Bagian 17
Selamat pagi! 😊
Seperti biasa republish di waktu pagi. 😁
Apa kabar hari ini? Semoga sehat-sehat selalu dan harinya penuh rasa syukur. Aamiin. 🥰🤗
Happy reading. Jangan lupa vote dan komentarnya. 🤩
=====🌻🌻🌻=====
Dua wanita duduk berdampingan di sebuah sofa panjang kamar pasien. Keduanya menatap sosok yang terbaring dengan napas pendek-pendek. Masker oksigen masih terpasang apik di wajahnya. Gagal jantung, begitu penjelasan yang hanya bisa ditangkap Asiyah.
"Apa kamu masih mencintainya?" Asiyah bersuara lirih. Kedua matanya sembap. Sudah seharian ia lelah menangisi keadaan suaminya.
Sementara wanita di sisinya baru satu jam yang lalu datang sendirian. Asiyah merasa perlu memberikan kesempatan pada istri kedua Ridwan untuk menemuinya. Ia tahu betul Ridwan tak pernah menjatuhkan talak padanya. Namun, pernikahan mereka berdua pupus dengan sendirinya ketika Arum pergi meninggalkan rumah dan keislamannya.
"Itu masa lalu, Mbak. Kalaupun iya, apa aku masih berhak? Aku bukan lagi istrinya," gumam Arum sambil tertunduk.
Asiyah tersenyum seraya menatap wanita tinggi semampai di sisinya. Wanita ini tak salah, begitu batin Asiyah berkata. Andai dulu Asiyah lebih bersabar menerima kondisi kesehatannya dan menunda keinginan memiliki buah hati, seharusnya ia tak perlu menyeret Arum. Namun, lima tahun pernikahan tak kunjung anak hadir, membuatnya tak sabaran dan mengikhlaskan Ridwan menikah lagi. Sayangnya, saat Tera lahir, Asiyah justru diberi keajaiban mengandung Aya. Semua semakin rumit tatkala Ridwan memusatkan perhatian pada Aya yang notabene kondisi kesehatannya lebih ringkih sedari lahir. Prahara pun berkobar karena cemburu tersulut di dada Arum.
"Sungguh, aku rela Tera bersama kalian, Mbak. Hanya saja aku tertekan saat Kakek mendesak membawa Tera padanya." Arum mengusap wajah perlahan, menghapus tetes bening di sudut mata. "Tapi percayalah, tak sedetik pun waktu terlewat tanpa memikirkannya."
Asiyah tertegun. Ia paham di dunia ini tak ada seorang ibu yang rela berpisah dari anaknya.
"Terima kasih telah menjaganya dengan baik. Tera pasti sangat membenciku." Arum mengembuskan napas susah payah di sela isak tangis.
"Tidak, Rum. Dia tidak pernah sedetik pun membencimu. Dia hanya tak suka padaku karena mengira akulah penyebab kepergianmu." Asiyah tersenyum miris. Ada denyut sakit yang ia rasakan setiap mengingat bagaimana sikap Tera padanya. Nyatanya, Ridwan bungkam akan kondisi sebenarnya. Namun, Asiyah dan Ridwan telah memutuskan mereka akan menutup semuanya dari anak-anak.
Pembicaraan mereka terhenti saat suara pintu berderit. Aya yang baru tiba tergesa meletakkan ransel ke meja dan mendekat ke sisi ranjang.
"Ayah kenapa, Bu?" tanya dengan suara serak.
"Te-ra ...."
Tiga perempuan dalam ruangan itu menoleh ke arah pasien. Aya menggenggam telapak tangan ayahnya.
"Ibu udah kasih kabar Mbak Tera?"
Asiyah menggeleng pasrah.
Aya menatap ke arah Arum yang masih saja duduk di sofa sambil terus menghapus air mata. "Sebaiknya Ibu Arum pulang saja. Aya sama Ibu masih bisa jagain Ayah, kok," ujarnya ketus.
Asiyah bisa menangkap tatapan sinis gadis berhijab merah mudah di sisi ranjang Ridwan. Ia hampir mengatakan sesuatu saat Arum tiba-tiba mengangguk dan tergesa pergi. Asiyah menghela napas panjang. "Aya ... Ibu tidak pernah mengajarkanmu berlaku tidak sopan," protesnya.
Aya tak peduli. Ia berbalik menuju tas ransel dan memunggungi ibunya. "Aya cuma enggak mau situasi makin keruh, Bu. Lagian Mbak Tera bukan anak bayi yang bisa diseret sana-sini. Toh udah ada Mas Sam di dekat Mbak Tera. Mbak Tera enggak butuh warisan dari Tuan Lee."
"Aya ...."
"Aya yakin Ayah kepikiran Mbak Tera, Bu. Makanya Ayah tertekan." Gadis yang sibuk merogoh tas punggung itu berusaha menerka. Ia lantas keluar ruangan membawa ponsel seraya menekan panggilan berkali-kali.
Asiyah menghela napas panjang. Semoga keluarga ini selalu dalam lindungan-Nya. Begitu doa batin Asiyah berkata.
**
Sudah ketiga kalinya Aya menekan nomor kakak perempuannya. Tak ada nada tersambung. Pun sama dengan nomor suaminya. Aya melirik jam tangan, masih menunjukkan pukul 9 malam. Apa mereka berdua masih ada di kawasan perbatasan? Aya pernah mendengar Ayah menyebut Tera hanya seminggu di Kalimantan Utara. Ini adalah hari ketujuh. Seharusnya mereka sudah kembali ke kawasan perkotaan, bukan?
Aya mengetuk-ngetuk kening dengan punggung tangan kanan seraya menggigit bibir. Sepertinya usaha Tera lepas dari keluarga Ridwan berhasil. Ia sama sekali tak dapat dihubungi sampai detik ini.
"Ah, aku lupa ada Kak Bela. Siapa tahu dia punya nomor lain Mas Sam," gumam Aya. Ia berhenti bergerak gelisah sembari mengirim pesan pada Bela.
Sayangnya, semua pesan tak berbalas meski sudah 30 menit Aya menunggu dengan terus menggenggam ponsel pintarnya. Ia mendesah, masuk ke ruangan di mana Ayah terbaring. Niatnya berkabar akan hasil usahanya menghubungi Tera pada sang ibu urung saat melihat Asiyah sudah terlelap sambil meringkuk di sofa.
Aya menghela napas panjang, melepas jaket tebalnya dan menggunakannya untuk menyelimuti Ibu. Lalu ia beralih menatap Ayah yang terbaring.
Bertahanlah, Ayah. Aya rindu senyum Ayah. Mbak Tera pasti segera datang.
Aya tertunduk menyembunyikan air mata. Ia tak pernah cemburu meski Ayah begitu memikirkan Tera. Bahkan Aya yang selalu mendapat juara satu di kelas tak bisa meraih kehebohan Ayah mengaguminya. Aya paham, laki-laki yang terbaring lemah itu melakukan hal tersebut karena merasa bersalah pada Tera sehingga berusaha memusatkan semua perhatian padanya.
**
Sinar matahari pagi mulai menggeliat naik, menembus kaca jendela kamar. Tera yang sejatinya sudah terbangun sejak pukul lima pagi—karena sentuhan dingin tangan basah Sam di pipi—hanya menggeliat malas dan kembali bergelung semakin dalam. Baru kali ini ia tahu suaminya taat bangun lebih pagi untuk beribadah mengingat dirinya selalu bangun setelah Sam. Pasalnya, baru kali ini pula Sam berani membangunkan Tera.
Kedua ujung bibir Tera terangkat. Sam baru saja turun ke lobi 30 menit yang lalu, tetapi mengingat namanya saja sudah membuat jantung berdebar. Oh, apa ini yang dinamakan mulai jatuh cinta?
Tera beranjak bangkit meraih handuk. Ia bergegas menuju kamar mandi, membasuh muka dengan dinginnya air keran, dan menyapukan sedikit pelembap bibir usai mengeringkan wajah dan menggosok gigi.
Tera memang bukan tipe wanita yang terlalu repot dengan penampilan. Sehelai sweter berbahan kaus cukup menyempurnakan diri meski pergelangan pakaiannya hampir menutup punggung tanggan dan menyisakan jemari Tera yang menyembul. Ia hampir saja melupakan rambutnya yang masih berantakan kalau tak melewati cermin di dinding.
Dengan sekali gerakan cekatan Tera merogoh saku celana jins hitamnya, menarik sebuah ikat rambut dan mengikatkannya secara asal. Membuat beberapa anak rambut masih terlepas di pelipis dan kening. Tak repot mencari sisir di tas ransel, ia menata poni dengan jari-jari tangan.
"Haish, kelamaan!" Tera bergegas keluar kamar. Ia melewati beberapa lorong dan turun melewati anak tangga.
Namun, langkahnya terhenti tepat di tikungan lorong menuju lobi. Wanita berkemeja biru kotak-kotak hijau tua tampak bersandar sembari memainkan buku-buku jarinya.
"Bu Lianti?"
Wanita itu buru-buru memberi aba-aba dengan menempelkan telunjuk di bibir. Dagunya menunjuk ke arah lobi. Tera spontan mendekatkan diri dan menilik ke arah lobi.
Manik Tera mengerjap. Wanita itu datang lagi. Ia tak mungkin datang tanpa sepengetahuan Sam. Tera bisa menebak Nurul telah menghubungi Sam hingga ia sampai di sini.
"Aku hanya ingin memperjelas kondisi kita, Mas. Aku mohon ...."
"Tidak pernah ada pernikahan di antara kita, Nurul."
"Tapi pernikahan kita sebelumnya sah di mata agama, Mas. Aku bu—"
"Kalau begitu, maaf, aku secara sadar telah menjatuhkan talak padamu jauh-jauh hari setelah kepergianmu. Terima kasih."
Jantung Tera mencelus, darah berdesir membuat matanya berkunang-kunang. Sam dan Nurul pernah menikah sebelumnya, begitu yang Tera tangkap.
"Wah, ternyata kamu jadi yang kedua! Harusnya bisa rujuk, kan? Karena ada kamu mereka bercerai. Ckckck ...." Lianti menggeleng sarkas sambil melipat kedua tangan di dada. Ia tersenyum sinis lalu berlenggang meninggalkan Tera sendiri yang hampir limbung.
Ia menekan dada, meremas sweter lebih erat. Ada yang sakit tetapi tak berdarah. Ia benci Asiyah, tetapi kenapa dirinya menjadi seperti Asiyah? Ia wanita kedua? Apa Tuhan sedang membalik keadaan padanya?
Aku sangat membencimu, Sam.
**
Laki-laki dengan kemeja putih dan lengan baju terangkat hingga siku itu bergeming memperhatikan wanita di hadapannya. Hatinya sudah beku. Ia tetap berusaha tak mengubah keputusannya meski Nurul menitikkan air mata.
"Kamu bebas, Nurul. Semoga kamu bersanding dengan laki-laki yang lebih pantas dariku. Terima kasih." Sam mengakhiri pembicaraan, meninggalkan Nurul sendirian.
Sampai di sini semuanya sudah berakhir. Ia ingin menutup rapat semua dan mengikhlaskan sesuatu yang memang bukan untuknya lagi. Tanpa kembali berpaling, Sam menaiki anak tangga, menyusuri lorong menuju kamar.
Namun, tepat di depan pintu kamar, ia menemukan pintu terbuka. Dengan gerakan kasar wanita di dalam sana memasukkan barang-barangnya yang tercecer ke dalam ransel. Akan tetapi, sesekali Sam bisa melihat Tera menghapus kasar sudut mata dengan punggung tangan.
"Tera?"
"Jangan bicara lagi padaku," gerutunya.
"Maksudmu?"
Beberapa kali lipatan pakaian yang semula rapi tak berhasil masuk ke dalam ransel meski Tera terus berusaha melesakkannya ke dalam, membuat lantai tampak berantakan. Tera yang semula bersimpuh menata tas bangkit berdiri. Sam bisa melihat ada kilatan amarah di matanya.
"Aku bukan wanita yang bisa seenaknya kamu permainkan, Sam," tegasnya.
Sam mengembuskan napas kasar. Ia pikir setelah ini semua bisa teratasi dengan baik dan berjalan normal. "Apa lagi? Nurul? Aku sudah berpisah dengan ...."
"Cukup! Kamu enggak bisa seenaknya nikahin anak orang secara diam-diam lalu memutuskannya secara sepihak demi menikahi wanita lain!"
Usai meluapkan segala emosi, Tera kembali menata barangnya. Sam sempat mengambil alih tas selempang di sisi ransel. Namun dengan cekatan Tera kembali meraihnya lalu mencabut ponsel yang semalaman mati total dari kabel pengisi daya.
"Ter, dengerin dulu. Kita bisa bicara sebentar sebelum kamu memilih pergi," cegah Sam. Ia mencekal pergelangan tangan kanan Tera tepat di depan pintu kamar.
"Enggak!"
Mereka hampir kembali beradu mulut saat Juan tiba-tiba datang setengah berlari.
"Eh, ada apa ini?" tanyanya.
Keduanya terdiam. Sam hanya memandang Tera yang tertunduk menyembunyikan wajah kacaunya.
"Ck, urusan kalian berdua, deh," pungkas Juan tak mau ambil pusing. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. "Bela barusan kasih kabar. Kalian ke mana aja, sih? Ponsel enggak ada yang aktif, nih, baca."
Usai membacanya, Sam kembali memaksa Tera masuk ke kamar. "Makasih. Bilang ke Bela aku dan Tera segera pulang."
Juan hanya mengedik bingung dan memilih berlalu saat Sam menutup pintu.
Tera mengibaskan cengkeraman tangan Sam di pergelangan tangan. "Aku mau pulang!" geramnya.
"Aku minta kamu duduk sebentar," pinta Sam tegas seraya mendudukkan wanita keras kepala di depannya di tepi ranjang. Lalu ia berlutut sambil menggenggam kedua telapak tangan Tera. "Aku akan mengantarmu pulang. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Kita temui Ayah secepatnya." Sam menjeda dengan mengembuskan napas pelan. "Ayah kritis. Kita pulang sama-sama, ya?"
Detik itu juga, tangis wanita yang kerap bersikeras meninggalkan sang ayah pecah. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan bahu bergetar hebat. Sam berusaha menepuk punggung Tera perlahan, membenamkannya dalam dekapan. Ia sadar bahwa hari-hari berikutnya akan menjadi hari terberat untuk istrinya. Ada sejumput penyesalan karena dirinya ikut menjadi beban dan tekanan Tera. Semua rencananya luluh lantak seketika. Bagaimana bisa ia menepati janjinya pada Huanran jika dirinya justru menjadi masalah dalam hidup putrinya?
**
Pertama kali publish: 26-09-2020
Republish: 17-12-2024
====🥀🥀🥀====
Tidak ada manusia yang sempurna. Pun nggak ada manusia yang selalu lurus jalan hidupnya. Pasti pernah bikin salah.
Itu yang selalu aku bangun dalam setiap karakter dalam cerita-ceritaku. Nggak akan ada tokoh protagonis yang selalu bener. Biar apa? Ya, biar kelihatan relate sama kehidupan meskipun cuma fiksi. Ya gasih? 😅
Makasih udah dukung aku terus. Maafkan belum sempat balas komentar satu per satu.
Sehat selalu dan lancar rezeki. Aamiin. 🥰🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top