Bagian 12
Halo, selamat pagi! 😁
Mumpung anak masih di sekolah, aku sempetin republish dulu.
Happy reading, jangan lupa vote sama komentar banyak-banyak. Terima kasih. 🥰🫰
=====🌻🌻🌻=====
Jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ridwan juga masih enggan meninggalkan sofa ruang tengah dengan secangkir kopi di meja. Sudah hampir dingin memang, mengingat minuman hangat berwarna hitam pekat itu sudah disajikan sejak setengah jam yang lalu oleh Asiyah. Berulang kali laki-laki dengan kacamata yang melorot di pangkal hidung itu menilik layar ponsel.
Ah, anak itu masih saja tak merindukan ayahnya setelah menikah!
Ridwan menghela napas panjang seraya meletakkan ponsel di sisi cangkir kopi.
"Mungkin di sana susah sinyal, Yah. Kirim pesan saja ke Sam. Barangkali nanti dia bisa membujuk Tera untuk menghubungi Ayah duluan," celetuk Asiyah sambil merapikan jilbab biru tuanya.
Wanita itu bersiap menenteng tas dari daun pandan di lengan kiri. Sabtu pagi begini memang jadwalnya pergi ke pasar tradisional, membeli persediaan sayur untuk mengisi stok bahan makanan di kulkas.
"Ibu udah tanya ke Bela?" Ridwan bertanya sebelum ia menyesap kopi hitamnya.
Asiyah mengedikkan bahu. "Takut Tera marah. Dia, kan, enggak suka kalau Ibu tanya-tanya ke Bela soal dia," sahut Asiyah diiringi senyum. "Udah, ah, ke pasar dulu! Takut enggak kebagian sayuran segar, Yah."
Ridwan berdeham dan mengangguk. Usai Asiyah menyalami dan mencium punggung tangan suaminya, wanita itu berlalu. Lagi-lagi ia menilik ponselnya meski Asiyah sudah berusaha menenangkannya. Bukan karena ia tak percaya terhadap menantunya. Ridwan sangat percaya pada Sam kalau laki-laki pendamping Tera sanggup menjaga putri cantiknya. Namun, kepergian Tera tanpa mengucap pamit membuat Ridwan sedikit kecewa.
"Ya Allah, apa susahnya telepon Ayah dulu, Lentera?" keluhnya sembari menyandarkan punggung ke sofa.
***
Keranjang di lengan kiri hampir penuh, ditambah sekeresek buah-buahan yang dijinjing di tangan kanan Asiyah. Wanita itu mengangguk mantap, pertanda kegiatan belanjanya cukup untuk hari ini. Ia tersenyum menata sayur asem di tas jinjing. Masakan favorit Tera. Bagaimana kondisi Tera sekarang? Apa putri pertamanya itu makan dengan baik? Batin Asiyah terus bertanya-tanya.
Meski ia sudah berusaha tenang dan meyakinkan Ridwan, Tera akan baik-baik saja, nyatanya jiwa keibuannya tetap bergejolak juga. Asiyah mengembuskan napas pelan. Ia keluar dari area pedagang sayur mayur, melewati lorong sempit, lalu berjalan menyusuri trotoar depan pasar.
Langkah wanita berlesung pipi itu mendadak berubah pelan ketika sebuah mobil sedan hitam mengilap berjalan perlahan di sisi trotoar di mana Asiyah berada. Mobil itu berhenti bersamaan dengan langkah Asiyah. Mata ibu dua anak itu mengerjap seketika pintu belakang mobil terbuka.
Sosok berbibir merah itu tesenyum kaku, sementara Asiyah terbata dan tak sanggup berkata kecuali menyebut, "A-Arum?"
Wanita dengan clutch hitam di tangan kanan itu mengangguk ragu. Ah, sekian tahun lamanya! Kenapa wanita ini baru muncul?
***
"Tera begitu bersemangat saat Mas Ridwan mengizinkannya bekerja di kantor media. Sebenarnya Mas Ridwan mau Tera jadi guru saja, tapi kamu tahu sendiri, kan, bagaimana kerasnya Tera bila sudah punya keinginan?"
Asiyah terus berceloteh menceritakan putri pertamanya. Arum hanya mengangguk beberapa kali sembari menikmati es teh lemon. Ia sengaja mengajak Asiyah ke sebuah kafe agar lebih leluasa saling temu kangen, setelah sekian lama Arum memutus hubungan dengan keluarga kecil Ridwan.
"Jadi, mari kembali, Rum! Tera pasti senang bila ...."
"Mbak," sela Arum. Ia menggenggam erat tangan kanan Asiyah. "Aku ... mau menjemput Tera."
Asiyah terdiam. Rona bahagia di wajahnya mendadak surut dan berubah kalut. Senyumnya menghilang dan berganti gurat kemarahan. Ia menarik tangan dari genggaman wanita dari masa lalunya.
"Mbak, aku mohon bujuk Mas Ridwan un—"
"Sampai kapan pun keputusanku tidak akan berubah, Rum!" potong Asiyah tegas. "Aku menerima kehadiranmu, tapi tidak akan pernah ikhlas kamu pergi membawa putri pertamaku."
"Mbak!" Arum kembali meraih telapak tangan Asiyah, menggenggamnya semakin erat. "Kehadiranku hanya akan melukaimu." Suaranya melirih di akhir kalimat, membuat Asiyah bergeming.
Asiyah memalingkan wajah. Kedua matanya memanas, tak peduli di kafe itu mereka mulai menjadi pusat perhatian banyak pengunjung.
"Sungguh, aku tak sanggup melukaimu lebih dalam lagi, Mbak. Sementara hatiku selalu berontak setiap melihat kebahagiaan kalian. Aku tahu aku egois." Arum tertunduk. Air matanya berderai dan tak sangggup melanjutkan perkataannya.
Derit kursi terdorong ke belakang terdengar saat Asiyah bangkit. "Aku tidak akan pernah mengubah keputusanku," pungkasnya sebelum ia berlalu.
Arum menghapus sisa air mata di pipi. "Lentera adalah anakku, Mbak! Aku mohon izinkan aku membawanya!" pekiknya.
Tapi Lentera adalah putriku yang terlahir karena harapan dan kebesaran hatiku!
Batin Asiyah menjerit. Namun, ia tetap tak ingin menanggapi permintaan Arum. Ibu macam apa yang tega meninggalkan putrinya hanya karena perkara cemburu?
***
Bibir tanpa lipstik milik Tera mengerucut. Ia sibuk menggulir layar ponsel di tangan kanan sementara tangan kiri menyangga kepalanya. Tak ada satu pesan pun yang tersangkut pada benda pipih yang sekarang ia putar di atas meja.
Ia menyesali keputusannya menolak Sam untuk mengabari Ayah sebelum berangkat ke Kaltara. Sederet kalimat pesan Bela yang memojokkannya membuat wajah Tera tambah memberengut.
Bela:
Kamu itu wanita dewasa, Ter. Tega kamu, ya. Ayah kamu sempat ke kantor bawain makanan kesukaan kamu, tahu? Dia bilang ingin bertemu denganmu sebelum kamu bertugas.
Ya, begitu kira-kira kalimat Bela yang tersimpan di pesan masuk ponsel alakadar Sam yang kini ada dalam genggaman Sam. Laki-laki itu tidur mendahului Tera yang memang sedari tadi sibuk membuat draft artikel mereka selama di Kaltara. Perlahan Tera bangkit dan mendekat ke sisi tempat tidur. Perlahan pula Tera berusaha menarik ponsel dari tangan Sam.
"Kalau rindu Ayah, bilang."
Wanita yang bak ketahuan mencuri itu berjengit. Ia buru-buru berdeham dan menggigit buku jari tangan kanan. Sam yang ternyata belum sepenuhnya terlelap mengembuskan napas panjang.
"Aku enggak ngerti seberapa benci kamu sama ayah kamu sendiri. Tapi seenggaknya kamu jangan bawa-bawa aku untuk ikut menghindari Ayah," pinta Sam. Ia menyisir rambutnya yang sedikit berantakan ke belakang dengan jemari tangan.
"Maaf ...."
"Besok saat di Pagalungan, hubungi Ayah segera. Mengerti?" Sam menyandarkan punggung ke dinding kayu kamar, menatap Tera yang semakin tertunduk.
Tera tahu Sam pasti tak akan suka bila menjadikan pernikahan mereka sebagai ajang melarikan diri dari bayang-bayang ayah dan ibunya. Bukan salah Sam bila mungkin Ayah kecewa atas kepergian mereka tanpa pamit. Sebelumnya Sam hampir menelepon Ayah saat mereka baru saja tiba di Nunukan, tetapi Tera sengaja mengatakan tak usah dan menjelaskan bahwa ia sudah mengabari Ayah sebelumnya. Namun, sesungguhnya sejak Tera menginjakkan kaki di apartemen Sam, ia mulai banyak menolak panggilan ayah dan ibunya.
"Ba—"
"Jangan panggil aku bapak. Aku bukan bapakmu!" Sam berdesis tak habis pikir.
Tera berdeham, berusaha menghilangkan kecanggungan atas status mereka sekarang. "Kamu ... marah?"
"Ya, gimana aku enggak marah kalau kamu begitu terus?!" desisnya lagi.
Tera menggaruk pipinya yang tak gatal, lalu beralih duduk di sisi Sam. Lagi-lagi ia berdeham lalu menyebut nama yang menurutnya keramat.
"Sam ...," panggilnya kaku.
"Apa?" Yang dipanggil menoleh ke samping.
"Tidak ... aku hanya sedang belajar mengucapkannya."
Sam terdiam sejenak seraya menatap Tera yang masih saja merasa sungkan. Namun, ia terkikik kemudian dan mengacak rambut istrinya karena kesal.
"Apanya yang lucu?" Tera merapikan kembali rambut yang setengah berantakan karena ulah lelaki yang baru kali ini ia lihat terkikik geli di depannya. Ah, ternyata Sam tak sekaku yang ia duga!
"Besok di Pagalungan kita bisa telepon Ayah."
"Iya?"
"Hm, draftnya sudah selesai?" Sam tak menjawab.
Malam itu obrolan mulai mengalir, tak ada lagi canggung dan rasa sungkan di antara keduanya. Meski Tera tahu bahwa dirinya belum cukup mengerti bagaimana bisa Sam begitu tahu akan kehidupannya. Bahkan laki-laki yang ia nikahi belum ada sebulan ini bisa tahu rencananya pergi dari kehidupan Ayah.
"Mm ... Sam," panggil Tera seraya menghentikan ketikan di layar laptop.
"Ya?"
"Siapa Nurul?"
Sam menghentikan aktivitasnya membaca coretan di buku catatan Tera. Ia menatap sejenak ke dalam manik yang berkilat terpancar sinar dari cahaya layar benda persegi di pangkuannya. Embusan napas pelan Sam terdengar sebelum akhirnya ia menjawab, "Bukan siapa-siapa."
Lalu laki-laki itu kembali membuka lembaran buku catatan tanpa ada minat membahas apa yang baru saja Tera tanyakan.
Kamu bohong, Sam, batin Tera. Ia bisa melihat ada apa-apa dari cara Nurul menatapnya dan cara Sam menanggapi pertanyaannya malam ini.
***
Pertama kali publish: 09-04-2020
Republish: 13-12-2024
=====🌻🌻🌻=====
Nah, lho, mulai ada ketidakjujuran. Ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Padahal yang namanya ketidakjujuran barang sebiji jagung aja bisa bikin masalah ke depan. Ya, nggak? 😁
Ayok, tekan bintangnya biar menyala terang buat yang belum vote.
Sehat selalu, ya. Terima kasih sudah baca. 🥰🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top