4 - Realita Tak Seindah Ekspetasi

Happy Reading^^

"Pak Dane belum datang?" aku mendongak dan segera menyimpan ponsel ku begitu mas Arga duduk di kursi yang bersebrangan dengan ku.

"Opa minta maaf gak jadi datang, makannya saya yang datang kesini," jawabku berbohong.

Dia hanya memalingkan pandangannya dan tak lama kemudian para pelayan menghidangkan makanan. Saat ini kami tengah berada di privat room sebuah restoran. Aku memang meminta Opa untuk memaksa mas Arga datang kesini, dan setelah itu aku pun berpura-pura menggantikan opa yang tidak bisa datang.

"Mas Arga beneran gak bisa pertimbangin lagi buat ngebimbing saya?" tanyaku setelah acara makan selesai.

"Sudah saya bilang pekerjaan saya banyak. Lagipula kamu bisa cari orang lain yang lebih mampu daripada saya," jawabnya tegas.

"Yaudah kalau Mas gak bisa ngebimbing saya buat belajar, Mas mau gak ngebimbing saya buat ke Surga?" tanya ku dengan senyum dibuat semanis mungkin.

"Saya bukan ustadz!"

Gubrak! Jawabannya sangat di luar ekspetasi. Gak bisa digombalin kayanya nih orang.

"Bukan gitu maksudnya Mas," ucapku menahan kesal. Sama calon suami gak boleh durhaka!

"Lalu?" tanya dia.

"Mas jadi imam Rain aja!" ucapku.

"Di masjid kan masih banyak imam, kenapa pilih saya?"

"Mas Arga pura-pura bego atau bego beneran sih?" bentakku, kulihat dia sedikit terkejut dengan nada bicara ku yang cukup tinggi.

"Kamu bentak saya?" tanyanya tak percaya.

"Iya. Kenapa? Kan Mas Arga bukan orang tua aku, bukan guru aku, dan juga belum jadi suami aku. Jadi bebas dong Rain bentak," omelku panjang lebar.

"Belum?" ulang dia.

"Siapa tahu kita jodoh," dengkus ku sambil memandang ke arah lain karena malu.

"Saya tidak berminat menikah dengan anak kecil seperti kamu!" ucapnya.

"Lalu menurut Mas Arga perempuan dewasa itu seperti apa?" tanyaku dengan kesal.

"Dia yang mampu mengelola emosinya dengan baik. Yang tidak lancang masuk ke ruangan orang lain. Yang tidak memanfaatkan koneksinya untuk keuntungannya sendiri. Dan yang tidak memaksakan kehendaknya sendiri."

Entah mengapa jawabannya kok seperti menyindir aku ya?

"Mas Arga lagi nyindir aku kan?" tanyaku akhirnya.

"Jika menurut kamu begitu, ya anggap saja begitu," jawabnya santai dan datar.

"Terima kasih atas makan malamnya, tapi saya harap kamu tidak memanfaatkan keluarga kamu lagi untuk mendekati saya," ucapnya sambil bersiap untuk pergi. Kok hatiku sakit ya mendengarnya?

"Kalau aku suka sama Mas Arga emang salah?" tanyaku.

"Pernah tidak terbersit di pikiran kamu bagaimana jika saya ternyata sudah menikah?" pertanyaan nya sukses membuat ku terdiam. Pria tampan, mampan, dan sudah matang. Apa mungkin belum menikah? Kenapa aku tidak pernah terpikirkan hal seperti itu.

Aku yang terlalu keras berpikir cukup tersentak ketika mendengar suara pintu yang ditutup. Bagaimana bisa aku tak menyadari jika mas Arga pergi meninggalkan ku sendiri di sini? Aku pun hanya menghela napas lemah dan sepertinya mulai saat ini harus melupakan mas Arga.

***

Lima bulan kemudian ...

Aku memandang dengan bangga foto wisuda yang terpampang di dinding. Yup! Dua minggu yang lalu aku telah wisuda dan menyandang gelar Sarjana Hukum. Rencananya beberapa bulan lagi aku mau PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Tapi untuk saat ini sepertinya aku harus mengistirahatkan dulu otak ku sebelum bertempur lagi.

"Ayo berangkat!" aku menoleh dan rupanya Elvano telah berdiri di ambang pintu.

"Kuy," jawabku dan mengambil sling bag di sofa.

"Gak pamitan dulu sama orang tua mu?" tanya El.

"Mommy dan daddy lagi ke cafe," jawabku. Sejak menikah mommy memang memutuskan resign dari pekerjaan sebelumnya dan lebih memilih membuka cafe yang sekarang cabangnya sudah lumayan banyak.

Aku pun keluar dari rumah dan mengikuti El menuju mobil. El masih magang saat ini karena untuk menjadi advokat minimal usia kami telah 25 tahun. Hari ini adalah weekend dan kami memutuskan untuk pergi ke mall saja karena aku juga ingin membeli tas di sana.

"El ini bagus gak?" tanyaku sambil memperlihatkan sebuah tas bermerk gucci.

"Bagus," jawab El singkat.

"El mau beli apa?" tanya ku setelah menyerahkan tas yang kupilih pada salah satu pegawai disini.

"Aku lihat dulu kaca mata deh," jawab El dan aku pun mengikutinya.

Setelah kami selesai dengan memilih barang dan menghabiskan uang hampir empat puluh juta, El mengajak ku untuk makan siang.

"Rain kita makan dulu aja ya," ajak El. Aku melihat jam di tangan dan sudah menunjukkan pukul setengah dua. Aku pun menyetujui ucapan El.

"El kamu masih betah magang?" tanyaku setelah kami duduk dan menunggu para pelayan mempersiapkan hidangan.

"Enggak. Maunya sih udah jadi advokat aja," jawabnya sambil terkekeh. Aku pun hanya mendengkus mendengar jawabannya.

"Eh pacar kamu apa kabar?" tanyaku.

"Andin?"

"Iyalah. Emangnya kamu punya pacar selain dia? Ya ampun El jangan jadi fuck boy," ucapku dengan nada lebay.

"Enak aja! Dia lagi sibuk mau nyiapin skripsi," jawab El.

"Dia tahu gak hari ini aku jalan sama kamu?" tanyaku lagi.

"Tahu lah, kan aku izin dulu," jawabnya.

Aku hanya tersenyum geli. Izin? Mungkin ini alasan Tuhan tidak memberiku pacar sampai saat ini, karena aku tidak mau ribet dengan aturan dasar dalam hubungan pacaran.

"Eh itu pak Abimana kan? Yang sering jadi pembicara seminar?" tanya El. Aku pun mengikuti arah pandang El dan ternyata memang benar.

"Itu istrinya ya?" tanya El.

"Mana aku tahu!" ucapku dengan nada ketus.

Mas Arga baru memasuki restoran ini dan dia tidak sendiri tapi dengan seorang perempuan. Perempuan itu sangat cantik, dengan tubuh tinggi. Apa dia model?

"Istrinya cantik ya, dan dari wajahnya aku tebak kalau dia juga wanita yang cerdas," ujar El.

"El berisik! Makan aja apa gak usah merhatiin orang," ucapku dengan kesal.

"Kamu kenapa sih Rain? Setelah aku bahas pak Abimana kok jadi kesel gitu?"

"Lagian orang gak penting kok dibahas," jawabku.

"Beliau itu panutanku di dunia hukum Rain. Usianya baru 31 tahun dan sudah menjadi senior associate di firma besar, ditambah lagi menjadi ketua tim hukum perusahaan," ucap El.

"Dia kerja di perusahaan keluarga ku," jawabku singkat dan membuat El memandangku tak percaya. Ekspresi nya memang mudah ditebak!

"Perusahaan tempat dia bekerja sebagai legal officer itu adalah Balla Company," terangku.

"Kalau gitu kamu udah kenal sama beliau?" tanyanya dengan antusias dan hanya kubalas dengan anggukan.

"Kenalin aku dong Rain," pintanya.

"Ogah!" jawabku.

"Aku beliin kamu sepatu dari dior deh," tawar El dan aku hanya memutar bola mataku malas.

"Kamu mau keluarin uang segitu besar cuma untuk dikenalin sama pak Abimana?" tanyaku.

"Koneksi itu penting Rain. Mungkin aja kan nanti setelah aku selesai magang aku bisa kerja di firma tempat dia bekerja. Ini investasi, bukan buang-buang uang!" ucapnya dengan semangat.

"Makannya pinter biar gak usah pake koneksi aja kamu bisa masuk ke firma manapun," ejekku.

"Eh orang pinter kalah ya sama jalur orang dalam," ucapnya telak.

"Pokoknya aku gak mau kenalin kamu sama dia!" finalku dan El hanya mendengkus sambil memandang ku dengan pandangan kesal.

"Pulang yuk," ajakku walaupun makanan belum habis.

"Bentar aku tungguin dulu pak Abimana keluar. Nanti pura-pura berpapasan terus aku sapa aja." ucap El.

"Yaudah aku pulang duluan!" ucapku sambil berdiri dan mengambil paper bag. Tanpa sengaja aku melirik ke arah mas Arga dan kebetulan sekali dia melihat ke arahku.

Aku hanya mendengkus dan membuang pandangan.

"Ayo pulang aja deh," ajak El dan ikut berdiri. Aku tersenyum penuh kemenangan, El mana mungkin membiarkan ku pulang sendiri dan naik taxi.




Jadi enaknya gimana nih, aku update tiap hari, tiap minggu, seminggu 2x, atau seingetnya aja? wkwkwk

Barusan lihat rank nya seneng banget sih, baru 3 part tapi udah ada yang baca..

Terima kasih para pembaca tersayang^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top