Bagian 16

Hai, selamat siang! 🤩

Menunaikan janji republish siang ini. 🤭

Cerita ini hanya ada 29 part, ya. Dikit. 😅

Happy reading. Vomment jangan lupa. 🥰

====🌻🌻🌻====

Asiyah masih bungkam. Ia sama sekali tak ingin membahas apa pun sejak kemarin. Bahkan meski semalaman Asiyah tahu Ridwan sama sekali tak terpejam, ia enggan berkata-kata. Wanita itu tahu, suaminya pasti tertekan. Namun, ia tak bisa memaksakan Tera untuk tinggal.

Asiyah menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan, berharap sedikit beban pikirannya berkurang dan menguar bersama kepulan asap sup ayam di dapur. Wanita berjilbab instan warna cokelat itu bangkit dari kursi dan kembali menata sarapan di meja. Akan tetapi, dering ponsel di meja dekat televisi membuatnya urung dan bergegas ke ruang tengah. Ia mengeringkan tangan yang lembap pada daster batik yang dikenakan. Bibirnya mengukir senyum saat nama Aya ada di layar ponsel.

"Assalamualaikum, Bu, apa kabar? Ayah sehat? Sarapan apa pagi ini?"

Aya sama sekali tak memberi kesempatan Asiyah bicara, membuat tawa kecil ibunya lepas begitu saja. "Waalaikumsalam, Aya. Ibu belum juga jawab salam udah diserobot aja, ih!" Asiyah tertawa kecil.

Aya memang seperti itu. Selalu mengucapkan salam di mana pun ia berada, tapi tiap kali mendengar suara ibunya dari seberang telepon, gadis manis itu melupakan kesempatan jawaban salam sang ibu.

Aya terkekeh pelan. "Oh iya, lupa!"

"Ibu lagi bikin sup ayam. Ayah masih tiduran di kamar," tutur Asiyah pelan seraya menjulurkan leher berusaha mengintip pintu kamar yang sedikit terbuka. "Mau bicara sama Ayah? Sebentar, ya."

Aya hanya berdeham pertanda menunggu ibunya menyampaikan pesan dan Ridwan mengambil alih telepon.

Perlahan Asiyah mendekat lalu menggoyang pelan bahu laki-laki yang sejak semalam mengenakan sweter abu-abu. "Yah, Aya mau ngomong, nih." Asiyah berkata lirih.

"Hmm ...." Ridwan berdeham sambil perlahan membuka mata dan bangkit.

Asiyah mengulurkan ponsel seketika Ridwan yang tak seperti biasanya duduk sedikit lesu. Namun, belum sampai tangan keriput dan pucat berkeringat dingin itu meraih benda pipih, tiba-tiba Ridwan melenguh. Tangannya beralih meremas dada kiri dan tubuhnya semakin tertunduk.

"Lho, Ayah?! Ayah! Kenapa, Ayah?!" Asiyah melempar ponsel begitu saja ke ranjang, berusaha merengkuh tubuh ringkih suaminya. Namun, berat badan Ridwan yang melebihi Asiyah membut keduanya limbung ke lantai. Ridwan terjerembap ke pangkuan istrinya.

Asiyah terus berteriak menyebut nama sang suami. Tak ada reaksi kala itu membuat ia panik dan semakin gemetar menggoyang tubuh suaminya. Menyadari diri tak kuasa lagi menolong Ridwan sendirian, ia meraih bantal di kasur lalu meletakkan kepala sang suami di sana. Gerakan Asiyah tergopoh, berlari sekuat yang ia bisa ke halaman rumah, berharap siapa saja yang lewat mau membantunya membawa Ridwan ke rumah sakit.

Detik itu juga pikiran Asiyah kacau. Ia ketakutan setengah mati melihat kondisi suaminya yang terus terkulai dan tak berdaya. Ingatan akan kematian membuat air matanya terus terurai, berharap Tuhan-nya masih memberi kesempatan untuk kali ini saja agar suaminya bertahan hidup.

**

Pukul 9 malam wanita berkaus putih ketat dipadu celana jins biru tua di lobi hotel terlihat mondar-mandir. Sementara Juan sudah sangat yakin dan tak salah menghitung Lianti sudah menoleh sebanyak 10 kali ke area halaman hotel. Juan makin jengah, ia meletakkan koran di meja dan menyandarkan tubuh malasnya ke sofa. Memainkan ponsel sepertinya lebih seru timbang melihat muka gelisah wanita berkucir kuda di depannya.

"Juan!" geram Lianti. Ia duduk mendekat ke arah  laki-laki dengan mata tajam menatap serius pada layar ponsel.

"Hmm?"

"Ck, letakin! Aku enggak mau gelisah sendirian!" gerutunya. Lianti menyambar paksa ponsel Juan.

"Astaga, Li ... santai aja, sih! Sam bukan anak kecil kali. Lagian dia juga udah ada bini. Enggak usah khawatir Sam kedinginan kalau kecebur sungai Sembakung." Kali ini Juan berujar sedikit menunjukkan kekesalan dengan mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya.

"Ih, jangan dong, ah! Orang belum tentu selamat kalau jatuh ke jeram sungai Sembakung!"

"Ya ... makanya jangan ribut mulu, ish!" Juan melempar pandangan ke luar lobi. "Bener kata Sam, kerja ke lapangan mending bareng Tera yang enggak banyak ngomong," gumamnya.

"Hah? Serius Sam pernah bilang begitu?" Lianti mencengkeram lengan Juan.

Juan mengembuskan napas kasar. "Ya ...."

"Juan! Ngapain di sini?"

Lianti dan Juan menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Wajah wanita di sisi Juan menatap sinis, tetapi berubah merajuk manja ketika bertatapan dengan Sam.

Juan melompat dari sofa, berlarian kecil lalu menyambut tangan kanan Tera. Secara berlebihan ia melekatkan punggung tangan istri Sam di kening. "Akhirnya datang juga kamu, Ter! Aku hampir gila di sini!"

Tera mencondongkan tubuh ke belakang, berusaha menarik tangan dari genggaman Juan.

"Jangan kurang ajar di depan ketua tim," celetuk Sam seraya melepas pegangan tangan Juan.

"Ish, pelit amat pegang tangan doang kali, Sam." Juan mencebik. "Noh, adik kesayangan bikin kepala Juan pening!" Dengan tangan berkacak di pinggang Juan menunjuk Lianti yang berjalan pelan mendekat ke arah mereka.

Tanpa babibu Sam berjalan menuju meja resepsionis melewati Lianti begitu saja. "Double room untuk saya dan istri saya ya, Mbak."

Mata Lianti terbelalak diikuti tawa tertahan dari Juan.

"Tera bisa tidur bareng aku, kok, Sam. Kamu bisa sama Juan biar biaya pengeluaran kita lebih irit. Soalnya aku udah ...."

"Aku bayar sendiri," sela Sam seraya mengeluarkan kartu debit dari dompet dan meletakkannya di meja resepsionis. "Dan lagi besok aku sama Tera balik Jakarta, ya. Kalian kelarin tuh liputan di Krayan."

"Hah?! Sam!" Lianti memekik sambil mengentakkan flatshoes sebelah kanan.

Sementara Juan terbelalak lalu menunjuk dirinya dan Lianti secara bergantian.

"Liputan yang mana? Kok, kamu enggak bilang-bilang kalau—eh, Sam!" Tera tampak kebingungan ketika suaminya menarik pergelangannya dan meninggalkan Juan yang sama bingung serta Lianti dengan wajah merah padam menahan amarah.

Astaga, Sam memang keterlaluan menanggapi setiap sikap Lianti. Perempuan di sebelah Juan itu pasti kecewa berat. Juan hanya mendesah sambil melipat kedua lengan di dada dan menggeleng pelan.

**

Tera mendengkus sambil berkacak pinggang. Ia baru saja usai membersihkan badan yang terasa lengket karena keringat sepanjang perjalanan. Belum lagi debu yang menempel di wajah membuatnya merasa risi dan berharap segera mandi usai Sam mendahuluinya. Namun, selesai mandi laki-laki itu tak ada di kamar. Mungkin sehabis mandi laki-laki itu beranjak mencari makan malam mengingat mereka berdua memang belum makan.

Perlahan Tera menyeret sebuah kursi mendekat ke arah jendela lalu membuka tirai. Sam memang pandai memilih tempat atau mungkin cuma kebetulan saja hanya kamar ini yang tersisa. Dari jendela kamar hotel yang mereka singgahi tampak hamparan pemandangan kota dan laut di seberang sana. Bibir tipis tanpa sapuan lipstik itu tersenyum melihatnya.

Tera menoleh ke arah suara pintu berdebum pelan. Sam kembali membawa kantong plastik putih. Laki-laki itu memilih membisu dan sibuk mengeluarkan sesuatu di atas meja. Ia menyeduh dua cup mi instan ditemani 2 kaleng minuman dingin berperisa kopi.

"Sudah malam, hanya ada mi ini kalau mau makan," ujar Sam sembari menyeret kursi mendekat ke arah Tera.

Tera menerima uluran mi cup usai mengibas rambut sebawah bahunya yang setengah basah. "Tidak masalah. Aku masih bisa bertahan hidup sampai besok pagi meski cuma makan mi."

Tera bisa melihat senyum tipis Sam melalui ujung matanya. Ia memilih sibuk mengaduk makanan instan di tangan daripada mengajak Sam bicara banyak. Namun, ingatannya mengenai kehadiran Lianti dan Juan membuatnya berhenti bungkam.

Tera mengubah posisi duduk dengan menghadapkan kursi ke arah Sam lalu bersila sambil berpangku tangan. "Ayolah, Sam, kamu enggak bisa seenaknya begitu kalau urusan pekerjaan. Harusnya kamu bilang padaku kalau Juan dan Bu Lianti ada tugas liputan di Krayan. Kita satu tim, kan?"

"Itu di luar rencana tim, kok. Di buku agendaku enggak ada rencana meliput festival di Krayan." Sam meletakkan mi di atas meja lalu membuka dua kaleng minuman.

Bola mata Tera berputar mendengar ungkapan Sam. "Tapi setidaknya kamu memberiku kabar, kan? Bu Lianti pasti marah," protes Tera lalu merangsek sekaleng minuman dari tangan Sam dan meneguknya sedikit demi sedikit.

"Biasa aja, sih."

Tera berdecak kesal. Kenapa juga manusia lempeng ini tak kunjung berubah?

Untuk 2 menit lamanya keduanya hanya diam. Namun, diam-diam Tera mulai merasa betah hidup di sisi laki-laki ini.

"Sam ...."

"Hm?" Sam menoleh setelah meneguk setengah tandas minumannya.

"Kenapa memilihku? Apa menurutmu aku cukup bisa diandalkan membantu melupakan masa lalumu?" Tera menatap dalam pada manik mata sehitam jelaga milik Sam. Berharap ada kepastian di sana. Apa benar ia hanya tempat laki-laki ini berpaling sejenak?

"Tidak bisakah masa laluku dan masa lalumu menjadi milik masing-masing saja?" Sam menjeda sejenak.

Berikutnya, Tera bisa merasakan telapak tangan kiri yang semula terbebas di atas lututnya tiba-tiba terasa hangat.

"Lupakan semua masa lalu kelammu dan aku pun begitu."

Tera bergeming. Tubuhnya serasa terkunci oleh tatapan laki-laki yang tengah menggenggam telapak tangannya. Sayangnya, Tera tak cukup kuat untuk membentengi diri dari setiap sentuhan Sam pada mulanya. Sedikit saja sentuhan itu mendarat, kekuatan Tera limbung.

Entah bagaimana caranya sebelah tangan Sam yang lain sudah mencapai tengkuk wanita di depannya. Alam pun ikut bersorak. Rintik hujan menerpa kaca jendela cukup syahdu menjadi saksi bisu bayang remang-remang keduanya yang mulai terlena dalam gerakan lambat.

Detik itu juga, tanpa sadar Tera telah memasrahkan perasaannya untuk mencoba jatuh cinta. Harapannya melambung. Dalam setiap helaan napas yang mulai terengah Tera berdoa, semoga Sam adalah orang yang tepat.

**

Pertama kali publish: 24-09-2020
Republish: 16-12-2024

====🥀🥀🥀====


Ini tuh cerita pertama aku belajar bikin adegan romantis dewasa. Menurutku masih kurang greget, sih. 😅

Tapi mau dihapus sayang. Jadi biarlah begini adanya. Biarlah cerita Sang Perawan sama Suddenly jadi kandidat cerita ter-🔥 versi Author Anjar Lembayung. 🤣

Kalau menurut kalian, ceritaku yang mana yang paling manis dan hot? 🤭

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa ingatkan aku selalu kalau ada adegan kelewat batas.

Sehat selalu dan lancar terus rezekinya buat kita semua. Aamiin. 🥰🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top