Bagian 27

Selamat siang. Apa kabar hari ini? 🥰

Yuk, langsung saja! Happy reading, jangan lupa vote dan komentar yang ramai.

Thank you. 🥰🫰

====🌻🌻🌻====

Minggu pagi ini selera makan Tera menguap entah ke mana. Bi Inah--yang memang sengaja Sam kirim dari rumah sang mama untuk menemani Tera di rumah--sudah memasak kungpao chicken layaknya masakan Sam. Namun, semua masakan itu sama sekali tak menggugah rasa laparnya.

"Kenapa, Non? Masakan Bibi enggak enak, ya?" Bi Inah bertanya seraya mencuci gelas di wastafel cuci piring.

Tera yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk makanan tak jelas mendongak. "O-oh, enak kok, Bi. Tera emang lagi enggak nafsu makan hari ini."

Bi Inah terkikik. "Kenapa? Mau yang asem-asem? Lagi ngidam barangkali?"

Duh, kenapa akhir-akhir ini selalu ada tudingan itu, sih! Tera tak mau itu terjadi selama Sam belum pulang! Titik! Tera menggigit bibir.

"Bukan, Bi ... lagi enggak selera aja, kok," jelas Tera akhirnya.

Kabar dari Bela semalam sungguh menambah beban pikirannya. Juan memilih resign dan bekerja sebagai wartawan lepas. Meski Juan beralasan ingin mandiri dan tak ada ikatan dari media mana pun, Tera paham bukan itu alasan utamanya. Ia begitu yakin keputusan Juan ada hubungannya dengan kepindahan Lianti. Bagaimanapun usaha Bela membujuk Juan, tak membuahkan hasil. Bahkan saat Tera berjanji akan selalu jadi korektor setia artikel buatan Juan pun tak berhasil.

Ternyata jadi istri dari laki-laki yang banyak kupu-kupu di sekitarnya seberat ini, Tuhan. Batin Tera bergelut. Ia juga terus berdoa semoga Juan selalu mendapatkan job di luar sana dengan lancar.

"Bibi ke supermarket sebentar ya, Non. Mau belanja keperluan dapur." Bi Inah berpamitan setelah mengeringkan tangan dan melepas apron dari dadanya.

"Eh, jangan, Bi. Biar Tera aja. Tolong catat apa aja yang perlu dibeli ya, Bi." Wanita dengan piama beraksen garis-garis itu bergegas mengganti pakaian.

"Mau Bibi temani belanja, Non?" Bi Inah sedikit mengeraskan suara melihat istri majikannya itu sudah masuk ke kamar.

"Boleh!"

**

Supermarket di akhir pekan lebih ramai dari hari biasanya. Bi Inah mendorong troli di belakang Tera sementara istri Sam itu memilih beberapa kotak susu segar dengan aneka merek. Wanita dengan sanggul kecil di kepalanya itu tak jarang meledek dengan memilihkan aneka susu persiapan untuk calon ibu atau menyodorkan mangga. Tera hanya tersenyum dan menggeleng sebagai cara menolak dengan halus.

Usai memenuhi troli dengan belanjaan, keduanya bergerak menuju kasir. Tera menyempatkan menilik ponsel yang bergetar di saku saat mengantre panjang.

Sam:
"Ajak Bi Inah kalau pergi sama sopir pribadi Mama."

Tera mengerucutkan bibir. Untung saja Tera bukan tipe wanita yang risi dengan setiap sikap posesif pasangan. Setelah mengirim Bi Inah di hari kedua kepergian Sam, menyusul sopir pribadi Mama Meilan di hari ketiga. Sayangnya, Tera terlalu risi pergi ke kantor hanya berdua saja dengan sopir. Mau membawa mobil Sam pun ia terlalu enggan menyetir sendirian dan memilih naik angkutan umum. Bukan tak bisa, semua wartawan di kantor media mewajibkan bisa menyetir roda dua maupun roda empat.

Tera mengetik balasan dengan cepat.

Tera:
"Katanya enggak ada jaringan internet."

Sam:
"Udah balik ke Delhi. Tiga hari lagi aku pulang."

Tera:
"Hah?"


Tak ada balasan lagi. Ah, seharusnya tadi Tera balas iya dan antusias menyambut, bukan? Keningnya berkerut menyesali. Jemari lentik di atas benda pipih itu kembali mengetik.

Tera:
"Sam ...."


"Neng Nurul?" Bi Inah bersuara.

Tera berbalik. Bertepatan ia berbalik, senyum wanita salihah itu mengembang. Jilbab hijau dan gamis panjang itu menyejukkan siapa saja yang memandang. Tak ada pilihan. Meski hati Tera tercubit amat keras, balasan senyum ia tunjukkan demi menghapus kecanggungan.

**

Tatapan wanita bergigi gingsul itu terus tertuju pada jari manis Tera yang mengaduk susu soda di gelas pesanannya. Semula ia tak terlalu ambil pusing, tetapi lama kelamaan ada rasa tak enak dan segera menyembunyikan jari manis bercincin itu ke bawah meja.

"Ma-maaf, Nurul. Aku ...."

"Mbak Tera enggak salah." Nurul memotong perkataan Tera yang matanya tertunduk. Ia meraih gelas es teh manis dan meminum sampai seperempatnya.

Tera menyesal menerima ajakan Nurul mampir minum sebentar di foodcourt terdekat. Ia lupa pesan Sam untuk tidak usah mendekati masa lalunya. Namun, rasa penasaran membuat Tera mengiakan ajakan tersebut dan meminta Bi Nah pulang duluan bersama sopir pribadi Mama Meilan.

"Tapi karena aku, kamu dan Sam ...."

"Tidak, Mbak. Mas Sam tidak pernah mencintaiku."

Tera terdiam. Ia bisa melihat riak air di pelupuk mata ber-eyeliner hitam yang mempertegas tatapannya. Wanita itu membuang wajah, menatap jajaran kendaraan yang lalu-lalang di bawah sana melalui jendela kaca di sisi kirinya seolah sedang menerawang dan menguak semua masa lalunya untuk kembali diceritakan.

Bagaimana bisa Sam mau menikahi Nurul kalau ia tak mencintainya? Sebegitu burukkah kelakuan Sam sampai ia menikah dengan siapa pun meski tak cinta?

**

Tangguh Bahtera Samudra. Nama yang begitu unik. Nurul yakin hatinya setangguh namanya dan hatinya seluas samudra. Laki-laki itu amat mencintai ibunya. Matanya juga selalu penuh selidik menandakan ia pengamat yang baik dan tak banyak bicara. Nurul juga yakin Sam adalah pemuda yang cerdas. Meski tak banyak bertanya saat bersamanya, Nurul yakin di kepala pemuda itu selalu banyak tanya.

Bukan keinginan mereka mengambil keputusan  untuk menikah secara agama dahulu. Nyonya Meilan dan Tuan Bram amat bersemangat belajar agama yang baru ditapaki. Tak jarang Nurul menyambangi rumah keluarga Meilan dan Bram. Setiap berpapasan dengan Sam, laki-laki itu hanya melempar senyum dan mengangguk.

Saat kedua orang tuanya belajar membaca Al-Quran dan terjemah, tak jarang Sam ikut duduk bersama sambil bermain ponsel. Meski demikian, Nurul yakin telinga di kepala Sam turut memperhatikan. Hingga suatu ketika pemuda itu datang sendiri setiap sore membawa Al-Quran yang masih baru dan meminta Nurul mengajarkan maksud dari setiap ayat-ayatnya.

Menyadari kedekatan mereka, kecocokan Meilan tak terbendung. Abah juga terlampau khawatir dengan cuap-cuap tetangga yang berujung fitnah. Demi memupus semua kekhawatiran, Abah setuju mengabulkan permintaan Meilan dan Bram untuk menikahkan mereka. Meilan sibuk mempersiapkan pernikahan. Nurul kerap diajak ke rumah demi membicarakan perihal resepsi pernikahan mereka yang akan digelar bulan depan.

Namun, semangat itu tak ia temukan pada setiap respons Sam. Nurul pernah ikut Sam ke apartemennya usai ijab qabul terucap. Jantungnya berdebar saat mengikuti langkah panjang imam di sisinya. Pipinya bersemu merah dan wajah terasa panas meski Nurul sadar hawa di apartemen dengan pendingin ini jelas tak sepanas di jalan. Tangannya juga berkeringat dingin saat Sam duduk di karpet dan kembali mengajaknya berdebat mengenai keberadaan Tuhan.

"Mas Sam tahu siapa yang buat sofa ini? Paham orangnya?" Nurul membalik pertanyaan.

Sam menggeleng pelan.

"Lalu, kenapa Mas Sam begitu yakin kalau sofa ini ada penciptanya?"

Laki-laki itu terdiam lalu mengangguk. Agaknya ia tak ingin berdebat lagi meski Nurul mengira masih banyak yang ingin ditanyakan.

"Mas, boleh aku pinjam ponselnya? Ponsel Nurul mati. Mau telepon Abah dulu."

"Ambil saja di meja pantry. Tadi aku meletakkannya di sana." Sam menyahut sambil menata lembaran kertas di meja dan membawanya ke kamar.

Nurul bergegas ke pantry. Ia duduk di kursi kaki tiga sambil menyalakan ponsel Sam. Keningnya berkerut saat ponsel terkunci dengan kata sandi. Ia urung menggunakannya dan membawa ponsel ke ruang tengah.

"Apa kata sandinya?" Ia bertanya sembari membenarkan posisi hijab.

Sam terdiam sejenak menatap segelas air putih di tangan lalu mengembuskan napas pelan. "Lentera Aulia."

Bulu mata Nurul berkedip. "Wah, kata sandi yang indah."

Nurul pikir kata sandi itu hanya semacam obsesi Sam saja yang selalu bilang pekerjaannya bak penerang kegelapan masyarakat. Pekerjaannya bak pemberi cahaya agar semua umat tahu ada banyak kisah dan tragedi di berbagai penjuru.

"Apa kamu lapar? Aku akan membuat makanan untukmu." Sam beranjak membawa gelas ke pantry. Sibuk menyiapkan makan malam dan membiarkan Nurul membuka semua isi ponselnya.

Nurul pikir ini awal mula Sam membuka diri untuknya dengan membiarkan dirinya menelusur benda pribadi milik sang suami. Senyum kembali merekah membawa rona merah di kedua pipi. Jari Nurul bergerak lincah sampai ke galeri foto. Banyak foto-foto Sam semasa kuliah. Guliran foto terhenti pada sosok wanita berparas Tionghoa. Wanita itu tampak keibuaan dan bila ditaksir seumuran dengan Mama Meilan.

"Siapa Ibu Cantik ini?" Nurul tak sanggup menahan rasa penasaran. Ia menunjukkan layar ponsel ke arah Sam yang sedang mengaduk sayur dan daging sapi.

"Itu Bibi Huanran. Dia sudah seperti keluargaku sewaktu di Chengdu." Sam tersenyum tipis.

Nurul mengangguk dengan bibir membulat. Ia kembali menggulir foto ke kiri. Ia kembali mengerjap menatap foto dua wanita di galeri ponsel Sam.

"Lalu ini siapa?"

Sam mendongak sebentar. "Itu Bela, sesama wartawan di kantor. Yang satunya ... Tera, baru magang seminggu yang lalu."

"O-oh, Mas Sam dekat dengan mereka?"

Sam kembali tersenyum tipis. "Dekat sebagai rekan kerja saja. Ayo, makan. Setelah ini kuantar pulang."

Jantung Nurul mencelus. Apa tadi? Pulang? Haruskah malam pengantin baru ini ia kembali ke rumah Abah? Bukankah mereka sudah sah? Apa Sam tak menginginkannya?

Sam berdeham usai menelan nasi dan potongan sawi serta daging. "Maaf, Nurul, aku tak ingin membuatmu takut. Aku hanya mau kita sama-sama menyesuaikan diri dahulu."

Nurul segera mengibaskan kedua tangan di depan dada. "Oh, tidak apa-apa. Sungguh aku berterima kasih karena kamu menghargai proses."

Sebagai seorang wanita Nurul merasa tertampar. Jadi sejak tadi ia berdebar sendirian. Ia canggung sendirian dan memikirkan kekikukan bagaimana melalui semua berdua saja di apartemen ini juga sendirian. Sungguh ia sangat malu.

**

Nurul melempar tas selempang ke ranjang. Ia lantas mengempaskan tubuh ke kasur empuk yang seharian ini ia tinggal berbelanja ke supermarket. Ada rasa lega membuncah saat semua telah ia tunaikan. Ia lega telah menyampaikan semua pada wanita pilihan mantan suaminya.

Tak ada lagi beban di ulu dada. Ia tahu sikapnya ini benar. Ia paham pasti Tera bertanya-tanya. Untuk itu Nurul merasa perlu meluruskan bahwa tak pernah ada cinta di antara Sam dan Nurul. Nurul pun baru menyadari hari ini dalam diam bahwa Lentera Aulia adalah kata sandi yang diambil dari nama panjang Tera, istri sah Sam sekarang. Betapa ia bodoh telah mempermalukan diri dengan terlalu percaya diri bahwa Sam mau menikahinya karena cinta. Sam hanya mengikuti kata mamanya, bukan mengikuti kata hatinya.

Nurul menarik bantal di sisinya lalu menutup wajah dengan benda empuk itu. Kemudian yang terjadi adalah benteng pertahanannya kembali runtuh. Ia menangis sejadinya, berharap kelegaan lain menyusul usai hujan di mata berakhir.

**

Pertama kali publish: 21-10-2020
Republish: 29-12-2024


=====🥀🥀🥀=====

Gais, Senin aku libur republish Sam sama Tera.

Jangan kangen, ya. 😁

Sehat-sehat selalu. Semoga tahun 2025 nanti akan berdatangan kabar baik untuk kita semua. Aamiin.

Bahagia selalu. Thank you. 🥰🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top