Lima
Yang males komen ama vote ga usah mampir sini, ya.
Eke males lanjut kalo kalian juga males.
Songong?
Yey baru tahu eke songong?
Belom follow eke berarti.
***
Lembayung Senja 5
Seruni yang melewatkan waktu makan siang demi menyelesaikan semua tugas yang terdapat di LKS barunya adalah hal yang secara diam-diam, menerbitkan senyum tipis di bibir Jingga. Namun, dia setengah mati menyembunyikan hal tersebut dan yang dilakukannya ketika dia berhasil mencapai tempat duduknya yang berada tepat di depan tempat duduk Seruni adalah berdeham sambil pura-pura membuka risleting tas yang talinya terkait di sandaran bangku tempat duduknya.
Karena itu juga, Seruni yang khusyuk dengan LKS Biologi miliknya lantas mengangkat kepala lalu memperhatikan Jingga yang entah kenapa, sempat tersenyum sebelum bicara kembali.
"Lo di sini pas semua orang nggak ada, bikin gue curiga."
Jingga tidak bermaksud menyinggung Seruni. Akan tetapi, sekejap, gadis malang itu segera berhenti memegangi buku dan balpoin lalu mendorong keduanya sejauh mungkin.
"Gue nggak maling. Biarpun gue miskin, gue nggak akan pernah maling." Seruni segera berdiri, meninggalkan mejanya dan berlari meninggalkan Jingga menuju ke arah luar kelas tanpa menoleh lagi. Matanya yang memerah, sekilas sempat ditangkap oleh Jingga dan ketika si tampan usil tersebut hendak memanggil, Seruni telah menghilang dari pandangannya.
Jingga kemudian meremas rambutnya dengan perasaan frustrasi. Bukan itu maksudnya bicara barusan. Hanya saja, Seruni sudah kadung kabur dan tidak ada yang bisa dia kerjakan selain melirik arloji mahal pemberian sang ayah. Masih tersisa lima belas menit lagi sebelum bel masuk berbunyi dan dia tidak mengerti mengapa pada akhirnya kedua kakinya melangkah ke arah luar kelas demi mengejar gadis tetangga yang ternyata batang hidungnya sudah tak nampak lagi.
Beruntungnya, Jingga berhasil menemukan Seruni masih berada di bagian tengah tangga penghubung menuju lantai tiga. Di sana, gadis malang itu sedang berhadapan dengan Lusiana yang tertawa dengan dua orang temannya seraya menunjuk ke arah kepang dua milik Seruni yang tidak beraturan. Seruni hanya diam sewaktu salah satu sahabat Lusiana menarik pita ungu pengikat kepang sebelah kanannya hingga kepala gadis itu tertarik ke belakang. Si cantik jelita itu malah tertawa sewaktu Seruni berkata dengan suara lirih dan menahan tangis bahwa sentakan yang dia terima membuat kepalanya sakit. Karena itu juga, Lusiana lantas mendorong bahu Seruni dan menyuruhnya menjauh.
Posisi Jingga masih berada di ujung tangga sehingga dia tidak mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Lusiana dan teman-temannya. Tetapi, sewaktu dia mengintip kembali, Seruni sudah menghilang dan tiga sosok gadis centil pengganggu tersebut sudah berada di hadapannya dengan tiba-tiba.
"Hayo, ngintipin Uci, ya?" Tania, gadis yang menjambak kepang Seruni berbicara dengan suara amat keras. Mengabaikan Lusiana yang tersipu sewaktu tahu dia diperhatikan oleh Jingga. Sayang, Jingga tidak sempat membalas dan hanya melambai lalu meninggalkan mereka bertiga menuruni anak tangga demi menyusul Seruni yang sepertinya berlari secepat anak kijang yang dikejar oleh singa lapar.
"Aga…" Lusiana memanggil. Suaranya berubah cemas sewaktu di bagian tengah penghubung tangga antara lantai empat dan lantai tiga, tempat Seruni tadi dijambak, Jingga menemukan pita milik gadis itu yang tergeletak di lantai. Tidak butuh waktu lama, Jingga lantas menarik pita tersebut lalu buru-buru bergegas ke lantai bawah mencari sang pemilik yang kabur karena mendengar kata-kata kasarnya tadi.
Dia bahkan tidak sadar, telah mengabaikan Lusiana, gadis yang sejak dulu mampu menerbitkan perasaan bahagia dan senang di hatinya dan lebih memilih berlari mengejar Seruni yang entah kenapa, semakin sering membuatnya memaki diri sendiri karena tidak pernah bisa membuatnya tersenyum bahkan untuk satu kali saja.
Dia benar-benar tidak pernah suka selalu jadi penyebab gadis itu meneteskan air mata karena kata-kata lancang yang keluar dari bibirnya sendiri.
Pada akhirnya, Jingga berhasil menemukan sosok Seruni lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Gadis berkepang dua tersebut duduk menyendiri di bawah naungan angsana yang letaknya berada di depan lapangan bola samping gedung utama. Gadis itu duduk memeluk lututnya lalu menyembunyikan wajah seolah takut ketahuan orang. Jingga sempat mendengar Seruni berbisik dengan dirinya sendiri dan karena itu juga, dia lalu menghentikan langkah untuk mendekati tetangganya tersebut.
"Gue bukan maling. Gue bukan maling. Gue bukan maling…"
Kata-kata tersebut tak putus keluar dari bibir Seruni dan dia hanya sempat mendongak sekali untuk menghapus bulir-bulir bening yang membasahi kedua pipinya, lalu kembali menyembunyikan wajah dan bicara dengan dirinya tanpa henti.
Dia bahkan tidak beranjak sewaktu bel tanda masuk berbunyi lima menit kemudian dan membuat Jingga yang memperhatikannya dalam diam terpaksa beranjak meninggalkan Seruni dengan hati teriris-iris.
Dia tidak seharusnya menyakiti hati gadis itu dan entah kenapa, meski sering melihatnya menangis, Seruni yang meneteskan air mata karena ulah bodohnya tadi membuat Jingga merasa amat menyesal dan marah pada dirinya sendiri.
***
Alarm pukul empat berdering nyaring dan Jingga membuka mata dengan cepat. Dia terkejut menyadari lampu kamar telah menyala dan sosok cantik yang selama ini selalu terlelap dalam dekapannya sudah tidak lagi berada di atas tempat tidur. Walau kasur masih terasa hangat, Jingga tetap saja merasa panik dan buru-buru bangkit dari kasur tanpa sempat memakai kacamata.
Tentu saja, tidak lama kemudian Jingga mengaduh dan meringis menahan nyeri di antara jari kelingking dan jari manis kaki kirinya yang menyentuh kaki dipan yang terbuat dari jati. Dia terpaksa berbalik ke arah nakas dan meraba-raba kacamatanya sebelum bergegas mencari sang nyonya dengan kaki terpincang-pincang.
"Ma? Uni, sayang." Jingga bergerak menuju kamar mandi dalam kamar. Sebentar lagi subuh tiba dan karena tadi malam mereka tidak sempat membersihkan diri usai "serangan balas dendam", dia yakin Seruni sedang berada di sana.
Hanya saja, ketika pintu kamar mandi terbuka, tidak ada sosok cantik sang istri dan Jingga tahu, Seruni yang jadi semakin cerdas tidak akan membiarkan pintu kamar mandi begitu saja tanpa dikunci. Jingga yang pernah nyelonong beberapa bulan lalu, tidak satu atau dua kali mempraktikkan kebiasaan barunya tersebut dan pada tentu saja, setelahnya, mereka berdua selalu berakhir dengan adu perang di bawah guyuran shower kamar mandi.
"Sekalian mandi, sayang." kilah Jingga bila Seruni mengeluh dia terpaksa harus mengulang mandi karena ulah suaminya.
"Ni." Jingga membuka pintu kamar. Matanya mencari-cari sosok Seruni ke segala penjuru rumah dan sewaktu mendengar suara berisik dari dapur, dia dengan sigap berlari. Ketakutannya tentang kondisi Seruni yang belum stabil, kadang membuat Jingga berpikir macam-macam.
Sejak tahu dia telah berbadan dua, Seruni kentara sekali memusuhi janin kecil yang bersemayam di dalam perutnya dan Jingga takut bila istrinya berpikiran pendek.
Dia tidak mau kehilangan Seruni dan tentu saja, tidak ingin kehilangan calon bayi mereka.
"Kamu ngapain?" Jingga yang menemukan sosok Seruni berdiri dalam diam di depan kompor gas yang menyala segera mendekap istrinya dengan erat. Dia bersyukur tidak terjadi apa-apa dengannya.
"Ga, ah. Kenapa main peluk aja? Gue lagi jerang air. Untung nggak jatuh." Seruni menunjuk ke arah kompor namun sulit. Dqri belakang Jingga memeluk tubuhnya seolah takut dia bakal lepas dan lengan pria itu mengunci kedua tangannya hingga Seruni tidak bisa melakukan apapun kecuali memberi kode dengan mata.
"Kangen." Jingga mengecup pipi kiri Seruni sembari menyeringai amat lebar, mengabaikan Seruni yang menjauhkan bibirnya sewaktu bicara.
"Jauhan, ih. Gue belum mandi."
"Bagus. Mandi bareng, yuk." Jingga terkekeh, sembari menaik turunkan alis dia memberi kode ke arah kamar mandi yang berada dekat dapur. Seruni hanya mengedikkan bahu dan berkata kalau dia harus masak untuk sarapan setelah mandi nanti. Mandi bersama Jingga tidak akan pernah sebentar dan mereka harus menunaikan salat Subuh.
"Mandi sendiri. Lo kayak bocah, beneran. Kayak nggak bisa mandi."
Jingga menatap langit selama satu detik lalu mengangguk, "Aku nggak bisa sikat bagian punggung, Ma. Kalau kamu yang bantu bersihin, beda banget rasanya. Lembut, dipijat-pijat. Dakinya rontok semua."
"Tuh ada sikat kawat buat cuci piring. Daki lo dijamin hilang semua." Seruni yang tubuhnya masih berada dalam pelukan suaminya, menunjuk ke arah bak cuci piring menggunakan bibirnya yang dimajukan. Karena itu juga, Jingga yang tadinya menyandarkan dagu di bahu kanan Seruni mengangkat kepala lalu melirik ke arah bak cuci piring dengan pandangan tidak suka.
"Sejak kapan ada sikat kawat cuci piring di rumah? Bukannya aku nggak beli barang begituan. Kamu, kan, sudah kularang pake kawat. Dapat dari mana?"
"Bang Zam. Sebelum pulang gue suruh mampir ke warung dekat sini. Spons doang nggak bersih. Gue nggak suka." Seruni mengeluh dan protes karena Jingga kemudian membalik tubuhnya hingga mereka berdua berhadapan.
"Kapan kamu nyuruh Zam? Seingatku, kita berdua duduk sama-sama terus. Kalian nggak sempat ngobrol dan aku nggak dengar kamu minta dia ke warung."
Mata Jingga menyipit ketika menginterogasi Seruni dan seperti biasa, Seruni akan memalingkan wajah menghindari tatapan suaminya.
"Liat suami kamu kalo ditanya."
Seruni menggeleng. Kebiasaan rendah dirinya selalu timbul bila Jingga memandanginya sambil melayangkan pertanyaan bak terpidana kena tanya oleh jaksa penuntut.
"Gue belum sikat gi…"
Jingga segera menyambar bibir Seruni sebelum sempat wanita itu lanjut bicara. Sepuluh detik kemudian dia melepaskan Seruni dan kembali dengan pertanyaan yang sama.
"Nggak usah ngomong bau jigong segala. Biniku nggak bau, dia wangi kayak habis mandi. Sekarang jawab, kapan kamu nyuruh Zam ke warung?"
Seruni yang tidak bisa menghindar, akhirnya mengaku minta bantuan Zamhuri melalui Whatsapp. Jingga terlalu posesif dan satu-satunya cara tentu saja lewat ponsel. Suaminya tidak sadar dan setelah tahu, dia berharap bisa menghapus nama Zamhuri dari kontak telepon Seruni.
"Kalian WA-an? Kok bisa aku nggak tahu?" Jingga mengulang kembali sewaktu Seruni pura-pura mengeluh sesak. Pelukan Jingga tidak kencang-kencang amat tapi dia merasa dengan cara itu bisa membebaskan diri.
"Pake pesan suara. Bisik-bisik pas lo meleng." Seruni membalas sewaktu Jingga makin mendesak. Pria tampan berkacamata tersebut kentara sekali amat cemburu tapi dia berusaha terlihat santai dan meyakinkan diri kalau Seruni hanya miliknya.
Hati, tubuh, bahkan janin dalam rahim wanita itu adalah kepunyaannya, bukan milik Zamhuri.
"Aku bisa beliin, Ni. Nggak usah sama Zam. Kenapa kalo kamu butuh apa-apa selalu cari dia? Aku nggak bisa kamu mintai tolong?"
Seruni yang tadinya hendak menoleh ke arah kompor, pada akhirnya terpaksa menatap wajah suaminya. Dia sebenarnya malu sekali harus menjawab, tapi Jingga yang cemburuan terlihat amat menggemaskan.
"So...soalnya lo nggak mau jauh-jauh dari gue, jadi gue nyuruh Abang, supaya lo nggak khawatir, gue bakal pergi atau ngilang."
Telunjuk kanan Jingga menyentuh pipi kiri Seruni yang mulus. Dia tersenyum usai mendapat jawaban seperti itu, "Tahu dari mana aku takut kamu hilang?"
"Tahu. Gue tahu lo cemas, Ga. Kayak tadi, lo keluar kamar terus peluk gue."
Jingga tersenyum. Dirapikannya helaian anak rambut milik Seruni ke balik telinga sang istri hingga menampakkan kilau berlian dari anting-anting mas kawin pernikahan mereka yang terlihat amat cocok di telinga Seruni.
"Benar. Aku selalu cemas. Takut kehilangan kamu untuk yang ketiga kalinya." Dia berbisik, lalu mendekap tubuh Seruni erat-erat dan membisikinya kata-kata cinta yang tidak pernah putus.
"Tiga? Bukannya gue cuma sekali kecelakaan?"
Jingga menggeleng, namun, Seruni tidak dapat melihat gerakan kecil yang suaminya lakukan. Yang Jingga lakukan hanyalah memejamkan mata dan mengingat kembali bayangan hari paling menyebalkan dalam hidupnya ketika dia menerima medali kelulusan dan hanya mampu memandangi pohon Angsana di depan lapangan bola, tempat seseorang selalu menghabiskan waktu di sana selama berjam-jam, tanpa sempat mengucapkan pamit sama sekali pada Jingga atau semua orang di SMANSA JUARA.
***
Yang baca Lusiana pasti tahu momen ini. Hehehe.
Kalian suka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top