Bagian 15
Selamat pagi. 🥰
Perasaan kalau weekend cepet banget berlalu, deh. Sekarang udah hari Senin aja. 😆
Tetap semangat untuk kita semua. 🤩
Jangan lupa vote sama komentar.
Happy reading. 🥳
====🌻🌻🌻====
Beberapa helai pakaian setengah kering sudah berjajar di jemuran teras samping rumah. Asiyah tampak cekatan menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum matahari beranjak makin tinggi. Ridwan bahkan masih menikmati secangkir kopi di teras sebelum laki-laki itu berangkat mengajar di sekolah.
"Ibu masih marah?" celetuk Ridwan usai menyeruput minumannya yang mulai mendingin.
Asiyah menipiskan bibir tanpa menoleh pada sumber suara. "Enggak, ngapain juga Ibu marah sama masa lalu."
Ridwan terdiam menatap punggung istrinya. Wanita yang tengah berpeluh di sisi jemuran itu memang tak pandai menutup kekesalan.
"Kata Aya, Arum juga menemuinya di Jogja." Asiyah berucap seraya mengibaskan kemeja kusut di tangan lalu menyampirkannya di atas kawat jemuran.
Alis tebal Ridwan terangkat. Sepertinya Arum serius dengan keinginannya. Wanita itu selalu tegas dengan pilihannya. Sama saat ia memilih pergi meninggalkan keluarga ini.
"Ya sudahlah, Bu. Toh Tera itu bukan anak kecil lagi. Biarkan dia memilih nanti," pungkas Ridwan sambil menenteng tas tangan dari kursi. Ia hampir bangkit ketika dada sebelah kirinya tiba-tiba berdenyut. Ridwan berhenti sejenak, urung untuk bangkit. Semalaman laki-laki berhidung mancung itu tak tidur memikirkan semuanya. Mungkin ia kelelahan hingga jantungnya yang mulai menua bersama usia ikut kelelahan.
Bukan perkara mudah mengambil keputusan dengan membiarkan Tera memilih sendiri. Ridwan tahu betul jawaban putri sulungnya nanti. Putrinya itu pasti akan memilih pergi mengingat selama ini hubungan mereka tak baik. Namun, Ridwan pun tak bisa membuka masa lalu keluarga ini di depan Tera. Biarlah dirinya menjadi tersangka yang melukai hati wanita dalam keluarga ini. Kelak Tera akan tahu sendiri mengapa ayahnya memutuskan melepas Arum, ibu kandung Tera.
Pikiran Ridwan seolah terbang ke masa di mana tangis Tera kecil meledak seraya bersimpuh di kaki ibunya. Namun, wanita bergamis merah tak berjilbab itu tetap bergeming. Jilbab lebar yang semula dikenakan hanya ia genggam di tangan kanan sambil terus ia remas hingga kuku jarinya menghunjam pada gulungan kain senada gamis. Rambut sebahu Arum tampak tersibak angin di halaman rumah malam itu. Bulir air mata terus membasahi pipi sementara Ridwan tetap terdiam menatap sendu pada putrinya yang berusia 6 tahun terus menjerit tak menginginkan kepergian sang ibu.
"Aku lelah selalu menjadi yang kedua, Mas. Tidak bisakah aku dan Tera menjadi satu-satunya dalam hidupmu?"
Ridwan menghela napas, kali ini sungguh ia tak sanggup menyembunyikan air mata. Sungguh ia merasa amat berdosa karena tak sanggup memahami apa itu adil untuk kedua istrinya. Namun, ia juga tak sanggup membohongi dirinya bahwa Asiyah adalah cinta pertamanya. Meski Asiyah merelakannya menikahi Arum demi memenuhi harapan mereka akan seorang anak, Ridwan tetap tak sanggup membagi dirinya.
"Kali ini ... relakan aku pergi. Aku titipkan Lentera padamu dan Mbak Asiyah, maaf aku tak sanggup menepati janjiku," pamit Arum.
Wanita itu melepas cekalan Tera, menggendong sejenak dan mencium beberapa kali pipi basah putrinya. Lalu ia ulurkan sang anak berpiama biru itu pada sang ayah. Sebelum Arum benar-benar pergi, ia sempat menyerahkan jilbab di tangan kanan Ridwan.
"Terima kasih telah mengenalkanku dengan ajaran Islam, Mas."
Sejak itu, wanita itu benar-benar menghilang. Namun, kepiawaiannya menulis kerap membawa Ridwan berkelana membaca koran setiap Minggu, berharap ada nama Arum Senja tercetak di setiap rubrik koran yang ia baca.
"Yah ...." Suara dan tepukan tangan kanan Asiyah di bahu membuat lamunan Ridwan berhamburan.
"Ya, Bu?"
"Ada tamu," terang Asiyah dengan raut cemas seraya menunjuk tamu yang sudah berdiri di ambang pintu pagar.
Ridwan menoleh ke arah halaman depan. Matanya memastikan bahwa apa yang membuat istrinya cemas bukan seperti dugaannya. Namun, sosok wanita dari masa lalu yang mirip dengan putri sulungnya itu sudah cukup memastikan dugaannya tak salah. Laki-laki tua yang hampir bungkuk dengan tongkat di sisinya juga semakin membuat jantung Ridwan berdegup lebih cepat, membuat rasa nyeri itu kembali datang lebih hebat.
**
Ruang tamu dengan sofa bernuansa cokelat di rumah Ridwan hening. Tak ada yang bersuara sedikit pun setelah Tuan Lee mengutarakan maksudnya. Kakek tua dengan kumis dan jenggot sedikit panjang itu bersungguh-sungguh ingin menjemput putri sulung Ridwan.
"Tera sudah dewasa, Mas. Biarkan dia memilih." Arum tampak bersuara.
Tuan Lee mendengkus. "Tidak ada pilihan, Huanran! Kamu ingin aku mati tanpa pewaris, hah?"
"Tapi Kek ...."
"Bawalah dia pergi jika kalian mau. Tera berhak memilih." Ridwan menyela pembicaran Arum dan sang kakek. "Terima kasih telah memberikan kebahagiaan padaku dan Asiyah ... Huanran."
Kali ini Huanran bisa melihat betapa dalam Ridwan menatapnya. Manik mata hitam itu menunjukkan kepasrahan dan luka.
Sementara itu, Asiyah tertunduk dengan air mata berderai. Wanita di sisi Ridwan itu terlihat pasrah mengikuti keputusan suaminya, membuat hati Arum ikut tersayat. Bagaimanapun dua orang di hadapan mereka telah menghabiskan masanya bersama Tera, bukan?
"Sayang sekali anak itu belum pulang. Apa kamu sengaja menyembunyikannya dariku, hah?" Tuan Lee menatap sengit pada Arum. "Jawab, Huanran!"
Huanran—Arum Senja mantan istri Ridwan—tersentak dan menggeleng dan terisak pelan di balik kedua telapak tangannya.
"Saya akan mengabarkannya pada Tera kalau sudah pulang nanti, Tuan. Silakan Tuan beristirahat dahulu. Terima kasih." Ridwan memilih bangkit dan mengusir mereka secara halus dengan masuk ke kamarnya.
Arum semakin terisak. Ia berpikir, Ridwan pasti semakin membencinya.
"A-ayah ...." Suara serak Asiyah terdengar resah. Wanita itu menatap Arum dan punggung Ridwan secara bergantian. Namun, akhirnya ia memilih menyusul suaminya bangkit.
**
Keputusan Sam sudah bulat. Ia pastikan hari ini juga mereka berdua kembali ke Jakarta. Namun sebelumnya mereka akan singgah di Krayan. Juan sudah menghubunginya melalui telepon saat di Pagalungan kemarin bahwa rekannya itu sudah menunggu di sana untuk meliput Festival Krayan.
"Sam, aku bisa membantumu membuat mantanmu itu semakin menyesal dan merajuk kembali padamu kalau mau," sindir Tera. Wanita itu tengah memainkan buku-buku jarinya sebelum naik ke atas perahu menuju Mansalong melalui jeram sungai Sembakung.
Sam hanya berdecak sambil membenarkan posisi ransel lalu mengelurkan tangan untuk membantu Tera naik ke perahu. "Jangan mengada-ada," timpalnya singkat. Ia sedikit menarik kedua tangan Tera lalu menangkap pinggangnya agar tak terguling saat perahu bergoyang.
"Nah, iya, betul! Begini saja sampai Nurul datang." Tera bersuara semakin pelan saat menyebut nama kekasih di masa lalu Sam.
Nurul memang bilang mau mengantar mereka sampai di bantaran sungai sebelum mereka pergi. Namun, hingga detik ini wanita itu tak kunjung muncul. Sam mengedarkan pandangan tanpa melepas lingkaran kedua lengan di pinggang Tera sesuai permintaan. Hingga beberapa detik ia menunduk dan menatap dengan senyum tipis ke dalam manik gelap Tera.
"Kalau begini caranya, aku malah jatuh cinta padamu. Paham?" Sam berceletuk seringan kapas.
Mata Tera mengerjap beberapa kali. "Oh, begitu, ya?"
Sam menahan kikikan geli seketika Tera memberi jarak dan buru-buru duduk sambil berpangku tangan. Wanita yang bersemu merah itu tak berani menantangnya sekarang. Syukurlah. Setidaknya ia tidak akan repot dengan cecaran pertanyaan tak penting Tera akan masa lalunya.
**
"Kamu yakin Sam menuju Krayan hari ini?"
Juan mendesah malas. Ini pertanyaan ketujuh kalinya saat mereka sedang sarapan di restoran dekat penginapan. "Iya, Bu. Sabar napa. Lumbis itu jaraknya enggak kayak Bogor-Jakarta naik kereta. Naik perahu ini mah," dumal Juan. Ia menyendok sarapan sedikit kasar membuat dentingan piring dan sendok terdengar memekak telinga.
"Kamu marah aku tanya-tanya terus?" protes Lianti dengan mata memicing sebal.
"Astaga, Li ... kamu udah tanya ketujuh kalinya gimana aku enggak kesel coba? Kerja sama dikit kek. Ini urusan kantor kenapa harus ribet gini, sih?"
Demi cintanya pada wanita berbadan gitar Spanyol di depannya, Juan rela menahan kesal dan cemburu. Karena nyatanya, Lianti tetap tak menyadari perhatiannya selama perjalanan. Yang ada justru wanita berlipstik merah ini tak sabaran menanti pertemuannya dengan Sam.
"Ck, kamu enggak ngerti sih, gimana aku selama ini berjuang di sisi Sam." Lianti merutuk. Wajah wanita itu tampak tertekuk dan tak berselera makan.
Ah, Juan akan menghadapi wajah cemberut itu sampai menjelang sore nanti. Astaga, Sam, cepatlah! Kalau perlu terbang! Juan menggerutu dalam hati.
**
Pertama kali publish: 23-09-2020
Republish: 16-12-2024
====🥀🥀🥀====
Gimana, makin jelas, ya?
Eh, udah vote belum?
Entar siang atau sorean republish lagi gimana? 🤭
Terima kasih banyak sudah mampir. Sehat selalu untuk kita semua. Aamiin. 🥰🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top