Twenty Six.

Beautiful, As White Lotus.

"Juzumaru... san."

Begitu lirih yang datang dari seorang wanita pada usia rentanya yang terbaring begitu lemah di atas futon. Warna surainya telah memudar, tubuhnya memiliki banyak keriput. Begitu kurus dengan warna kulit yang semakin memutih setiap harinya.

Usianya sudah tak lagi muda, dengan segala rasa sakit yang tidak akan hilang apabila tubuh rapuhnya membebaskab jiwa segar yang masih berada di balik raga.

Yagen nyaris tidak pernah mengalihkan perhatiannya sedikit pun padamu. Ah, bukan hanya sang tantou. Ishikirimaru rajin melakukan pembersihan. Oodenta sering-sering menemani kau tidur dengan duduk tak jauh dari tempatmu berbaring. Kousetsu tak pernah berhenti membacakan kalimat Sutra. Yamabushi pun sama. Juzumaru tidak pernah lupa untuk melakukan hal yang sama. Awalnya, mereka pikir kau itu sakit. Namun semakin ke sini, para kesatria sadar akan sesuatu hal. Kau bukan menderita sakit apapun, hanya usia yang perlahan menggilas tubuh.

Sosok yang terlalu berharga untuk para kesatria kini tidak berdaya melawan usia rentanya.

Wajar.

Siklus kehidupan lumrah untuk seorang manusia, lain dengan bilah katana yang walau telah termanifestasi, mereka akan tetap begitu.

Sejak kau tidak lagi sanggup untuk bangun bahkan sekedar hendak meminum air hangat yang dibawakan oleh Kashuu Kiyomitsu, sang kesatria pertama itu tahu kalau wanita tua yang menjadi tuannya itu tengah memasuki fase di mana manusia akan kembali ke tanah.

"Aruji, ini Kashuu," begitu balasnya, "Kurasa Juzumaru sedang pergi keluar untuk sesaat." Si merah menggenggam tanganmu. Menempelkan tangan keriput itu pada pipi mulusnya.

Bibir keringmu bergerak,

"Ahh, Kashuu kah? Maafkan aku, ya. Kau sudah menghabiskan makan malammu? Apa semuanya baik-baik saja?"

Memang tidak terlalu jelas apa yang kau ucapkan, namun Kashuu masih mengerti apa pertanyaan yang keluar dari bibirmu,

"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Aruji. Semuanya telah makan malam dan berharap kau bisa ikut makan malam bersama dengan kami lagi."

Bibir pucatmu sedikit melengkung,

"Begitukah? Semuanya sudah tidur kah?"

"Beberapa masih terjaga. Untuk Tantou, semuanya tertidur, Aruji."

Sahutan lain datang. Suara itu tidak berubah, masih santai seperti biasa dengan langkah kaki yang begitu tenang dan anggun. Ia kemudian bersimpuh, duduk dekat tubuhmu. Tangan besarnya tanpa ragu mengusap surai putih yang terlihat memudar,

"Apa yang Aruji inginkan? Kashuu dan aku segera membawakannya."

Kesatria yang datang tadi adalah Mikazuki Munechika. Akhir-akhir ini, kesatria yang kau panggil adalah sosok pendeta yang kerap kali membacakan kalimat Sutra untuk mengiringi tidurmu. Dan tadi, kau berniat meminta Juzumaru untuk melakukan hal itu. Namun seperti yang Kashuu katakan, Juzumaru tidak ada di benteng.

"Nikkari juga tidak ada, kan?" tanya si merah. Si biru langsung memberikan anggukannya.

"Kelihatannya dua saudara itu pergi dari kemarin malam," jelasnya, "Aku tidak tahu mereka pergi kemana. Juzumaru hanya menitipkan Aruji padaku."

"Aku benar-benar tidak ingin untuk merepotkan kalian semua."

"Orang tua seperti kita memang merepotkan anak muda, benar?" balas Mikazuki dengan jumawa, seperti biasa.

Dan hal tersebut membuatmu tersenyum walau dengan kedua mata yang terpejam.

"Aku memutuskan untuk menetap di sini..., Walau kita telah memenangkan perang ini. Sejak aku divonis tidak bisa memiliki keturunan dan aku ditinggalkan oleh tunanganku, aku pikir hidupku akan benar-benar hancur saat itu."

Kashuu dan si Tenka Goken memasang telinganya baik-baik.

"Aku takut kalau kesatriaku akan melakukan hal yang sama. Aku takut dicampakkan, seperti apa yang dilakukan oleh keluargaku. Namun tidak, aku salah besar. Semua orang di sini begitu peduli padaku."

"Sudah jangan bicara lagi," Kashuu tahu kalau bicara sepanjang itu membutuhkan tenaga yang besar bagi seseorang yang tidak mampu lagi untuk duduk lama, "Aku masih sanggup melayanimu."

"Namun tubuh ini sudah tidak mampu untuk menjadi wadah bagi roh yang ada, nak."

Menahan tangis dengan susah payah, dari iris ruby-nya terpantul sosok yang berbayang sebab air hangat telah bermuara. Tangan hangatnya dengan lembut melepas tanganmu di atas selimut selepasnya menyeka sesuatu sembari berdiri,

"Aku permisi, Aruji. Istirahat, ya."

Mikazuki hanya mengamati sambil menyimpulkan seulas senyum tipis memandang ambang pintu dari punggung kecil yang begitu kokoh memutuskan untuk keluar dari ruangan yang terlalu besar untuk kau tempati sendirian. Menyisakan celah yang cukup besar untuk memastikan bahwa tuannya baik-baik saja walau kesatria tidak sanggup melihatnya dari dekat.

Karena tidak sedikit dari mereka yang langsung menangis tanpa sadar, bahkan ketika tangannya hendak menggeser pintu ruangan sang tuan. Hanya mereka yang benar-benar tangguh bisa melihatmu dari dekat. Atau menguatkan hati jauh-jauh hari, hanya sekedar untuk menemanimu, atau melihatmu tidur dengan napas yang lembut.

Kelopak matamu terbuka perlahan. Memancarkan cermin biru bening yang terpantul dengan cahaya lampu bagai gemintang yang hadir pada langit malam.

"Apa, Mikazuki san akan merajuk juga?"

"Tidak..," balasnya cepat, "Maafkan anak muda itu, Aruji. Mungkin suasana hatinya sedang tidak bagus untuk saat ini."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan," Lirihmu, "Lagipula ini salahku. Aku lelah berbaring, boleh aku pinjam punggungmu sebentar?"

Bisa kau rasakan kedua tangan halusnya itu tengah menyentuh kulitmu walau terbalut yukata tipis. Perlahan, Mikazuki mendudukkanmu hingga ialah yang menjadi sandaranmu pada punggungnya. Surai putihmu menyapa pipi dan kulit leher sang kesatria. Ia memandang keluar, dengan pemandangan bulan biru yang penuh dan bintang bagai kelopak bunga yang tersaji di luar sana. Tanpa sadar, iris biru dengan hetero bulan sabitnya menutup. Tergantikan dengan satu titik likuid bening yang mengalir, membentuk gumpalan pada dagu lancipnya sebelum menetes jatuh pada kain yukata birunya.

Teringat sebuah masa, di mana tuannya tiba-tiba datang dan menangis. Seorang wanita muda yang menurutnya cukup kuat itu menunjukkan kelemahannya ke segelintir kesatria yang tidak sengaja melihat wajahnya hari itu. Dengan sesak, kau berkata, "Aku dibuang." Saat Kashuu bertanya, membagi pelukan hangatnya dan memastikan bahwa tidak akan ada kesatria yang melakukan hal yang sama.

Senyummu terbentuk. Kepala dimiringkan hingga arumi dari surai kebiruannya menyapa indera penciumanmu,

"Aku ingat saat pertama kali kau tiba di sini." ucapmu tiba-tiba.

Mikazuki menyeka air matanya tanpa sepengetahuanmu,

"Ah, yang Aruji terlalu senang itu kah? Ahahahaha."

Bibirmu membentuk bulan sabit terbalik. Memejamkan mata dengan mengingat hal-hal paling mengesankan dalam hidupmu

"Jika dipikir-pikir, pekerjaanku sebagai seorang dosen pun lebih banyak aku habiskan di sini, ya?"

"Untungnya kau dosen. Membagi ilmu adalah hal terbaik yang bisa dilakukan manusia. Belajar juga merupakan hal yang mampu mengusir rasa bosan, benar?"

"Haha," Tawa getirmu terdengar olehnya, "Jika tidak salah ingat, seminggu yang lalu..."

"Ada apa di seminggu yang lalu?"

"Aku masih bisa merajut syal dan beberapa pakaian musim dingin untuk para kesatriaku. Dan saat ini, duduk pun aku tidak sanggup."

"Baru-baru ini, katanya anak-anak menemukan ladang bunga yang cantik." Balas sang Tachi, "Mereka memiliki rencana untuk membuatkanmu mahkota bunga."

"Mainnya jauh-jauh, ya?"

"Shizuka, Tomoe, Azuki, dan beberapa pedang dewasa terbagi untuk menjaga mereka."

Seketika kekhawatiranmu lenyap,

"Ah... Syukurlah. Sepertinya, aku ingin tidur."

"Begitu kah? Baik. Aku bantu untuk berbaring." Mikazuki menawarkan bantuannya dengan senang hati.

"Terima kasih banyak, Mikazuki san. Lalu, bisakah aku minta tolong satu hal lagi padamu?"

"Katakan saja." Balasnya, selepas menarik tangannya saat kepalamu sudah bertemu dengan bantal,

"Tidak tahu kenapa, aku ingin tidur bersama adiknya Ichigo. Aku ingin si kembar itu tidur menemaniku di sini."

"Tunggu lah, kulihat Ichigo belum tidur tadi. Selamat Malam, Aruji."

"Selamat malam, Mikazuki san."

Leisure

Dengan Shishio yang menuntunmu keluar kamar menuju engawa, akhirnya kau dapat merasakan sapuan angin musim semi yang menyapa kulitmu. Tak disangka, para tantou kecil itu tanpa ragu langsung mengerubungi tuan mereka.

"Rindu," dan "Main bersama." Adalah dua frasa yang selalu keluar saat kau menerima pelukan mereka satu persatu. Tak peduli saat tangan keriput itu menelusuri pipi gembil mereka satu persatu, yang meluncur dari bibir merah muda anak-anak itu adalah, "Nanti kami bawakan mahkota bunga untuk Aruji, ya!!"

Matahari menyinari wajah sang tuan, membuat matanya terang kebiruan. Air mukanya masih tetap anggun walau keriput merajalela. Irismu berkeliling, pohon-pohon bunga telah mekar sempurna. Pohon sakura seribu tahun pun menari dengan belaian sang angin. Cuaca hari ini begitu bagus, matahari nampak bersahabat sesekali awan besar menyembunyikan teriknya. Begitu hangat, dengan kesatria dewasa yang begitu senang melihat presensimu di engawa.

"Pemandangan yang lembut."

Menggunakan dada bidang Kogitsunemaru untuk sandaran saat matamu perlahan nyaris terpejam namun sapuan bunga teratai di pipimu menggagalkan segalanya.

Kau mendongah, memastikan siapa pelakunya.

"Ah,,," desaumu, "Selamat datang, kalian berdua."

Juzumaru memangku tangan di dada, sedangkan untuk Nikkari memilih duduk di sisi yang kosong di engawa. Tepat di sebelah Yamatonokami yang mengusap-usap tanganmu penuh sayang,

"Apa yang kalian lakukan hingga dua hari dua malam?" Ishikirimaru bertanya-tanya.

"Observasi sederhana." Balas si Tenka Goken.

"Lalu Aoe san?"

"Aku hanya menjaga saudaraku."

Juzumaru Tsunetsugu kemudian ikut duduk di sebelah sang Ootachi yang memperhatikanmu mendusal pada bunga teratai pemberian sang pendeta kuil bersurai panjang nan cantik.

"Aku mengunjungi orang tuamu, Aruji."

Kesatria yang mendengarnya cukup terkejut—sangat terkejut.

"Apa!? Bagaimana bisa—Ka-Kalian melakukannya untuk apa?" Yamatonokami tergagap-gagap

"Aku sudah mengatakannya untuk tidak berbuat sejauh itu," belamu, menenangkan Uchigatana kepunyaan Okita Souji.

"Maafkan kelancanganku, Tuan. Namun aku tidak bisa menahannya," jujurnya, "Pikiran itu terus mengangguku, Tuan. Aku tidak bisa diam saja ketika kondisimu seperti ini, namun tidak ada keluarga yang mencarimu. Aku sakit. Dadaku terasa sesak menerima kenyataan bahwa Tuanku yang memberikan kami tubuh ini dicampakkan sebab hal yang tidak diinginkan olehnya juga."

"Lalu, apa yang kau katakan pada keluarganya?"

Suara lain ini datang dari belokan engawa. Kosetsu Samonji kebetulan beriringan bersama Ichigo Hitofuri. Dari latar halaman lain, Oodenta Mitsuyo dan saudaranya turut bergabung. Diikuti Kashuu yang memandangmu takut-takut. Kau melempar senyummu pada semua kesatria yang hendak mendengar cerita dari Juzumaru.

"Kemana Mikazuki san?" tanyamu, setelah memastikan Kashuu duduk tak jauh darimu.

"Setelah mendengar cerita dari saudaraku, ia menggunakan pakaian rapih dan membawa katana. Mungkin ke dewan."

"Untuk apa?"

"Sayangnya aku tidak tahu, Aruji."

Air mukamu menunjukkan ekspresi menerka-nerka.

"Juzumaru san, bisa dilanjutkan bagaimana ceritanya?"

Ia mengangguk.

"Waktu di sana dan di sini memanglah jelas berbeda. Mereka terkejut bukan main saat saudaraku dan aku tiba-tiba keluar dari kamar kosong Aruji pada malam hari. Singkatnya, di sana masih terhitung dua bulan sejak kau menghilang sejak mereka memutuskan hubungan keluarga dengan Tuan."

"Mereka tahunya aku hanya pindah kota dan tinggal sendirian dalam sebuah apartemen kecil sebagai seorang dosen..." gumammu.

Juzumaru mengangguk.

"Aku mengatakan ihwal yang aku tahu tentangmu, Tuan. Aku bercerita mengenai kondisimu seperti apa. Aku bertanya kepada mereka, mengapa mereka mencampakkanmu begitu saja. Dan jawaban yang kudapat cukup membuat hatiku bergetar sebab rasa yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya."

"Itu salahnya! Bukan salah kami jika kami tidak menginginkan anak yang tidak bisa memberikan kami cucu! Mempermalukan kami pada bangsawan yang telah kami kenalkan. Mencoreng nama besar keluarga! Wanita sepertinya memang patut untuk dibuang. Kami tidak membutuhkan anak sepertinya! Matipun kami tidak peduli. Aku bahkan sudah tidak ingin melihat wajahnya lagi! Pergi kalian! Mengaku dengan nama sebagai salah satu Tenka Goken tidak akan membuatku berubah pikiran padanya."

Malam itu, masih berdiri kaku setelah mendapat perkataan yang cukup membuatnya terkejut. Yang dilakukan Juzumaru hanya menangis dalam diam. Menautkan kedua tangannya. Berdoa supaya Buddha yang agung senantiasa melindungi keluarga sang tuan.

"Oh kasar sekali kalian..." Nikkari berkomentar saat itu.

"Aku hanya melakukan hal yang menurutku benar. Kalian bukanlah orang yang pantas disebut sebagai keluarga untuk Tuan kami. Kami sangat berterima kasih pada kalian, karena telah melahirkan wanita tangguh untuk para Kesatria seperti kami. Anak yang kalian campakkan itu adalah sosok yang mampu melindungi sejarah. Orang yang tidak mudah menyerah. Sosok wanita anggun yang lembut, tulus, penuh perhatian dan kasih sayang. Kami permisi. Aku harap kalian benar-benar tidak menyesal untuk kedepannya. Semoga Buddha yang Agung selalu memberi kalian perlindungan."

Yang mendengar tercengang.

Ingin rasanya menangis, namun sesuatu yang disebut air mata itu telah mengering. Hanya tersisa kepingan hati yang hancur dan tidak akan serupa kembali apabila disatukan. Tidak ada niat untukmu memutus tali dengan keluarga. Namun ketika kau mengingat hal itu, dadamu terasa sesak hingga bernapas pun begitu sulit.

"Tidak ada alasan untuk kesatriaku mengasihani wanita tua berkepala lima," ucapmu,

"Aruji..." panggil Kashuu, "Maafkan kelancanganku. Namun jika aku tidak bertanya, ini akan menganggu tidurku nanti malam."

Kau mengisyaratkan agar Kashuu melanjutkan pertanyaannya.

"Apa... Aruji memaafkan kedua orang tua setelah membuangmu seperti barang yang tidak lagi dibutuhkan?"

Terdengar menyakitkan.

Namun setelahnya, yang mereka dapatkan hanya sebuah senyum. Senyum yang mungkin tidak akan pernah mereka lihat lagi.

"Aku telah memaafkan mereka, tepat saat mereka mengusirku."

Malam pun datang tanpa peringatan. Seperti biasa, yang mampu kau telan adalah bubur hangat yang encer agar memudahkanmu untuk mengisi perut. Namun sayangnya, apapun yang kau telan, tak lama akan kembali keluar dari mulut. Sekujur tubuhmu gemetar. Mata biru mulai meredup saat kau merasakan dua langkah seseorang yang mulai masuk ke dalam ruanganmu.

"Yamatonokami Yasusada, dan Kashuu Kiyomitsu telah di sini, Aruji." Kata si merah. "Aku dan Yasusada memutuskan untuk tidur menemanimu malam ini."

"Baiknya..." balasmu dengan berbisik. "Aku ingin, besok kita semua ke pantai." Permintaanmu meluncur dengan wajah sumringah seperti anak kecil. Begitu cerah.

Saniwa yang cantik itu kelak segera pergi dibawa oleh angin musim semi saat hari berganti.

"Ke pantai, ya?" balas si biru, sambil menggelar futon untuknya di sisimu. "Boleh!! Aruji juga ingin main pasir, kan? Mendengar deburan ombak laut memecah karang. Sejauh mata memandang, hanya laut biru yang tersaji." Yasusada merasakan matanya mulai panas.

Dalam tidurmu, ada dua tangan yang masing-masing memberikanmu pelukan hangat. Pelukan yang membuat segalanya terasa jauh lebih baik, dalam lautan monokrom hitam putih manakala dunia berpaling darimu.

"Terima kasih."

Leisure

Tidak perlu lah Hasebe menggunakan tangannya untuk menggoyangkan lonceng berlukis crest para kesatria. Anila yang berhembus pun sudah mampu membuat gemerincingnya sampai pada telinga masing-masing kepada para pejuang sejarah.

Isak tangis tidak bisa dihindari.

Satu dari empat penjaga sejarah telah gugur dalam usianya.

Ketiga benteng di penjuru lain dijatuhi oleh daun momiji. Sebuah daun yang melambangkan benteng kebanggaanmu.

Kesedihan tidak dapat terelak manakala para tantou menangisi kepergian sang tuan.

Dalam ajal, air muka tidak berubah. Persis seperti saat kau masih hidup, hanya saja tidak lagi bernapas. Pilu yang sempat menghiasi wajahmu telah tergantikan dengan lengkungan yang terukir di bibir.

Sang Saniwa tampak beberapa tingkat lebih menawan melebihi saat ia masih hidup.

Beberapa bunga disandingkan di sisimu sebelum kelopak bunga sakura membawamu pergi.

Namun hanya ada satu yang persis denganmu saat tidak lagi bernapas.

Sebuah teratai putih.

Kelopaknya mekar dengan cantik saat Juzumaru menggunakan tanganmu untuk mengenggam bunga itu dalam tidur abadi.

"Cantik. Seperti bunga teratai putih." Begitu pujinya.

"Kabar duka ini telah tersebar. Tak lama lagi, Saniwa dari tiga benteng akan datang. Dan mengembalikan kita dalam wujud Katana."

"Sudahkah kau berterima kasih pada Aruji atas apa yang telah dilakukannya untuk kita?" Hasebe memastikan. Walau kesedihannya tidak dapat ditutupi.

"Terima kasih saja kurasa tidak cukup."

"Dalam tidur pun, Nushi sama begitu tenang."

"Bahkan sampai disaat akhir, keimutannya masih ada."

"Hingga bunga sakura mengambil alih tubuhnya. Sungguh. Aruji adalah wanita yang mulia."

date of Update ; May 09, 2022,
by ; aoiLilac.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top