Eighteen.
I Believe You
Tidak banyak yang tahu.., bahwa Hachisuka Kotetsu yang tsundere itu sangat mencintai saniwanya. Bukan mencintai yang sering disebut-sebut oleh anak muda yang satu dengan lainnya, bukan. Namun mencintai lebih dalam, setulus hati yang ia miliki.
Hari ini sejujurnya, adalah hari yang ditakutkan oleh kesatria itu. Kesatria yang tengah merenung dibelakang benteng. Sendirian. Sementara yang lain menyiapkan semua upacara penyambutan calon saniwa yang baru, kesatria pertama yang dimiliki olehmu ini memilih menyendiri. Pada halaman belakang yang terbilang cukup luas dengan tumbuh-tumbuhan herbal yang di tanam oleh tuannya. Setidaknya, aroma segar dari daun mint yang merayap pada indera penciuman Hachisuka, bisa membuatnya lebih tenang.
Dalam genggaman yang tidak terlalu kuat, terdapat sebuah omamori. Omamori bikinan saniwanya, hadiah saat pertama kali Hachisuka terpanggil ke citadel oleh seorang gadis dewasa berenerjik dan bawel. Ah, mari kita baca kalimat enerjik sebagai petakilan.
"Kenapa disini..?"
Oh tidak. Jantung Hachisuka berdebar dua kali lebih cepat. Kesatria yang suka akan sesuatu yang berkilau itu tegang seketika saat sosok lain dengan kimono berwarna gelapnya duduk mengisi sisi yang kosong tepat disebelahnya,
"Hm? Hachisuka?"
"Iya?"
Oh tidak.., Hachisuka keceplosan menjawab.
"Sedikit lagi.., Saniwa baru akan tiba lho.. tidakkah ingin kau menyapanya? Sama seperti saat kau datang padaku.. dulu."
"Ah-hah." Sahutnya.
Hachisuka berdehem, mengelus tengkuknya untuk sesaat,
"I-iya. Kamu benar.. Cucumu akan menggantikanmu disini, ya?"
"Nah, itu ta-
Perkataanmu terputus.
Hachisuka membelalakan bola mata emeraldnya saat melihat siapa yang membuat sang saniwa terputus kalimatnya. Satu bilah duplikatnya, dan satu kesatria lagi. Satu katana bertipe wakizashi yang tengah memblokir pengelihatan sang saniwa dari belakang. Ya melihat itu, Hachisuka sedikit terkekeh. Lumayan lah, tidak baik menunjukkan kesedihan di depan adik, iya kan?
Tanganmu yang mulai menunjukan keriputnya, meraba pada tangan halus yang bersuhu jauh lebih hangat daripada cuaca yang bersahabat hari ini. Tanpa suara, kau yakin kesatriamu itu tengah memasang wajahnya yang penuh keriangannya,
"Bau laut...," celetukmu, "aah, Urashima anakku ya?"
Tepat setelah perkataanmu selesai, Urashima melepaskan tangannya dan langsung melayangkan protesnya,
"Aruji san mah! Memangnya aku bau laut!?" sambil duduk bersila tepat disebelahmu dan mengerucutkan bibirnya. Segera kau mengacak surai jingganya itu dengan pelan,
"Memang benar kan...... Nagasone?" kau menoleh sekaligus melempar pertanyaan pada sosok kesatria dengan postur tubuh yang jauh lebih besar. Entah sudah berapa puluh kali kau digendong olehnya dulu.
Dia tersenyum dan menggangguk.
"Bisa ikut kami? Kashuu mencarimu. Katanya rambutmu itu ingin disanggul, namun kau menghilang."
Dahimu mengernyit menambah beberapa kerutan baru disana,
"Kashuu.. yang selalu bersama rekannya yang tinggi itu?"
"Yang kamu maksud itu Horikawa.. lain."
Hachisuka yang menjawab. Tangannya digunakan untuk memijat pelipis, pertanda bahwa ia secara tidak langsung menyindimu dengan sebuah ingatan. Ya..., maklumlah Hachisuka. Orang tua suka lupaan, kan.
"Hoo.. bukan ya? Bantu aku berdiri."
Dengan sigap dan cekatan, Nagasone langsung membantumu berdiri. Membiarkan tubuhmu yang mulai membungkuk berjalan begitu dekat dengannya. Ia mengamit lenganmu pelan, dan hal yang sama dilakukan oleh Urashima disisi yang lain,
"Aduh.. berasa jadi orang tua."
"Tidak kok!" Urashima menghibur, "Aruji san orang yang hebat. Benar kan, Hachisuka niichan? Nagasone niichan?"
"Oh tentu!" Nagansone ikut membesarkan, "bahkan Izuminokami bukan tandingan untuk Aruji."
"Heh jangan begitu Nagasone!" kau menyangkal, "Izuminokami itu.. bisa saja mematahkan lenganku dengan mudah."
Kesatria wujud manifestasi pedang dari komandan Shinsegumi itu tertawa. Kemudian sedikit menoleh pada Hachisuka yang masih memamerkan punggungnya dibalik yukata biru kehijauannya,
"Hei, kau tidak ikut?"
"Duluan saja."
Leisure
"Begitukah.. caramu meninggalkan kami?"
Suara lantang dengan nada yang masih tergolong rendah itu terbawa angin menuju telinga. Bibirmu menyunggingkan seulas senyuman, dan tanganmu tidak berhenti naik turun pada kulit tebal batang pohon mannenzakura. Yang mana akan menjadi tempatmu untuk kembali.
Kau memutar tumit, disanalah kesatria pertamamu-Hachisuka Kotetsu-tengah berdiri. Memandangmu dengan sorot matanya yang terbilang cukup tajam,
Namun kedua mata itu mengendar seiring kau memberikan senyum terbaikmu padanya,
"Beginikah caramu.. meninggalkanku?" tuntutnya lagi.
"Tega ya." Putusmu, "Masa orang tua masih dipaksa.. untuk mengurus anak muda.. seperti kalian?"
Hachisuka memperhatikanmu lagi. Tubuh yang mulai membungkuk, rambut yang mulai memudar dan memutih, kulit pipi yang mulai turun serta keriput lainnya. Hachisuka tidak bisa menyangkal bahwa hal itu juga akan berlaku pada tuannya ini. Memang begitulah siklus manusia, kan? Berbeda dengan dirinya atau rekan-rekannya yang notabene adalah katana. Sebuah benda mati yang dihidupkan.
Dia memberanikan diri untuk maju, memegang ujung kimonomu yang berwarna gelap,
"Bukan itu maksudku.. kenapa.. kenapa kamu tiba-tiba meninggalkan acaramu diam-diam dibawah sana?"
Kau tertawa kecil, tali kacamata yang kau gunakan juga sedikit bergerak karena tawa,
"Kulihat kalian sudah mulai.. dekat. Jadi, aku benar-benar harus-
"Tapi bukan begini!"
Dahimu yang sudah berkerut, mengernyit kembali dan mempertambah kerutan yang seharusnya belum ada. Kau mendengar getaran dari suara lantangnya. Apa itu? Hachisuka takut atau bagaimana?
Namun kau tetap membentuk senyum setelah sedikit kaget barusan. Dengan susah payah, kau berjalan mendekatinya. Meraih tangan sebersih susunya lalu menempelkannya sendiri pada kedua pipimu,
"Tega kamu.. membentak orang tua ini?"
"Bukan.. bukan begitu.." katanya. Satu titik air mata bening nan hangat mulai lolos dari batu emerald miliknya. Oh tidak, kau membuatnya menangis, "Aku benar-benar.. tidak akan bisa.. melihat dan.. bercengkrama denganmu lagi."
"Ah, masih kurang ya sampai aku tua begini?"
"Bukan begitu, Saniwa..."
Hachisuka tahu semua tentangmu. Dia tahu kau sudah pernah menikah, kemudian mempuyai dua orang anak. Keduanya perempuan. Anak keduamu-dia pernah memegang kendali benteng saat kau disibukkan dengan kehidupan nyatamu saat itu. Dan kelebihan putri keduamu itu ialah, dia mewarisi kepribadianmu yang santai, namun tetap tegas dan ketat. Malah lebih parah, dia akan sangat marah apabila ada seseorang yang melanggar sebuah aturan.
Lalu karena faktor usia yang membuat sang teman hidup terlebih dahulu kembali pada sang pemilik semesta. Kau tahu hal itu akan terjadi. Kau tidak menyalahkan siapapun, bahkan takdir sekalipun. Kau ikhlas. Dirimu hanya sering-sering duduk sendirian di beranda, membiarkan air hangat terjun bebas dari kedua bola mata yang sewarna dengan benih musim semi milikmu. Tanpa suara, hanya rincing bel yang menemani.
Sampai kau tidak sadar bahwa salah seorang kesatria sudah memelukmu. Membiarkanmu membasahi pakaiannya dengan air mata. Bibirnya membisikkan sebuah kalimat penguat, bahwa dia akan terus berada disisimu, bahkan jika kau berada dalam titik terendahmu.
"Hachisuka.." panggilmu pelan setelah membiarkan keheningan menguasai kalian,
Mendengar namanya disebut Hachisuka kemudian berlutut, "Katakan, apa perintahmu kali ini, tuanku?"
Bukan ini yang kau ingikan. Bukan sebuah perintah yang akan kau keluarkan. Bukan tentang pasukan itu, bukan. Namun tentang sebuah memori, sebuah kenangan manis yang akan kau berikan padanya.
Saat kau terkekeh kecil, angin menyapa ringan wajahmu yang sudah mengalami penuaan. Suara paraumu terdengar olehnya, membuat kepala violet itu mendongah dengan sorot mata penuh pertanyaan,
"Bangunlah.. aku sudah tidak bisa menunduk seperti dulu."
Tidak ingin tuannya menunggu telalu lama dalam masa rentanya, Hachisuka segera berdiri. Menegakkan tulang belakangnya,
"Apa perintahmu kali ini?"
Lagi, kau tertawa namun kali ini dibarengi dengan beberapa kali gelengan kecil. Dengan gerakan lain, kedua tanganmu menuju leher bagian belakang. Memutuskan pengait kalung dengan liontin berbentuk daun. Kalung sudah dilepas, dengan perlaham kau meraih tangan kanan Hachisuka. Tangannya jauh lebih dingin daripada yang sebelumnya.
Bibirnya perlahan mulai membentuk alfabet dari O kecil saat kau memberikan kalungmu padanya,
"Benda ini adalah.. hadiah pertama dari suamiku.. saat ia menyatakan perasaannya padaku, Hachisuka. Artinya.., kalung ini sudah bersamaku.. selama 34 tahun..."
Hachisuka bergeming, tidak lama memang.
"Kamu pernah bilang.. bahwa kalung ini berharga untukmu, kan? Pemberian dari sang kekasih. Lantas kenapa... kamu memberikannya padaku?"
"Oh.. kamu masih ingat, ya?"
Hachisuka memberikan anggukan sebagai jawabannya,
"Kalung ini.. berisi semua kebahagiaan dan kesedihan. Suka cita.. suka duka yang kualami.." jelasmu pelan, hampir berbisik, "sebuah memori, kepingan hitam putih yang akan hilang sendirinya karena termakan usia.. kalung ini adalah bukti nyata.. bahwa aku pernah hidup, Hachisuka."
"Tapi kenapa..?"
Dengan seulas senyum, kau memandang dalam matanya,
"Ini benda berhargaku. Aku menyerahkannya padamu. Aku hanya ingin, kamu menyimpan memori.. tentang orang tua ini."
Angin nampaknya senang me-dramatisir keadaan setiap makhluk. Mereka menggoyangkan daun, memainkan ranting hingga membuatnya menimbulkan suara yang bergesekan. Mengirim suara sesegukan kecil dari seseorang yang berdiri kaku. Tentu saja, Hachisuka sendiri tidak sadar bahwa kedua batu emeraldnya kembali deras menurunkan bulir bening nan hangat,
"Tentu saja! Tanpa dimintapun, aku akan terus mengingatmu, tentu saja! Namun bagaimana-
"Kalian kuat.. dengan atau tanpaku."
Mulutnya berhenti menahan kepergianmu ketika tangan rapuhmu menepuk pucuk kepalanya dengan agak kuat. Membuatnya sedikit terunduk namun setelah itu memandangmu setengah terkejut,
"Kamu orang baik.. Hachisuka.. kamu tahu banyak tentang.. tempat ini. Aku mempercayai sebagai kesatria pertamaku. Kembali kesana, dan bimbing cucuku.. sampai kalian meraih kemenangan."
Setelah kau berkata begitu, Hachisuka melembutkan matanya. Mengingat perkataan yang sering kau keluarkan untuk membakar semangat para kesatria sebelum mepertahankan sejarah,
"Kapan.. kita membiarkan musuh lebih kuat daripada kita? Baik, saniwa. Serahkan padaku."
Kau tersenyum puas, menunduk sampai membiarkan semua rumput segar menjadi pemandanganmu selama beberapa saat. Setelah dirasa cukup, kau kembali menegakkan punggung sebisa mungkin, berusaha meraih tengkuk kesatriamu itu dan saling menempelkan dahi,
"Aku.. pulang, ya?"
Date of Update ; 06 Nov 2020,
By ; aoiLilac.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top