Ibu

Pada dasarnya, ibu adalah naungan ternyaman untuk anak-anak mereka. Sanggup memahami semua keluh kesah sang anak hanya melalui tatapan mata. Namun ibu juga manusia, terkadang memiliki tingkat keegoisan yang sangat tinggi dan terlalu antusias hingga tidak bisa menyadari bahwa anak-anak mereka merasa tersudut.

Dua orang wanita tengah berdiri di dalam kamar serba putih dengan membawa nampam berisi makanan. Pagi-pagi buta mereka saling berebut otonomi dapur untuk memasak makanan kesukaan putri semata wayang mereka. Mereka saling melempar delikan sinis ketika pantat mereka beradu di dalam dapur. Bagi mereka, haram hukumnya jika kulit saling bersentuhan, jadi mereka selalu menjaga jarak. Kini, mereka melihat anaknya yang baru membuka mata dengan senyuman merekah seperti pucuk mawar yang diterpa mentari.

Mata sembab Lintang terlihat begitu sayu, semalam dia masih menangisi tubuh ayahnya yang sudah melebur dengan tanah dua minggu lalu. Dia menatap satu per satu dua wanita itu tanpa berucap sepatah kata pun. Mereka seperti orang gila sejak ayahnya meninggal.

Lintang cukup tahu kenapa sikap mereka seperti itu; harta. Sebelum Brahmantyo meninggal, dia sempat menulis dan mengucap wasiat kalau seluruh hartanya diwariskan kepada putri satu-satunya yaitu Lintang. Seluruh perusahaan dan properti yang dimiliki Brahmantyo diserahkan semua kepada Lintang. Kedua istrinya hanya mendapat seperdelapan harta warisan yang dimiliki Brahmantyo; masing-masing dari mereka mendapat satu rumah dan satu usaha untuk bertahan hidup. Tapi, mereka benar-benar serakah, mereka menginginkan semua harta yang dimiliki Brahmantyo. Dan satu-satunya cara adalah mengambil hak asuh Lintang agar mereka bisa menikmati sedikit kemewahan milik suami mereka.

Sebuah helaan kasar mencuat dari diri Lintang. Dia mengangkat selimut, hendak menenggelamkan tubuh ke dalam hangatnya selimut, tapi kedua wanita itu dengan sigap mencegah pergerakan Lintang.

"Tinggalkan aku! Aku muak dengan kalian!" Lintang berontak dengan tangan dan kaki yang dientakkan. Dia frustrasi melihat pemandangan ini selama sebulan, sejak ayahnya mengalami kritis hingga meninggal.

"Lintang, Lintang ... dengerin Bunda, kamu harus banyak makan biar nggak sakit." Seorang wanita berambut pendek setengkuk meletakkan nampan ke atas nakas yang berada di sebelah kiri Lintang. Tangan satunya sibuk memegangi selimut. "Bunda buatin bubur ayam, rasanya kayak bubur ayam dari Bandung. Resep baru, lho."

Wanita berambut panjang melebihi bahu mendengus kesal sambil mengibaskan rambutnya. Nampan yang ia bawa diletakkan ke atas pangkuan. "Ibu buatin nasi goreng seafood kesukaanmu. Pasti menggoda selera." Dia mengangkat piring berisi nasi goreng untuk ditunjukkan kepada Lintang. "Nggak kangen sama masakan ibu?"

Lintang berdecih lirih melihat tingkah ibu kandungnya yang mirip seperti penjilat. Sejak ayahnya menikahi Sekar—ibu tirinya—membuat sikap Arum—ibu kandungnya—sangat cuek dengannya. Sehari-hari Lintang menghabiskan waktu dengan baby sitter meskipun Arum berada di rumah. Dan di saat dia berada di masa puber, Arum semakin menelantarkannya, tidak memedulikan dirinya yang membutuhkan sosok ibu dalam menghadapi kelabilan emosi.

Sekar? Jangan harap, wanita itu gila belanja. Setiap detik, setiap menit dia menghamburkan uang untuk belanja, baik di toko atau online shop. Entah itu produk baju atau makanan, yang jelas belanja menjadi kebutuhan pokoknya. Mengurus Lintang? Melahirkan saja tidak apalagi harus repot-repot mengurus, itu tidak akan terjadi.

"Sebaiknya kalian pergi," ucap Lintang dengan sebuah penekanan.

Sekar mengambil mangkuk lalu menyendok bubur yang ada di dalam mangkuk itu. "Cicipi sedikit dulu. Ini enak, homemade."

Lintang memalingkan wajah untuk menghindari sendokan bubur dari Sekar.

"Ah ... kamu pasti mau nasi goreng, 'kan? Orang Indonesia kalau makan nggak pakai nasi, nggak kenyang." Arum mulai menyendok nasi goreng buatannya.

"CUKUP!"

Gerakan mereka terhenti mendengar bentakan Lintang.

Tangan Lintang menunjuk ke arah pintu. "Kalian keluar! Jangan pedulikan aku!"

"Linta—" Ucapan Sekar terputus saat melihat delikan dari mata Lintang. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba bersabar menghadapi tempramen anak tirinya ini. "Baik, baik, Bunda bakalan keluar tapi dimakan bubur buatan Bunda, ya." Dia berdiri dari posisi sambil meletakkan mangkuk ke tempat asalnya lalu matanya melirik ke arah Arum. "Bukankah kamu juga harus keluar, Arum?" Suara Sekar terlihat penuh dengan intonasi sindiran.

Arum tersenyum penuh kemenangan dengan mata yang tak lepas menatap Lintang. "Aku tahu kalau anakku lebih membutuhkan  ibu kandungnya, bukan begitu Lintang?"

Bola mata Lintang berputar jengah lalu bergulir menatap Arum. "Ibu juga pergi dari kamarku."

Masih dengan senyum mengembang, Arum tak patah semangat. "Ibu ingin menyuapi kamu."

Sekar berdecih melihat tingkah Arum.

"Aku bukan anak kecil lagi! Sebaiknya Ibu keluar dari kamarku atau aku yang keluar!" Kesabaran Lintang sudah di ambang batas. Dia tidak peduli kalau dicap sebagai anak durhaka, persetan dengan persepsi itu!

Sekar terkekeh melihat ekspresi Arum. "Arum ... Arum ... telingamu sudah tuli, rupanya."

Setelah meletakkan piring ke atas meja rias milik Lintang, Arum memutar tubuhnya dengan mengangkat kepala angkuh. "Aku bukannya tuli, Sekar. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersama putriku."

Dada Lintang kembang kempis melihat mereka mulai beradu mulut. Sebelum semuanya menjadi panjang, Lintang menyibak selimutnya lalu turun dari ranjang dan menarik lengan Arum. Menggeret dengan kasar tubuh Arum lalu menarik lengan Sekar dan menggiring mereka hingga keluar dari kamarnya.

"Jangan pernah masuk kamarku seenaknya!" bentak Lintang lalu disusul dentuman pintu kamarnya.

Kedua wanita itu berjingkat mundur saat pintu kamar Lintang tertutup dengan kasar. Jantung mereka hampir merosot mendengar entakan daun pintu berwarna putih itu. Entah sudah keberapa kalinya mereka menerima perlakuan kasar dari Lintang, tetapi hal itu tak sanggup menyurutkan tekad mereka untuk mengambil hati Lintang.

"Anakmu benar-benar kasar!" umpat Sekar.

Arum menoleh dengan tatapan menyalang. "Berani-beraninya kamu menghina anakku!"

"Aku tidak menghina anakmu! Aku hanya menghina cara mendidikmu! Ibu macam apa yang menelantarkan  anaknya hanya karena suaminya memiliki istri lagi!"

Tangan Arum mencengkeram di udara, dia ingin sekali menjambak rambut cepak Sekar dan merobek mulut yang licin seperti belut. Dalam hal ini, bukan dirinya saja yang salah, tapi kehadiran Sekar jugalah yang membuat semua berantakan.

"Dasar wanita jalang, penggoda suami orang!"

Sekar terkekeh sambil melipat tangannya. "Jalang? Kamu nggak lihat bagaimana dirimu? Suamimu nggak akan menikahiku kalau kamu peduli dan melimpahkan kasih sayangmu kepadanya!"

Sebuah tamparan melesat dengan cepat mengenai pipi Sekar. Ubun-ubun Arum sudah panas mendengar ucapan Sekar sehingga saraf motoriknya sudah tidak sanggup menahan gejolak emosi.

"KURANG AJAR!" Kedua tangan Sekar langsung menarik rambut Arum. "Berani-beraninya kamu menamparku!"

Arum tak kalah sengitnya, dia juga menjambak rambut Sekar tanpa ampun. Dia tidak peduli dengan kuku berkuteknya yang akan patah, itu bukan hal yang penting saat ini. "Jaga mulutmu, wanita jalang!"

"Aku akan mengambil hak asuh Lintang!"

"Aku tidak akan membiarkannya. Dia anakku!"

"Dia juga anakku! Aku tidak mau dia hidup dengan wanita kasar sepertimu!"

"Aku juga tidak mau dia hidup dengan wanita penggoda sepertimu!"

Dan pergulatan antara dua wanita yang memperebutkan seorang putri pun terjadi. Hampir setiap detik, setiap menit dan setiap waktu pertengkaran itu terjadi. Terus berulang dan berulang hingga membuat Lintang menangisi keadaan.

Ya ... dari balik pintu itu, Lintang mendengar semua pertengkaran mereka. Tubuhnya merosot hingga jatuh ke atas porselen dengan sebulir air mata yang mulai membentuk anak sungai, merambat cepat hingga terhenti sejenak di dagu lalu menetes ke atas pangkuannya.

Kenapa mereka tidak pernah akur?

"HENTIKAN! HENTIKAN!" Lintang berteriak kalap sambil menutup kedua telinga. Rambutnya ia biarkan tergerai berantakan menutupi wajah.

Dua wanita di balik pintu itu menghentikan adegan bak anak kecil berebut mainan, rambut dan make up mereka sudah tak berbentuk. Menatap pintu yang tertutup rapat lalu mengalihkan pandangan untuk saling menatap sinis. Tatapan selama beberapa detik itu diakhiri dengan lengosan, kemudian saling dorong untuk berebut jalan yang masih tersisa banyak.

Lintang tergugu di dalam kamar. Mata merah dan berairnya menatap tembok bagian atas ranjang. Di sana tergantung fotonya dengan ayah tercinta. Foto itu diambil tiga tahun lalu saat dia memenangkan kompetisi permainan piano tingkat nasional. Senyumnya masih terlihat lebar dengan menunjukkan deretan gigi rapinya sambil memegang piala dari marmer. Bola matanya bergulir menatap seorang pria berjanggut putih dengan kacamata sebagai penghias wajah. Pria itu tersenyum lebar, memperlihatkan kebanggaan kepada anaknya.

"Ayah ... Ayah.... " Dia tergugu memegang dadanya. "Mereka berdua jahat." rengeknya.

"Aku ingin sama Ayah." Ucapan itu keluar begitu saja dari bibir Lintang. Dia sesenggukan dengan merengkuh kaki hingga menyentuh dada. Batin dan pikiran yang menyiksa selama bertahun-tahun sanggup membuatnya memutuskan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan.

Lintang sudah memutuskan untuk menyusul ayahnya, tapi tidak di sini. Dia tidak mau menodai tempat yang memiliki kenangan indah bersama ayahnya. Dia harus mencari tempat lain untuk menyusul ayahnya di alam baka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top