XVIII. Guru dan Murid

Malam telah berlalu, di ufuk timur matahari telah menunjukkan sebagian wajahnya. Di hari yang masih pagi itu, dari berbagai tempat terpisah di belantara Hutan Dedet, puluhan asap putih membumbung di udara. Sebagian asap putih itu adalah milik para pemburu, sebagian lagi adalah milik para pelancong yang kebetulan kemalaman di hutan, yang cukup beruntung tidak bertemu perampok penghuni hutan.

Namun, dari sekian banyak tempat, ada dua tempat yang paling menarik dimana asap putih terlihat. Pertama adalah Lemah Abang. Sedang satu lagi adalah tempat dimana Mayang Sari, Patih Mandala dan Ular Hijau beristirahat. Di tempat yang hanya dipenuhi oleh rerumputan tersebut terlihat sosok Mayang Sari tengah duduk bersila. Kedua mata gadis itu terpejam dan kedua telapak tangannya begitu tenang menempel di atas lutut.

Sementara itu, dua belas langkah di depan Mayang Sari, Patih Mandala tengah duduk sambil memperhatikan gadis itu dengan lamat-lamat. Diantara keduanya terdapat api unggun yang menyala.

"Kau tenang saja, lukanya sudah tidak terlalu parah," kata Ular Hijau sambil melemparkan ubi-ubian ke dalam api unggun.

"Dia itu anak yang kuat. Setelah membuka mata beri dia makan selanjutnya kau tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi," berkata lagi Ular Hijau.

"Aku akan ada di sana jika mencariku," Pria berjubah hijau tersebut menunjuk sebuah pohon asem yang berjarak sepuluh kilometer dari mereka. Kemudian, ia terbang ke pohon tersebut dan mendarat dengan indah di salah satu dahannya.

"Orang itu, apakah dia manusia?" gumam Patih Mandala sambil melihat sosok ular hijau yang sekarang tengah berdiri tegak di atas dahan pohon. Dalam binar mata Patih Mandala tersirat rasa kagum sekaligus heran.

Bagaimana tidak, kemarin malam, begitu ular hijau selesai membantai Nyi Welang beserta bawahannya Mayang Sari tiba-tiba muntah darah dan langsung pingsan. Setelah ketiganya meninggalkan tempat yang telah dipenuhi mayat tersebut, hampir sepanjang malam ular hijau menyalurkan hawa murni pada Mayang Sari untuk meringankan lukanya. Kemudian lanjut berjaga sampai pagi tiba di dahan pohon asem tempatnya berdiri sekarang.

Saat Patih Mandala bangun pria berjubah hijau itu meninggalkan sejenak tempatnya berjaga dan tidak lupa meminta Patih Mandala untuk menjaga Mayang Sari. Dan begitu kembali ia sudah membawa ubi-ubian yang sekarang sudah berada di perapian. Lalu sekarang, ia kembali lagi ke tempatnya untuk berjaga.

Selain itu, juga ada rasa gusar yang mengganjal di hati sang patih saat melihat ular hijau. Selama ini, meski bukan orang rimba persilatan, tapi Patih Mandala telah banyak mendengar tentang ular hijau. Selain disebut-sebut sebagai pendekar nomor saat ini, ular hijau juga dikenal sebagai seorang berdarah dingin yang tak segan membunuh.

Malam kemarin, Patih Mandala telah menyaksikan sendiri betapa hebat sekaligus sadisnya ular hijau. Anggota kelompok ular yang jumlahnya mungkin lebih dari dua atau bahkan tiga lusin dapat ia bantai tidak lebih lama dari waktu menyeduh segelas teh. Yang lebih mengherankan lagi, Ular Hijau sama sekali tak peduli dengan mayat-mayat mereka yang berserakan. Patih Mandala dengan sangat jelas mendengar saat ular hijau mengatakan jika mayat Nyi Welang dan anak buahnya tak ada bedanya dengan bangkai nyamuk. Ia sama sekali tak peduli jika mayat-mayat itu nantinya bakal dimakan binatang buas atau membusuk dengan sendirinya.

Memang jika Patih Mandala pikir lagi, Nyi Welang dan anak buahnya memang pantas mendapatkan akhir yang seperti itu setelah semua kejahatan yang mereka perbuat. Selain itu juga adalah hal lumrah di dunia persilatan untuk saling bunuh-membunuh. Sebab di dunia itu hukum rimba masih berlaku. Hanya saja, cara main hakim sendiri seperti itu, sangatlah bertentangan dengan prinsipnya sebagai seorang penegak keadilan kerajaan.

Beralih dari ular hijau, Patih Mandala menatap ganti Mayang Sari. Dalam benaknya, pria itu tak habis pikir, bagaimana bisa Mayang Sari si pendekar angin putih yang selama ini ia dengar sebagai seorang pendekar berjiwa lurus adalah murid seorang pendekar sesat seperti ular hijau.

Setelah beberapa waktu berlalu ubi-ubian di dalam perapian sudah matang. Bersamaan dengan itu Mayang Sari membuka matanya. "Astaga, ini bagus sekali, kebetulan aku sedang kelaparan." Setelah berkata Mayang Sari lekas menerjang maju dan menyambar ubi yang baru saja diangkat dari perapian oleh Patih Mandala.

Karena baru diangkat dari perapian tentu saja ubi itu masih sangat panas. Mayang Sari mengunakan kedua tangannya secara bergantian untuk memegang ubi yang masih panas itu. Di saat bersamaan ia juga menggunakan mulutnya untuk meniup-niup ubi. Setelah merasa ubi ditangannya sudah tidak terlalu panas lagi, gadis itu lantas membelahnya jadi dua lalu memakannya dengan lahap. Satu ubi tandas dengan cepat. Seakan belum puas Mayang Sari kembali menyambar ubi lain. Patih Mandala hanya bisa terpaku melihat bagaimana lahabnya Mayang Sari makan. Sungguh gadis lain dari yang lain, begitulah yang sang patih pikirkan tentang gadis di depannya.

"Astaga ini sangat menyenangkan," ujar Mayang Sari usai menandaskan ubi keduanya.

"Ini, minumlah dulu " Patih Mandala menyodorkan wadah air yang terbuat dari ruas bambu.

"Ah, terima kasih, Kanda." Mayang Sari menerimanya lalu menenggak isinya.

"Oh, ya, dimana guru?" tanya gadis itu kemudian.

"Gurumu, ada di sana." Sahut Patih Mandala sambil menunjuk tempat ular hijau berada dengan wajahnya. Kemudian Mayang Sari menghentakkan tubuh, terbang menuju dahan pohon asem ular hijau bertempat.

"Hei, setidaknya bawa satu ubi untuk gurumu," gumam Patih Mandala sendiri seraya mengikuti Mayang Sari dengan netranya yang dalam sekejap sudah berada di samping sang guru.

"Melihatmu bisa terbang kemari dengan lancar sudah pasti lukamu sudah sembuh," ujar ular hijau begitu merasakan kehadiran Mayang Sari di sampingnya.

"Itu semua juga berkat guru," sahut Mayang Sari.

Guru dan murid itu menatap lurus belantara hutan di kejauhan. Dalam beberapa saat hanya keheningan yang ada diantara keduanya.

"Mayang Sari, apa kamu tahu kenapa hutan ini dinamakan Hutan Dedet? Itu karena hutan ini sangat gelap bahkan di siang hari sekalipun. Bagi orang-orang hutan ini sangat menakutkan tapi bagi kawanan penjahat hutan ini justru sangat cocok untuk dijadikan sarang," kata Ular Hijau memecah keheningan

"Ngomong-ngomong sudah berapa lama, ya, aku tidak bertemu denganmu?" tanya Ular Hijau menganti topik.

"Tiga tahun, Guru," jawab Mayang Sari singkat.

Ular hijau menghela nafas panjang lalu tertawa ringan dengan suaranya yang parau. "Ternyata sudah selama itu, ya."

"Terakhir kita bertemu rambut putih guru lebih sedikit dibandingkan yang sekarang." Ular hijau kembali tertawa.

"Benar juga, aku semakin tua. Tapi, siapa sangka gadis keras kepala yang dulu aku temui di jalanan sekarang sudah menjadi pendekar hebat yang sudah punya nama. Padahal aku hanya mengajarimu tiga jurus."

Mayang Sari tertawa kecil. "Guru, dulu bukankah kau pernah berkata, walau cuma tiga jurus jika aku tekun dan rajin melatihnya sangat mustahil untuk orang bisa membunuhku dengan mudah," kata gadis itu kemudian.

"Selain itu, ilmu racun yang Guru ajarkan juga sangat berguna," tambahnya lagi.

"Meski begitu, kau tetap saja kerepotan melawan para cecunguk kelompok ular. Kau tahu kenapa?"

"Itu...," Mayang Sari tertunduk.

"Itu bukan karena kurang berlatih, tapi karena kau melupakan pesanku untuk tidak berbelas kasih pada musuh." Dari saku bajunya ular hijau mengeluarkan sebuah tusuk konde berkepala kupu-kupu.

"Ini punyamu, kan? Aku mengajarimu meracik berbagai racun mematikan tapi kau hanya menggunakan racun pelumpuh tulang pada benda ini. Dan jurus pedang perusak nadi yang harusnya kau arahkan pedangmu pada urat nadi lawan malah kau arahkan ke jaringan otot yang sama sekali tak membahayakan nyawa."

"Maaf Guru." Kepala Mayang Sari makin tertunduk

Ular hijau melemparkan tusuk konde di tangannya lurus ke depan. Dengan cepat tusuk konde tersebut melesat lalu mengenai seekor tawon yang baru saja lewat sebelum akhirnya menancap di batang pohon bersamaan dengan tubuh si tawon.

"Yah, mau bagaimana lagi selain keras kepala kau juga seorang gadis yang memiliki hati lembut." Mendengar itu Mayang Sari langsung menoleh ke ular hijau sambil melemparkan tawa kecil.

"Ngomong-ngomong bukankah sudah lama kau meninggalkan rumah? Apa kau tidak rindu?" tanya ular hijau menganti topik.

"Aku? Rindu rumah? Omong kosong." Mayang Sari kembali memandang di kejauhan. "Bukankah guru sudah tahu tempat itu? Di sana sama berbahaya seperti rimba persilatan. Daripada mati seperti burung dalam sangkar di tempat itu, aku lebih memilih untuk pergi. Sekalipun nantinya mati juga, setidaknya aku mati sebagai mahluk yang bebas."

Mendengar itu ular hijau sontak tertawa keras. Saking kerasnya suaranya yang parau itu bahkan sampai bisa di dengar oleh Patih Mandala.

"Itu baru muridku!" puji laki-laki berjubah hijau tersebut kemudian.

"Selain itu, kepergianku dari rumah juga untuk mencari guru."

"Mencariku?"

"Memang kita guru dan murid sangat jarang bertemu. Paling tidak setahun tiga sampai empat kali saja, itu aku paham karena Guru adalah orang yang sibuk. Namun, waktu itu sudah setahun Guru tidak menemuiku dan dari dunia persilatan pun juga tak terdengar berita apa-apa soal Guru. Aku pikir sesuatu yang buruk telah menimpa Guru. Makanya aku memutuskan untuk pergi dari rumah untuk mencari Guru." Mayang Sari menghela nafas sejenak.

"Namun mencari keberadaan Guru ternyata sama susahnya dengan mencari jarum dalam jerami. Dan yang ada, di sepanjang perjalanan yang kutemui hanyalah sekelompok orang-orang biadap." Mayang Sari kembali mengambil nafas panjang lalu ia hembuskan dengan cepat.

"Tapi siapa sangka, setelah pencarian panjang akhirnya aku bisa bertemu Guru di tempat ini dan Guru juga masih dalam hebat seperti dulu, selain rambutmu yang putih bertambah banyak," lanjut gadis itu dengan senyum merekah.

Ular hijau terkekeh pelan. "Entah aku harus merasa senang atau tersinggung karena dikhawatirkan oleh anak kecil sepertimu." katanya kemudian.

Ular hijau memutar tongkatnya lalu ia tancapkan ke batang pohon asem. Setelahnya sambil berdiri ia menyandarkan punggungnya pada tongkatnya yang tertancap di pohon. Sedang kedua tangannya ia lipat di dada.

"Yah, karena kau sepertinya sudah baikan aku mau tidur sebentar. Bangunkan aku setelah tengah hari atau kalau ada bahaya. Kita akan melanjutkan perjalanan usai makan siang." Habis berkata pria berjubah hijau tersebut langsung memejamkan matanya. Itu sebenarnya bukan sebuah posisi yang nyaman untuk tidur, setidaknya untuk manusia pada umumnya. Namun, sepertinya untuk orang seperti ular hijau, hal itu bukan masalah besar. Dalam hitungan detik saja pria tersebut langsung terlelap.

End.....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top