Bagian 19

Hai, selamat pagi! Aku kembali republish setelah kemarin libur dua hari. 🤭

Jadi, gini .... Bantu aku untuk menjawab pertanyaan ini:

1. Menurut kalian, aku lebih cocok menulis di genre yang seperti apa?

2. Dari sekian banyak karya yang aku buat, menurut kalian mana yang paling berkesan?

3. Kalian lebih suka baca karyaku dalam versi cetak atau digital?

Yuk, langsung aja lanjut baca! 🤭

Jangan lupa vote. Terima kasih. 🥰🤗

=====🌻🌻🌻=====

Tera memainkan jemari di atas meja sambil sesekali menelisik seisi ruangan. Semuanya sibuk hari ini. Bela dan Juan bahkan setelah menyapa sejenak kembali berkutat dengan layar komputer mereka. Komputer Tera sendiri sudah menyala sejak setengah jam yang lalu. Namun, ia masih enggan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Pikirannya sibuk menerka apa yang sedang dilakukan laki-laki di rungan tepat di depan kubikel Tera.

Sejak ia sampai di kantor, pintu itu tak kunjung terbuka. Hanya terbuka sesekali saat karyawan yang lain masuk mengantarkan beberapa berkas. Sialnya, semua karyawan yang masuk langsung menutup pintu dan tak memberi Tera kesempatan melihat sosoknya.

Tera meniup juntaian poninya yang berantakan seraya mengembuskan napas kasar. Ia beralih mengamati kubikel Bela di sisinya. Dari tempat Bela duduk sepertinya akan lebih mudah melihat ke dalam ruangan melalui jendela kaca dengan tirai horizontal blinds berwarna putih.

"Bel," panggil Tera seraya menoleh ke arah wanita dengan kemeja motif garis-garis merah.

"Hmm?" Bela masih sibuk mencatat sesuatu di buku agendanya. Ia memang sempat bilang akan ada rapat pukul 10 siang nanti.

"Aku bisa pinjam komputermu sebentar? Udah kelar kerjaan belum?"

"Udah, emang komputer kamu kenapa?" Bela masih saja menggerakkan pena di atas kertas.

"Lagi lemot. Bentaran doang, Bel, ya?"

Bela beranjak tanpa menoleh sedikit pun. Ia bahkan masih sempat mencatat sambil berjalan pelan ke meja Tera. Bela terhuyung saat Tera tergesa melewatinya dan tanpa sengaja menyenggol lengan. Namun, sahabat Tera itu hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Tera tak perlu menjelaskan banyak hal. Ia sendiri yakin Bela menyadari kegelisahannya sejak duduk di kursi kantor.

"Kangen tuh bilang, enggak kucing-kucingan," sindir Bela. Ia menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan kanan sambil mengedip lucu.

Yang di sindir hanya menggaruk kepala yang tak gatal. Namun, tak urung ia tersenyum canggung. Sebelum mendongak dan menatap lurus ke depan, Tera menarik napas dalam. Lalu ...

Astaga! Dia sejak kapan melihat ke arahnya? Tera buru-buru menunduk seraya membungkukkan badan lebih dalam. Berharap kubikel yang tak begitu tinggi ini bisa menutupi dirinya. Bagaimana bisa saat ia menatap ke depan justru Sam ternyata sudah menatapnya duluan?

Tera berdeham, menata perasaan sejenak lalu berpura-pura memainkan komputer Bela. Sesekali ia menoleh ke kiri, tetapi ujung matanya melirik ke kanan. Sam sudah kembali sibuk dengan berkas di meja. Tera juga sempat melihatnya mengangkat gagang telepon dan ....

Ya, ampun! Tera mendelik ke arah telepon kabel di meja Bela. Sam menelepon ke meja Bela?

"Angkatin, paling Sam minta suruh kumpul ke ruang rapat. Yuk, ah!" Bela beranjak membuat Tera terpaksa mengangkat telepon.

"Ya?"

"Rapat sekarang. Kamu ngapain duduk di situ?"

"Oke, komputer lemot, pindah bentar," sahut Tera asal dan tanpa aba-aba memutus sambungan telepon dengan meletakkan ke tempatnya. "Juan, rapat!" Tera sedikit berteriak memanggil Juan.

"Yok!" Juan menyahut diikuti karyawan lain bangkit dari tempat duduk.

Tera melangkah lesu. Kapan Sam akan mengajaknya bicara mengenai pernikahan mereka? Yang membuatnya lebih kesal lagi, laki-laki itu keluar ruangan menuju ruang rapat di sebelah kanan ruangannya tanpa menoleh barang sebentar.

Tera kembali ke kubikel hijau miliknya, menata buku agenda dan pouch  berisi alat tulis. Malas memasuki ruang rapat membuatnya sampai di sana paling akhir. Tak ada kursi kosong lagi kecuali di sisi kanan Sam. Di sisi Bela sudah ada Juan dan karyawan lain.

"Duduk." Sam memberi kode dengan dagunya menunjuk ke arah kursi kosong.

Tepat saat Tera duduk, Lianti di sisi kiri menggeser kursi lebih dekat pada Sam. Ia tak mau ambil pusing dengan wanita bertubuh seksi itu saat bersikap di sisi suaminya. Namun, lama kelamaan rasa risi itu datang tatkala Lianti bicara pada laki-laki di sebelahnya dengan sengaja menyenggolkan tangan atau bahkan menyentuh lengan Sam. Sementara laki-laki itu tetap fokus membuka rapat dan menyampaikan program baru.

"Selanjutnya akan ada program meliput pendidikan di Kashmir. Ada yang mau mengajukan diri?"

Tera mengerjap. Kashmir? Daerah konflik?

"Sam, apa tidak sebaiknya kita ambil berita-berita yang ringan saja? Lifestyle mungkin. Gosip. Atau menerima tawaran entertain yang mau bayar buat dimuat di media kita malah lebih menghasilkan." Lianti berpendapat. Wanita itu sempat menyelipkan anak rambut ke belakang telinga sembari menjilat bibir sebelum menoleh ke arah Sam.

Sam terdiam sejenak. Tera pikir laki-laki itu akan menyetujuinya.

"Itu ide murahan. Aku enggak mau dibayar cuma buat memuat berita enggak penting," cela Sam.

Tera tersenyum dan hampir terkikik. Bukan Sam namanya jika tidak bermulut pedas, pikirnya kemudian.

"Kashmir itu daerah konflik, Sam. Terus, kalian ada yang mau berangkat ke sana?" Lianti mengedarkan pandangan. Tak ada yang menyahut. "Nah, kan!"

"Kamu sudah mencatat apa saja yang perlu dipersiapkan, Bel?" Sam tak menggubris.

Lagi-lagi Tera tersenyum demi menahan kikikan geli. Ia sibuk menertawakan Lianti dalam hati ketika Sam berbicara dengan Bela dan Juan.

"Kalau tidak ada yang mau berangkat, aku berangkat sendiri kalau gitu."

Tera terdiam. Apa? Sam? Mau berangkat ke Kashmir? Lalu, bagaimana dengan masalah yang seharusnya segera diperbincangkan?

Pikiran Tera semakin ruwet. Bahkan ia tak lagi memperhatikan sesi rapat sampai selesai. Rapat ditutup dan ruangan makin hening. Lianti sudah keluar ruangan dengan wajah ditekuk dan diikuti karyawan yang lain. Hanya ada Sam, Bela, dan Juan. Sam masih sibuk membaca catatan dari sahabat istrinya.

"Jadi berangkat, Sist?" Juan bertanya sembari menjawil bahu Bela.

"Ayok, hari ini liputan di rumah makan rooftop di Tamrin, kan?" Bela mengemasi alat tulis seraya bangkit dari kursi.

Mendengar perbincangan itu, Tera berjalan melewati belakang Sam menuju Juan. "Aku, aku aja, ya?" pintanya. "Mana daftar pertanyaannya?"

"Haish, main embat bagian orang aja!" Juan mengangkat tinggi-tinggi buku catatan berisi daftar pertanyaan.

Tera mengerutkan alis. "Kamu enggak kasihan sama aku? Aku tuh seminggu di perbatasan makan singkong mulu sama makan hati. Aku mau makan enak hari ini pokoknya."

Tera sengaja menekan kata makan hati sambil melirik ke arah pria yang masih duduk tenang. Cara Tera berhasil membuatnya menoleh dan mengamati sejenak perseteruan Tera dan Juan.

"Lagian percuma banget kamu berangkat liputan. Aku juga yang disuruh bikin beritanya." Tera menggeram dan menarik paksa buku catatan Juan. "Yuk, Bel!"

Bela terkekeh. "Sori, Juan. Aku sama Tera hari ini," pamitnya.

Tera mengibaskan buku tinggi-tinggi sebagai kode mengucapkan selamat tinggal pada Juan.

**

Lima menit Tera menunggu di tempat parkir, Bela tak kunjung muncul. Ia bisa mati kehausan kalau harus menunggu lebih lama lagi di cuaca panas begini. Lelah berdiri membuatnya terpaksa duduk di atas cap mobil merah milik Bela. Senyum wanita dengan rambut kucir kuda itu tampak ketika melihat Bela sedang berjalan keluar melalui pintu kaca kantor. Namun, senyumnya memudar saat Sam berlari menghampir Bela. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang Tera lihat Bela tampak sedang tertawa dengan tatapan menggoda sambil melirik ke arah parkir mobil.

Bela kembali masuk setelah menyerahkan kunci ke tangan Sam.

"Lho, Bela ke mana?" Tera sontak bertanya ketika Sam justru membuka pintu mobil.

"Bela udah aku kasih tugas lain," sahut Sam dan tanpa babibu ia masuk ke mobil.

What? Dasar Bela pengkhianat! Tera mendesis marah dengan kedua tangan mengepal. Namun, mau tak mau ia mengikuti kemauan Sam. Lagi pula memalukan kalau sampai kembali menyerahkan pekerjaan pada Juan. Laki-laki tukang suruh itu pasti menertawakannya.

**

Mereka berdua membisu selama perjalanan. Bicara pun hanya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan. Sam sibuk memotret makanan di meja. Tera sibuk mencatat setiap hasil wawancara. Ia sempat mencicipi beberapa menu makanan.

"Masih mau nambah makan lagi?"

Pertanyaan Sam sontak menghentikan sesuap salad yang hampir meluncur masuk ke mulut. Itu suapan terakhir. Tera menggeleng cepat seraya meraih gelas milkshake stroberi yang tinggal setengah.

"Ayo, aku antar kamu menemui seseorang." Sam bangkit dan bergegas mendahului Tera yang sedang asyik minum.

Tera tergesa menghabiskan sisa minuman sambil bangkit. Ia sempat menatap iba pada seperempat sisanya yang ia tinggalkan begitu saja. Tera berlari kecil mengejar Sam yang sudah menuruni anak tangga. Laki-laki batu. Setelah menghabiskan makanan, Tera pikir Sam akan mengajaknya bicara sejenak sambil duduk menikmati pemandangan kota dari atas sini. Apa laki-laki itu tidak peka kalau sedari tadi wanita yang tengah berlarian itu menunggunya berdiskusi?

"Samudra, tunggu!" Tera mencekal lengan yang tertutup jaket boomber hitam. "Kamu itu ngerti enggak, sih, kalau hubungan kita bermasalah? Aku enggak sabar nungguin kamu ngomong," keluh Tera.

Lelaki yang dicekal Tera berhenti lalu turun satu anak tangga demi menyamai tinggi istrinya. "Iya, tahu, tapi enggak di sini juga ngomonginnya. Apalagi di kantor."

Benar saja. Beberapa kali pengunjung resto yang lewat anak tangga menatap mereka penasaran saat Tera mulai mengajak bicara dengan ekspresi ketus dan marah.

"Terus?"

"Nanti di rumah setelah aku mengantarmu menemui seseorang."

Manik Tera mengerjap dua kali. "Siapa?"

"Ikut, nanti juga tahu," pungkas Sam. Ia lebih memilih menggandeng Tera untuk segera turun menuju parkiran.

Tera menghela napas, menahan diri agar cukup bersabar mengimbangi kemauan Sam. Mau bertemu siapa sebenarnya? Nurul lagikah?

Tera mengembuskan napas kasar mengingat nama wanita salihah itu. Ia mendadak pusing dan memilih bungkam sembari duduk menyandarkan punggung di sandaran kursi mobil.

**

"Aku hampir sampai, dia baik-baik saja. Berhentilah mengkhawatirkannya secara berlebihan. Dia bukan anak bayi lagi." Sam berceloteh melalui telepon genggam di telinga kanan seraya menggandeng Tera memasuki lobi apartemen mewah.

Wanita dalam genggaman tangan Sam itu patuh meski sedikit bingung dan buta arah mau dibawa ke mana. Ia mendongak mengamati Sam yang kini mematikan telepon, memasukkan benda pipih itu ke saku kemeja kemudian menekan tombol lift menuju lantai 4.

"Siapa?" tanya Tera lagi.

Sam hanya menatapnya sejenak lalu mengembuskan napas pelan. Ia menyandarkan punggung ke sisi lift dengan kedua tangan tersimpan di saku jaket. "Ibumu," sahutnya singkat.

Tera mengerjap. Ibu? Ibu Asiyah? Ibu Meilan, mamanya Sam? Ibu Ar—

"Buruan keluar." Sam membuyarkan tanda tanya di kepala Tera.

Sedikit tertatih wanita itu mengimbangi langkah Sam. Tepat di depan sebuah pintu apartemen—entah milik siapa—Sam menekan bel. Jantung Tera tiba-tiba saja berdebar. Segala dugaan membuatnya terus berpikir macam-macam. Ah, kalau saja yang dimaksud adalah Nurul, ia lebih baik pingsan saja sekarang. Sungguh Tera tak siap bila harus berhadapan dengannya. Jangan-jangan Nurul memohon untuk kembali. Tidak! Tera tak akan sudi berbagi Sam dengan siapa pun. Kalaupun memaksa, ia lebih memilih pergi dan bercerai saja.

Satu menit menanti pintu di depan mereka terbuka perlahan. Sosok itu muncul di baliknya. Tera melihatnya tak berkedip. Apa ini? Kenapa hidupnya jadi serumit ini?

Wanita dengan gaun putih selutut itu mengurai senyum. Rambut hitam legamnya tersanggul. Mata wanita di hadapan Tera itu berbinar. Namun tak lama setelahnya menggenang air mata yang kemudian tak terbendung.

Sam mendorong Tera agar lebih dekat dengan wanita itu. Tak butuh waktu lama untuk tangis itu pecah. Sam memang ajaib. Laki-laki yang sedang merengkuh kedua bahu Tera itu mengubah hidupnya begitu drastis. Haruskah ia marah? Sam terlalu banyak menyembunyikan segalanya.

"Apa kabar?" Suara serak wanita yang kini memeluk Tera itu terdengar. Bersamaan dengan itu tubuh Tera membeku dan air matanya menganaksungai.

**

Pertama kali publish: 30-09-2020
Republish: 21-12-2024

=====🥀🥀🥀=====

Jadi, Gais, aku kemarin gak publish apa pun 2 hari tanpa kabar itu karena lagi ada saudara di rumah. Sibuk akunya. 🙈

Maafkan, ya. Lain kali aku kabarin dan nggak main ngilang-ngilang lagi. Terima kasih untuk kalian yang sudah mengkhawatirkanku. 🤗🥰

Sehat selalu untuk kita semua. Lancar rezeki dan dipermudah dalam segala urusan. Aamiin. 🥰

Mau nungguin part lanjutannya nggak nih? Entar siang atau sorean, ya.

See you. 🤩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top