Bagian 10

Halo, selamat pagi.

Apa kabar hari ini?

Meski weekend masih lama, yok, semangat, yok! 😆

Alur cerita ini tuh bikin pusing sebenernya. Tapi dulu udah telanjur dibikin begini konsepnya. Mau diubah rada susah karena saling berkaitan dan butuh waktu panjang kalau mau di-remake. 😵‍💫

Jadi, ya sudahlah, apa adanya aja. Semoga kalian nggak ikutan pusing. 😅

Happy reading. Jangan lupa vote. 🤗

====🌻🌻🌻====


"Tolong letakkan tas pakaian Tera di situ saja, Bi. Biar nanti saya yang bereskan." Meilan menunjuk pojok ruangan di dekat meja kamar apartemen Sam.

"Baik, Bu," sahut Bi Inah, asisten rumah tangga keluarga Bramantyo.

Hari ini wanita berjilbab krem dipadu gamis berbahan sutra cokelat tua itu sibuk menata barang-barang menantunya. Sam tidak pernah memintanya, tetapi hingga detik ini wanita yang dianggap cinta pertama Sam masih saja suka mengatur kebutuhan putranya. Lagi pula, putra tunggal keluarga Bramantyo itu tak pernah marah dan selalu mengizinkan sang mama turut campur dalam urusan beberes rumah.

Meilan paham Tera pasti tak akan nyaman bila mertuanya terlalu banyak ikut campur urusan rumah. Untuk itu, ia sengaja melakukan ini setelah Sam dan Tera berangkat ke Kalimantan. Pagi-pagi buta Meilan menyambangi rumah besannya dan meminta bantuan untuk mengepak semua pakaian layak dan barang-barang kesayangan putri sulungnya untuk diangkut ke apartemen Sam.

"Sam itu udah gede, Ma. Masih saja memanjakan dia." Bram protes seraya merebahkan pantat ke sofa di dekat jendela kamar.

"Ish, Papa ini! Enggak apa-apa, kok, toh Sam enggak pernah marah selama ini," sungut Meilan. Ia membuka tas pakaian menantunya, memasang beberapa helai pakaian ke gantungan lalu memasukkan ke lemari.

Tak ada rahasia Sam yang ditutupi di depan mamanya. Laki-laki itu meski sudah dewasa, ia lebih suka terbuka pada setiap apa yang terjadi dalam kisah hidupnya. Termasuk perjalanan kisah cintanya. Keduanya seperti sahabat dan partner yang baik. Meilan justru bahagia saat ia dipercaya sang anak sebagai tempat keluh kesah tanpa takut rahasianya bocor.

Aktivitas Meilan menata pakaian terhenti ketika tanpa sengaja menyenggol sebuah kotak dari kardus terbungkus kertas kado berwarna merah terjatuh dari lemari. Isinya berhamburan ke lantai membuat Bram yang duduk ikutan bangkit hendak membantu sang istri memungut lembaran kertas di lantai.

Meilan berdecak begitu menemukan selembar foto dalam kotak yang tercecer. "Cerobohnya," gumam wanita beralis tipis itu.

Bram ikut menengok foto di tangan Meilan. Matanya menyipit dengan kerutan di  antara kedua alis yang berlipat-lipat. "Nurul ini, Ma," ucap Bram.

Keduanya membawa foto itu ke arah sofa. Mereka duduk mengamati bersama.

"Kita banyak utang budi sama gadis manis ini, Pa." Bibir tipis berlipstik cokelat itu melengkung.

"Semoga gadis itu baik-baik saja dan sehat selalu ya, Ma. Sejak gadis itu pergi, Sam jadi lebih pendiam. Papa pikir Sam mencari pelarian dengan Huanran."

Meilan mengerjap, menatap suaminya tak habis pikir lalu terbahak. Ia menepuk paha kanan Bram sedikit keras. "Papa, ih! Enggak mungkin putra kita menyukai wanita yang lebih pantas jadi ibunya. Mama tahu siapa Sam," kekehnya dengan jemari menghapus sudut mata yang berair karena tertawa.

"Memang Mama bisa baca perasaan Sam?" Bram meringis mengusap bekas tepukan sang istri.

"Mama berani bertaruh, besok kalau Sam pulang kita cek ponselnya sama-sama. Sam selalu menggunakan nama orang yang dicintainya untuk kata sandi pengunci layar ponsel. Setahu Mama, dia enggak pernah pakai nama Huanran."  Mata Meilan memicing.

"Sok tahu, si Mama," kata Bram dengan tawa terpaksa. Ia mengusap rambut yang mulai beruban dan bangkit dari sofa. "Ayo, kita pulang! Jangan lupa bawa kotak itu juga, mungkin Sam kelupaan."

"Iya ...." Meilan bergegas menutup pintu lemari, meringkas isi kotak ke dalam tas jinjing bermotif kulit buaya di sofa. "Bi Inah, bereskan sisanya, kalau sudah, balik lagi ke rumah. Nanti ada sopir yang jemput Bi Inah untuk pulang," titah istri Bram sebelum mengekor suaminya ke luar.

Bi Inah yang baru saja masuk dengan sejinjing tas laundry mengangguk dan tersenyum.

***

Malam di Kaltara tak seperti Jakarta yang masih ramai dengan lampu kota yang terang benderang. Tera harus susah payah memegang senter kecil, menyorot kartu pers di tangan kiri. Ia sibuk berjongkok di sisi teras dekat pembatas serambi rumah panggung malam ini.

"Bahtera," lirihnya seraya mengetikkan kata sandi di layar ponsel milik suaminya yang diambil diam-diam. Mulutnya mengumpat, mengucapkan sumpah serapah setelah kesekian kalinya gagal membuka pengunci. Ah, sial! Semua sudah ia coba, dari bulan lahir, tanggal lahir, dan tahun lahir Sam yang tercantum di ID. Semuanya salah! Ponsel terblokir. Ia harus menungggu beberapa saat untuk bisa mencoba lagi.

Lalu, dari mana lagi ia bisa mengorek kehidupan suaminya agar lebih mengenal lebih jauh? Bukankah tak kenal maka tak sayang? Bagaimana mereka akan saling mencintai bila kehidupan pasangan saja masih penuh teka-teki.

Ah, sudahlah! Ini sudah terlalu larut. Sam bahkan sudah pergi tidur sejak setengah jam yang lalu. Tera mendesah pasrah, memasukkan ponsel ke saku belakang celana. Ia memilih kembali masuk, menutup pintu perlahan. Dan ...

"Aaa ...!" Ia menjerit seketika menemukan sosok tersorot cahaya tepat di wajahnya. Tera menutup wajah dengan kedua telapak tangan dengan tubuh merapat ke dinding kayu.

"Apa, sih?"

Suara datar itu membuat Tera yang berdebar dengan napas menderu membuka telapak tangan. "Astaga! Bapak ngapain di situ?!" katanya dengan mata membeliak sedikit marah. Bagaimana tidak marah bila dalam gelap ia bertatapan tiba-tiba dengan wajah tersorot cahaya dari ponsel di tangan yang Sam pegang. Kaget dan takut itu pasti. Namun, seketika Tera menyadari ponsel yang menyala di tangan Sam.

"Ini punya saya, Pak," gerutu Tera sambil meraih ponsel di tangan kanan Sam. "Ternyata diam-diam Bapak suka memata-matai saya dan mengawasi isi ponsel saya." Ia sedikit menunjukkan aksi protes dengan mengunci kembali layar ponsel dan memasukkannya ke saku kemeja yang dikenakan.

Sam melenguh, memutar bola mata. Tera bisa menangkap gelagat jengah darinya.

"Sa—"

As-ta-ga .... Tera bergeming. Seketika itu juga tubuhnya seperti berubah jadi batu. Jantungnya berdenyut tak keruan. Apa ini? Sam tiba-tiba merangkulnya, melekatkan dagu di pundak kiri Tera.

Jadi ... ini kita sedang pelukan?

Tera menahan napas. Dalam hati ia berdoa semoga tak pingsan dalam pelukan Sam. Senter emergency di tangan kanan Tera berkedip hampir mati. Sepertinya baterai hampir habis. Hanya lampu kamar yang menyala, itu pun tak seterang kamar Tera di Jakarta.

Sam melepas pelukan. "Kamu sendiri ngapain bawa-bawa ini?" tanyanya seraya menggoyang ponsel yang baru saja ia ambil dari saku belakang celana Tera.

Tubuh Tera masih kaku. Namun, ringisan malu dan kikuk diiringi degupan jantung yang bertalu ia tunjukkan. Sialan, ternyata Sam hanya menggodanya tadi? Bukan pelukan?

"Mana kartu pers?" Sam mengulurkan telapak tangan kanan, menanti Tera yang berwajah semakin semerah tomat dan terasa panas mengeluarkan kartu pers dari saku kemeja.

Wanita di hadapan Sam tertunduk seraya menyerahkan kartu pers. "Maaf, Pak," lirihnya. Ia hampir berbalik dan berlalu ke kamar. Namun, Sam menarik lengan baju Tera untuk tetap tinggal.

"Kamu kenapa seharian ini?" cecar Sam.

Kenapa? Bisa-bisanya laki-laki ini bertanya kenapa, apa ia tidak tahu seberapa besar rasa kekesalan Tera dengan sikap Sam selama ini? Batinnya menumpahkan kekesalan. Namun, Tera hanya bisa mendongak dan terdiam beberapa saat. Dalam cahaya remang-remang ia bisa melihat kedikan alis Sam menuntut jawaban.

Ish, alis tebal sialan!

"Bapak yang kenapa? Sebentar perhatian, sebentar melakukan hal yang bikin saya bingung seperti tadi. Saya enggak ngerti maunya Bapak yang gimana," tutur Tera dengan napas terengah. Ia kesal, sangat kesal malam ini.

"Pindah, di sini gelap," pinta Sam dengan dagu menunjuk ke arah kamar. Ia berlalu terlebih dahulu dan Tera mengikutinya setelah mengembuskan napas kasar.

***

Keduanya masih terjaga pada pukul sebelas malam. Tera duduk sambil menekuk kedua kaki di atas tempat tidur dan Sam sama duduk di sisinya. Mereka bersandar pada dinding kayu yang bila melakukan pergerakan  sedikit saja pasti bunyi berderak paku yang hampir terlepas terdengar nyaring.

"Terus, aku harus gimana?" ulang Sam yang sibuk memutar ponsel di atas lutut yang ia tekuk untuk duduk bersila.

"Kenapa Bapak tanya sama saya? Justru tingkah Bapak yang bikin saya gelisah dan enggak ngerti harus mengartikan itu perhatian atau sekadar menjalankan tugas menjaga saya karena tekanan status ini." Tera mendumal.

"Gimana aku mau mencurahkan perhatian ke kamu, kalau setiap kali aku perhatian, mata kamu membelalak seperti kaget dan tak siap? Kamu tahu enggak, sih, ekspresi kamu kayak apa tiap kali aku berusaha mendekatimu?" Kali ini Sam sama kesal.

Namun, Tera menggeleng pelan dengan tatapan polos yang membuat Sam mengembuskan napas pasrah. "Begini," katanya sembari mempraktekkan mata Tera yang membelalak, terdiam, dan menahan napas.

Tera mengerjap seolah tak percaya. "Ma-masa, sih, Pak. Bapak ngaco," kekehnya patah-patah.

"Berhenti panggil pak-pek-pak-pek! Kupingku gatel dengerinnya!" Sam mendesis dengan gigi bergemeletuk gemas.

Tera menutup mulut dengan jemari tangan kanan. Sam sadar wanita di sisinya ini masih terlalu canggung di dekatnya mengingat status mereka yang mendadak berubah. Akan tetapi, reaksi Tera yang kadang berlebihan membuat ia gemas dan kesal setengah mati. Ia suaminya, tetapi setiap kulit mereka bersentuhan Tera justru terbelalak dan seolah memasang tameng dengan kecanggungan luar biasa. Setelah Sam mengalah dan memutuskan akan perlahan mendekatinya, seharian ini justru Tera bertingkah aneh dan mendadak kepo bahkan dengan ponsel Sam.

"Maaf," lirih Tera.

Keduanya membisu selama 30 detik. Sam bisa mendengar detik jam tangan miliknya yang ia letakkan di atas meja sisi tempat tidur. Dengan ekor mata, ia mengamati Tera yang masih duduk menekuk kaki dan memainkan kuku jari di atas perut.

Sam berdeham lalu berkata, "Kalau kamu enggak percaya, aku buktiin."

Detik itu juga, kedua tangan Sam merengkuh pundak Tera, menekannya hingga wanita itu merebah di atas bantal. Benar sekali, lagi-lagi ekspresi ini yang ia dapat. Mata Tera membulat, menunjukkan kekagetan, tetapi wanita di bawah kungkungan Sam itu hanya pasrah dan diam. Bukan pancaran bahagia yang istrinya tunjukkan, tetapi terkejut.

Jakun di leher Sam bergerak naik turun beberapa kali. Ada keraguan saat jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Ia bisa merasakan kedua tangan Tera yang meremas kemeja kotak-kotak miliknya sebelum wanita itu memejam erat. Kepalang tanggung!

Gemuruh di dada membuncah ketika bibir mereka bersentuhan. Keduanya hampir ingin melakukan pergerakan lebih jauh dengan menggerakkan perlahan hingga tiba-tiba lampu padam.

Aarrgh ...! Detik itu juga ada rasa dongkol yang menekan ulu hati  Sam dan berharap segera menyeret Tera kembali ke Jakarta saja agar tak ada kendala pemadaman dadakan tanpa aba-aba seperti ini.

***

Pertama kali publish: 31-01-2020
Republish: 11-12-2024

====🌻🌻🌻====

Kentang nggak nih? 🤣

Kayaknya, dari sekian banyak cerita, tokoh yang enggak pernah dikentangin tuh Pratama alias Tama di cerita Suddenly. Ya gasih? 🤣

Aku republish lagi entar kalau selow, ya. Mau beresin rumah dulu terus persiapan jemput anak sekolah.

Jangan lupa vote dan ramaikan komentar.

Terima kasih dan sehat selalu. Aamiin. 🤗🫰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top