Fifty Four.

EMANG bener. kita harus perbanyak interaksi Saniwa dengan Hannya. Ya, gak, Saniwa-san? nwhiii_12

No matter where, no matter what.

Osafune menambah keluarga. Kali ini, datang dengan nama penempa Kanemitsu. Dari garis keturunan yang berusaha diingat oleh wanod yang menjadi dambaan para kesatrianya, Kanemitsu itu anak dari Kagemitsu—putra dari Nagamitsu. Dengan kata lain, kini, Daihannya Nagamitsu dan Azuki Nagamitsu akan dipanggil 'kakek' oleh Goke Kanemitsu.

"Koryuu dipanggil ayah." Kelakar betul Daihannya Nagamitsu petang itu. Di bawah kotatsu yang nyaman saat angin musim gugur yang terasa lebih dingin dari biasanya, ia tak mengindahkan wajah padam Koryuu yang bersembunyi di balik lekuk leher tuannya.

"Begitu, tuh, Aruji. Aku diejek terus sejak kemarin." Si pirang mengadu. Dengan sandiwara air mata palsu yang bisa menipumu bulat-bulat.

"Memangnya itu ayah siapa?"

"Aku."

Daihannya masih tergelak. "Kapan sampainya kira-kira, Aruji?"

"Emm..." Engkau menggulirkan kelereng carmine yang feminin itu ke lain arah, sebelum suara-suara yang satu tingkat lebih ramai menggema ke seluruh benteng. Membuat kalian bertiga saling tukar pandang untuk mencari alasan pasti, dan bergegas keluar dari kamar yang biasa dipakai Koryuu dengan ayahnya untuk merenggangkan badan.

Sosok merah itu telah tiba.

Ia tertawa ramah pada siapa pun yang menyambutnya dalam peluk hangat.

Himetsuru Ichimonji mengembangkan senyum di balik wajah yang senantiasa tak bisa ditebak.

"Jenderal!" Panggil seorang Yagen Toushiro. Tampak senyum kemenangan di wajahnya yang penuh dengan peluh. Sudut hatinya mengharapkan apresiasi dari tuannya, tetapi berakhir lebih dari apa yang ia inginkan. Selama beberapa hari, posisinya sebagai kapten kini terbayar dengan dekapan erat nan lembut dari tuannya.

"Okaeri, Yagen."

"Yagen saja, nih?" celetuk Fudou Yukimitsu dengan percik kecemburuan yang membuat satu benteng tertawa.

Tentulah Fudou Yukimtsu, Taikogane Sadamune, Aizen Kunitoshi, Hyuuga Masamune dan Sayo Samonji mendapat penghargaan yang sama.

Di sisi lain, Koryuu yang mengenggam gelas itu—sampai dibuat pecah gelasnya karena emosi. Tumben. Melihat interaksimu dengan Goke yang easy-going membuatnya cukup nyaman. Dalam benak, Koryuu tidak berpikir bahwa Kanemitsu akan bergabung secepat ini. Namun, terlepas dari apa yang ada, Koryuu menerima dekapan erat dari uchigatana lain.

Koryuu tertawa.

"Selamat bergabung."

Daihannya terkekeh, menyambut surai merah panjang si pendatang. "Selamat bergabung, dan selamat datang."

Dari sana, Goke dengan suara cerah dan pembawaannya yang ringan menjawab sepenuh hati. "Ya ayah, kakek." Katanya. "Sama seperti kalian, aku akan melayani tuanku yang baru."

Leisure

Gelasmu hancur di tangan Koryuu.

Gelas teh yang terbuat dari tanah liat itu.

Sebenarnya tidak masalah dengan itu. Hanya saja, ukuran gelas itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Nyaman dipegang walau teh di dalamnya masih mengepulkan asap putih. Sama seperti asap yang kini hadir dari daun-daun luruh yang dibakar oleh Koryuu dengan Goke untuk membakar ubi manis.

"Huuu—panas-panas!"

"Aku sudah bilang ayah, ini panas."

"Aku tidak dengar." Akunya terdengar jujur yang diselingi tawa kecil. Helai pirangnya mengalun, seperti dedaunan yang tersapu angin sejuk dalam musim yang bergulir. "Ayo coba, Aruji!" Ia memastikan bahwa ubi ini tidak akan melepuhkan oral tuannya, sebelum tuannya menyuap langsung potongan kecil ubi bakar itu dari tangan Koryuu.

"Mhm... manis dan hangat."

"Hm!" Kata si merah. "Kakek mana, ayah?"

"Di tempat gerabah." Si pirang menimpali.

"... Untuk apa?"

"Berkarya."

"Apa?" Goke jadi tergelak karena jawaban itu. "Baiklah. Aku saja yang antar ubi ini padanya. Dan teh di sana."

"Aku saja." Tawarmu pada keduanya. "Aku belum lihat wajahnya juga hari ini."

Goke tak bisa menahan gelombang kekhawatirannya, sementara Koryuu memberi angguk paham saat dirinya masih menumbuk dan mengoyak ubi tersebut dengan bukit merah jambu dan domba-domba putihnya. Koryuu sudah mengenal dirimu, lain Goke yang masih beradaptasi.

"Tidak apa-apa." Kau mengurangi kecemasannya. "Kita keluarga."

Kala itu, Goke melihatmu melenggang ke tempat tujuan. Dengan haori bercorak bangau yang berkelibat.

Leisure

"Hannya, ada ubi bakar."

Sepasang kelereng senja mendapati satu kesatriamu tengah duduk di kursi kayu, dan meja putar dengan tangannya yang terampil membentuk tanah liat yang basah. Mengikuti tindak-tanduk tuannya, sampai ia merasakan tubuh lain yang menubruknya.

"Harusnya aku yang sandaran, tidak, sih?" Tanya ia. Meski begitu, Daihannya tak menolak beban tubuhmu.

"Kamu lagian," Kilah tuannya, "tidak keluar-keluar dari sini. Apa yang kamu lakukan?"

"Berkarya."

Gak tau, capek.

"Ini—buat gelas. Untuk ganti gelasmu."

"Ah, yang benar."

"Ih, makanya dilihat dulu!"

Kalian sama-sama tertawa. Kini, tuan gadisnya duduk di sisi yang kosong. Kepalamu bersandar di lengannya saat saling tukar percakapan. Menggulirkan pandang untuk ubi yang ada, Daihannya berdehem. "Siapa yang bakar itu?"

"Koryuu dengan Goke."

"Loh, memangnya mereka bisa?"

"Loh, memangnya kalau berkebun, kamu pernah membantu Koryuu?"

"Aduh, jangan bawa-bawa itu, dong. Daripada kamu mengusiliku, lebih baik menyuapi itu padaku."

"Mengapa aku harus?"

Bayangan si tachi dengan wajah tuannya yang berlumur tanah liat itu menggugah benak. Dan ia lakukan. Dengan jarinya, ia melukis pipimu dengan tiga garis ke horizontal. "Neko."

"Susah ini bersihinnya." Meski begitu, engkau tetap menyuapinya. Dan tentu, Daihannya begitu menikmati perhatian—dengan paksaan—yang datang dari tuan perempuannya.

"Hmm," Sang wira bersenandung. Sebelum ia mencium pipi tuannya. Tiada nafsu. Iseng. Atau perasaan yang membawa hal-hal negatif dalam pikiran yang bergema. Itu hanya gestur ketulusan yang sering kauterima dari banyak kesatriamu tak peduli di mana pun, apa pun yang terjadi. "terima kasih."

"Sama-sama."

February 16, 2024.
aoiLilac.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top