Bagian 22
Dududuh, tak sabar pengen cepat ending aku tuh. 😁
Apa kabar hari ini? Semoga kalian sehat selalu di mana pun berada, ya. Aamiin. 🥰🤗
Vote dulu biar aku semangat.
Happy reading! 🤩
====🌻🌻🌻====
Asyiah sedikit terkejut saat putri sulungnya pulang dalam keadaan tak baik. Ia tiba-tiba masuk ke rumah dan sontak merebah di sofa di mana Asiyah duduk. Tera meletakkan kepala di pangkuan dan memeluk pinggang sang ibu dengan erat.
"Kamu kenapa, Nak?" Asiyah berusaha mengajak Tera bangkit. Namun, ia justru semakin erat memeluk.
Aya yang mendengar suara isak tangis di ruang tengah dari kamar segera keluar. Ia baru saja usai mengerjakan salat bahkan mukena masih terpasang rapi di badan. "Lho, Mbak, ada apa?"
Asiyah menatap Aya bingung.
"Mbak Tera berantem sama Mas Sam?" Aya menerka seraya duduk bersimpuh dan mengelus punggung kakaknya.
Tera menggeleng kuat.
"Terus? Ada masalah di kantor?" tanya Asiyah lebih hati-hati.
"Tera minta maaf ...." Tubuhnya makin terguncang. Dadanya sesak tak keruan. "Tera minta maaf udah durhaka sama Ibu. Tera sering mengatakan hal yang tak pantas, padahal Ibu tulus menyayangi Tera."
Asiyah dan Aya saling menatap. Sepertinya mereka mulai tahu Tera sedang membicarakan apa. Asiyah mengelus rambut anak dalam pangkuan.
"Ibu enggak apa. Ibu ikhlas dan rida meski kamu tidak pernah menginginkan Ibu sebagai ibumu. Ibu tahu itu tidaklah mudah."
Lagi-lagi Tera menggeleng. "Ibu Arum udah menceritakan semuanya."
Lagi-lagi Asiyah tertegun. Sepertinya Arum telah menemui putrinya.
**
"Bicaralah dengan suamimu. Sungguh tak ada penyelesaian yang lebih baik kecuali saling terbuka. Pulanglah."
Tera masih meringkuk di dalam kamarnya. Perkataan Asiyah masih terngiang. Haruskah ia pulang sekarang? Sam pasti kebingungan saat tahu istrinya tak pulang ke rumah. Lianti pasti berkata yang bukan-bukan.
Ah, ternyata dikatakan sebagai wanita kedua itu sungguh menyakitkan. Tera menyesali semua sikap yang pernah ia tunjukkan di depan ibu tiri dan adiknya.
Ponsel di nakas menyala menunjukkan satu panggilan masuk. Sam menelepon. Namun, Tera menekan ikon merah dan enggan menerimanya. Ia menghela napas panjang. Sepertinya memejamkan mata sejenak untuk mengistirahatkan diri lebih baik untuk saat ini.
**
Ruangan di sebuah apartemen itu gelap. Hanya lampu dari kamar yang menyala dan menerangi ruang tengah. Sam sendiri masih sering berjalan mondar-mandir tak jelas. Sudah lewat waktu magrib, tetapi Tera tak kunjung muncul. Ia sudah mengirim pesan untuk menjemputnya. Namun, Tera menolak untuk dijemput dengan balasan yang singkat.
Tak kuat menaha rasa penasaran, ia menelepon sang ibu mertua, tetapi Asiyah bilang Tera sudah menuju pulang sejak sebelum waktu magrib tiba. Sam kembali meraih telepon di atas meja. Bela mungkin tahu di mana Tera.
"Tera ada di rumahmu?" Tanpa mengucap salam lelaki dengan kancing kemeja bagian atas terbuka itu membombardir sahabat Tera dengan banyak pertanyaan. "Ke mana dia seharian ini? Kenapa belum pulang?"
"Lah, kan, udah aku bilang, kalau dia pulang ke rumah ibunya," sahut Bela. Mungkin rekan satu tim di kantor itu kebingungan mendapat pertanyaan atasannya malam-malam begini.
"Ibu bilang sudah pulang dari tadi." Sam mendesah seraya mengempaskan punggung kembali ke sandaran sofa.
"Entah, mungkin menemui Bu Lianti." Bela menahan tawa.
Sam kembali mengingat sesiangan tadi di kantor saat Lianti tiba-tiba menyerobot masuk ruangan denga pakaian penuh noda ampas kopi. Wanita sahabat masa kecilnya itu merajuk dan mengatai Tera sebagai wanita yang kekanakan. Mengingat hal itu, Sam segera mematikan sambungan telepon sepihak dan tergesa meraih kunci mobil di dekat televisi. Apa iya, Tera juga akan pergi meninggalkannya? Semoga Lianti tak lagi mengatakan hal yang bukan-bukan pada istrinya.
Ia harus mencari Tera sekarang. Sampai ketemu dan membawanya pulang ke rumah.
**
Lelaki itu menekan klakson sedikit kasar. Ia sudah berkeliling menyambangi beberapa tempat sampai ke resto di mana mereka pernah liputan berdua. Namun, tak terlihat ada Tera di mana pun tempat yang Sam tuju.
Frustrasi merajai pikiran, membuat Sam kembali ke apartemen tepat pada angka 22 yang ditunjukkan di jam tangannya. Ia menekan dengan gerakan kesal pada tombol lift menuju lantai di mana apartemennya berada. Kepalanya pusing, urat lehernya terasa kaku karena pikiran yang kacau seharian ini.
Sam memasuki apartemen dengan sebelah tangan kiri menenteng jaket miliknya. Ia menunduk seraya mengangkat sebelah kaki guna melepas alas kaki satu per satu dan menggantinya dengan sandal rumahan. Namun, kedua matanya masih bisa melihat sepasang sneakers berbahan denim di rak sepatu dekat pintu masuk.
Sam tergesa melewati ruang tamu mencari keberadaan pemilik sepatu bertali itu. Matanya yang menangkap cahaya dari arah dapur membuatnya sigap menghampiri. Sosok itu sibuk mengaduk dua cangkir minuman hangat. Beberapa kantong belanjaan masih tergeletak di meja pantry. Sam tersenyum dan bernapas lega. Serta merta ia meraih tubuh yang masih mengenakan pakaian sama sejak pagi tadi. Sam melingkarkan lengan di pinggang Tera.
"Aku pikir kamu pergi dan tak akan kembali," terkanya dengan dagu melekat di bahu Tera.
Bibir tipis itu tersenyum. "Aku bukan dia, Sam." Tera meletakkan sendok di atas cangkir cokelat panas yang baru dibuat. Ia berbalik melekatkan kedua telapak tangan di dada laki-laki yang tampak kacau malam ini. "Aku juga bukan tipe wanita yang cekatan mengurus rumah. Aku enggak pinter masak makanan enak. Aku juga punya segudang watak keras kepala yang kadang membuatmu kesal. Kamu mau menerimaku yang tak sebaik dan sesalihah mantan istrimu?"
Sam lama menatap manik mata di hadapannya. Namun, ia lebih memilih memeluk erat dan berkata, "Aku tak butuh semua itu. Aku cuma mau kamu, itu sudah cukup."
"Kamu yakin?"
Sam hanya terdiam lalu ia melonggarkan sedikit pelukan demi menatap wanita dalam dekapan. "Ayo, kita menikah lagi," kata Sam.
Tera terkikik sembari mengalungkan kedua lengan di leher Sam. "Pernikahan tak mungkin bertahan tanpa cinta, Sam."
"Apa ajakanku menikah tak cukup membuatmu puas dan belum terlihat bahwa aku serius dengan pernikahan kita sebelumnya?"
Lagi-lagi Tera tersenyum puas. Ia tak peduli lagi. Biarlah Nurul menjadi masa lalu milik Sam seorang. Tera tak ingin lagi ambil pusing dengan masa yang sudah lewat. Sam yang selalu berada di sisinya saja sudah cukup.
Keduanya melekatkan kening. Semuanya saling bersambut, mengikhlaskan segala masa terdahulu, dan memulainya dengan lembaran baru. Entah sudah berapa kali mereka saling bersentuhan. Yang jelas, keduanya merasa setiap sentuhan itu memabukkan. Membuat mereka menginginkannya lagi dan lagi. Berharap malam akan lebih panjang dari malam-malam sebelumnya. Tanpa mengucapkannya melalui lisan, mereka sepakat bahwa ini adalah ... cinta.
**
Juan menatap wanita dengan pakaian minim di dekat meja bar. Sesekali wanita itu bergerak tak keruan mengikuti dentuman musik dari DJ. Wanita itu hampir meraih kembali gelas berisi cairan keemasan di meja bar. Juan menjauhkan minuman laknat itu. Ia bahkan tahu Lianti sudah tak kuat berdiri lagi.
"Kamu mabuk, Li, udah cukup malam ini." Juan memapah tubuh sempoyongan itu.
Ia melewati kerumuanan manusia di kelab malam. Semula Juan tak menyangka Lianti akan menghubunginya dan mengajaknya minum. Namun, Juan tak mahir menenggak minuman berbau tak sedap itu. Ia lebih memilih menemani dan duduk di sebelahnya sampai Lianti benar-benar mabuk.
"Aku harus gimana, Juan?" Lianti merengek ketika Juan memasang sabuk pengaman.
Juan mendesah dan mengusap sedikit kasar rambut Lianti yang duduk terkulai. "Kamu enggak perlu gimana-gimana. Cukup sadar diri kalau Sam enggak pernah cinta sama kamu dan buka hatimu untuk laki-laki lain." Juan berucap sembari menyalakan mesin mobil.
"Juan ... aku enggak mau yang lain! Sam sudah sangat serasi denganku!"
Juan menginjak rem mendadak, membuat tubuh Lianti terhuyung ke depan. Bisa saja kening terbentur dashboard mobil kalau Juan tak memasang sabuk pengaman padanya.
"Serasi di mata kamu belum tentu serasi di mata orang lain. Lagian sampai kapan, sih, kamu mau begini terus? Aku juga capek ngikutin kamu yang kacau begini. Lama-lama aku pergi ...."
"Jangan, Juan! Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain dirimu!"
Juan memutar bola mata malas. "Apa gunanya aku, sih?"
Lianti terdiam. Juan menoleh ke arahnya. Oh, tidak! Pliss, jangan muntan di sini! Batin Juan menjerit. Namun, jeritannya tak sanggup ia utarakan. Wanita itu sudah menunduk dan memuntahkan isi perut. Ah, Juan kesal, tetapi sungguh ia iba dengan kekacauan wanita di sisinya itu.
**
Pertama kali publish: 03-10-2020
Republish: 23-12-2024
====🥀🥀🥀====
Juan sama Lianti. Adakah yang ingat kalau mereka akhirnya punya anak cewek yang super ngegemesin dan bikin anak cowok Pak Sam jatuh hati?
Mampirlah kalian ke ceritaku yang berjudul Lalita's Diary habis baca cerita Lentera sampai ending, ya. 😁
Di cerita Lalita, Lianti pun sama, masih bikin enek tingkahnya. 😆
Tapi salut dengan kekompakan Juan sama Lianti pas menuju ending buat memperbaiki hidup mereka.
Eh, jangan lupa vote sama komentarnya. Maafkan belum sempat balas komentar. Si Bungsu lagi sakit udah 3 hari ini. Jadi sedang fokus ke si Bungsu dulu akunya.
Terima kasih. Sehat selalu. Aamiin. 🥰🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top