Bagian 6

Halo, selamat pagi.

Masih berusaha rutin republish biar akun Wattpad-ku terlihat hidup lagi setelah sekian lama tidur panjang. 😅

Udah pada siap berangkat kondangan belum? 😆

Yuklah, gas! Jangan lupa vote dan ramaikan lapak komentar.

Happy reading. 🥰🫰

====🌻🌻🌻====


"Saya terima nikah dan kawinnya, Lentera Aulia ...."

Tera mendadak linglung. Kalimat itu terus terngiang, membuat ia terkadang sesak napas seketika. Perbincangan sederhana masih berlanjut di ruang makan keluarga Tera. Semua duduk mengitari meja persegi dengan hidangan makan siang. Nasi rawon buatan Ibu yang—Tera rasa—cukup menggiurkan lidah tampak menjadi sajian istimewa, tetapi bagi Tera mendadak terasa hambar.

Tera dan Sam duduk bersebelahan di karpet ruang tengah. Namun, matanya menatap kosong pada sepiring nasi rawon dan sesekali menoleh lalu menatap ke arah dua keluarga yang telah bersatu di meja makan.

Orang tua Sam—Meilan dan Bramantyo—sesekali tertawa dan menghentikan sendokan kuah rawon dari piring saat Ayah bercerita masa kecil Tera. Sepertinya Ayah sudah melupakan pertengkaran kemarin. Ibu dan Aya juga sibuk tersenyum ketika Meilan mengatakan sajian makan siang mereka sungguh enak.

"Oh ya, Sam, malam ini tidurlah di sini. Berikan waktu pada istrimu untuk bermanja dengan keluarga sebelum kamu bawa pulang." Meilan mengerling ke arah putranya.

Ibu tertawa kecil. "Ah, Tera sudah—"

"Tidak! Saya bisa langsung ikut Pak Sam pulang hari ini juga," sela Tera. Ia sempat tersenyum samar pada Asiyah—ibunya.

Sontak pemuda di sisi Tera—yang mengenakan setelan kemeja putih dengan jas hitam yang sudah ia tanggalkan—hampir tersedak buliran nasi dan kuah di mulut.

"Santai saja, Pak," sambung Tera seraya menggeser gelas minum ke sisi Sam.

Sam meneguk air mineral hingga setengah tandas, menarik lipatan tisu di meja untuk mengelap sudut bibirnya yang basah. Ia melempar remasan tisu ke kotak sampah di ujung ruangan, lalu menyangga kepala dengan sebelah tangan demi menatap Tera heran.

"Berhenti menyebutku dengan sapaan Pak. Aku belum setua itu dan ini bukan di kantor."

Protesan Sam itu kontan mendapat sambutan tawa seisi ruangan makan. Mereka berdua memang belum mendaftarkan pernikahan secara resmi ke KUA. Sam memutuskan baru akan mendaftarkan pernikahan mereka setelah pulang liputan di Lumbis Ogong, Kalimantan.

"Betul sekali, Nak. Sam baru berusia 26 tahun. Belum setua yang kamu kira. Penampilan dia memang terlalu kolot." Bram tertawa kecil seraya menyendok kembali makanannya.

Tera tersenyum malu dan saat ia menatap Sam, wanita itu tertunduk seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Baginya Sam menakutkan dengan tatapan tajam yang hanya mengarah padanya.

**

Langkah kaki Tera sedikit terganjal dengan rok bermotif batik yang dikenakan. Ia perlu sedikit mengangkat setelan kebayanya itu agar dapat mengikuti langkah Sam. Sesekali wanita yang menutup kebayanya dengan jaket hoodie milik Sam menggerutu tak jelas. Tepat di depan lobi apartemen, ia menaikkan penutup kepala setelah membenarkan posisi ransel di punggung.

Mulanya Sam bersikap cuek dengan tingkah wanita yang sesekali tertunduk dalam saat berpapasan dengan orang lain. Hingga sampai di dalam lift dan Tera menurunkan penutup kepala sembari melepaskan napas lega, kening Sam berkerut.

"Kenapa bertingkah seperti penyusup begitu?" Sam berujar seraya menyandarkan lengan kiri ke dinding lift.

"Oh, itu ... saya takut dikira wanita enggak bener, Pak," kekeh Tera pelan.

"Maksudmu?" Sam mencecar, tetapi wajahnya terfokus pada layar ponsel yang sedari tadi menyala. Panggilan dari Juan dan Lianti. Namun, berkali-kali ditutup dengan menggulir ikon telepon merah.

Tera berdecak sembari mengentak kedua tangan. Sepertinya wanita di sisi Sam itu sudah menahan rasa tertekan sejak sampai di parkiran apartemen.

"Bapak pikir kenapa coba?" Tera sudah menghadapkan tubuh ke arah Sam dengan bola mata sedikit melebar karena kesal.

Sam mengembalikan ponsel ke saku setelah mematikan dayanya, lalu melipat kedua tangan di dada. "Aku tanya kenapa malah balik tanya. Gimana, sih?"

"Pak, kita itu baru menikah secara agama, belum terdaftar di KUA. Orang seantero Jakarta ini belum ada yang tahu kalau kita suami istri dan kita mau tinggal dalam satu atap. Camkan itu, satu atap!" Tera mengeja pelan pada kata satu atap.

"Begitu saja dipikirkan," tanggap Sam seraya mengubah posisi dengan menyandarkan punggung ke dinding lift dan menjejalkan kedua tangan ke saku celana.

Tera hampir mendebat dengan tangan kanan terkepal dan jari telunjuk menunjuk ke arah Sam—posisi mengancam. Namun, pintu lift terbuka dahulu dan Sam berlalu ke luar. Sialnya ada beberapa pengguna lift lain yang akan masuk dan membuat Tera kembali menurunkan tangan. Ia mengangguk sungkan lalu berlari kecil mengikuti Sam yang sudah sedikit jauh.

Tawa Sam tertahan saat ia sedikit menengok ke belakang. Ternyata wanita yang dinikahinya seunik ini. Tera tampak kesusahan berlari sambil memegangi penutup kepala. Bahkan ia hampir menubruknya saat Sam berhenti di depan pintu apartemen miliknya.

Tera mengaduh dan menggeram bersamaan. Sam sedikit terhuyung ke samping begitu pintu terbuka setelah ia menekan password. Rupanya Tera terburu-buru segera masuk demi menghindari berpapasan dengan pemilik apartemen lain. Istri Sam itu bahkan membiarkan sepatu wedges yang dikenakan teronggok di lantai tanpa repot menata di rak. Sam berdecak sembari memungut sepatu milik Tera dan diletakkan bersebelahan dengan sepatunya di rak.

Apa iya, menikah denganku semenakut itu?

**

Manik kecokelatan milik wanita bersetelan kebaya di ruangan serba hitam dan putih itu masih menelisik seisi ruangan. Apartemen yang akan ditempati bersama suaminya tampak luas dengan sofa hitam berbantal putih. Ah, Tera bisa yakin sofa yang sedang didudukinya bukan sofa biasa alias berharga mahal. Sudah terasa dengan sentuhan lembut kain dan empuk saat pantat Tera menyentuh sofa.

Sementara Tera mengitari setiap sudut ruangan apartemen, Sam lebih memilih berkutat di dapur menyiapkan makan malam. Ada yang sedikit mengganggu pikiran Tera saat mengamati apartemen ini. Ya, ornamen lampion merah di sudut balkon. Hiasan gantung di balkon juga terdengar bergemerincing saat tertiup angin.

"Ngapain bengong?"

Sapaan Sam sontak membuat Tera berjingkat dan menoleh pada sumber suara. Sam sudah duduk di kursi dan dua mangkuk nasi sudah terhidang lengkap dengan potongan ayam kecil-kecil. Oh, wangi bawang bombai juga tercium, membuat perut Tera berteriak minta diisi.

Tera buru-buru duduk dan menyambar mangkuk bagiannya. Namun, tak ada sendok di meja. Hanya ada sumpit. Mungkin makan mi ayam langganan menggunakan sumpit mudah, tetapi ini nasi dan potongan ayam. Tera meringis memperhatikan Sam lihai saja menggunakan sumpit.

"Enggak ada—"

"Keluargaku mualaf," sela Sam tiba-tiba.

Tera meneguk ludah. Pantas saja Ibu Meilan bermata sipit dan berkulit putih bersih. Bila tebakan Tera benar, mertuanya itu berasal dari Negeri Tiongkok.

"Kalau mau sendok, ada, kok, di dapur. Tapi aku sedang ingin makan pakai ini," ucap Sam seraya menggerakkan sumpit dengan gerakan mencapit udara.

"Oh, baiklah! Bukan masalah, saya juga terbiasa makan mi ayam pakai ini." Tera sama melakukan gerakan sumpit mencapit udara, lalu tersenyum.

Sam sama tersenyum di sela kunyahan makan malamnya. "Coba kalau bisa."

Tera tertawa kecil, merasa diremehkan. Ia baru akan berusaha menyumpit potongan ayam saat ponsel di saku roknya berdering. Dengan terpaksa ia menunda jam makan dan menilik layar ponsel. Melihat nama Ibu di layar, ponsel yang ia genggam terpaksa diturunkan ke meja. Tidak. Wanita itu harusnya tahu Tera tak mau lagi berhubungan dengannya setelah hengkang dari rumah.

Sam meraih benda pipih di meja yang terus berdering. "Ibu telepon, kamu enggak mau kasih kabar?"

Tera hanya melirik ponsel yang digerak-gerakkan Sam di hadapannya. "Aku sedang tidak ingin bicara dengannya. Toh aku baik-baik saja di sini."

"Oh, ya sudah," pungkas Sam.

Tera bisa merasakan keheranan Sam dari kerutan di kening laki-laki itu. Akan tetapi, untuk saat ini biarkan semua terkubur. Tera belum ada keinginan untuk menceritakan semua secara runtut di depan suaminya.

**

Kamar depan sudah kosong. Wanita berjilbab besar itu masih tampak duduk di kursi menghadap jendela. Sudah pukul 7 malam dan ia masih enggan beranjak dari kamar si sulung.

"Bu, makan malam udah Aya siapin, lho." Aya mengusap lembut bahu sang ibu.

Asiyah mendongak dan tersenyum. "Makasih, Aya," sahutnya lembut.

Aya menghela napas sembari menarik kursi ke sisi ibunya, lalu duduk bersisian. Sebelah tangannya meraih bingkai foto. "Mbak Tera cantik, ya, Bu?"

Asiyah tersenyum meraih foto Tera. "Ya, dia memang cantik. Sejak ia hadir di rumah ini, Ibu suka mendandani mbakmu itu."

"Meski Mbak Tera pasang tampang cemberut," sambung Aya. Ia susah hafal betul alur cerita Asiyah sejak dulu. Ibunya teramat menyayangi Tera dengan tulus. Andai Tera tahu semua ini. Andai kakaknya itu paham tentang kisah seorang anak yang terlahir dari hati seorang ibu yang memiliki kesabaran luar biasa.

Aya memeluk Asiyah sambil terus mengusap bahu ibunya. "Aya sayang sama Ibu."

Asiyah kembali tersenyum dan Aya tahu, senyum itu telah menyimpan luka menganga.

***

Pertama kali publish: 04-09-2019
Republish: 09-12-2024

====🌻🌻🌻====

Gimana, gimana? Jadi republish sehari 3 kali? 😆

Terima kasih atas dukungannya, ya. Sehat dan lancar rezeki untuk kita semua. Aamiin.

Tekan bintang buat yang belum vote, ya. Biar bintangnya menyala terang.

See you on next part. 🥰🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top