16 - Good bye Firma
Aku menuruni tangga rumah ku dan berjalan menuju ke ruang makan. Di sana telah berkumpul daddy, mommy, dan kak Arkan yang tengah sarapan.
“Putri Mom cantik banget,” ujar mommy begitu aku duduk di kursi.
“Always Mom,” jawabku sambil menyunggingkan senyum.
“Nah gitu dong senyum, dari kemarin cemberut terus,” ujar kak Arkan.
Aku pun tersenyum kembali dan melirik ke arah daddy yang tanpa dosa tetap makan dengan tenang.
Beberapa hari yang lalu aku memang berdebat cukup serius dengan dad. Ini dikarenakan beliau memaksa ku untuk bekerja saja menjadi legal officer di perusahaan keluarga kami dan tidak meneruskan magang ku yang memang telah habis masanya seminggu yang lalu.
Setelah berdebat panjang dan dikeluarkannya segala macam ancaman juga nasihat dari mommy dan kak Arkan, aku pun akhirnya menyerah dan mengikuti keinginan daddy untuk bekerja di perusahaan. Padahal kan rencananya aku ingin magang di ASHP setahun lagi dan setelah itu aku bisa ikut angkat sumpah menjadi advokat sebenarnya.
Daddy sempat mengatakan bahwa keinginan nya adalah dalam beberapa tahun kedepan aku bisa menjadi ketua tim hukumnya. Rupaya dad mengetahui kalau mas Arga memang telah berniat untuk resign.
“Mau berangkat sendiri atau bareng kakak, Rain?” tanya kak Arkan begitu kami sampai di garasi.
“Sendiri aja Kak. Ntar pulangnya kan pasti beda waktu,” jawab ku dan di balas anggukan.
Setelah sampai di kantor aku pun langsung menuju lantai 9, ruangan di mana tim hukum berada.
“Rain, di panggil ke ruangan pak Bima,” aku yang tengah melamun cukup tersentak dan segera menengok ke sumber suara.
Ternyata itu mbak Niken, salah satu tim legal yang paling ramah. Dia adalah orang yang sama dengan orang yang beberapa tahun lalu menyapa ku yang pertama kalinya ke ruangan ini untuk mencari mas Arga. Masih ingat?
“Okay Mbak,” jawabku sambil tersenyum.
Satu hal yang perlu aku syukuri, walaupun bekerja di sini aku tetap akan bertemu mas Arga. Ya walaupun aku gak tahu bakalan sampai kapan.
Tok ... Tok ... Tok ...
Aku mengetuk pintu, dan setelah ada perintah barulah aku masuk ke dalam ruangannya. Tata letaknya masih sama seperti beberapa tahun lalu.
“Selamat pagi Mas,” sapaku.
“Panggil saya dengan sebutan bapak seperti yang lainnya Rain,” tegurnya.
“Kan Mas Arga bukan bapak saya,” jawabku.
“Kamu tahu kan sekarang kamu bekerja di perusahaan, bukan pegawai magang di firma. Jadi tolong bedakan sikap kamu,” ujarnya dengan datar.
Aku mendengkus keras-keras dalam hati, setelah satu bulan berlalu sejak kami di Yogya, tidak banyak yang berubah dari dia. Sikapnya masih datar dan menyebalkan, tapi hal itu tidak membuat aku berhenti menyukai nya.
“Baik Pak,” ujarku walaupun merasa aneh dengan panggilan yang aku berikan, tapi aku pun tahu di kantor ini aku harus profesional.
“Kamu akan di tempatkan di divisi kontrak, untuk jobdesk nya nanti akan diberikan oleh leader kamu. Saya sudah hubungi Gio dan nanti begitu dia datang kamu bisa menghadapnya,” ucap mas Arga.
Aku hanya mengangguk paham walaupun aku tidak kenal siapa itu Gio yang di maksud. Kontrak di sini maksudnya adalah bagian pembuatan dan pengurusan kontrak-kontrak perusahaan. Tim legal di kantor kami memang sudah dibagi-bagi dalam beberapa divisi dan setiap divisi memiliki ketua divisi atau biasa kami sebut leader saja, tujuannya untuk lebih memfokuskan pekerjaan dan menghindari tumpang tindih pekerjaan. Mungkin inilah enaknya bekerja jadi legal officer di perusahaan besar. Pekerjaan kami lebih terstruktur.
“Kalau sudah mengerti kamu boleh keluar dari ruangan saya,” ucapnya.
“Baik Pak, tapi nanti mau makan siang dimana? Bareng aku ya,” ucapku sambil tersenyum penuh harap.
“Sebentar lagi saya ke firma,” jawabnya singkat membuat ku hanya tersenyum kecut dan akhirnya undur diri dari ruangan mas Arga.
Di sini aku bakalan cukup sulit bertemu dengannya, mas Arga kan lebih sering berada di firma dari pada di sini.
“Mbak, ruangan pak Gio di mana ya?” tanya ku sambil berdiri di samping kubikel mbak Niken.
“Ruangan kaca yang kedua Rain,” jawab mbak Niken.
“Ok Mbak makasih ya,” ujarku.
“Kamu ditempatin di divisi kontrak?” tanya mbak Niken.
“Yoi Mbak,” jawabku. Mbak Niken sendiri di divisi perizinan perusahaan.
“Yaudah gih ke ruangan pak Gio, beliau udah datang kok waktu kamu di ruangan pak Bima,” ujar mbak Niken dan kuangguki.
Di kantor ini kita berbicara cukup formal, tidak seperti di firma. Aku pun pada awalnya memanggil ibu pada mbak Niken, tapi dia bilang kalau dengan dirinya tidak usah terlalu formal. Dan mbak Niken jadilah teman pertama ku di sini.
Tok ... Tok ... Tok ...
Aku mengetuk pintu yang terbuat dari kaca ini. Para leader memang telah memiliki ruangannya sendiri walaupun tidak terlalu besar.
“Masuk.” Suara perintah dari dalam membuat ku segera membuka pintu dan memasuki ruangan.
“Selamat pagi Pak, perkenalkan saya Raina,” ucapku memperkenalkan diri.
“Selamat pagi. Saya Gio, senang bertemu dengan mu. Silahkan duduk,” ucapnya dengan ramah.
“Saya sudah mendengar tentang kamu dari pak Bima, dan ini jobdesk divisi kontrak perusahaan. Kamu bisa mempelajarinya dulu untuk saat ini,” ucapnya langsung pada intinya dan menyerahkan sebuah map berisi kertas di mana di dalamnya terdapat beberapa tugas yang harus di kerjakan oleh divisi kontrak.
Kalau aku taksir usia pak Gio ini mungkin kisaran 38 tahun, usianya pasti lebih tua dari mas Arga.
“Baik Pak saya akan mempelajari nya, saya mohon bimbingannya,” ucapku sambil tersenyum.
“Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik,” balas pak Gio dengan senyuman juga.
Syukurlah aku berada di sekitar orang yang baik.
Aku sedang membaca tugas-tugas yang bisa aku lakukan di sini dengan cukup fokus, tiba-tiba sebuah suara dari samping menghentikan kegiatan ku.
“Pegawai baru?” tanya nya.
Aku mengamati sekilas pria itu, pakaiannya rapi, dan dia cukup errr tampan?
“Iya Pak,” jawabku sambil tersenyum sopan.
“Ha ha ha, gak usah manggil gue bapak, santai aja,” ucapnya sambil tertawa hingga seseorang yang berada di depan kubikelnya melemparkan pulpen ke mejanya.
“Berisik lo Sapri!” gerutu perempuan yang melempar pulpen itu.
“Sapri sapri, eh Mbak nama gue Zefry,” ralatnya tak terima di panggil Sapri.
“Terserah lo! Eh Lo udah review kontrak yang dibuat departement operasional?” tanya perempuan itu lagi.
“Udah, ini gue baru balik dari sana,” jawabnya.
“By the way, kenalin gue Zefry dan lo gak usah panggil gue bapak. Gue baru 27 tahun,” ujarnya dengan mengatakan umur sedikit berbisik.
“Aku Raina Kak panggil aja Rain,” ucapku dan tetap tersenyum sopan.
“Rain, kenalin saya Milda. Kamu kalau ada apa-apa terutama digangguin sama si Sapri ini bilang aja sama saya,” ucap bu Milda yang berdiri di depan kubikelnya.
“Siap Bu,” ucapku sambil tertawa pelan.
“Rain,” bisik kak Zefry begitu aku mulai membaca lagi.
“Ya Kak?”
“Mbak Milda itu jadi semakin galak semenjak udah nikah. Mungkin uang bulanannya kurang ya?” tanya kak Zefry dan kemudian tertawa.
Aku hanya ikut tertawa canggung mendengar jokesnya yang menurutku sedikit aneh.
***
Aku sedang makan siang di kantin perusahaan bersama mbak Niken. Sebenarnya Zefry memaksa ku untuk makan siang bareng, tapi tiba-tiba tadi kak Zef mendapat pekerjaan baru yang urgent banget hingga membuat dia harus merelakan jam makan siangnya yang terlambat.
Tiba-tiba seorang perempuan cantik yang usianya mungkin hampir sama dengan ku duduk di kursi samping mbak Niken sambil membawa makanan di nampan.
“Rain kenalin ini Zia masih saudara jauh aku. Dia kerja di departement finance,” ucap mbak Niken memperkenalkan perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Hai, aku Rain. Pegawai baru di legal officer.” Aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
Dia menyambut uluran tangan ku dan berkata, “Aku Zia, senang berkenalan dengan kamu.”
“Sepertinya wajah kamu tidak asing,” ucap Zia di tengah-tengah kegiatan makan kami.
“Aku pernah lihat di mana ya?” tanya dia kembali seperti bermonolog sendiri.
“Mungkin di majalah perusahaan,” ucapku sambil terkekeh.
Zia dan mbak Niken tampak berpikir dan seketika aku cukup terkejut dengan ucapan Zia yang tiba-tiba dan juga keras.
“Kamu adiknya pak Arkan, kan?”
“Hah?” dari sekian banyak yang bisa dia ketahui tentang aku, kenapa malah itu yang dia tahu? Aku jadi curiga.
“Mbak, Rain itu putrinya pak Adrian. Direktur utama!” ucap Zia pada mbak Niken yang tengah menatap ku dengan tidak percaya.
“Iya Mbak itu benar,” jawabku sambil terkikik geli.
Setelah itu mengalirlah obrolan seru diantara kami, rupanya mbak Niken itu telah lupa dengan wajahku yang beberapa tahun lalu pernah bertemu dengan dia. Setelah aku ingatkan barulah dia teringat kembali.
Mbak Niken ini berusia 29 tahun dan telah memiliki seorang putri berusia 5 tahun. Sedangkan Zia berusia 25 tahun alias satu tahun lebih tua dari pada aku. Ketika sedang menceritakan tentang diriku, Zia sepertinya sangat tertarik ketika mendengar nama kak Arkan, entah mungkin ini hanya perasaan ku saja.
***
Ayo semangat vote sama komennya 😂😂 biar aku semangat updatenya,wkwk.
Luvv u all ♥♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top