itu ... sedang menangis.

**

Tera tahu seberapa berat medan yang akan ia tempuh bersama Sam. Dari Jakarta, mereka harus singgah di Tarakan dan mengambil penerbangan domestik menuju Nunukan. Sampai di Kecamatan Mansalong, Kabupaten Nunukan, mereka masih harus melalui derasnya aliran Sungai Sembakung dengan perahu. Butuh waktu sekitar 5 jam untuk mencapai Kecamatan Lumbis Ogong dan berlanjut ke Desa Labang.

Derasnya aliran tak memutus kemungkinan perahu yang mereka tumpangi terbalik. Sehingga saat melalui jeramnya sungai, bila beban perahu terlalu berat, penumpang wajib turun terlebih dahulu. Tera duduk sebentar di atas bebatuan sembari mengamati perahu yang berusaha melalui jeram. Ia sempat terperangah ketika perahu sedikit melompat di atas air.

"Anda benar-benar mengajak saya menantang maut," gumam Tera diiringi ringisan takut.

"Anggap saja liburan," sahut Sam tanpa menoleh sedikit pun.

Tera menipiskan bibir. Ia bangkit sambil menjejakkan kaki kesal ke bebatuan sungai. Sedikit tertatih mengikuti langkah Sam menuju perahu yang kembali menepi menunggu penumpang naik. Terkadang Tera berpegangan pada ransel di punggung Sam. Sungguh, suaminya memang tak peka.

"Bawa apa saja dalam ranselmu?" Sam meraih uluran tangan Tera saat mereka sampai di tujuan.

Hari ini mereka bermalam di Lumbis Ogong sebelum ke Labang. Fasilitas pendidikan wajib 9 tahun hanya ada di kota kecamatan. Tentu saja hal ini akan menjadi ulasan menarik. Tera membenarkan letak topi hitamnya seraya berdeham. "Makanan ringan tentunya," sahut Tera singkat.

Angin kembali menerpa seketika perahu mulai berjalan sedikit cepat. Kecipak air terdengar begitu menyeramkan saat perahu menerjang derasnya aliran sungai. Sialnya, saat perahu sedikit melompat, gerakan refleks itu hadir. Tera menahan tubuh agar tidak ikut melompat dan mencengkeran tangan lelaki di sisinya.

Namun, reaksi Sam menggenggam telapak tangan Tera itu yang membuatnya justru merasa canggung.  Kedua manik hitam wanita di sisi Sam itu terpana pada genggaman tangan dengan pergelangan bergelang hitam. Liontin berinisial S di pergelangan tangan itu berayun saat Tera dengan cepat menarik kembali tangannya. Merasa ada rasa bergelenyar aneh melalui sentuhan tangan itu, wanita berkulit putih itu meremas kedua tangan di pangkuan.

"Mama mau ke mana?" Sam berdeham, membuang kecanggungan dengan membuka perbincangan bersama penumpang lain.

"Dari Mansalong, jenguk anak," jawab wanita berambut pendek sebahu. Lipatan wajahnya menunjukkan usia yang tak lagi muda.

"Sakit?"

Wanita itu mengangguk dengam senyum sekilas.

"Di Lumbis tidak ada dokter?" Tera menoleh ke arah Sam.

"Ada bidan. Kalau di Labang nanti malah enggak ada sama sekali, harus ke negara tetangga," terang Sam.

Tera meringis. Petualangan mereka berdua baru akan mulai di sini.

**

Pertama kali publish: 21-09-2019
Republish: 09-12-2024

====🌻🌻🌻====

Doain Tera sama Sam akur ya, Gais. 😆

Satu kali lagi republish entar malaman buat hari ini. Jangan lupa tekan bintang dulu buat yang belum vote, biar bintang menyala terang.

Terima kasih. Sehat selalu. 🥰🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top