Bagian 23
Halo, selamat pagi. 🥰
Apa kabar hari ini?
Langsung aja, happy reading. Jangan lupa vote, ya. Thank you. 🤗
====🌻🌻🌻====
Sam:
"Aku akan membujuk Tera untuk mau menemui Kakek nanti sore."
Sederet pesan dari menantunya membuat Huanran tampak gelisah. Ia duduk di sisi jendela kamar, menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kali wanita berpiama merah berbahan satin itu tampak menggigit buku jari. Semula ia berusaha meyakini semua akan baik-baik saja. Huanran percaya Sam tak mungkin melepas Tera begitu saja. Namun, lambat laun perasaan khawatir itu muncul.
Huanran menggeleng seraya meraih majalah di meja pojok kamar. Hanya saja deretan huruf malah membuatnya makin pusing tak keruan. Tidak. Ia tak akan mungkin membiarkan putrinya ikut dengan Kakek. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa Tera adalah hak Ridwan dan Asiyah. Ridwan pasti kecewa bila tahu Tera ikut dengan Kakek. Cukup sudah kepergiannya yang tak bertanggung jawab meninggalkan Tera menjadi luka untuk keluarga Ridwan.
Sam:
"Tenang saja. Tera bukan anak bayi. Dia berhak memilih hidupnya."
Satu pesan kembali masuk ke ponselnya. Huanran menghela napas panjang. Sam benar. Ia tak lagi berhak mendikte putrinya, apalagi Tera juga sudah menikah. Usai meletakkan kembali ponsel ke nakas di sisi tempat tidur, Huanran memilih menukar piama dengan dress putih selutut bermotif bunga. Sepertinya siang ini ia akan sibuk memasak di tempat Kakek. Belanja bahan makanan untuk persiapan menyambut Tera dan Sam sepertinya akan sedikit menghilangkan rasa cemas.
**
"Apa-apaan ini? Acara sepenting ini kenapa mendadak dan tidak mengabari Mama, sih?" Meilan tampak kesal. Wanita berkerudung putih dan gamis hijau mint itu sempat memukul bahu putra tunggalnya.
Sam hanya mendesah ringan. Ia sempat menghindar ke sisi kanan ketika ibunya hampit melayangkan pukulan dan cubitan ke lengannya. "Yang penting sah. Enggak perlu mewah. Itu maunya," kilah Sam serata menunjuk wanita dengan rok A-line putih tulang di sisinya.
Tera yang tengah menggandeng lengan kanan Sam itu tersenyum sedikit canggung. Sungguh semu merah di kedua pipi seolah enggan menghilang dari wajahnya. Entah sudah berapa kali ia tersipu hanya karena laki-laki dalam gandengannya itu mengucapkan sederet kalimat sakral kembali untuk kedua kali. Tak ada acara resepsi besar-besaran. Hanya ada keluarga inti sebagai saksi dan wali hakim sebab Ayah telah tiada.
Ada gumpalan sesak ketika menatap Asiyah yang terus tersenyum tanpa laki-laki pendamping setianya. Saat manik Tera bertemu dengan tatapan sendu Asiyah, ia bisa melihat riak air yang menggenang di sana. Aya juga sama terharu. Gadis bergamis cokelat itu tampak begitu kuat menggandeng ibunya. Telapak tangan Aya juga selalu terlihat menggenggam tangan sang ibu.
Maafkan Lentera, Ayah. Begitu batin Tera terus berucap saat menatap keduanya.
"Sudahlah, Ma, kita bisa susun rencana resepsi setelah ini kalau mau," ujar Bram. Laki-laki di sisi Meilan itu terkekeh melihat kekesalan sang istri. Ia buru-buru menuntun istrinya menjauh untuk pulang setelah berpamitan pada Asiyah dan Aya.
"Kamu tidak menelepon ibumu, Nak?" Suara Asiyah menginterupsi sedikit kegaduan keluarga Bramantyo.
Tera tertegun sejenak. "O-oh, itu ... nanti sore Tera sama Sam mau ke apartemen Ibu untuk bertemu dengan Kakek."
"Mbak Aya beneran mau ikut Kakek Lee?" Aya sontak menimpali.
"Tidak, Aya. Dia tidak mungkin meninggalkanku." Sam berucap tanpa dosa. Ia bahkan menoleh ke arah Tera lalu mengedik tak merasa bersalah.
Lalu siapa yang malam-malam mencariku sampai nekat meminta mempercepat pernikahan diresmikan hari ini juga? Tera menggerutu dalam hati. Ia tersenyum dibuat-buat sambil mempererat cengkeraman di lengan Sam. Kenapa jadi seolah dirinya yang mengejar-ngejar laki-laki ini, sih?
"Apa pun keputusanmu, Ibu mendukung selama kamu tidak melupakan kewajiban pada suamimu." Asiyah mengusap lengan Tera. "Ibu sama Aya pulang, ya," pungkasnya. Wanita dengan raut sayu itu berlalu mendahului Aya.
Aya mendekat perlahan, menatap lekat Tera dan Sam secara bergantian. "Kalau Mbak Tera pergi jauh, Ibu pasti kesepian," gumam Aya dengan wajah tertunduk. "Aya masih harus menyelesaikan kuliah."
Hati Tera mencelus. Tatapan matanya memburu pada sosok yang menjauh menuju halaman KUA. Punggung itu pernah menjadi tumpuan si sulung yang meronta dan minta pulang ke rumah ibunya. Namun, ia masih sabar menopang tubuh putrinya meski terkadang sesekali Tera memukul dengan sebelah tangan karena membencinya.
Tera tersenyum hambar. Ada sejumput penyesalan, tetapi genggaman hangat di telapak tangan membuat ia menoleh ke arah Sam.
"Kamu tidak ingin memeluk mereka dulu?"
Tanpa pikir panjang, Tera melepas genggaman tangan Sam dan berlari menghampiri Aya dan Asiyah.
"Ibu! Aya!" Ia menghambur dan menemukan jawaban ke mana harus berpijak.
**
"Aah, terus saja begitu! Kamu memang enggak pernah menganggapku sebagai sahabat." Gerutuan Bela terdengar samar sebab ia bicara di sela kunyahan sesuap pizza.
Usai meresmikan pernikahan, Tera memilih memesan makanan untuk semua karyawan di kantor. Semua senang mendapat traktiran makan siang gratis. Namun tidak dengan Bela. Wanita dengan blazer merah bata itu terus mendumal sebab tak diundang menyaksikan pernikahan sakral untuk kedua kalinya.
"Besok saja kalau resepsi," gumam Tera sembari meraih sepotong garlic cheese bread di meja. Ia sibuk mengoreksi artikel buatan Juan dengan tinta merah.
"Kapan?! Kalau udah bunting duluan?!"
Suara Bela yang kelewat kencang di ruang rapat membuat Tera sontak membungkam mulut lancang itu.
"Biarin. Udah biasa dia begitu," sela Sam. Anehnya, laki-laki itu masih saja sibuk dengan pekerjaan di layar laptop.
Tera mengedarkan pandangan. Beruntung mereka hanya bertiga saja di ruangan rapat ini. Karyawan lain memilih membawa makanan ke kubikel masing-masing karena sungkan makan bersama ketua tim.
Melihat reaksi Sam yang terlalu biasa saja, Tera berdecak kesal. Ia memilih menghilangkan dahaga menuju pantry kantor. Tak urung caranya menghindar karena malu itu disambut tawa Bela yang membahana.
**
"Aah, aku tak percaya kamu serius menikahinya." Bela memandang laki-laki berbalut kemeja putih yang duduk berselang satu kursi darinya.
"Memangnya selama bekerja denganku, kamu pernah liat aku main-main?" Sam menyahut tanpa menoleh.
"Hm ...." Bela mengedik. "Tamatlah riwayatmu kalau masih mempertahankan sifat kakumu itu, Sam."
Sam memilih menghentikan pekerjaan dan mengikuti alur pembicaraan Bela. "Karena?"
"Ck, karena Tera bukan tipe wanita yang mudah dilunakkan dengan segudang keromantisan belaka. Dia tuh sama aja kayak kamu."
Kedua alis Sam mengedik tak mengerti. Sama yang bagaimana yang Bela maksud?
"Iya, hatinya sekeras batu. Gengsi terus aja digedein!" Bela bangkit dari kursi hendak keluar ruangan. Namun, pergerakannya terhenti ketika Sam mencekal map milik Bela yang akan segera diangkat sang pemilik.
"Sore itu dia ke rumahmu?"
Bela memutar bola matanya malas. "Iyalah, kalau enggak mana mungkin aku tahu perkara istrimu main siram ampas kopi ke gaun Bu Lianti." Ia merebut paksa map dari tangan Sam.
Sam mengerjap sejenak dan membiarkan Bela berlalu. Namun, sahabat istrinya itu berhenti tepat sebelum pintu keluar. "Pliss, jangan sakiti dia. Oke?"
Sam tersenyum, memberikan bahasa isyarat yang entah Bela menganggapnya apa.
**
"Kamu serius?" Tatapan mata Lianti benar-benar mengintimidasi. Wanita yang baru masuk ke ruang rapat itu tampak duduk tergesa di kursi kosong yang semula ditempati rivalnya.
"Maksudmu?" Sam menggeser lengan sebelum Lianti sempat melekatkan telapak tangan di sana. Sam sama sekali tidak mengerti sudah berapa kali ia bilang merasa risi dengan cara Lianti memperlakukannya di kantor. Caranya melekatkan tangan seolah mengungkung Sam agar fokusnya hanya tertuju pada wanita dengan blash on soft pink di kedua pipi.
Jemari dengan cat kuku merah itu segera terkepal saat lengan berotot di sisinya tak sempat ia raih. "Aku ... mencintaimu, Sam. Harus berapa kali aku mengatakan itu dan ...."
"Dan berapa kali lagi aku harus minta maaf padamu bahwa hubungan kita hanya sebatas teman?" Kali ini Sam menoleh, menatap lelah pada sosok yang kini tertunduk.
"Apa kamu belum bisa memaafkanku?" Mata itu tampak dipenuhi riak yang siap tumpah. "Seharusnya memang persahabatan kita dulu enggak perlu ada cinta. Dan kamu yang memulai semuanya, Sam."
Wajah yang semula tertunduk itu berubah sendu. Sam bisa melihat rasa bersalah menguar dari tatapan Lianti. Entah mengapa perasaan bersalah itu justru berbalik padanya. Namun setelah keduanya melepas sesi saling tatap itu, Sam menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan.
"Dan kamu yang merusak semuanya, Li. Maaf, aku sibuk. Selamat siang." Sam menutup laptop dan meraih jaket serta tas milik Tera di sandaran kursi di mana Lianti duduk.
Ia bisa melihat punggung Lianti yang gemetar diiringi isak tangis di balik kedua telapak tangan. Tepat di depan ruang rapat langkah kaki jenjangnya terhenti lalu mendesah pasrah. Sebentar lagi pasti akan ada bom pertanyaan yang tidak akan habis menjelang tidur malam nanti.
"Apa lagi? Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Sam," celetuk Tera seraya meraih benda-benda miliknya dari tangan kiri Sam. Ia bergegas kembali ke kubikel di sisi Bela tanpa banyak bicara lagi.
Aarrgh ...! Tidak bisakah semua masa lalu ditenggelamkan ke laut saja? Sam bosan digerayangi masa lalu dan membuat impiannya selama ini justru sulit ia jalani.
**
Pertama kali publish: 17-10-2020
Republish: 24-12-2024
====🥀🥀🥀====
Jadi tuh, Sam ini orangnya kalau udah disakitin dan dikecewakan, dia nggak akan mikir dua kali buat ninggalin semuanya. Baik sama Nurul atau Lianti, sama aja sebenernya. Dua perempuan ini mengcewakan dan meragukan kesungguhan Sam buat mencoba menerima pasangan. Awalnya terkesan nyebelin si Sam ini, ya? Tapi sebenernya dia tuh realistis aja jadi manusia. 😁
Lalu, why sama Tera dia mau bertahan dan seyakin itu nggak akan melepas Tera? Kenapa, ya?
Eh, udah vote belum?
Terima kasih. 🥰🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top