empat

Lembayung Senja 4

Komen dan votes kalian bikin semangat apdet.

***

Jingga benar-benar menjalankan misinya dengan amat baik hingga Seruni berdiri di depan kloset duduk dalam kamar mandi di kamar mereka. Malah, si calon ayah yang berwajah tengil tersebut sengaja menunggu Seruni menuntaskan hajatnya baru memutuskan untuk ke dapur demi mengambil pesanan sang nyonya. Sayangnya, niat mulia tersebut keburu gagal. Seruni yang risih dipandangi sedang buang air pada akhirnya meminta Jingga menjauh. 

"Biar kering, siapa tahu kamu keseleo." Jingga menolak sewaktu Seruni memilih duduk di atas kloset.

"Nggak. Gue nggak mau lo liatin. Emangnya tadi kurang puas lo mandangin gue sampe pipis aja gue ditungguin?" Seruni yang protes bersedekap dengan bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan.

"Kalo urusan ngeliatin nyonya, mana pernah Papa puas, Ma." Jingga menyeringai. Diusapnya bibir Seruni yang dia tahu terasa amat manis dan lembut. Sayangnya, nyonya judes itu malah melayangkan tatapan setajam laser yang Jingga tahu bisa memutuskan lehernya detik itu juga.

"Aga keluar." Seruni memohon hingga pipinya memerah karena malu dan menahan hasrat ingin buang air.

"Nggak apa-apa, aku bantuin." Jingga berkeras. Sayangnya sang nyonya menggeleng dan mencoba mendorong lengan kanan suaminya, "Nggak mau. Gue kalo pipis, kadang kentut, nggak cantik kayak mantan lo. Gue malu. Sana, ah."

"Ih, kayak apaan? Emangnya bagian mana lagi yang belum pernah aku liat?" Jingga protes dan berkeras tidak mau keluar dari kamar mandi sebelum Seruni kelar buang air. Karena itu juga Seruni cepat-cepat berdiri dan berusaha keluar dari kamar mandi. 

"Gue nggak jadi pipis."

"Loh? Loh? Nanti kencing batu, baru tau rasa." Jingga mengingatkan dan dia pada akhirnya menyerah sewaktu Seruni mengatakan tidak ingin buang air bila pria tersebut tetap berkeras melihatnya. 

"Iya, aku keluar. Aku cuma memastikan istriku aman di kamar mandi, tapi taunya dia nggak nyaman diliatin suaminya." Jingga merapikan helaian poni di dahi Seruni dengan telunjuk kanan. Seperti biasa, nyonya Jingga Hutama tersebut ogah-ogahan menatap wajahnya lama-lama dan dia tidak protes sama sekali. Apalagi sewaktu mendengar Seruni membalas dengan kalimat amat sederhana akan tetapi berefek amat dahsyat hingga menghujam ulu hatinya.

"Gue takut, kalo tiba-tiba buang angin lo liatin, baunya bikin lo ngatain gue kayak dulu kita SMA. Nggak ngapa-ngapain aja, lo bilang gue bau kaya tai…"

Jingga membungkam Seruni dengan satu kecupan kecil di dahi dan dia mengucapkan kata maaf dengan raut amat menyesal. Sedikit banyak, dia tahu dirinya juga menjadi penyebab depresi sang istri selama bertahun-tahun.

"Kamu nggak bau, kok. Dulu Seruni Rindu Rahayu nggak bau sama sekali. Mulut suami kamu aja yang nggak bisa dikontrol."

"Sampe sekarang masih." Seruni membalas dengan wajah amat datar, "Di atas jamban aja, lo dengan mesumnya cium jidat gue."

Jingga terkekeh dan dia secara naluri mengusap dahi Seruni, di mana jejak ciumannya barusan masih tersisa.

"Karena aku sayang banget sama wanita ini sampai nggak sadar dulu menyakitinya terlalu dalam."

Seruni mengerjapkan kelopak matanya sebelum melayangkan pandang ke arah Jingga yang masih tidak lepas memperhatikannya sejak tadi. Sewaktu dia hendak membalas, Jingga menghentikan Seruni dan berkata dia akan ke dapur mengambil air minum untuk nyonya cantik kesayangannya itu dan menutup pintu kamar mandi sebelum Seruni sadar betapa berubahnya sikap seorang Galang Jingga Hutama kepadanya setelah bertahun-tahun. 

Bertahun-tahun, tapi dia masih ingat semuanya. Termasuk Bu Mardiah yang memanggil Seruni usai jam pelajaran dan menyerahkan satu set LKS yang tidak pernah sanggup dia tebus.

"Uni nggak pesan, Bu."

"Iya. Nggak apa-apa. Kebetulan ada sisa satu set yang nganggur di meja ibu. Itu untukmu, belajar yang baik, ya. Salam buat ibumu. Semoga lekas sembuh."

Seruni yang saat itu kebingungan, hanya mampu terdiam beberapa detik hingga tidak sadar pipinya telah basah dengan air mata.

"Ibu nggak bohong, kan? Uni belum bisa bayar, Bu."

"Iya. Nggak usah bayar. Seruni, kamu dapat gratis satu set LKS sama buku paket. Buku paketnya besok ibu kasih soalnya koperasi sekolah sudah tutup. Stok yang ada ibu simpan di sana."

Seruni menggeleng. Ibu Mardiah selalu baik dan menganggapnya sama dengan anak-anak lain walau kenyataannya, si Seruni yang Buruk Rupa dan Bau Kotoran Sapi adalah hal paling menjijikkan di seantero SMANSA JUARA.

"Uni nggak bisa terima, Bu."

"Loh, kenapa gitu? Semua LKS ini buat kamu."

Seruni yang matanya masih memerah akibat air mata yang terus mengalir, dengan gemetar mendorong semua LKS yang sebelum ini disuruh oleh Bu Mardiah untuk dia ambil.

"Semua orang tahu kalau Uni nggak punya uang, mereka bakal nuduh Uni maling, apalagi bapak…"

Seruni cepat-cepat menutup mulutnya dengan kedua tangan dan tanpa sadar berlari begitu saja meninggalkan Ibu Mardiah di ruang Wakil Kepala Sekolah. 

Dia bahkan tidak sadar menabrak Jingga yang waktu itu berada di sana dan berteriak kepadanya dengan wajah panik karena menemukan Seruni keluar dengan air mata bercucuran.

Kalau Bapak liat dan nemuin buku-buku itu, dia pasti nuduh gue nyembunyiin duit dan setelah itu kami bakal disiksa. Setelah orang-orang ngatain gue maling, melihat Ibu yang sekarat dan mesti menahan pukulan dari Bapak adalah hal paling terakhir yang gua pengen lihat di dunia.

Hingga bertahun-tahun kemudian, Seruni tidak pernah tahu bahwa suaminya sendirilah yang membeli dan melunasi semua buku paket untuknya dan meminta Bu Mardiah untuk merahasiakan semua itu pada semua orang.

Seruni keluar dari kamar mandi lima menit kemudian dan dia menemukan wajah tampan Jingga yang menunggu dengan senyum terkembang tepat di depan kamar mandi. Seruni tanpa sadar menoleh ke arah kloset dan memastikan dia sudah menyiram semua kotoran yang ada dan tidak ada bau aneh. Meski begitu, dia cepat-cepat menutup pintu dan berusaha berjalan menghindari Jingga yang menahan tubuhnya bergerak lebih jauh.

"Aga, ih." Seruni protes saat Jingga dengan santai meraup tubuhnya ke dalam pelukan lalu menggendong sang istri hingga ke tempat tidur mereka sambil menyuruh si cantik itu melingkarkan lengan di lehernya.

"Kakimu belum kuat, cantik." Jingga kembali tersenyum lebar karena Seruni menuruti permintaannya walau seperti yang sudah-sudah, dia kan menemukan Seruni yang menolak menatapnya lama-lama.

"Lo kalo mau ngatain nggak usah malu, Ga." Seruni berbisik. Malu karena urusan kamar mandi barusan malah membuatnya terkenang beberapa kisah tak nyaman di masa lalunya dengan sang suami.

Jingga yang berhasil mencapai sisi tempat tidur yang biasa Seruni tiduri, meletakkan istrinya dengan hati-hati. Setelah memastikan bokong sang istri berada di tempat yang nyaman, dia yang masih berdiri lalu mengambil segelas air yang sudah dia siapkan sebelum menjemput nyonya pemalu tersebut dari kamar mandi.

"Baca bismillah. Minumnya pelan-pelan. Aku campur separuh air hangat biar kamu nggak mual."

Seruni yang menerima gelas tersebut lantas mengangkat kepala dan menatap suaminya dengan pandangan takjub, "Lo tau gue barusan muntah?"

Jingga terkekeh. Bibir Seruni masih basah dan aroma odol favoritnya terasa hingga ke penciuman pria tersebut padahal dia tahu pasti, Seruni sudah menggosok gigi sebelum jam sembilan malam tadi. 

Sebelum mereka melakukan kegiatan "balas dendam" yang tertunda sejak kecelakaan yang nyaris merenggut jiwa Seruni dan calon bayi mereka.

"Aku lagi belajar memahami bini cantik tukang cemberut ini. Sayangnya, dia selalu nggak percaya kalau suaminya tergila-gila setengah mati."

Seruni yang akhirnya kelar meneguk air dalam gelas, menyerahkan kembali gelas tersebut kepada Jingga lalu membalas, "Lo gak bakalan suka jadi gila atau mati. Percaya deh, Gila dan mati adalah hal paling sulit yang pernah gue alami."

Jingga berdeham, menyadari ucapannya lagi-lagi jadi bumerang. Dia harus ingat moto Pria Selalu Salah dan mesti berhati-hati bicara di depan Seruni. Setelah menutup cangkir dan berjalan mematikan saklar lampu utama, dia lalu bergerak ke sisi tempat tidurnya dan membiarkan lampu tidur menyala redup. 

"Cintanya sama kamu, Uni sayang, aku bakalan mati kalau kamu tinggalin." Jingga menepuk bantal dua kali lalu merebahkan diri. Sementara Seruni yang masih duduk, menoleh ke arah suaminya dengan tatapan tidak percaya. 

"Tidur, Ma. Aku nggak bisa merem kalo nggak peluk kamu." Jingga menepuk bahu kanannya yang selama ini menjadi tempat istrinya bersandar dan terlelap.

Seruni menghela napas. Dia beringsut mendekati Jingga setelah sebelumnya sempat mematikan lampu di bagian nakas tempat tidurnya. Saat kepalanya mulai menempel di lengan kekar si tampan kesayangan, Jingga mengecup puncak kepalanya dan segera saja mendekap Seruni dengan amat erat.

"Tidur yang tenang dalam pelukan Papa, ya, Mama Uni dan adik bayi kesayangan. Aku cinta kamu, Ma." 

Jingga tidak pernah putus mengucap cinta sejak dia menyadari semua perasaannya pada Seruni. Tapi, sang istri, seperti biasa akan mencerna kalimat tersebut dalam sebuah pemikiran panjang yang seakan tidak ada akhir. Selama beberapa detik, dia ingin sekali bertanya tentang besarnya cinta pria itu pada dirinya dan Lusiana sang mantan kekasih. Namun, Seruni memutuskan untuk diam dan membalas dekapan erat sang suami dengan sebuah usapan lembut di pipi kanan Jingga.

"U...uni juga sayang Aga." 

Rasanya malu sekali. Tapi, dia senang sewaktu Jingga mengecup dahinya dan meminta Seruni untuk kembali memejamkan mata.

Semoga dia memimpikan hal-hal yang indah seperti yang selalu dia alami setiap Jingga memeluknya dengan erat seperti saat ini.

     ***

Kalian suka?

Tetap bakal ada flashback, ya. Kita akan menggali sisi psikologis Uni. 
Yang bilang capek baca yang sedih-sedih, silahkan baca work lain.
Yang bilang "kirain sekuelnya" memang sekuelnya, tapi menyembuhkan ODGJ nggak semudah melempar kelereng masuk selokan. 

Makasih 💗💗💗 dan komennya.
Lembayung senja tetap di KBM, ya. Setelah bab 8 dia akan ekslusif tayang 2x seminggu sementara di wattpad setelah bab 8 tayangnya paling cepat 1 bulan sekali. 

Terima kasih. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top