Chapter 3

Napas memburu terdengar di tengah rimbunnya hutan. Medan yang menanjak membuat tiga avatar—Leo, Xion dan Wilwil kelelahan. Saat ini tiga avatar tersebut tengah berjalan menuju gubuk di atas bukit guna mencari biji timun dan jarum.

Setelah bermenit-menit mendaki bukit, ketiga avatar itu akhirnya menemukan sebuah gubuk tua. Mungkin itu adalah gubuk yang dimaksud oleh petapa.

Melelahkan, pikir Leo sembari mengatur napas. Tak menyia-nyiakan waktu, Leo berserta dua avatar lainnya segera memasuki gubuk tua tersebut, berharap menemukan bahan yang mereka cari.

Sekian menit mereka mencari, namun biji timun dan jarum tak kunjung ditemukan. Malah, Leo menemukan garam yang tersimpan dalam bambu. Namun, bukankah sang Petapa berkata bahwa garam dan terasi ada di gua dekat sungai? Atau mungkin petapa itu salah dalam menyebutkan tempat?

"Apa yang kalian lakukan di gubuk kecilku ini, Anak Muda?" Sebuah suara serak berhasil membuat ketiga avatar itu seketika menghentikan aktivitas.

Leo terdiam dengan jantung yang berdegup kencang, sedangkan Xion tampak diam dengan mulut yang terbuka dan sedikit linglung.

"Kalian sungguh tak sopan masuk  rumah orang sembarangan!" Seorang nenek bungkuk bersuara serak menatap satu per satu avatar itu.

"Ka-kami ...." Leo ingin bersuara tapi entah mengapa suaranya terasa tertelan begitu saja.

"Kami sedang mencari benda ajaib berupa biji timun, jarum, garam dan terasi," celetuk Xion cepat, membuat sang Nenek menatapnya. Sungguh, Leo tak mengerti mengapa Xion dapat berbicara dengan lancar, sedangkan dirinya tidak demikian.

"Ajaib?" Sang nenek menyipitkan mata menatap ketiganya. "Kalian salah tempat, Nak. Di gubuk ini tidak ada barang yang kalian cari!"

"Benarkah? Anda tidak sedang mencoba berbohong, kan?" Wilwil  membalas tatapan memicing nenek itu. "Kakek Petapa sendiri yang mengatakan, kami harus mencari bahan itu di sini."

"Untuk apa manusia tua ini berbohong? Coba kunjungi gua yang ada di ujung sana, mungkin di sana ada barang yang kalian cari." Nenek itu berujar sembari menunjuk lahan yang ditumbuhi tanaman pangan. "Kalau tidak ada, kalian bisa cari di pantai."

"Untuk jarum dan terasi coba kalian ke desa di pelosok hutan, kudengar di sana ada penjual barang magis. Kupikir jarum dan terasi adalah salah satunya." Nenek bungkuk itu berujar sembari menatap ke luar gubuk.

"Apakah Anda bisa dipercaya? Anda mungkin saja sedang menipu kami!" Wilwil mencurigai nenek tersebut. Leo menarik pelan ujung baju avatar bercapil itu. Ia tidak ingin Wilwil termakan emosi.

"Kupikir nenek itu tidak berbohong," bisik Leo pada Wilwil. Xion pun mengangguk menyetujui perkataan Leo.

Wilwil mendengus kemudian melengos, ke luar gubuk. Leo dan Xion saling melirik, kemudian keduanya tersenyum canggung pada sang Nenek.

"Nek, terima kasih atas informasinya. Kalau begitu kami permisi," ujar Leo hati-hati. Setelah berpamitan Leo dan Xion segera menyusul  Wilwil.

"Jalanmu cepat sekali!" protes Leo pada Wilwil.

Wilwil menghentikan langkahnya, lantas berujar, "Aku pikir kita harus bergerak cepat. Jadi lebih baik kita berpencar saja."

"Tapi—"

"Kurasa bug di gim ini semakin parah. Lihat, bahkan petapa itu memberi informasi yang salah. Bukankah semakin ke sini gim ini semakin tidak benar?" potong Wilwil ketika Xion baru saja hendak bicara.

Leo terdiam, benar yang dikatakan Wilwil, gim ini semakin lama semakin tak jelas. Dia menghela napas sembari menatap Xion yang tampak sedang protes pada Wilwil. Avatar bermata sipit itu tidak ingin mereka berpencar. Dia bersikeras ingin mencari bahan-bahan itu bersama-sama, apa pun yang terjadi. Namun, akhirnya Xion kalah berdebat dengan Wilwil.

"Tak apa Xion, nanti kita pasti bertemu kembali setelah mendapat bahan yang kita perlukan," bujuk Leo sembari menepuk pelan bahu Xion. Sedangkan Xion sendiri hanya mengangguk pasrah, meski masih ada sedikit rasa dongkol di dadanya.

Ketiganya akhirnya berpencar sesuai kesepakatan. Leo pergi ke desa, Xion pergi ke pantai, dan Wilwil pergi ke gua.

Leo terdiam sejenak melihat punggung dua teman barunya itu hilang ditelan pepohonan. Baiklah, sekarang ia harus segera pergi mencari penjual di desa untuk mendapatkan jarum yang dimaksud Kakek Petapa itu.

Langkah Leo semakin melebar saat titik letak desa—di mana jarum berada—dengan titik keberadaannya hampir bertemu. Matanya juga tidak beralih dari titik keberadaan Wilwil  yang semakin menjauh, tetapi belum juga menghilang. Pandangannya kembali pada rimbunnya hutan. Terdengar sayup-sayup suara percakapan dari jauh.

Leo berlari, tangannya menyibak semak yang seolah menyembunyikan cahaya dari balik gelapnya hutan. Leo mengerjap. Cahaya merangsek cepat hampir membuat Leo buram. Ia menatap sekeliling. Dilihatnya sebuah desa dengan banyak penduduk. Pertokoan berjajar sepanjang mata memandang. Leo senang, ia berhasil menemukan desa. Mereka berucap alakadarnya. Yang artinya, tak guna bertanya pada NPC, karakter non pemain yang ada. Mereka hanyalah bot kaku.

Namanya juga uji coba, pikir Leo.

Ia menelusuri setiap toko. Leo menilik peta kembali, titik temu terlihat menyempit. Dan ia harus menemukan toko jarum dengan caranya sendiri. Ia mendekat pada tukang pandai besi. Leo meraih sebiji pisau kecil dan menyerahkan beberapa koin. Baru para penjaga toko bertanya kemana tujuan Leo. Melihat sebuah celah, Leo bertanya keberadaan toko jarum. Sesuai perkiraan, pedagang itu tahu dan menjawab pertanyaan Leo dengan lancar.

Leo berlari menuju tempat yang penjaga pandai besi katakan. Toko jarum berada bersebelahan dengan toko pakaian.

"Permisi!" Leo berucap lalu mengatur napas yang tersendat sebab larinya barusan. "Apakah di sini menyediakan jarum?"

Ia seorang nenek tua keriput. Pakaian tebal hitam pekat sepadan dengan kantung mata di wajah pucatnya. Ia tersenyum agak kurang ramah dan berjalan memasuki toko kepunyaannya dengan bungkuk. "Jarum seperti apa yang kamu cari, Nona?"

Leo bingung. Tidak ada kotak jawaban yang muncul di hadapannya. "Anu ... yang kecil, mungkin. Dan yang banyak," jawab Leo asal. Gadis itu sedikit mendekat pada sang nenek.  "Aku butuh untuk menghabisi raksasa jahat," bisiknya sepelan mungkin.

Nenek itu tersenyum dengan sedikit misterius. "Ini untuk tiga ratus koin." Nenek menyerahkan kantong kain warna coklat yang Leo yakini berisi banyak jarum.

"Untung masih tersisa. Aku boros sekali soal koin. Sulit mendapat koin di sini." Leo menerima bungkusan itu.

"Hati-hati," ucap nenek kembali.

Senyum Leo mengembang. Di bawah sinar mentari, ia menjawab dengan yakin, "Tentu!"

Di perjalanan kembali ke hutan, Leo memeriksa sisa koin yang dimilikinya. Hampir habis untuk senjata-senjata yang bahkan tidak ia pahami kegunaannya. Juga untuk menaikkan kemampuan, dan beberapa pasokan ramuan.

Leo berlari dengan pasti. Senyum tak luntur dari bibir manisnya. Di bawah percikan cahaya yang merambat di antara dedaunan, langkah Leo mengembara. Ia ingin segera menemui Wilwil dengan mengikuti titiknya. Menyampaikan kabar baik dan kembali bertualang bersama.

Namun semuanya sirna. Atmosfer terasa mencekik dengan udara yang seolah menipis. Iris tipisnya membola saat orang terdekatnya berada dalam genggaman si raksasa.

Dengan tangan gemetar, Leo memegang kuat-kuat pisau miliknya. Ia panik setengah mati. Terdengar giginya bergemeletuk dengan ritme tak menentu. Langkahnya gusar dan pandangannya hampir mengendur. Raksasa itu terlalu kuat. Walau begitu, tekadnya untuk menolong Wilwil telah kukuh.

Leo berlari sekuat yang ia bisa, menerjang apa pun yang ada di depannya. Mengayunkan pisau, lalu melompat ke arah raksasa dengan amukan membara.

Saat raksasa menghindar, Wilwil  terlepas dari genggamannya. Perhatian Leo terpecah. Antara Wilwil dan raksasa. Hingga raksasa mengayunkan tangan besarnya pada Leo, baru Leo dapat menghindar dan berlari ke arah Wilwil. Lelaki itu masih hidup. Leo membuang napas lega.

"Hati-hati, Leo! Raksasa itu berbahaya," ucap Wilwil. Ia berdiri dengan bantuan Leo.

"Kalau kita serang bersama. Kita pasti bisa." Leo mulai mengambil langkah ke titik buta sang raksasa, sementara Wilwil tetap bersiaga di tempatnya semula agar Leo bisa mendapatkan kesempatan untuk menyerang dari belakang.

Leo mengganti senjatanya dengan pedang panjang yang beracun. Dengan sedikit mengendap-endap, ia bergerak mendekati raksasa yang fokusnya masih teralihkan ke arah Wilwil. Namun, nahas, raksasa itu menyadari kehadiran Leo dan langsung beralih menyerangnya.

"Raksasa bodoh! Berani-beraninya kamu mengabaikanku!" hardik Wilwil sembari melompat untuk menyerang sang raksasa begitu ia mengetahui bahwa Leo berada dalam bahaya. Namun, raksasa itu segera berbalik kembali, mengayunkan cakarnya dan melukai tubuh Wilwil dengan cukup dalam, hingga membuat avatar itu terlempar jauh membentur pohon.

Melihat sang raksasa yang fokusnya kembali terpecah, Leo segera menggunakan kesempatan itu untuk menebas jari kaki sang raksasa. Sang raksasa meraung kesakitan. Leo kembali menebas apa pun yang terjangkau oleh pedangnya. Raungan raksasa itu semakin terdengar menyakitkan, setelahnya sang raksasa bergerak tidak karuan.

Tak ingin menyerah, Leo terus memberikan serangan, hingga akhirnya raksasa tersebut lari tunggang-langgang masuk ke gua.

Dengan napas terengah, Leo segera mengalihkan perhatiannya pada Wilwil. Kakinya melangkah dengan cepat menuju Wiwil yang saat ini terkapar tak berdaya.

"Wilwil!" seru Leo ketika melihat keadaan Wilwil yang jauh dari kata baik. Dengan perasaan panik, Leo segera mencari ramuan penyembuh pada backpack-nya.

"Leo," bisik Wilwil dengan mata tertutup. "Kamu harus hidup. Kalian harus tetap hidup," lanjut Wilwil lirih, dengan napas yang terputus-putus.

"Diamlah! Kamu harus sembuh. Bertahanlah, kumohon," ucap Leo sembari sedikit mengangkat kepala Wilwil, dan meminumkan ramuan penyembuh pada Wilwil. Ramuan itu telah berhasil Leo berikan pada Wilwil, namun tak ada reaksi apa pun pada tubuh Wilwil. Seharusnya tidak seperti ini, ketika ramuan itu masuk tubuh avatar harusnya reaksi positif muncul pada tubuh avatar yang terluka. Tetapi, mengapa yang ini tidak?

"Jangan seperti ini, bangunlah!" Tubuh Leo sudah berkeringat dingin melihat Wilwil yang menutup mata. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi. "Kamu bilang, kamu Top global 1 di gim ini, tapi mengapa begini saja kamu sudah tutup mata?! Ayo bangun! Bangun!" rancau Leo tak karuan.

"Kumohon bangun. Bangun …," ucap Leo yang semakin melirih. Matanya tampak berkaca-kaca melihat tubuh tak berdaya itu.

Tangan ramping Leo terulur, mencoba menyentuh tangan Wilwil yang tampak terluka. Tepat satu detik sebelum ia berhasil menyentuh Wilwil, tiba-tiba tubuh avatar berbaju surjan lurik itu melebur bak kertas yang terbakar lalu terbawa angin.

Badan Leo membeku melihat tubuh Wilwil lebur dan hanya menyisakan sebuah kantung berisi biji timun yang Wilwil dapatkan dari gua. Tubuh Leo bergetar hebat. Ia tampak begitu linglung. Ini seperti sebuah mimpi buruk, tetapi ini juga terasa nyata!

"Wilwil …," bisik Leo dengan tatapan kosong. Bersamaan dengan itu, sebuah pemberitahuan muncul di hadapannya.

"Avatar Wilwil telah tereliminasi."

Air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata akhirnya jatuh juga. Leo menangis tersedu-sedu. Ia merasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkan Wilwil. Jika saja ia lebih cepat menolong Wilwil, pasti avatar bercapil itu masih ada di sini bersamanya.

Leo memukul dadanya berkali-kali, berharap gumpalan besar di dalam rongga dadanya hilang. Ini terasa sangat menyesakkan. Dengan perasaan yang sangat kacau, avatar berkebaya hitam itu meraih kantong kecil berisi biji timun. Dengan gerakan lunglai, Leo beranjak dari sana dan kembali menuju desa. Selama perjalanan, air matanya tak berhenti jatuh. Bahkan saat dirinya sampai di rumah Timun Mas, ia masih menangisi kepergian Wilwil.

Meski baru mengenal Wilwil, Leo sungguh tak rela jika Wilwil mati begitu saja. Bagaimanapun Wilwil juga teman seperjuangannya di dalam gim ini. Sekarang ia hanya dapat berharap, Xion baik-baik saja. Ia tidak ingin kehilangan satu temannya lagi.

Leo membenamkan wajahnya pada lekukan tangannya yang ditumpukan pada lutut.

"Kamu mungkin sudah pergi, Wil. Tapi, suara bisikmu masih tertinggal di kepalaku, 'kalian harus tetap hidup'. Aku dan Xion akan berusaha sekuat mungkin untuk tetap hidup! Aku janji!"

»|«

Duh, satu pemain telah kalah gais:(
Bagaimanakah kelanjutan dari kisah mereka setelahnya? Jangan lupa untuk terus pantengin cerita ini yang akan selalu update di hari Minggu, tiap seminggu sekali yaa~

Klik vote, komen, dan share jika cerita ini menarik buatmu!
Terima kasih sudah mampir.

See u and happy reading!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top