III. Pendekar Angin Putih, Mayang Sari

Setelah beberapa kali berjumpalitan di udara Macan Klawu mendarat tepat di hadapan si gadis baju putih. Lalu, tanpa banyak kata lagi ia ayunkan golok besar di tangannya dari atas ke bawah. Golok Macan Klawu belum terayun dengan sempurna, akan tetapi si gadis baju putih sudah merasakan angin yang begitu menekan. Maka dari itulah ia
tidak mau sembarangan menahan golok mengunakan pedangnya. Dengan sekali hentakan si gadis menggeser tubuhnya ke samping sehingga golok Macan Klawu hanya mengenai tempat kosong.

Namun, Macan Klawu tidak mau melepaskan gadis dengan jepit rambut berbentuk kupu-kupu di kepala itu begitu saja. Setelah mengangkat goloknya kembali, Macan Klawu berlari memburu si gadis sambil mengayunkan goloknya dari kanan ke kiri, kiri ke kanan terus menerus. Sementara itu si gadis baju putih cuma bisa mundur untuk menghindari sabetan golok itu. Yang menjadikan jurus golok Macan Klawu begitu mengerikan selain karena ukuran golok yang besar juga karena Macan Klawu mengaliri goloknya dengan tenaga dalam. Dan tentu saja tenaga dalam yang dimiliki Macan Klawu adalah tenaga dalam tingkat tinggi yang bahkan anginnya saja sudah cukup untuk menekan lawan.

Tekanan yang diberikan Macan Klawu benar-benar luar biasa. Meski ayunan goloknya sama sekali tidak mengenai target, tapi hembusan angin yang ditimbulkan memaksa gadis berbaju putih hanya bisa mundur. Sampai pada akhirnya langkah gadis berbaju putih harus terhenti karena terhalang sebuah pohon. Senyum Macan Klawu mengembang. Dipercepat langkah kakinya serta diperkuat ayunan goloknya. Namun, dengan sekali hentakan kaki ke tanah dilanjutkan satu hentakan lagi ke pohon, si gadis baju putih melesat ke udara. Sambil bersalto beberapa kali ia terbang melewati Macan Klawu. Dan begitu mendarat, ia langsung berbalik dan menghunuskan pedang. Macan Klawu yang mengetahui lawannya telah lolos pun segera membalik badan, tapi sayangnya ia kalah cepat. Saat ia sudah berbalik dengan sempurna tahu-tahu pedang si gadis baju putih sudah menancap di dada kanannya.

Namun, Macan Klawu bukanlah pendekar kemaren sore yang gampang gentar begitu terkena senjata lawan. Dikumpulkannya tenaga dalam untuk menahan agar lukanya tidak keluar darah. Di saat bersamaan dia juga mengumpulkan tenaga dalam di tangan kirinya. Kemudian ia hantamkan tangan itu pada pedang si gadis yang masih menancap di dada kanannya. Beruntung si gadis buru-buru mencabut pedangnya serta mundur beberapa langkah ke belakang, kalau tidak, mungkin ia akan kehilangan senjata yang ia miliki. Sebab begitu serangan Macan Klawu tadi kena, pedang si gadis bakal patah jadi dua.

Macan Klawu mendengus, lalu goloknya kembali diangkat ke udara, kali ini menggunakan dua tangan. Setelah itu ia putar-putar golok itu layaknya gasing, makin lama makin cepat. Debu serta dedaunan beterbangan di udara akibat hempasan angin yang ditimbulkan oleh putaran golok. Namun, lawannya sama sekali tak gentar. Malahan gadis yang umurnya masih belasan tahun itu menantang dengan menggerak-gerakan jari telunjuknya.

"Ha...!" Setelah mengeluarkan suara bentakan Macan Klawu terbang ke udara. Ia menerjang ke arah gadis berbaju putih sambil mengayunkan golok. Sayangnya, serangan Macan Klawu kembali mengenai tempat kosong sebab si gadis sudah lebih dulu menggeser tubuhnya ke belakang. Dan sebelum Macan Klawu melakukan serangan susulan, si gadis sudah terlebih dulu meluncur ke depan dengan gerakan zigzag. Perlu diketahui begitu si gadis meluncur secara zigzag kecepatannya akan bertambah tiga sampai lima kali lipat. Gerakannya sulit untuk ditangkap mata dan begitu dia lewat, hanya hembusan angin saja yang terasa. Dan hal itu yang dialami Macan Klawu. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sosok gadis yang berada di depannya tiba-tiba menghilang, lalu ia merasakan hembusan angin lewat dan tahu-tahu si gadis sudah berada di belakangnya. Tidak hanya itu, terdapat juga luka memanjang di bagian samping perutnya, walupun itu bukan luka yang dalam dan mungkin bisa disebut hanya sebuah goresan.

Belum juga Macan Klawu dapat mencerna apa yang terjadi, si gadis sudah kembali menorehkan luka di kakinya. Kali ini lukanya cukup dalam, kalau tidak ia gunakan golok untuk menopang tubuh mungkin Macan Klawu akan terjatuh. Namun rangkaian serangan dari si gadis belum selesai. Dengan beruntun si gadis melayangkan tendangan pada kaki, rusuk dan leher Macan Klawu. Lalu, ia mengakhiri serangan dengan tendangan sambil memutar tepat ke kepala Macan Klawu sampai membuat tubuh pria itu berjumpalitan sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah dengan keras.

Perih, pusing, sesak itulah yang dirasakan Macan Klawu. Akan tetapi pria itu menahan semuanya dan mencoba untuk bangkit kembali. Sayangnya, sebelum hal itu terjadi pedang gadis baju putih sudah menempel di lehernya.

"Menyerahlah, kau sudah kalah," kata gadis itu kemudian. Macan Klawu menatap gadis itu dengan nyalang.

"Bawa pergi seluruh anak buahmu selagi aku berbaik hati!" Setelah berkata demikian si gadis menendang Macan Klawu sampai membuat tubuhnya melesat menyusur tanah beberapa meter jauhnya.

"Kakang!"

"Kakang!"

Beberapa anak buah Macan Klawu yang masih bisa bergerak berlari mengerumuni serta membantunya berdiri.

"Gadis jahanam! Kau telah berurusan dengan kami kelompok harimau, salah satu penguasa Hutan Dedet. Jadi bersiaplah selamanya kau tidak akan keluar dari hutan ini kecuali jadi bangkai!" Setelah memberikan ancaman Macan Klawu bersama anak buahnya mengundurkan diri.

Namun, ancaman Macan Klawu tadi hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri saja bagi gadis berbaju putih. Gadis itu tampak tak peduli sama sekali. Usai menyarungkan pedangnya kembali gadis itu melesat ke udara. Ia terbang ke tempat dimana ia tadi meletakkan tubuh Patih Mandala. Setelah melepaskan seluruh ikatan di tubuh Patih Mandala gadis itu membawanya turun ke tanah.

"Nyisana, aku sangat berterima kasih atas pertolongannya," berkata Patih Mandala.

"Ah, itu bukan masalah besar," sahut si gadis sambil mengembangkan senyum lebar.

"Tidak, Nyisana___"

"Berhenti, Kisanak," potong gadis berbaju putih. "Jangan panggil aku Nyisana soalnya itu terdengar aku sudah sangat tua padahal umurku baru sembilan belas tahun." protesnya yang seketika membuat dahi Patih Mandala mengerut. Gadis yang aneh, setidaknya begitulah yang Patih Mandala pikirkan tentang gadis itu. Namun, laki-laki berkepala tiga itu tidak terlalu ambil pusing karena ia pernah dengar jika orang-orang dari dunia persilatan kadang memang memiliki tabiat aneh.

"Kalau begitu bagaimana kalau aku panggil Dinda saja," usul Patih Mandala.

"Ah, itu terdengar bagus," si gadis berbaju putih menyetujui.

"Kalau begitu Nyi__, maksudku Dinda juga harusnya tidak memanggilku kisanak, walaupun umurku sudah cukup tua tapi aku tidak setua itu untuk disebut aki-aki." Seketika gadis baju putih tertawa, lalu setelah tawanya terhenti ia berkata "kau benar, karena kau memanggilku dinda biar adil aku panggil kau kanda, bagaimana setuju?"

"Gadis ini memang benar-benar aneh," pikir Patih Mandala. Akan tetapi, jauh dalam hatinya ada rasa senang dengan sebutan Kanda yang dikeluarkan oleh gadis berbaju putih.

"Baik, setuju." Lalu tawa keduanya pun meledak. Entah apa yang sebenarnya menjadikan hal itu lucu.

Tawa keduanya sempat terinstrupsi oleh suara perut masing-masing yang berbunyi cukup keras sehingga bisa didengar satu sama lain. Keduanya saling pandang lalu kembali tertawa. Bahkan lebih keras dari sebelumnya.

"Kanda, ikutlah denganku! Kebetulan aku sedang memasak burung yang cukup besar. Sebenarnya sambil menunggu masakanku matang aku tadi jalan-jalan sebentar untuk mencari buah-buahan sebagai pencuci mulut, tapi siapa sangka aku justru bertemu penjahat-penjahat yang ingin membunuh Kanda," kata gadis itu usai tawanya mereda.

"Aku tidak tahu bagaimana berterima kasih pada Dinda karena tidak hanya menyelamatkan nyawaku tapi juga mau membagi makanan denganku," balas Patih Mandala.

"Ah, tidak usah dipikirkan," setelah berkata demikian si gadis mulai berjalan dan Patih Mandala mengekor di belakangnya.

"Oh, ya, aku hampir lupa menanyakan nama Kanda,"

"Mandala, namaku Mandala,"

Si gadis berhenti lalu berbalik. Dipandanginya Patih Mandala dari atas sampai bawah. Dahinya mengerut.

"Apa Kanda adalah Patih Mandala yang terkenal itu? Salah satu dari tiga pilar Kerajaan Menjangan Agung?" tebak si gadis.

"Dinda, tidak salah itu memang aku." Seketika saja si gadis melompat kegirangan sambil bertepuk tangan. Dan tentu saja hal itu membuat Patih Mandala bingung.

"Astaga, mimpi apa aku semalam bisa bertemu orang sehebat, Kanda," kata si gadis dengan mata berbinar.

"Ah, maaf atas ketidak sopananku, terimalah salamku Gusti Patih" lalu si gadis membungkukan kepala dan menangkupkan kedua telapak tangan.

"Tidak usah seformal itu aku jadi tidak nyaman. Dinda, boleh kok memanggilku Kanda."

"Begitukah? Kebetulan aku juga lebih senang memanggil Gusti Patih dengan sebutan Kanda," kata si gadis sambil tersenyum lalu ia berbalik dan kembali berjalan. Sementara Patih Mandala mengikuti sambil geleng-geleng kepala karena segala keanehan tingkah si gadis.

"Dinda sendiri siapa namanya?" ganti Patih Mandala bertanya.

"Mayang Sari," jawab si gadis.

"Mayang Sari? Sepertinya aku pernah dengar nama itu," gumam Patih Mandala.

"Mayang Sari si pendekar angin putih, apakah itu Dinda orangnya?!" seru Patih Mandala setelah sekian lama berpikir.

"Wah, aku tidak menyangka Kanda tahu tentang aku."

"Aku memang sibuk dengan urusan negara, tapi bukan berarti aku tidak tahu sama sekali berita dari dunia persilatan. Lagipula siapa yang tidak tahu Mayang Sari si pendekar angin putih salah satu dari lima pemuda-pemudi unggul."

Lima pemuda-pemudi unggul merupakan gelar yang diberikan oleh orang-orang dari dunia persilatan untuk pendekar-pendekar muda di bawah umur tiga puluhan yang berhasil menggegerkan dunia persilatan dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya gelar pemuda-pemudi unggul hanya dimiliki oleh empat orang. Namun setelah Mayang Sari terjun ke dunia persilatan ia menjadi orang kelima yang memiliki gelar itu.

"Orang-orang itu terlalu melebih-lebihkan. Aku baru terjun ke dunia persilatan dua tahun lalu mana mungkin bisa disandingkan dengan pemuda-pemudi hebat itu," kata Mayang Sari merendah.

"Aku rasa tidak, Dinda. Melihat bagaimana Dinda bertarung dengan para penjahat tadi, aku pikir aku setuju dengan mereka. Dinda memang pantas disebut sebagai pemuda-pemudi unggul," ujar Patih Mandala.

"Ah, itu dia kita sudah sampai!" seru Mayang Sari tatkala melihat tumpukan batu hitam yang mengepulkan asap. Itu sebenarnya hanya batu biasa akan tetapi karena dibawahnya terdapat arang batu-batu itu berubah warnanya jadi hitam.

Mayang Sari mematahkan ranting pohon lalu ia gunakan untuk membongkar tumpukan batu tersebut. Selain arang ternyata ada gumpalan daun pisang yang terdapat di bawah tumpukan batu. Gumpalan daun tersebut warnanya sudah serupa dengan arang, hitam. Mayang Sari cepat-cepat membuka gumpalan daun pisang tersebut. Sialnya apa yang terbungkus di dalam daun itu warnanya juga sudah sehitam arang.

"Sial!" umpat Mayang Sari.

"Anu, Dinda sepertinya itu sudah tidak bisa dimakan."

End...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top