Bagian 11

Halo, selamat pagi.

Masih konsisten republish di pagi hari, meski ini kepagian, sih. 🤭

Buat para Makemak yang paginya repot nyiapin anak mau sekolah, semangat, ya! Kita sama.  🥰🫰

Happy reading. Jangan lupa vote dan komentar biar ramai. Thank you. 😁

====🌻🌻🌻====

"Kakak kenapa tidak jadi guru saja?"

Pertanyaan Tania, gadis berusia 15 tahun, yang sedang duduk di anak tangga depan kelas membuat Tera menoleh. Kening wanita berbandana merah itu sedikit berkerut. Bukankah sekarang ia sedang jadi guru?

Tania tersenyum tipis, rambut ikalnya bergerak tatkala ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan dan menunjuk kartu pers yang terkalung di leher Tera. Detik itu juga Tera tersenyum canggung seraya meraba kartu di depan dadanya.

"O-oh ... ini .... Kakak suka menulis makanya lebih memilih jadi wartawan," terang Tera sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Tania mau jadi seperti Ibu Nurul, membantu teman-teman belajar," seloroh gadis yang kini bangkit sambil menepuk belakang rok merahnya.

Tania berjalan menjauh, menghampiri penjual di halaman sekolah yang hanya beralaskan meja. Pada meja itu berjajar aneka camilan. Tera mengembuskan napas pelan menatap kepergian Tania. Sudah dua hari ini ia membantu Nurul mengajar siswa kelas 6 yang hanya berjumlah 10 orang. Tak sulit mengajar siswa berjumlah sedikit, yang sulit adalah menyesuaikan waktu belajar dengan kondisi mereka yang jauh dari sekolah. Untunglah Tania cukup bisa diandalkan. Meski ia tergolong siswa paling tua, Tania adalah siswa tersemangat mengejar ketinggalan dan rela membantu siswa lain yang terlambat datang dengan meminjamkan buku catatan pada siswa lain. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, mungkin itu yang sudah ditanamkan Nurul pada Tania, murid kesayangannya.

Perlahan Tera mengusap kartu pers miliknya. Ada gelar S. Pd. yang melekat di sana. Namun, gelar itu tak ubahnya tulisan saja. Tera tak sepenuhnya ikhlas menyandang gelar itu.

"Mulai menyesali?"

Suara bernada ejekan itu membuat Tera mendongak. Namun, sekaleng minuman berperisa cokelat yang tiba-tiba Sam tempelkan di kening membuat Tera memejam kaget. Oh, tunggu! Minuman kaleng? Dari mana laki-laki kaku ini mendapatkan minuman ringan berkaleng hijau di daerah terpencil begini?

Tera meraih kaleng minuman, bibirnya menipis dengan mata sedikit membelalak lucu. Ia membuka minuman cokelat itu dan meminumnya setengah tandas. Sedikit penasaran, diputarnya kaleng, meneliti setiap sisi. Bukan dari Indonesia.

"Dapat dari Nurul. Kemarin dia habis belanja di Pagalungan, Malaysia," terang Sam sebelum Tera sempat banyak bertanya. Laki-laki di sisi Tera itu sama duduk di anak tangga sambil meneguk minumannya.

"Pagalungan?" Tera menjilat sisa minuman di sudut bibir sejenak "Kita ada rencana ke sana jugakah?"

Sam mengerjap, menatap sejenak ke arah istrinya yang mendekatkan wajah padanya. Tera bergeming, mempertahankan posisinya yang tanpa sadar sebelah lengannya menempel pada lengan kanan Sam. Sungguh ia berharap laki-laki ini juga akan mengajaknya ke negara tetangga. Dehaman Sam menginterupsi Tera, membuatnya sedikit terlonjak kaget saat keduanya sama menatap lengan mereka yang saling bersentuhan.

Astaga! Sejak kejadian mati listrik malam itu, Tera jadi canggung luar biasa. Mereka hanya bicara saat dalam acara liputan saja. Bahkan Sam sepertinya sedikit menjaga jarak. Tak ada kejelasan akan apa yang telah laki-laki itu lakukan dan terhenti begitu saja saat lampu padam.

"Boleh saja ke Pagalungan sebelum kita kembali ke Jakarta weekend ini," ucap Sam meleburkan kebisuan.

Tera mengangguk-angguk. "Asyiiik ...!" gumamnya pelan dengan kedua tangan mengepal.

Alih-alih menanggapi kegembiraan Tera, Sam justru bangkit dan berjalan mendahuluinya. Kenapa dengan si Kaku itu? Tera membatin, menerka-nerka mungkin Sam sama kikuknya semenjak kejadian malam itu. Mengingat hal itu, ada hawa panas mengalir dari dada yang bergemuruh, membawa aliran darah yang berdesir hingga ke wajah.

"Ish, kenapa jadi gerah, sih, tiap kali ingat malam itu?!" Tera mengipas wajah dengan telapak tangan.

***

"Mbak Tera orangnya lucu, ya. Terlihat manis kalau pas lagi canggung," celetuk wanita berjilbab di sisi meja camilan. Ia tampak sibuk menutup toples permen setelah memberikan uang kembalian pada Tania.

Sam tersenyum kecil, membuka bungkus permen yang baru saja ia ambil dari toples. "Tapi dia tidak menyusahkanmu, kan, di kelas?"

Nurul mengerucutkan bibir dengan bola mata mengedar ke atas. "Mmm ... tidak tentunya!" Lalu ia tertawa kecil.

Ia tahu, wanita pilihan Sam pasti tak akan salah. Sam patut bersanding dengan Tera yang manis dan cerdas--menurut Nurul. Aura kecerdasan Tera terlihat dari caranya bicara di depan anak-anak. Wanita itu juga pandai mendongeng. Jari tangannya luwes memegang kapur tulis menuliskan apa saja di sana. Yang jelas, bila wanita seperti itu yang bersanding dengan Sam, Nurul jadi lebih tenang.

"Jadi, kamu sengaja lari ke sini atau memang sudah menjadi cita-citamu sebelumnya?"

Pergerakan tangan Nurul yang sedang menata jajanan di meja terhenti. Hatinya sedikit tercubit saat dirinya harus berhadapan dengan masa lalu dan harus memberikan kejelasan hal yang sudah terkubur dalam-dalam. "Bukan .... Sepertinya Mas Sam hanya salah paham," lirih Nurul. "Ibu Meilan sama Pak Bram sehat?"

Sam duduk pada sebuah kursi. Laki-laki berkemeja hitam itu menyandarkan tubuh di sana seraya menatap Nurul yang masih saja kembali sibuk sendiri menata makanan.

"Sehat," sahut Sam. "Mereka menitipkan salam untukmu."

Bibir wanita berlesung pipi itu melengkung, ia mengangguk tulus. "Waalaikumsalam."

Ada gemuruh kecil menyelinap di dada Nurul. Tidak. Jangan sampai detakan itu kembali pada saat ia telah mengambil keputusan sampai sejauh ini. Sam dan keluarganya hanya sekelumit masa lalu yang lewat. Andai dulu keraguan itu tak muncul setelah Lianti hadir, mungkin akan lain jalan ceritanya. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu.

Nurul tersenyum menyapa Tera yang mendekat. "Mbak Tera mau permen?"

Nurul membuka toples dan mengulurkannya pada istri Sam. Wanita itu terus menyunggingkan senyum, membuat Tera terlihat sungkan menolak dan membalas senyum seraya merogoh toples.

Cantik dan ... manis, batin Nurul.

***

Lianti meremas ujung jilbabnya. Ia menarik paksa lalu melemparnya ke kursi belakang mobil. Ada kekesalan yang membuncah dalam acara pertemuan kolega kantor malam ini. Setelah merapikan rambutnya yang berantakan, Lianti menyalakan mesin mobil.

"Cantik katanya? Pertahankan? Untuk siapa memangnya aku berpenampilan seperti ini setiap kali ada pertemuan dengan keluarga Bramantyo?" Deretan gigi Lianti bergemeletuk.

Susah payah mengikuti kemauan Meilan yang begini dan begitu sampai harus menutup mahkota di kepalanya, sekarang Sam justru menikahi karyawannya yang tak alim sama sekali. Jauh sekali dari gambaran seorang Nurul sialan yang sudah membuatnya susah payah mengubah penampilan.

Memangnya kenapa kalau di kantor ia belum sanggup mengenakan pakaian tertutup? Bukankah berubah butuh perlahan? Lalu kenapa Meilan dan Bramantyo tak menghargai setiap usahanya berubah meski perlahan? Ia pikir selama ini Meilan menyukainya. Harusnya setelah kepergian Nurul semua jadi lebih mudah, bukan?

Lianti menekan klakson berkali-kali. Membuat pengendara mobil lain di jalan raya malam itu mengumpat karena ketidaksabarannya. Begitu kendaraan di depannya merayap pelan, Lianti mendengkus seraya menginjak pedal gas.

Sam, laki-laki itu tak kunjung menyadari keberadaannya. Sejak kedua orang tua Lianti meninggal dunia, Meilan dan Bramantyo memang bersedia menjadi orang tua asuhnya. Orang tua Sam dan Lianti bersahabat baik. Mereka memiliki ikatan bak keluarga. Bahkan Sam dan Lianti dimasukkan dalam satu sekolah yang sama sejak SMA. Namun nyatanya, kehadiran Lianti diterima sebatas saudara seasuhan saja, tidak lebih. Padahal bukan perkara mudah menekan perasaan yang tiba-tiba tumbuh seiring kebersamaan mereka meski Sam selalu dingin padanya.

Lianti pula yang menyaksikan keluarga Bramantyo itu memeluk Islam sejak ada Nurul dalam pertemanan Sam semasa kuliah. Semua semakin sulit untuk Lianti dalam meraih hati Sam, hingga ia memaksa Nurul untuk memilih sebuah pilihan sulit mendekati hari bahagia keluarga Bramantyo. Ia mengaduk keraguan Nurul demi kebaikan Sam, keluarga Bramantyo, Nurul, dan Lianti sendiri tentunya.

Lianti mengigit bibir. Sudut matanya mulai basah. Harapannya telah pupus. Semua angannya tentang Sam lebur begitu saja. Haruskah ia tetap bertahan? Atau mundur saja secara elegan? Mana yang harus ia ikuti? Obsesi atau cinta?

Jika cinta, seharusnya ia cukup rela melihat orang gang dicintai bahagia, bukan?

***

Pertama kali publish: 14-02-2020
Republish: 12-12-2024

====🌻🌻🌻====

Gimana? Udah sedikit ada titik terang belum?

Gercepin vote sama komentar biar aku semangat republish. Biar teka-teki ini segera menemukan jawaban. 🤭

Fokus ke cerita ini dulu, ya. Nanti kita lanjut ke cerita mangkrak lain setelah ini kelar republish.

Kutahu kalian kangen Mas Akbar. Penasaran kek mana kelanjutan perkara unboxing. Sok atuh, dipandangin sampe puas Mas Akbar-nya nih! 🤣

Terima kasih banyak udah mau mampir baca dan menunggu. Sehat selalu untuk kita semua. Aamiin. 🥰🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top