Tiga

Aku menjulurkan tangan untuk memutar volume radio. Musik memang menyenangkan tetapi jika suaranya terlalu keras, itu bisa menyakiti telinga. Aku tidak mau telingaku rusak dengan cepat di usia tua jadi aku berusaha menjaga volume musik atau televisi tetap di batas aman. Lagu yang kudengarkan sekarang memiliki irama yang cukup menghentak. Kuketukkan jari-jari tangan kananku ke setir abu-abu. Aku melirik spion sejenak lalu membelokkan mobilku ke kanan.

Siang ini panas. Aku sudah menyetel pendingin mobil ke level yang paling dingin. Walaupun sedang menyetir, mataku masih bisa mengamati manusia-manusia yang berseliweran di jalanan. Mereka pasti kepanasan, terutama para pekerja yang sedang memperbaiki jalan. Mobilku terhenti sejenak karena jalan yang seharusnya memiliki dua lajur, sekarang tinggal satu. Para pengendara harus bergantian melewatinya. Aku mendengar suara klakson dibunyikan. Lidahku berdecak kesal. Sudah menjadi kebiasaan, orang-orang di belakang yang tidak tahu apa-apa akan berteriak atau membunyikan klakson seakan-akan penyebab mereka terhenti adalah pengendara di depannya. Dasar tidak tahu diri. Para pekerja jalan itu sudah menyisihkan keringat mereka untuk jalan yang selama ini mereka lewati. Namun, pengendara tidak sabaran itu malah menyalahkan mereka atas kemacetan yang terjadi. Kalau jalanan tidak diperbaiki, mereka marah. Kalau diperbaiki, mereka tidak mau sabar. Apa sih yang ada di pikiran orang-orang seperti itu?

Lima menit kemudian, mobilku sudah bisa melaju dengan lancar. Hanya sedikit penantian dan kesabaran, tidak masalah buatku. Aku melihat banyak sepeda motor melewati mobilku. Pria di depan dan wanita di belakang, kebanyakan memegang bahkan memeluk erat pinggang si pengemudi. Usia mereka berbeda-beda. Paling mengharukan saat melihat pria dan wanita yang sudah cukup tua tetapi masih tetap mesra. Mereka berpakaian bagus. Kuduga, mereka berdua akan menghadiri sebuah pernikahan. Sedangkan yang paling menggelikan adalah menonton pertunjukkan peluk dan cium dari anak SMP di pinggir jalan. Aku mendengus geli. Kalau mereka tidak segera dihentikan, tak lama lagi dua akan menjadi tiga.

Suara sirine sayup-sayup terdengar dari belakang. Aku memeriksa spion dan melihat sebuah mobil putih berusaha menyalip mobil-mobil di depannya. Ambulans. Salah satu kendaraan yang harus diprioritaskan ketika di jalan. Aku mengernyit. Kenapa mobil-mobil lain di depan ambulans itu tidak menyingkir? Tidakkan mereka tahu bahwa ada seseorang yang mungkin saja sedang sekarat berada di dalamnya? Aku mengarahkan mobilku ke kiri, begitu juga dengan mobil hijau di belakangku dan depanku. Dua mobil itu tahu apa yang harus dilakukan. Ambulans lewat dengan cepat dari sebelah kananku. Aku mengambil jalur yang benar lagi kali ini. Suara sirine perlahan menghilang. Tidak cukup cepat menurutku. Pasti karena banyak kendaraan lain yang tidak minggir sejenak untuk memberikan cukup ruang bagi mobil putih itu. Dalam hati aku berdoa, semoga siapa pun di dalamnya selamat dan manusia-manusia tak tahu pengetahuan itu segera diberi hati nurani.

Lampu merah menghadangku. Aku menginjak rem dengan santai. Seratus adalah angka yang terpampang di samping lampu. Seorang perempuan paruh baya, berbadan cukup subur, dengan sigap mendekati mobilku. Ia menggendong anak kecil yang kakinya terjuntai ke bawah. Posisinya tampak tidak nyaman. Muka anak itu ditutup oleh kain gendongannya tetapi aku cukup tahu kalau anak itu tertidur atau sengaja ditidurkan. Si ibu—entah kandung atau pura-pura—mengulurkan telapak tangannya menghadap ke atas di jendelaku. Aku memandangi wajahnya. Mukanya tampak kotor dan memelas. Namun, tampilannya yang cukup terawat—terlihat dari baju yang bersih dan lumayan bagus—dan ukuran badannya yang tidak menandakan ia sering kelaparan, membuatku ragu untuk memberinya uang. Aku melirik papan biru yang bertuliskan 'Dilarang memberi uang kepada pengemis atau pengamen.' Si pengemis tadi beranjak meninggalkan mobilku. Kuduga karena aku terlalu lama membiarkannya mematung di depan jendela. Aku melihat si pengemis mendapat uang dari pengemudi mobil di belakangku. Sekeras apa pun usaha pemerintah dan para penegak hukum untuk memberantas pengemis dan pengamen, apabila warganya masih melakukan hal yang dilarang itu, tentu saja tak bakal berhasil.

Kenapa pengemis tadi tidak bekerja? Kenapa harus meminta? Jika saja ada pilihan yang lebih baik, pasti pengemis tadi tidak akan melakukannya. Namun, bagaimana jika ia sengaja? Mencari jalan termudah untuk mendapatkan uang dengan menengadahkan tangan, berharap belas kasih manusia-manusia yang memiliki hati sensitif.

Ah, coba saja pengemis tadi berusaha seperti pria tua yang sedang berkeliling dari mobil ke mobil menawarkan dagangannya. Pria tua itu menjual koran, majalah, dan buku untuk anak kecil mewarnai gambar di dalamnya. Di zaman seperti ini, lebih sulit menjual buku-buku berumur pendek seperti itu karena pencarian informasi dapat lebih mudah dilakukan lewat dunia maya. Tentu saja. Dunia nyata selalu lebih sulit. Bagi sebagian orang, mungkin utopia negeri ini masih tersisa tetapi bagi sebagian besar yang lain, negeri ini sudah lama menjadi distopia.

Kuletakkan kepala di sandaran kursi lalu menoleh ke kanan. Pasangan—kuduga berumur dua puluhan—di atas motor sedang tertawa berdua. Entah apa yang mereka bicarakan tetapi tampaknya seru. Si wanita beberapa kali memukul pria di depannya. Bukan pukulan menyakitkan, tetapi pukulan main-main dan elusan lembut pada pundak kekasihnya. Si pria mengatakan sesuatu yang disambut dengan tawa dari pasangannya. Si wanita mencubit—atau menggelitik karena kulihat si pria sedikit bergidik—perut pria itu. Mereka seperti hidup di dunia mereka sendiri. Tidak peduli tatapan orang-orang di sekitarnya. Mereka bahagia berdua. Itu cukup. Sekelebat ingatan muncul dalam pikiranku. Aku pun pernah seperti itu. Dulu.

Lampu hijau bagaikan magnet yang menarik para pengendara bergegas mengencangkan gas. Beberapa sepeda motor melesat meninggalkan mobil-mobil di belakangnya. Aku menekan pedal gas dan menyadari sesuatu. Jalanan ini sangat ramai tetapi aku merasa terkucilkan. Mengapa hati ini terasa kosong?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top