Bagian 26
Halo, selamat pagi! 😁
Apa kabar di akhir pekan hari ini? Udah liburan ke mana aja?
Kalau aku masih di rumah sajaaa. Belum ada rencana mau ke mana. Padahal liburan sekolah anak tinggal seminggu lagi, ya? 🫠
Yuklah, ramaikan lapak ini dulu! Semangatku lebur kalau sepi soalnya. 🫠
Happy reading, jangan lupa vote. 🥰🫰
====🌻🌻🌻====
"Jangan mencariku selama aku ada di Kashmir. Jaringan internet di Srinagar masih belum kembali stabil. Aku akan jarang menghubungimu." Sam bicara seraya membenarkan posisi tas punggung di bahu kanan.
"Aku?" Tera menunjuk wajahnya sendiri. "Mencarimu? Tidak. Bekerjalah dengan tenang, Pak. Aku baik-baik saja."
"Ucapkan sekali lagi aku tak segan mengunci mulutmu di sini juga," ancam Sam.
Tera bergerak spontan menjauhkan tubuh dari laki-laki berbalut sweter berwarna krem di sisinya. "Ini sedang dalam jam kerja, Sam. Aku hanya berusaha menghormatimu dengan panggilan itu." Tera mencibir. Ia sempatkan menilik arloji di pergelangan tangan kiri. "Masih satu jam lagi. Ayo, kita makan dulu di sana," ajak Tera menunjuk sebuah kafe di area sebelum memasuki boarding pass.
"Mana ada jam kerja malam-malam begini."
"Ingat, Sam, jam kerja wartawan memang enam hari, tapi nyatanya harus siap selama 24 jam."
"Terse‐-"
"Sam!"
Teriakan lantang itu membuat Sam dan Tera melepas gandengan dan berbalik ke belakang. Detik itu juga Tera mengerjap saat wanita dengan dress putih tulang berpadu cardigan hijau tosca berlari menghampiri. Wanita itu tampak berantakan dengan pipi sembap dan berurai air mata. Bahkan ia melupakan high heels 10 sentinya dan hanya mengenakan sandal slop rumahan. Tangan kanannya membawa sebuah amplop cokelat yang terlihat lusuh karena digenggam begitu erat.
Tera terhuyung ke kanan begitu sosok itu menyerbu laki-laki di sisinya dengan pelukan erat. Apa ini? Di tempat seperti ini haruskah ada drama semacam ini? Hati Tera mencelus tak keruan. Dadanya naik turun tetapi ia sulit mengambil sikap mengingat puluhan mata tertuju pada mereka bertiga.
"Ini ada apa lagi sih, Li?" Sam berusaha memberi jarak pada wanita yang terisak dan terus mempererat perlukan.
Ah, apa sebaiknya Tera pergi saja? Atau hanya membeku di sini seperti orang bodoh?
**
Suasana terlihat kaku. Sudah lima belas menit berlalu dan mereka bertiga hanya duduk diam tanpa ada yang mau memulai pembicaran. Lianti masih sesekali menghapus air matanya yang terus meleleh. Hingga suara embusan napas Tera terdengar dan memilih beranjak, Sam mencegahnya dengan meraih pergelangan tangan sang istri.
"Enggak apa, kalian bicara saja dulu. Aku mau pesan minuman." Tera tersenyum dan senyuman itu menandakan Sam tak perlu khawatir.
Perlahan Sam melepas tangan Tera dan mengamati punggung wanita itu sampai di depan kasir.
"Bicaralah," pinta Sam.
Lianti menghela napas panjang dan menghapus pipi basah dengan jemari bercat kuku merahnya. "Apa kamu benar-benar belum bisa memaafkanku? Kamu mau aku pergi dari hidupmu begitu?"
"Aku sudah memaafkanmu."
Lianti membuka amplop dengan tangan gemetar dan membuka lebar kertas di dalamnya. "Lalu apa maksudnya dengan ini? Kamu sengaja meminta papamu untuk membuat surat mutasi ini, hah?"
Sam memalingkan wajah. Tanpa bicara banyak, ia tahu apa isi surat itu. "Aku hanya mau kamu memulai hidup baru, Li. Tinggalkan aku dan ...."
"Enggak! Aku mau kita sama-sama memperbaiki semuanya, Sam." Mata Lianti membeliak, menatap jauh pada manik sehitam jelaga di hadapannya. "Apa kamu masih dendam karena aku ...."
"Tidak sama sekali."
"Tapi aku mau menata hidup cuma sama kamu, Sam. Please ...." Lianti meraih tangan Sam di atas meja. Namun, Sam memilih menarik kedua tangan dan menyimpannya di atas pangkuan.
"Maaf ...." Sam bangkit seraya mendorong kursi ke belakang.
Laki-laki dari masa lalunya pergi, membiarkan Lianti yang kembali terisak dan memasukkan kembali kertas ke dalam amplop. Dengan dada sesak ia bangkit dan menatap jauh ke depan. Di sana, dua sosok itu saling berbicara. Jantungnya tercubit melihat telapak tangan hangat itu menyentuh puncak kepala wanita berkucir kuda di depannya. Ia benci sekali melihat senyum wanita itu terus merekah di wajahnya.
**
"Sudah?" Tera menyeruput minuman soda di tangan kanan.
Sam hanya mengedikkan bahu dan meraih minuman dari tangan Tera. "Dari dulu juga udahan," sahutnya usai minum sedikit lalu mengembalikannya pada Tera. "Harus, ya, minum segelas berdua begini? Irit amat. Gajiku bisa utuh kalau seirit ini."
Tera menggaruk pipi yang bersemu merah. "Aku pikir Bu Lianti bakalan lama tadi." Ia sempat melihat Lianti yang berlalu ke luar kafe. Ah, kenapa ia jadi merasa bersalah seperti ini? Bukankah seharusnya marah pada wanita itu? Lianti tidak cukup tahu diri, tetapi melihatnya seberantakan dan sehancur itu membuat perasaan Tera sebagai sesama wanita sempat kacau. "Memang apa isi amplop itu? Sepertinya itu amplop dari kantor." Tera berjalan beriringan di sisi Sam.
"Mutasi."
Tera membeku. Langkahnya terhenti begitu saja mendengar kata mutasi. Bu Lianti dimutasi? Apa?! Dimutasi?! Pindah?! Dada Tera bergemuruh memikirkan kata itu. Buru-buru ia menyamai langkah Sam lagi dan menghentikannya.
"Kamu yang ngusulin Bu Lianti dipindah?" Tatapan wanita yang tingginya sebahu Sam itu penuh selidik. Sungguh ia tak menyangka laki-laki yang terkenal tegas dan profesional ini melakukan demikian.
Sam hanya mengedikkan kedua alis seraya kembali melekatka sedotan di bibir.
"Sam! Kamu ...."
"Iya, aku ngerti enggak boleh menggunakan kekuasaanku sesuka hati. Tapi bukan itu tujuanku."
Kelopak mata berbulu lentik itu mengerjap bingung.
"Lianti lebih cocok bekerja di media cetak yang bergerak di bidang life style atau fashion. Dia bisa mengembangkan bakat di tempat kerjanya yang baru nanti."
"O-oh ...."
"Dasar suudzon!"
Tera mengembuskan napas kasar. Ia kembali berjalan beriringan. Acara kencan mereka batal malam ini. Untuk beberapa hari ke depan Sam tak ada di sisinya. Tera tak yakin dirinya akan baik-baik saja tanpa Sam.
"Sam ...."
"Hmm?"
"Sepertinya aku mulai menyukaimu." Kalimat itu mencuat begitu saja tanpa pikir panjang. Entah sejak kapan Tera merasa di sisi Sam tak lagi sekaku pada mulanya. Di dekat Sam tak lagi ada tembok pembatas. Dan entah sejak kapan Sam menjadi orbit kehidupannya. Sungguh ia tak menyangka bisa secepat ini menyesuaikan diri dengan ketua tim sok tegas di kantornya.
Sam hanya tersenyum dan mempererat genggaman tangannya. Hanya seperti ini saja dada Tera menghangat.
**
Entah sudah berapa kali pagi ini ia merasa bersalah sangat besar ketika melewati ruangan Lianti. Tera sudah berkali-kali mendesah, mencoba menenangkan diri bahwa memang bukan karena dirinya Lianti dimutasi.
"Ah, bukan salahmu, Tera!" Tera mengumpat dirinya sendiri dengan suara pelan. Ia kembali menatap layar monitor dan berusaha fokus menyelesaikan artikel permintaan Juan.
"Ter, lihat deh! Sejak berita mengenai potret pendidikan di perbatasan buatanmu itu, akhir-akhir ini banyak program baru dari berbagai pihak untuk memajukan beranda negeri." Bela memunculkan diri dari kubikelnya dan menyerahkan beberapa koran dari media cetak lain.
Tera tersenyum menemukan berbagai berita positif mengenai potret perbatasan. Ada sejumput rasa bangga yang membuat lega karena usahanya tak sia-sia. Namun, senyum itu mendadak hilang saat derit pintu ruangan Lianti terdengar. Wanita itu muncul dengan sekotak kardus berisi beberapa barang miliknya. Darah Tera berdesir ketika langkah Lianti tertuju padanya.
"Kamu puas?"
Tera hanya mengedip beberapa kali. Ia bingung harus bereaksi bagaimana. Bahkan hari ini meski wanita di depannya sudah mengenakan riasan sedikit tebal, Tera masih bisa melihat kantung mata Lianti. Wanita ini pasti sangat terpukul dan semalaman menangis hancur.
"Tolong bersikap baiklah di kantor selama belum ada penggantiku, mengerti? Aku tidak mau susunan konten di media berantakan. Pastikan semua tersusun rapi dan rolling tugas terbagi rata selama Sam tidak ada. Buat konten semenarik mungkin. Jangan ada berita murahan masuk ke media kita karena Sam tak suka itu."
Hah? Apa tadi yang Bu Lianti katakan?
Sesuatu yang timbul di sudut bibir Lianti membuat Tera dan Bela mengerjap tak percaya.
"Selamat bekerja!" pungkas Lianti usai menghela napas panjang.
Wanita itu berlalu dengan elegan. Sungguh Tera tak menyangka dan rasa bersalah kembali muncul. Selama di kantor Lianti adalah sosok yang sangat ditakuti karyawan wanita di kantor ini.
"Cinta memang bisa mengubah segalanya," celetuk Bela sambil berpangku tangan menatap wanita yang sudah berada di ambang pintu kantor.
"Bel, kenapa aku jadi merasa bersalah gini, ya?"
"Haah?"
Tera bergeleng cepat. Ia kembali menatap monitor, berusaha mengembalikan fokus pada pekerjaan. Sementara Bela terus memandanginya tak mengerti.
"Argh! Aku izin pulang, deh! Aku pusing dan ...."
"Hah? Kamu pusing? Ngidam ya, Bu?" terka Bela asal.
"Iih, bukan, Bel. Ah, kamu enggak bakalan ngerti!" Tera tetap mematikan komputer setelah menyimpan data. Ia mengangkut tas ke punggung dan keluar kantor.
Semakin banyak teka-teki yang terjawab. Namun semakin banyak ia tahu masa lalu suaminya, semua terasa begitu menampar dirinya. Sakit. Inginnya menerima, tetapi nyatanya perasaan sesal dan kesal selalu bermunculan ketika masa lalu terus menghantui kehidupan rumah tangganya.
Please, Sam ... bawa aku pergi dari sini. Bawa aku pergi jauh dari masa lalumu dan masa laluku yang kadang kala membuatku tertekan.
Gerimis mulai mengguyur jalanan. Tera mengembuskan napas pelan mengulurkan tangan ke luar area halte, membiarkan tetes tangisan langit membasahi jemarinya.
**
Pertama kali publish: 20-10-2020
Republish: 28-12-2024
====🥀🥀🥀====
Jangan lupa nabung, ya, Gais. Kayaknya bakalan terbit cetak dulu. Baru setelah itu aku pikirkan terbit e-book.
Ada bonus extra part khusus pembeli buku cetaknya nanti.
Di Wattpad sampai ending nggak? Ending, kok. Tenang aja. Cuma bonus extra part hanya ada versi cetak atau e-book saja nanti, ya.
Pantengin notifikasi terus, ya. Soalnya mendekati proses terbit bakalan aku unpublish sebagian. Jadi yang mau baca di sini, jangan sampai terlambat baca.
Terima kasih udah dukung aku selalu untuk berkarya.
Sehat selalu untuk kita semua. Sayang kalian banyak-banyak. 🥰🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top