Bagian 1
Selamat pagi. 😁
Republish subuh-subuh gini ada yang mampir baca nggak, sih? 😅
Boleh, deh, absen dulu di komentar mana yang pembaca baru dan mana pembaca lama yang sedang baca ulang cerita Sam sama Tera?
Happy reading! Semoga suka selalu sama alur ceritanya. 🥰🤗
====🌻🌻🌻====
***
Hujan masih meninggalkan rintik membasahi jalanan kota. Kubangan di sana-sini tampak berkecipak terinjak kaki-kaki manusia yang berburu tempat berteduh. Belum lagi hawa yang semakin lembap dan sedikit berangin, membuat jajaran orang di halte yang sempit itu melipat kedua tangan di dada. Termasuk Tera yang duduk paling tepi karena mau tak mau sesekali cipratan air dari luar area halte menimpanya.
Sesekali Tera menghela napas, berharap langit berhenti mencurahkan air barang 30 menit saja agar ia sampai rumah. Seharian ini di kantor media cetak tempat ia bekerja membuatnya lelah. Mengikuti Bela--sahabat sekaligus seorang pengisi konten--membuatnya hampir terus berpikir keras, tulisan apa yang sanggup menarik pembaca lebih banyak. Terkadang ia harus berkeliling bersama Bela, mencari tempat-tempat menarik untuk isian konten di rubrik wisata atau kuliner. Dan bekerja di lapangan itu sungguh melelahkan.
Namun, demi tekat mengurangi intensitas pertemuannya dengan Ayah, Tera rela lelah setiap hari.
"Kamu tahu, Nak, Ayah ingin kamu jadi lentera dunia."
Kalimat Ayah sejak bertahun-tahun lalu kembali terngiang.
Lentara itu sudah padam sejak kita berbeda pandangan hidup, Ayah.
Tera mendecakkan lidah saat kembali bergumul dengan kenangan. Tera akan memadamkan lentera itu. Biarkan saja mati, agar Ayah tahu betapa sesaknya saat kehilangan lentera kehidupannya. Supaya Ayah tahu, betapa kecewanya Tera saat tahu lentera miliknya dipadamkan begitu saja.
"Tera!"
Suara seorang wanita dan klakson mobil terdengar menyapa, membuat si punya nama berjingkat terkejut.
"Aku anterin pulang," tawar Bela. Wanita dengan bandana berpita itu muncul dari balik kaca jendela mobil yang sudah diturunkan.
Kesempatan, pikir Tera. Ia berlari kecil dengan kedua telapak tangan menutupi kepala. "Thanks," ucapnya setelah masuk dan menutup pintu mobil.
Bela tersenyum dan mengangguk cepat seraya melepas pijakan rem dan melajukan kembali mobil matic-nya.
"Gimana? Tadi jadi ketemu Sam di ruangannya?" Bela bertanya sembari memutar setir ke kanan menuju arah ke mana Tera pulang.
Mendengar pertanyaan itu sontak membuat Tera menghela napas berat seraya membanting punggung ke sandaran. "Ya ... udah, tapi kayaknya besok aku bakalan berusaha nolak, deh," jelas Tera sembari mengusap lengan kemeja yang sedikit lembap.
"Lho, ini bagus buat jenjang karier kamu. Semakin banyak pengalaman ke lapangan, semakin banyak kesempatan naik jabatan. Lagian kerja bareng Sam enggak serem-serem amat, kok," hiburnya.
"Bukan itu, Bel ...." Suara Tera terdengar frustrasi.
"Soal Ayah?"
Tera tertegun. Bukan perkara sulit bagi Bela menebak masalah sahabatnya sejak SMA. Bela sangat tahu kondisi dinginnya rumah Tera saat putri pertama itu berbenturan dengan sang ayah.
"Bukannya bagus, ya, kalau kamu pergi sama Sam? Kamu bisa lebih lama menghindar dari ayahmu." Bela tersenyum dan terus berkonsentrasi dengan kemudi.
"Ya, iya sih. Tapi Ayah pasti enggak bakalan tuh ngizinin putrinya pergi cuma berdua sama laki-laki," tandas Tera dengan mata terfokus pada koran di atas dashboard.
"Mm, enggak tahu juga, ya, kenapa Sam cuma minta berdua. Biasanya dia bertiga kalau mau ngajak-ngajak tim." Kening dan bibir Bela tampak berkerut seolah menyadari keanehan Sam.
Sam memang bukan tipe laki-laki yang suka bercanda. Di kantor, ia dikenal sebagai laki-laki yang kata Bela dan Juan--yang telah lama 3 tahun bekerja bersama--laki-laki bertubuh proporsional itu lempeng. Ia tidak suka ada hal yang berbelok dari kebenaran, idealis, dan tidak mengenal apa itu toleransi dalam disiplin. Laki-laki yang lihai mengambil foto demi tampilan berita cetak yang cantik itu juga paling tidak suka dengan tim yang manja dan kurang cekatan dalam bergerak. Anehnya, kenapa juga ia mau berdampingan dengan Tera? Wanita yang kerap dijuluki lelet dan kerap membuat Sam tak sabaran dengan pergerakan Tera.
Posisi Tera sebagai copy writer memang tak mengharuskan ia harus bergerak lihai ke sana kemari. Cukup duduk menerima data dari wartawan tulis dan foto, lalu mengolahnya di depan komputer menjadi sebuah bacaan yang enak dan sedap untuk dibaca. Soal menulis menjadi hal sepele untuk Tera yang gemar membaca buku dan menulis. Sebelum masuk ke kantor redaksi media cetak tempat ia bekerja sekarang, Tera memang sudah gemar mengirim berbagai artikel ke media cetak atau sekadar iseng mengisi blog dengan cerpen dan resensi buku. Mungkin itu sebab wanita berbibir mungil yang duduk di samping Bela diterima di kantor media cetak. Maksudnya, portofolio Tera yang mumpuni di dunia literasi menjanjikan dalam jabatannya sekarang.
"Apa mungkin Sam emang ada sesuatu ke kamu, ya?" canda Bela dilanjutkan dengan tawa membahana.
"Ish, enggak mungkin! Bisa didepak Bu Lianti kalau aku ketahuan digebet Sam!" Tera sama tertawa seraya meraih koran harian di atas dashboard.
Bela menghentikan obrolan saat tahu Tera mulai sibuk dengan koran di tangan. Sahabatnya itu paling tidak nyambung diajak ngobrol saat sudah ada bacaan di tangan.
Tera sibuk membuka lembaran koran, hingga ia berhenti pada kolom cerpen yang hanya dimuat seminggu sekali. Matanya mengerjap, bibirnya sedikit mengerucut saat ia menggigit kedua pipi bagian dalam. Arum Senja. Nama yang tak asing bagi pecinta buku. Penulis yang lihai membuat pembaca penasaran sebelum membaca karyanya sampai tamat. Anehnya, sang penulis sama misterius dengan tulisannya. Dua buku fiksi bestseller karyanya bahkan sudah terpampang di toko buku baik konvensional maupun non-konvensional, tetapi sampai detik ini ia tak pernah muncul ke permukaan.
"Karyanya dimuat lagi," gumam Tera.
Bela menoleh dan tersenyum kecil. "Aku pernah lihat Sam beli buku karya Arum Senja itu, lho," celetuk Bela.
"Oh ya? Masa, sih, bapak-bapak lempeng kayak dia doyan baca fiksi roman?" Tera terkekeh sambil melipat koran kembali.
Tawa Bela kembali meledak. "Yaelah, dia enggak setua itu kali, Ter. Masa dibilang bapak-bapak!"
Tera hanya mengedik. Menurut Tera, penampilan Sam yang ke mana-mana selalu mengenakan kemeja itu membuat laki-laki itu seperti orang yang lebih tua darinya. Tidak seperti Juan yang kadang berpenampilan mengikuti trend fashion masa kini. Kadang Tera berpikir, berapa banyak kemeja putih yang dimiliki pria itu sampai-sampai hampir setiap hari hanya warna putih yang dipakai.
Ah, lupakan perkara kelempengan dan pakaian Sam yang hampir selalu sama setiap harinya. Point pentingnya adalah, Sam--si bapak-bapak lempeng--suka baca fiksi roman dan karya Arum Senja merupakan list bacaannya. Oke, Tera mencatat itu diingatannya. Kali saja bulan depan mereka jadi pergi meliput di Lumbis Ogong berdua selama beberapa hari. Jadi, mau tidak mau Tera harus menghafal tabiat pasangan duet di lapangannya. Setidaknya ada obrolan yang bisa nyambung saat perjalanan nanti.
Lumbis Ogong? Bersama Sam? Berdua saja? Oh, tidak!
**
Tiga puluh menit perjalanan, mobil Bela berbelok melalui gapura sebuah kompleks perumahan. Pijakan rem ia injak saat sampai di sebuah rumah berpagar hitam. Sementara Tera bersiap-siap turun, Bela menekan tombol untuk menurunkan kaca mobil lalu menjulurkan kepala ke luar. Bibirnya tersenyum lebar pada sosok wanita berjilbab menutupi kepala hingga dada.
Wanita itu meletakkan gagang sapu ke tepi pagar dan mengangguk ramah. "Mampir sini, ya?" ajaknya.
"Enggak, Bu, ngantar Tera aja. Udah sore." Bela menggeleng berhias senyum tipis.
Suara debuman pintu mobil tertutup membuat pemilik mobil dan sosok keibuan berparas salihah itu sedikit berjengit terkejut. Selalu saja begitu dan Bela tahu benar sikap dingin Tera pada wanita berjilbab ini. Bela tersenyum masam dan merasa tidak enak.
Perempuan salihah itu tertunduk sejenak dan tersenyum maklum. Ada kesedihan dalam sinar matanya saat menatap Tera yang lewat begitu saja tanpa permisi. Keberadaannya seperti dianggap layaknya benalu yang tak penting bagi Tera.
***
Pertama kali publish: 19-08-2019
Republish: 06-12-2024
====🌻🌻🌻====
Yang belum vote, jangan lupa vote, ya. 🤗
Btw, yang mau baca cerita yang masih nyambung sama cerita ini bisa mampir ke Lalita's Diary. Ceritanya nggak kalah seru. Banyak sesi gemes, tapi jangan lupa siapin tisu juga. Buat jaga-jaga kalau air matanya luber-luber.
Tapi happy ending, kok. Serius! 😬
Thank you atas dukungannya. Sehat selalu untuk kalian. 🥰🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top