Sixteen.

Winter Falls

'Aki' adalah nama lainmu jika di Citadel. Penggambaran musim gugur sangat melekat pada seorang gadis muda bersurai cokelat panjang kemerahan khas daun momiji. Maniknya cokelat mendekati jingga seperti daun-daun yang tumbuh dan akan luruh pada musim gugur. Banyak hal yang sudah terjadi.. atau pernah menimpamu sebagai seorang Saniwa.

Keracunan sebuah obat karena Yagen, cek.

Dikejar Kuwana dengan seekor cacing diantara kedua jarinya, cek.

Ditemukan tak sadarkan diri dihilir sungai dengan pakaian basah lepek oleh Nihongo saat kau sempat hilang dari benteng, cek. Kau hanyut. Kok bisa ya, kau lolos dari pengawasan puluhan laki-laki?

Menumpang tidur pada ruangan besar Awataguchi karena dengan laknatnya, Nikkari menceritakan sesuatu yang seram pada dirimu setelah makan malam, cek.

Sampai pernah disudutkan pada sisi dinding dapur oleh Shokudaikiri karena merecokinya memasak. Dipergoki Kasen hingga membuat saudara Izuminokami itu menganga penuh arti.

Itu semua adalah pengalamanmu yang baru menjabat sekitar dua setengah tahun terakhir. Jabatan yang.. bisa dibilang masih cukup singkat dalam keseharian yang terkadang absen untuk menengok para kesatria yang akan setia berdiri untuk membelamu dalam hal apapun. Namun ada satu hal yang membebani benakmu saat kau teringat kembali.. apakah seorang Saniwa bisa terbunuh saat ikut maju dalam garis depan?

"Apa bisa...?" kau bertanya ingin tahu.

"Bisa."

Seorang kesatria bersurai hijau lumut panjang tengah menemani malammu saat ini. Tidak kapok-kapok kau terus memintanya menceritakan sebuah cerita. Cerita seram, ataupun cerita yang ingin kau ketahui saat ini.Bulan dan bintang seperti turut serta mendengarkan dari atas sana, dengan kabut tipis melayang meghias tirai kobalt yang anggun. Kau menggunakan punggunya sebagai sandaran punggungmu. Memandang langit malam dengan rasa keingintahuan yang mendobrak pikiran,

"Yang benar?"

"Aku tidak akan berani berbohong pada seorang Saniwa."

"Iya? Kalau begitu, biarkan aku dengar ceritanya."

Kau bisa merasakan punggungnya bergerak. Yang kau tebak kesatria itu menarik napas dalam lalu membuangnya lagi. Seolah lidahnya terasa kelu untuk menceritakan yang sebenarnya.

"Tidakkah terlalu larut untuk mendengar sebuah cerita? Bukankah besok kau ada perjamuan dengan para Saniwa yang lain?"

"Perjamuan itu malam.. jadi, aku bisa mencuri-curi waktu untuk tidur siang sebentar besok. Jika ingin."

Ia terkekeh kecil mendegar jawabanmu,

"Keras kepala sekali.." pujinya, "dengar baik-baik. Karena ini pertama dan terakhir kalinya aku bercerita tentang ini."

Sejatinya, seorang Saniwa juga merupakan manusia. Tidak ada kehebatan lebih di dalam dirinya, kecuali membangkitkan puluhan bilah menjadi sosok manusia yang bisa diandalkan dalam pertempuran untuk mempertahankan sejarah. Saniwa sendiri adalah manusia yang beruntung dipilih oleh para Dewan lewat pesan dimimpinya, untuk ditunjuk dan dipercayakan mengemban tugas sebagai pelindung dan pejuang sejarah bersama para kesatria pedang. Serta latihan khusus dari para Dewan untuk memperkuat dirinya juga dengan bela diri. Dan pengangkatan dari Saniwa juga mengikut berdasar musim. Seperti saat ini, Saniwa yang menjabat itu di datangkan saat musim dingin sedang berlangsung. Saat ia mengemban tugas yang diberikan oleh para Dewan, warna surai sang Saniwa pun ikut berubah mengikut musim. Dan saat ini, surai gadis itu menjadi Ivory.

Kala itu, senja bergemuruh anggun diluar sana. Dengan segelas teh hijau tanpa gula, gadis itu menyaksikan langit sore yang menggariskan goresan kemerahan pada batas cakrawala dalam kumpulan awan tebal. Dewa memang seniman terbaik.

Dari radar sejarah yang ia lihat dini hari tadi, pergerakan pasukan pengulang sejarah akan bergerak pada malam hari di penginapan Ikedaya. Gadis itu tengah menyusun tim, merombak, menyusun, dan merombaknya berkali-kali. Tentu saja, tantou dan wakizashi masuk daftar. Uchigatana adalah pedang fleksibel yang cukup mumpuni untuk dipakai siang malam, namun ia butuh sesuatu yang lebih cepat dibanding uchigatana. Karena jumlah kesatria masih terbatas, ia juga harus matang-matang memikirkan siapa kira-kira yang pantas untuk dibawa mempertahankan sejarah yang seharusnya terjadi di Ikedaya.

Gadis muda yang menjabat sebagai Saniwa ke-empat yang menetap dibenteng itu tengah mengetuk ujung kuas kayu pada mejanya,

Mouri Toushiro,

Gotou Toushiro,

Imanotsurugi,

Horikawa Kunihiro,

Gadis dengan gelar Saniwa itu tengah memikirkan satu kesatria yang akan melengkapi timnya nanti. Kesatria yang bisa diandalkan saat malam, yang beringas namun tetap tenang. Dan menjadi seorang kapten...

Siapa ya?

"Kupikir kau tengah menunggu tim saudaraku yang sedang ekspedisi dua hari lamanya."

Suara yang membuatmu menoleh dari langit senja. Kedua netra terpaku pada seorang kesatria yang tengah menyandarkan dirinya pada bibir pintu geser dengan dua tangannya terlipat di dada. Serta seulas senyum yang nampak selalunya horror,

"Kau membuatku kaget untuk kesekian kalinya, ya." ucap gadis itu tidak terima,

"Maaf, aku tidak bermaksud..." dia membela diri, "Saudaraku dan tim yang kau tunjuk sudah kembali. Aku hanya menyampaikan saja, karena aku tidak yakin dia bisa langsung menemuimu."

Dahi gadis itu mengernyit heran,

"Tsunetsugu sama.. apa yang terjadi dengannya?" ia bangun dari kursinya. Rasa khawatir mendera pikirannya saat Nikkari mengatakan bahwa saudaranya itu tidak bisa langsung menemuinya. Apa dia terluka parah sampai-sampai tidak langsung bisa menemuinya?

Nikkari mengangkat kedua bahu kala sorot mata gadis itu bertanya,

"Kurasa ia demam."

"HAH!?"

Gadis itu terkejut.

Gadis itu sangat menghormati Juzumaru Tsunetsugu. Menarik fakta bahwa Juzumaru adalah tachi pertama yang didapat oleh Saniwa yang menjabat saat pertama kali. Apalagi Juzumaru adalah salah satu dari lima Tenka Goken, membuat gadis itu tidak cukup berani untuk melakukan apa-apa, kecuali hanya melihat. Ragu untuk menyentuh kulit halus itu.

"Bagaimana kau tahu saudaraku itu demam atau tidak jika kau hanya memandangnya saja." Cela kesatria yang duduk disebrang. Memasukkan kakinya dalam kotatsu.

"Y-ya aku mana berani menyentuh wajahnya!" bisik gadis itu setengah berteriak.

"Keburu malam.. bukannya kau harus ke Ikedaya ya?"

Gadis yang dikenal dengan nama 'Fuyu' saat keberadaanya ada di Citadel itu bergeming. Netra birunya sedikit mendelik mendengar pertanyaan Nikkari. Benar, ia sendiri belum menentukan siapa kaptennya kali ini. Memberanikan diri untuk sekedar menyentuh wajah yang tertidur, gadis itu membuka mulutnya. Dan benar saja, saat punggung tangan menyentuh kening setelah menyingkirkan poni lebat sang tachi, gadis itu mendesis sambil menggumam, "maaf, Tsunetsugu sama.."

"Panas.. mana aku harus ke Ikedaya.." gumamnya, "Kaptennya-

"Namazuo san?"

"Kau saja."

Kalimat yang keluar dari kesatria lain yang berada dalam satu ruangan itu bersamaan dengan kalimat yang keluar dari bibir gadis itu. Si Saniwa mengernyit dan melirik lagi si empunya surai sewarna lumut itu tengah menopang kepala dengan tangannya di atas kotatsu, sambil tersenyum,

"Kau!"

Kedua sudut bibirnya memang sudah tertarik sejak tadi, hanya dengan menundukkan sedikit kepala, gadis itu mendapat persetujuan dari titahnya tadi.

Kedua netra yang berbeda warna itu mengikuti punggung Saniwa yang melangkah keluar untuk mengambil kain dan air es serta beberapa buah batu es untuk mengompres.

Leisure

Ikedaya 1864,

"Waktu kita hanya dua jam sebelum insiden ini terjadi." Nikkari kembali mengigatkan,

"Cukup kok, Nikkari san." Sahut Imanotsurugi,

"Serangan anak kecil ini bisa diandalkan.." kata si hijau, Mouri,

Horikawa mengangguk setuju, menatap timnya satu persatu, "kita bisa selesaikan ini dengan cepat." Katanya dengan kilat mata yang tak ada ubahnya seperti pembunuh. Wakizashi itu sudah sangat gatal untuk membantai para perombak sejarah kali ini.

Saniwa ikut mengangguk mengiyakan, sebelum akhirnya instruksi kapten meminta timnya menyebar menyisir tempat itu.

Tepat setelah kesatrianya memencar, gadis itu merengut kesal.

Karena hujan.

Dia dan Nikkari mengamati dibelakang sebuah bangunan yang kosong, namun cukup terawat. Bukannya tidak mungkin dia akan terguyur hujan saat keluar nanti. Itu pasti akan terjadi, dan menyebalkan sekali. Berperang dalam guyuran hujan akan memperkecil jangkauan pengelihatan dan gerak.

--tuk,

Gerutuannya terhenti saat merasakan kepalanya ditimpa oleh sebuah kepalan tangan,

"Suasana hatimu akhir-akhir ini sedang jelek, ya?"

"..."

"Akhir-akhir ini Fuyu jarang makan. Selalu kelayapan ketika tengah malam saat yang lain tertidur. Pergerakan musuh juga mulai meradang sampai kesatriamu agak kewalahan karena jumlah kami masih belum banyak. Kamu kenapa? Setres?"

"Tahu aku setres, dan kamu bahkan tidak menghiburku sama sekali?"

"Bagaimana aku menghiburmu jika kamu saja tidak pernah membaginya padaku?"

"Lalu berakhir dengan ceritamu yang tidak-tidak itu?"

"Oh, jadi kamu ingin aku bercerita yang iya-iya?"

Gadis bersurai putih itu memicingkan matanya pada sosok wakizashi yang tengah menatapnya setengah meledek. Sialan.

"Menyebalkan. Lihat ke arah sana, ada tamu." Tepat setelah berkata begitu, kekasih tuannya melesat bak cahaya, mengeluarkan cambuk panjangnya dengan ujung lancip dari besi dan memecut garang. Menimbulkan suara cambuk yang berirama dengan percikkan air serta darah hitam yang keluar dari pasukan pengubah sejarah.

Nikkari hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya sebelum ikut masuk mengambil bagian dari kegiatan yang menurutnya menyenangkan itu. Langkahnya melewati atap dengan kain yang tersampir dibahunya, membuat Nikkari kurang lebih sama seperti hantu perempuan yang melayang lalu hilang dalam hembusan angin yang membawanya pergi.

Dari atas sana, dengan lirikan-lirikan yang ia curi sambil menghindar dari musuh lalu menebasnya, dua tantou tuannya melesat cepat untuh memusnahkan lawan yang bertipe naginata, sementara wakizashi dan satu tantou hijaunya juga masih sibuk menagani musuh yang bergerak di ambang kematiannya. Sungguh sebuah kesalahan apabila musuh itu dihadapkan dengan Horikawa dan Mouri, yang memiliki nafsu besar jika sudah turun di garis depan. Tak jarang juga mereka mendapat serangan balik dari keawasan yang lengah, namun keadaan itu bukanlah suatu ancaman. Karena kesatria yang bergerak kali ini, adalah kesatria yang cukup mengerikan saat gulita mulai memeluk semesta.

Hujan tak kunjung berhenti, namun volumenya tidak sederas saat mereka datang. Gulungan awan menutup sang purnama sebagai laksana penerang saat menandainya tengah malam mulai datang. Suara tubuh yang membentur bangunan menyapa telinga, membuat si wakizashi dengan cepat menghampiri sumber suara sambil mengayunkan wakizashinya tepat ke dua kepala uchigatana yang menghadang. Membuat persen dari hawa membunuhnya menukik tajam saat kedua netra menangkap sang Saniwa-lah yang terbentur dengan keras oleh sebilah tombak.

"Jangan pernah.. menyentuh kekasihku." begitu bisiknya saat membelah musuh bertipe tombak itu menjadi dua.

Helaan napas terdengar. Dilihat lagi Saniwa yang masih tersungkur dengan rakus menghirup napas. Kakinya dengan gencar mengucurkan darah, yang Nikkari tebak itu adalah serangan terakhir yang ia terima tadi. Ia merunduk, menyobek sedikit jubahnya lalu mengikatnya pada pergelangan kaki wanitanya yang masih menatap jauh, dengan tatapan kosong,

"Hei, fokuslah. Masih bisa berjalan?" ia mencium, meninggalkan sebuah sensasi hangat pada sudut bibir sang tuan,

Tindakan yang dilakukan Nikkari menyadarkan lamunan sesaat. Dia menoleh dan mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Membuat orang yang bertanya sedikit mengacak pucuk kepalanya,

"Kemungkinan sudah ada yang tercemar oleh pasukan itu, aku bisa menyisir ke dalam-

"Sendiri?" tanyanya. Dengan surai yang lepek, namun tidak mengurangi keindahannya,

Nikkari mengangguk sebagai jawabannya dengan mencium lagi dahi seorang gadis yang memandangnya cemas,

"Aku akan berusaha. Bangun, dan periksalah kondisi para tantou."

Untuk mempersingkat waktu, sang Saniwa mengatakan bahwa lebih baik ia berlari mencengah hal buruk yang dirasakan batinnya. Nikkari tidak akan melarang hal itu selagi ia masih mampu, maka lakukanlah walau darah akan semakin merembes karena tekanan yang dibuatnya sendiri. Begitu jelasnya ketika Saniwa bertanya.

Lagi, persen kemarahan dari gadis berpakaian miko yang mulai kotor lusuh itu bertambah saat kedua netra menangkap tantou-tantou kesayangannya mulai terpojok. Pertanyaannya adalah, kapan lawan itu berdatangan lagi sedangkan hawa pengulang sejarah semakin tipis dirasa? Cambuk panjang kembali di ayun, melilit lawan lalu membenturkannya pada sisi bangunan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Saniwa Fuyu yang merasa tantounya sudah kembali aman, langsung melejit dan kembali memecut saat musuh ngotot untuk memberikan serangan lagi,

"Jangan pernah... kau sentuh anak-anakku."

Satu pecutan dalam membuat pijakan sedikit hancur dan membuat kepingan tanah bercampur air melayang di udara sepersekian detik.

"Maafkan keterlambatanku.." sorot matanya nampak menyesal melihat Gotou yang paten mengikat perban pada pergelangan lengan Imanotsurugi.

Imanotsurugi pundung, merasa lemah. Padahal siapapun tahu, tantou kecil tempaan Sanjou itu bisa meliar saat berada di garis depan.

"Mana senyummu, Ima?" tanya gadis itu mengangkat dagu si tantou, "Tunjukkan wajah ceriamu.

Manik mereka bertemu, Imanotsurugi menunjukkan seulas senyum tipisnya.

"Jenderal, bukannya ini aneh ya? Kenapa pasukan itu tidak ada habisnya? Bukankah hawanya sudah makin menipis?" Gotou kembali mengoreksi keadaan saat ini,

Anggukan dilayangkan sebagai persetujuan,

"Jangan lengah. Kalian, sudah selesai disini? Aku ingin menyusul Mouri dan Horikawa."

"Kami ikut!" cela Imanotsurugi. Kau menatapnya nanar pada tantou kecil itu,

"Tapi pergelanganmu terluka.."

"Aruji sama juga kan? Seharusnya dengan luka di kaki itu, Aruji sama tidak akan sanggup berlari dalam jangka waktu yang lama. Jika aku lemah, bagaimana aku melindungi tuanku.." si saniwa terseyum sendu mendengar jawabannya. Saat hujan mulai berhenti sekitar mulai nampak jelas.

Manik dan tangannya menyisir tempat dimana menurut Gotou, Mouri dan Horikawa masih mempertahankan sejarah disini.

Namun kosong.

Tempat itu sudah kosong.

"Tidak.. mereka tidak patah. Jika patah, aku yang paling tahu hal itu.." gumamnya yang semakin mengerat pada cambuk yang sudah tergulung.

"Cari Nikkari!"

"Tapi Aruji-

"Tolong cari dia." ucap Fuyu mengangguk sambil menempelkan dua telapak tangan dingin pada dua pipi tantou miliknya.

Satu tebasan terakhir di dalam ruangan menjadi akhir selesainya pertahanan sejarah dalam penginapan. Nikkari sedikit mengibas wakizashi miliknya yang ternodai oleh darah hitam dari pasukan pengulang sejarah.

Ia diam sejenak menyeka cairan merah dari sudut bibir,

"Wanita itu.. tidak akan mudah dikalahkan." Bisiknya dengan mengambil langkah awal untuk menyusul ke tempat tim dan saniwanya berjuang.

*)

"Aneh.., kenapa aku tidak bisa merasakan hawa Mouri dan Horikawa.." gumam si saniwa sambil mengendik mengambil langkah memasuki lorong gelap. Ekspresi wajahnya serius dengan degup jantung yang bisa ia dengar sendiri. Ini terlalu sunyi, tidakkah ini ganjil?

Kala tubuh mulai menempel pada dinding dan sedikit mengintip dalam ruangan kayu dengan pencahayaan dari satu lampu minyak, Fuyu mulai menyiapkan kembali cambuk yang tergulung. Tidak ada siapapun di dalamnya. Hanya dua bilah katana yang tergeletak di atas tatami. Satu bilah wakizashi dan tantou,

"Horikawa... Mouri...?" ucapnya gemetar memegang gagang pada satu tantou. Dan menyadari bahwa kerah pada pakaian miko berwarna putihnya mulai memerah tanpa adanya serangan.., itu berarti,

"Keluar! Tunjukkan dirimu!"

Tepat setelah berkata begitu, dua tachi yang entah muncul dari arah mana, menendang tepat pada punggung saniwa. Tendangan yang dilakukan oleh salah satu dari mereka sangat kuat, mampu membuat saniwa Fuyu terlempar menabrak dinding kayu dan membuatnya hancur dan tubuh sang saniwa terlontar sampai luar. Dari sana dengan pandangan yang mengabur, benar-benar tidak ada tanda-tanda dari Horikawa dan Mouri. Hanya bilah saja, namun personanya tidak nampak,

"Kemana kalian sembunyikan kesatriaku?!" geramnya sambil memecut kembali. Namun tak membuat mereka gentar sedikitpun. Hal yang bisa dilakukan adalah mengulur waktu dengan menggunakan cela yang akan timbul, walalu tak kurang dari lima persen. Dari sana, Fuyu sudah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Sejak awal mereka datang ke Ikedaya, Fuyu menyadari bahwa ini adalah jebakan kotor.

*)

"Horikawa san. Mouri san! Bangun!" ujar si kecil, Imanotsurugi. Maniknya jeli memperhatikan sekitar. Yang ditepuk pipinya mulai membuka mata, pakaian tempur mereka sudah compang camping. Horikawa baju luarnya sudah tidak melapisi kemeja putihnya, sementara topi yang selalunya bertengger di atas kepala Mouri juga hilang.

"Ba-bagaimana kalian bisa disini? Sementara aku lihat kalian masih mempertahankan sejarah di sana?" Nikkari mulai bingung dengan apa yang terjadi,

"I-ini jebakan, Nikkari san! Ini jebakan! Pasukan itu ingin kita terpisah dari tuan!" Mouri yang masih mengawang mulai panik,

"Cari Aruji!" Horikawa mulai membuka mulut setelah mengingat apa yang terjadi, "Sekarang!"

Telinganya mendengar pernyataan yang sama sekali tidak membuatnya senang. Tanpa mengucap apapun, Nikkari langsung pergi. Menyusul dimana sang saniwa yang bertatung sendirian.

Saniwanya! Musim dinginnya! Arujinya! Kekasihnya! Disana.. sendirian!

"Bodoh Nikkari! Bodoh kau meninggalkannya sendiri!"

Tanpa ampun, ia menebas pada musuh yang sengaja menghadang. Tangan terayun dan kepala dari dua bilah uchigatana itu lepas dari tempatnya. Dia membiarkan kemarahan menguasai dirinya pada dini hari. Shinsengumi mulai datang, dan sejarah mulai berjalan kembali.

Kedua netra berbeda warna itu melotot sempurna kala ia lihat seorang gadis tengah diangkat melalui sebilah tachi panjang berhasil menembus dadanya. Saniwa Fuyu tidak lagi hidup. Dia hanya seonggok mayat yang tengah dipermainkan oleh musuh. Dalam sinar purnama yang mulai mengintip dari awan, Nikkari mulai melesat, mengumpulkan amarah lewat bilah dengan mengayunkannya seindah jubah putih dengan bercak merah yang berkibar, 

"Tertawalah bersama Nikkari.."

Leisure

"Dan saat kami kembali, keadaan benteng sudah jauh dari kata normal. Salju turun dengan gencar, menghias tanah dengan warna putihnya, namun warna salju telah tercampur oleh warna merah. Saudaraku mengatakan, bahwa salju langsung turun ketika pasukan hina itu menjejakkan kaki kemari."

"Semua para kesatria yang tengah ekspedisi dan mempertahankan sejarah di peta lain mulai kembali satu persatu saat amulet mereka mulai membeku dan segera mempertahankan tempat ini."

Kau(Aki) masih serius mendengarkan cuitan yang keluar dari mulut wakizashi itu. membuat waktu seakan terhenti dalam malam yang kian menelan pepohonan lewat kegelapannya,

"Kami bertahan. Aku hampir nekat menyerahkan diri pada dewan untuk menghentikan semua ini. Namun yang lain tidak membiarkanku melakukan itu. Mereka beralasan pada pesan mutlak Saniwa Fuyu yang mengatakan-

'Jika terjadi apa-apa denganku, jangan pernah putuskan ikatan kalian yang sudah lama terbentuk... jauh sebelum aku datang ke tempat ini.'

"Wah.." Nikkari seperti terkagum, "Hebat sekali, kukira kau sudah lupa perkataanmu yang dulu itu."

"Seorang manusia konon dikatakan bisa berenkarnasi, tuan.. jika mereka meninggal dalam keadaan yang sangat sakit, maka dikehidupan selanjutnya, ia akan bahagia."

"Darimana kau tahu, Juzumaru san?" jelas Fuyu bingung, kenapa tiba-tiba Juzumaru yang masih mengenakan pakaian tempurnya langsung menghampirimu yang tengah menyulam di beranda. Dan menghalangi cahayamu,

Sang Tenka Goken hanya tersenyum penuh arti,

"Percayalah tuan."

Teringat pada perkataan Juzumaru tempo hari, kau mulai menyambungkan suatu asumsi yang bisa jadi bukti perkataanya,

"Tunggu. Jadi, maksudnya-

Kau meliriknya dengan ujung netramu dibalik jutaan helai sanguine yang mengintip, jelas sekali kedua sudut bibir kesatria itu sedang tertarik untuk membentuk sebuah senyuman. Tak lama setelah itu, ia memutuskan untuk berdiri dan membuatmu secara spontan untuk menoleh padanya,

"Sudah larut." Katanya seraya mengambil langkah awal untuk menjauh, "aku ingin tidur. Kau juga tidurlah, Aruji."

Tidak.

Ini bukan sesuatu yang benar!! Tangannmu mengepal dibalik lipatan lengan haori yang melindungimu dari udara dingin. Nikkari adalah tipe pedang yang tidak suka berterus terang, dan seringkali membohongi dirinya sendiri. Bodoh sekali, kau benci orang yang seperti itu. Orang yang berlagak baik-baik saja namun tidak ada yang mendegar isi hatinya. Bahkan dirinya sendiri seolah mengabaikan suara dari dalam dirinya.

"Nikka!"

Angin membawa suara lantangmu untuk sampai pada telinganya. Membuat empunya surai sewarna lumut itu meliuk indah walau badannya tidak ikut memutar hanya untuk sekedar melirik sang saniwa yang masih berdiri kaku dan ragu untuk memulai langkah. Wakizashi itu baru berhenti ketika kau memekik 'aku bilang berhenti' untuk yang kedua kalinya.

"Benarkan..? 'Nikka' adalah panggilan Saniwa Fuyu untukmu?"

Wakizashi itu masih memamerkan punggungnya yang dibalut yukata hijau kebiruan dengan pola dedaunan,

"Jika aku bilang 'iya', apa kau akan berhenti bertanya? Dan jika aku bilang 'tidak', apakah kau akan mengecapku sebagai seorang pembohong?"

"Bodoh sekali. Bodoh!" tukasmu, "kenapa musti bertele-tele begitu?"

"Aku berusaha agar pembicaraan ini menemui titik pemecah masalahnya. Itu saja."

Bola matamu berputar jengah, menghela napas kau mengambil langkah untuk menyamai kesatriamu yang satu itu. Ingin menjorokinya namun niat itu kau urungkan. Takut-takut malah setan perempuannya yan kau sentuh, kan bahaya.

"Kau yang muter-muter!"

Jika tidak salah dengar, kau mendengar tawa kecil dari seseorang yang masih berdiri di sebelahmu,

"Yasudah.." putusmu, "Aku lebih baik tidur. Tidak akan ada habisnya beradu argumen denganmu. Sama seperti saat itu!"

Kau menghentakkan kaki pada dua langkah pertama. Kesal. Jika bisa, mungkin tanah yang kau pijaki saat ini langsung membuat lubang karena saking kuatnya kau memberi tekanan pada kakimu,

"Wah.." katanya, kau acuh dan terus melangkah, "sepertinya usahaku untuk bertahan sejak saat itu sia-sia ya. Mengingat renkarnasinya sangat mengacuhkanku sekarang."

"Masa bodoh." ucapmu sambil berlalu, "Aku saniwa yang ke-31 yang memegang benteng ini. Iya! Usahamu sia-sia! Kenapa kau suka sekali untuk tid-

Sumpah serapah yang kau keluarkan lewat mulutmu tiba-tiba terputus. Jelas saja, karena entah sejak kapan kesatria itu berjalan membelakangimu, menarik lenganmu dan membenamkan wajahmu dalam dadanya,

"Tidak berterus terang, maksudmu?"

Kau yang menyadari hal itu memukul kedua lengannya pelan sampai tak sadar bahwa matamu mulai memanas dan menjadi syarat awal air mata untuk turun membasahi kedua pipi, "Bodoh.. dasar bodoh!"

Ada yang baru kembali dari pertempuran malamnya. Dia hanya ingin langsung memberikan laporan kepada sang saniwa yang kemungkinan masih melek pada jam-jam hampir ke tengah malam. Suara binatang malam memcah keheningan seiring dengan langkah kaki yang menyusuri lorong untuk menuju ruang saniwa dengan surai seputih saljunya.

"Hee.. berantakan sekali.." adalah kalimat yang pertama kali lolos dari bibirnya ketika satu kaki mulai masuk pada sebuah ruang besar yang cukup tak sedap dipandang. Ditambah dengan seorang gadis yang membelakanginya tak berdaya dengan yukata tidurnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai begitu saja di atas tatami,

"Kamu tidak mampu untuk membereskan ruanganmu sendiri? Hm?" celetuknya sambil memungut beberap buku dan gulungan yang terabaikan begitu saja di atas tatami yang lain.

"Kamu tidak bisa tidak mengomentariku ya.. sekali saja?"

Kesatria itu tertawa kecil, namun tidak menghentikan aktivitasnya untuk sekedar merapihkan tempat bernaung pribadi sang saniwa. Langkah kakinya berpindah menuju sisi dimana sang saniwa terbaring layaknya prajurit yang tertembak. Ia menatap lurus jauh pada hutan yang gelap-dan kebetulan sang rembulan juga enggan membagi cahaya birunya. Angin makin terasa berhembus kala ia yakin bahwa hari sudah berganti beberapa detik yang lalu, "Dan lagi, angin malam tidak baik untuk wanita. Kututup ini."

"Jahatnya... panas tau."

"Bukan begitu, perkataanku benar tadi. Sewagakari tempat ini akan marah jika menemukanmu masih melek dengan kusen terbuka."

Saniwa Fuyu melenguh kecil sembari beranjak dari posisi nyamannya. Menuju futon yang memang belum dilipat sejak ia membuka mata kala mentari menyapa, "aku lupa, jika sewagakari yang kutunjuk minggu ini sudah kembali." ucapnya sambil menyelimuti seluruh tubuhnya. Hanya menyisakan pucuk kepala yang sewarna dengan selimut tebalnya.

Terdengar bunyi bahwa kusen sudah dikunci, Fuyu belum tidur. Kedua matanya masih terbuka. Sampai ada tangan yang menyingkap selimutnya, memperlihatkan jutaan helai sewarna lumut yang begitu dekat dengan aroma mint segar. Gadis itu mengambil sejumput surai hijau untuk didekatkan lagi pada hidung yang berfungsi untuk mencium lebih dalam aroma itu,

"Nikka..."

"Hm?"

Keheningan sempat menyelimuti ruang itu, sampai si saniwa memutuskan untuk kembali membuka mulutnya,

"Tadi.. aku sebenarnya sudah tertidur sih."

"Dan apa yang membuatmu terbangun?" gadis itu bisa merasakan elusan tangan tanpa dihalangi sarung tangan hitam pada pucuk kepalanya, seolah Nikkari sedang mengelus kelinci putih,

"Ada-aku jadi ingin menanyakanmu hal ini.."

"Jika bisa kujawab, maka akan kujawab."

"Tidak! Kamu harus jawab! Aku tidak mau tahu!"

Wakizashi itu memutuskan untuk memutar badan yang sempat membelakangi kekasihnya beberapa saat lalu, untuk mencari maniknya. Manik sebiru air laut dengan kornea menyerupai bentuk keping salju. Tentu, itu adalah perubahan istimewa saat dirinya dianggap mampu mengemban tugas sebagai seorang saniwa.

"Aku mendengarkan.."

"Jadi.. aku kan.. hanya manusia biasa. Aku bisa mati, dan jika suatu saat hal itu berlaku padaku, apa yang akan kamu lakukan?"

"Apa yang-

"Aku tidak menjamin bahwa sesuatu yang disebut renkarnasi itu berlaku padaku.., tapi jika benar manusia bisa berenkarnasi dalam jarak waktu yang bisa dibilang lama, dan jika itu benar terjadi padaku... ingatanku akan sepenuhnya hilang. Apa yang akan kamu lakukan? Menunggu atau melupakanku sekalian?"

Pertanyaan yang keluar seakan mengintimidasi si pendengar. Manik biru itu menatap lurus-lurus dengan rasa ingin tahu atas jawaban yang akan ia dapat. Namun dibalik wajah itu, Nikkari menyadari suatu gestur. Gestur yang akan ia lihat dalam jangka waktu yang tidak akan lama. Wakizashi itu sadar bahwa ada sesuatu yang akan terjadi, 

"Bangun dan biarkan aku mengingat wajahmu."

Mengikuti perkataan si hijau, ia menyingkap selimut. Namun entah kapan manik itu mulai berkaca dan menyerah untuk membendung air yang mendobrak turun dari tempatnya,

"Dan jika hal itu terjadi..," katanya. Kedua tangannya yang bebas masih berusaha mengapus jejak air mata yang membuat kekasihnya terpaksa menunjukkan sisi rapuh dibalik ketangkasaanya saat turun langsung ke garis depan,

Kemudian beralih pada kedua belah pipinya, mengangkupnya pelan agar memaksa kedua maniknya bertemu langsung dengan manik heteronya,

"Maka aku akan berusaha bertahan untuk menunggumu. Dan terus sabar sampai kau kembali mengangkat pembicaraan ini, ehh? Gadis penakut."

"Aku berkata bahwa kau penakut, namun pada nyatanya aku yang takut. Aku takut tidak bisa melihat lagi senyummu itu. Kesalahan terbesarku adalah meninggalkanmu disana. Meninggalkanmu hingga membuat satu bilah tachi berhasil menembusmu. Terpaksa menerima kenyataan bahwa salju turun pada bulan Juli. Aku tidak mau.. tidak ingin daun momiji berterbangan pada bulan lain dimana musim gugur tidak berlaku pada bulan yang seharusnya. Aku pernah gagal melindungi apa yang berarti untukku."

"Kenapa kau tidak bilang ini dari awal?"

"Beberapa minggu setelah kau memimpin tempat ini, bisa kurasakan bahwa sosok yang pernah mengisi hidupku telah kembali. Namun aku tidak pernah sanggup menatapmu untuk waktu yang lama.."

"... kenapa begitu?"

Nikkari menghela napasnya, maniknya mulai mengendar saat ia kembali mulai memandangmu,

"Karena.. karena bayanganmu saat memudar, masih nampak nyata hingga saat ini."

Date of Update ; 28 August 2020,
By ; aoiLilac.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top