Bagian 20
Halo, maafkan telat. Harusnya sore malah malam. 😅
Yuk, langsung aja baca, tapi jangan lupa vote dulu.
Terima kasih. 🥰
====🌻🌻🌻====
"Jangan benci dia, Nak. Dia wanita luar biasa yang sangat mengharapkan kehadiranmu."
Perkataan Arum terngiang dalam benak wanita yang tengah duduk termenung di balkon. Angin malam membelai rambut, menyapu pipi yang basah oleh air mata. Tera menghela napas, memeluk lutut lebih erat. Hidupnya kenapa seporak-poranda ini? Terlalu banyak drama yang mengesalkan.
"Mau sampai kapan nangis terus?" tanya Sam yang baru datang dari arah dapur. Ia membawa semangkuk nasi dan sepiring kungpau chicken. Aroma daging ayam dan bumbu pedas menguar dan seharusnya menggoda iman perut siapa pun yang ada di situ. Namun, Tera sama sekali tak berselera.
Tera mendongak, menatap Sam yang sama menatap dirinya. Ia mengusap ingus dengan lengan baju, berharap wajahnya tak terlalu berantakan. "Kamu memang suka bohong," celetuk Tera.
Sam melempar pandangan malas ke lain arah. "Bohong yang mana lagi?"
"Kamu bilang enggak tahu di mana Arum Senja berada."
"Iya, kamu tanya Arum Senja, bukan Bibi Huanran. Aku mengenalnya sebagai Bibi Huanran, bukan Arum Senja." Sam berkacak pinggang. Sepertinya ia sedikit kesal disebut sebagai pembohong. Padahal Sam sudah berusaha membantunya menemukan sang ibu.
"Kamu juga banyak berbohong tentang dirimu, Sam." Tera mencengkeram kemeja laki-laki di hadapannya, berusaha agar Sam tak berpaling dan menyelesaikan semua pembicaraan malam ini juga.
Detik itu juga tatapan dingin Sam berubah melembut. Kedua tangannya ia sampirkan di bahu Tera. "Aku bukan tipe laki-laki yang suka memaksakan kehendak. Untuk itu pikirkan baik-baik apa yang aku katakan malam ini." Sam menjeda sejenak perkataannya dengan satu helaan napas. "Maaf atas masa laluku yang mengganggu pikiranmu. Aku juga tidak akan memaksamu tinggal bila itu membuatmu tertekan."
Tera masih mempertahankan posisinya. Ia masih enggan melepas tatapan menyelidik. "Kalau begitu jawab pertanyaanku. Siapa Nurul?"
"Mantan istri," sahut Sam singkat sembari melempar pandangan enggan. Tera bisa melihat laki-laki pendiam ini malas membahas masa lalunya.
"Kapan kamu menceraikannya?"
"Tiga hari setelah kepergiannya tanpa pamit."
"Kenapa?"
"Karena aku lebih memilih harga diriku sebagai laki-laki daripada mempertahankan sesuatu yang meragukan kesungguhanku."
Tera terdiam. Alasannya memang Sam sekali. Laki-laki ini tak suka mempertahankan apa pun yang mengusik harga diri dan ketenangan hatinya.
"Kenapa kamu tak mencarinya? Wanita itu pasti menunggumu, Sam."
"Aku sudah mencarinya. Aku datang ke rumah orang tuanya juga sudah." Sam menjawab dengan pengucapan yang cepat.
"Kalau aku yang pergi, kamu juga begitu?"
"Kamu bukan Nurul, jadi jangan samakan setiap apa yang aku lakukan terhadap Nurul dengan apa yang aku lakukan denganmu." Sam maju selangkah, merapatkan tubuh hingga dagu Tera menyentuh dadanya. "Puas?" tanyanya seraya merangkum wajah sembap Tera dengan kedua telapak tangannya.
Tera mengangguk cepat. "Untuk saat ini aku puas. Lupakan. Aku sedang tak ingin memikirkan apa pun." Kedua tangannya beralih memeluk erat. Ia butuh seseorang untuk bersandar sekarang. Pikirannya kacau dengan semua kisah masa lalu tentang Asiyah dan ibu kandungnya.
Sam mendesah lega seraya mengecup ringan puncak kepala wanita dalam dekapan. Meski Tera merasa masih ada banyak ganjalan, setidaknya ia jauh lebih tenang dari sebelumnya setelah bicara.
**
Hawa dingin menusuk tulang. Lelaki berkumis dengan rambut hampir kelabu itu duduk termangu di teras. Kopi di meja yang menemaninya sudah dingin, ia pun enggan untuk menyentuhnya lagi. Rumah ini sepi semenjak kepergian putrinya.
Melepas putri tunggal ke perbatasan bukanlah hal mudah. Apalagi ia pergi tanpa pendamping hidup. Khawatir selalu merajai pikiran dan berharap gadis bergigi gingsul kesayangannya segera pulang meski kesalahannya tak termaafkan.
Namun, dalam lubuk hatinya yang terdalam, sebagai ayah ia juga merasa bersalah. Gadis itu sebenarnya belum ingin menikah. Hanya saja, Ci Meilan—wanita keturunan Cina sekaligus istri sahabatnya semasa sekolah—menginginkan perjodohan itu. Ci Meilan dan suaminya juga banyak belajar ilmu agama darinya. Siapa sangka mereka juga menyayangi Nurul dan berharap banyak agar anak gadisnya mau bersanding dengan putra tunggalnya.
Nurul adalah anak Abah yang penurut. Ia hampir tak pernah menolak keinginan Abah dan Umi. Bahkan ketika keluarga Ci Meilan datang melamarnya, gadis itu hanya mengangguk pasrah. Abah pun merasa putra tunggal Ci Meilan adalah pemuda yang baik dan bertanggung jawab meski ilmu agama yang ia dapat belum seberapa.
Namun, entah apa yang meracuni pikiran anak gadis Abah satu-satunya itu. Tanpa pamit, ia pergi seminggu setelah ia nikahkan secara agama di depan keluarga besar Abah dan Umi.
"Nurul takut dosa, Abah. Nurul takut Mas Sam meninggalkan keyakinannya hanya demi mendapatkan Nurul bukan karena cintanya pada Allah."
Itu adalah kalimat terakhir yang putrinya katakan sebelum hengkang tanpa pamit.
"Abah belum ngantuk?" Suara Umi terdengar lirih. Wanita berjilbab panjang itu duduk di kursi panjang sambil membawa serangkul kain. Ia duduk sembari melipatnya dengan telaten.
Abah terbatuk pelan. Usianya yang menua memang kerap membuatnya mudah terserang penyakit. "Belum. Abah merindukan Nurul," sahutnya. Tangan kanan ia julurkan ke arah cangkir. Meski enggan dengan kopi dingin, ia pantang bersikap mubadzir sehingga minuman yang mendingin itu dihabiskan dan menyisakan ampasnya saja.
"Dia baik-baik saja, Abah. Kan, Nurul sudah pernah telepon kalau dia baik-baik saja dan bahagia mengabdi sebagai guru di perbatasan." Umi berbicara seraya mengusap kain yang kusut di pangkuan sebelum ia lipat dengan rapi.
"Abah akan lebih tenang kalau dia pergi bersama Samudra, Mi."
Kening Umi berkerut. "Abah, Samudra bukan suami Nurul lagi. Jangan memaksa dia kembali menerima Nurul."
"Mereka masih bisa rujuk kalau mau. Selama Sam masih mau memaafkan segala kesalahannya." Abah kembali terbatuk sambil mengelus dada.
"Ih, Abah ini. Udah setahun berlalu, apa mungkin Samudra masih mau memaafkannya?" Umi mendesah penuh penyesalan. Ia masih ingat bagaimana Samudra datang ke rumah di hari ketiga kepergian Nurul. Pemuda itu dengan sadar memupus hubungan. Umi tak bisa berbuat banyak mengingat Nurul memang salah.
"Kita belum mencobanya, Umi." Abah bersikukuh.
"Memangnya Abah tahu sekarang Samudra gimana kabarnya? Jangan-jangan dia sudah punya pasangan pengganti Nurul. Satu tahun itu bukan waktu yang singkat, Bah." Umi mengibas kain sedikit kuat. Ada gurat kekesalan di wajahnya yang mulai berkerut di setiap sudut mata dan bibir.
"Abah ... Umi ...."
Suara itu membuyarkan obrolan dua orang tua di teras rumah. Keduanya menoleh ke arah halaman. Gadis berjilbab di bawah anak tangga teras tampak tersenyum menampakkan gingsulnya. Namun, tak urung matanya terlihat tergenang air mata yang siap membeludak.
"Ya Allah, Nurul?" Umi bangkit dari duduk. Beberapa helai kain dari pangkuannya berjatuhan ke lantai.
Gadis itu bergegas masuk dan duduk bersimpuh seraya memeluk kaki Abah. Isak tangisnya pecah tak terkendalai. "Nurul minta maaf. Nurul durhaka sama Abah, Umi, dan Mas Sam."
Abah terdiam. Matanya terpejam seraya menatap ke langit-langit rumah. Ada rasa lega membuncah mengetahui putri semata wayangnya sudah pulang. Ia lalu mengusap kepala tertutup jilbab di pangkuannya. "Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Nduk? Kenapa pergi tak pamit?"
Umi mengajak Nurul bangkit lalu duduk di sebelahnya. Ia memeluk erat seolah tak ingin anak gadisnya pergi lagi.
Nurul menghapus air matanya. "Nurul yang salah dan gegabah. Nurul sudah meragukan keimanan Mas Sam."
"Kenapa harus pergi tanpa pamit? Kamu tahu, kan, hukumnya istri pergi dari rumah tanpa izin suami?" Abah menatap Nurul dengan sudut mata yang mulai basah.
Nurul mengangguk pasrah.
"Caramu sungguh mempermalukan Abah dan Umi. Dan lagi, kamu mempermalukan statusmu sebagai muslimah. Islam tak pernah meridai setiap perilaku istri yang mendurhakai suaminya, Nduk."
"Sudah, Abah. Yang penting Nurul sudah pulang." Umi tampak sedikit resah dengan segala ceramah suaminya.
"Minta maaflah pada Sam, Nduk," pinta Abah tegas.
Nurul tertunduk lalu kembali tergugu. "Sudah, Abah. Mas Sam juga sudah menemui Nurul di Kalimantan." Ia menjeda penuturannya untuk menyeka air mata yang menderas. "Dia datang bersama istrinya untuk menjatuhkan talak secara langsung sama Nurul."
Abah tertegun. Ia mengangguk pasrah diikuti pipinya yang basah. Perlahan ia berdiri dari duduk. Dengan kaki tertatih laki-laki berpeci putih itu masuk ke rumah. Sungguh penyesalannya amat dalam. Sementara Nurul tergugu di bahu Umi. Umi menepuk dan mengusap pelan bahunya. Harapannya tak banyak. Ia hanya mau anak gadis dalam pelukannya ini tabah dan bersabar dengan jalan hidup yang telah dipilih.
**
Pertama kali publish: 01-10-2020
Republish: 21-12-2024
=====🥀🥀🥀=====
Kayaknya, sekarang lebih pada suka baca versi digital daripada buku cetak, ya? 😁
Kalau cerita Sam sama Tera extra part cuma ada di buku cetak gimana? Apa mau maksa bikin e-book aja atau lari ke KaryaKarsa aja? 😆
Ah, masih part 20 ini. Masih ada 9 part lagi belum sama epilog dan extra part. Mau nungguin nggak nih? Pantengin terus notifikasi Wattpad, ya. Takutnya telat terus udah dihapus untuk kepentingan cetak atau dibuat e-book. 🤭
Oke, terima kasih dukungannya. Sampai ketemu di part selanjutnya. Sehat selalu. 🥰🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top