14 - Yogya Punya Cerita


"Mas kamu gak ngantuk?" tanya ku pada mas Arga.

"Enggak," jawabnya dan tetap fokus dengan kegiatan makannya.

Kami sekarang berada di Galery Prawirotaman Hotel Yogyakarta. Kami baru tiba di Yogya tadi subuh setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar 7 jam dari Jakarta dengan memakai mobil. Yups! Mas Arga membawa mobilnya sendiri, luar biasa kan? Untuk seorang lawyer yang kaya raya bukankah dia sangat rendah hati dengan tidak memakai sopir?

"Ayo Rain!" ajak mas Arga setelah beberapa saat kami menyelesaikan makan.

Aku melirik jam di pergelangan tangan ku dan rupanya sudah hampir pukul 9 pagi. Itu artinya kami harus menemui klien. Walaupun selama di perjalanan aku tertidur, tapi tetap saja rasa ngantuk masih menyerang ku.

Kami memasuki sebuah kamar suite room. Satu tahun aku menemani mas Arga dan bukan hal yang aneh lagi jika para klien membuat janji di hotel.

***

"Nah Mas kita ke restoran itu aja!" tunjukku dan berbalik menatap mas Arga yang berada tidak jauh di belakang ku.

"Mas lama banget sih jalan nya," gerutu ku begitu dia sampai di hadapan ku.

"Bukan kamu yang kecepetan?" tanyanya dan mendelik ke arahku.

Aku pun hanya terkekeh mendengar ucapannya. Setelah selesai meeting bersama klien sekitar pukul 1 siang, aku memang mengajak mas Arga untuk mencari makan tapi dengan berjalan kaki. Aku begitu semangat menyelusuri jalanan di sini, hal yang sangat langka aku lakukan jika berada di Jakarta.

"Boleh gak kalau aku mengajukan permintaan lagi?" tanyaku sambil tersenyum penuh harap ke arah mas Arga yang tengah meminum jus pesanannya.

"Apa?" tanyanya.

"Setelah ini antar rain ke makam Karang***** ya."

Uhuk ... mas Arga terbatuk dan aku hanya mengernyit heran.

"Ngapain?" tanya dia.

"Mumpung Rain lagi di Yogya, jadi mau nyekar dulu ke makam Eyang," jawabku.

Ayah juga ibunya daddy memang di makam kan di sana. Mungkin sebagian dari kalian sudah tahu kalau daddy aku berasal dari Yogya.

"Oh, oke," jawabnya dan melanjutkan makan.

Setelah pulang dari makam aku tadinya mau mampir ke tante Dini yang saat ini menempati rumah peninggalan mbah buyut. Tapi sayang tante Dini sedang berada di Semarang di keluarga suaminya.

"Jadi kita sekarang mau kemana Mas?" tanyaku. Gak mungkin kan kalau kami balik lagi ke Jakarta? Aku juga sudah merencanakan jika mas Arga memaksa pulang aku akan bersikeras untuk tetap di sini. Lagipula ini hari Jum'at dan dua hari kedepan merupakan hari libur.

"Rumah orang tua saya," jawabnya tenang.

"What?" tanya ku dengan kaget.

"Kamu jangan bicara keras-keras Rain!" perintah mas Arga dan hanya aku abaikan.

"Kenapa? Saya berencana untuk tinggal di sini sampai hari Minggu. Kalau kamu keberatan ikut ke rumah orang tua saya, saya bisa antar kamu ke hotel terdekat." Mas Arga melanjutkan ucapannya karena aku hanya diam.

"Aku ikut Mas Arga aja," ucapku setelah berpikir sejenak. Momen ini kan bisa aku jadikan ajang untuk lebih mengenal calon mertua, eh?

Hampir setengah jam kami di perjalanan dan akhirnya kami memasuki perumahan Casa Grande Jogja. Rupanya orang tua mas Arga tinggal di sini.

"Ayo turun," ajak mas Arga karena aku hanya diam dan memandang rumah mewah di depan ku.

Setelah menghembuskan napas cukup keras, akhirnya aku pun turun dari mobil mengikuti mas Arga. Aku mengambil ransel berisi pakaian yang ku simpan di jok belakang.

"Assalamu'alaikum," salam mas Arga sambil mengetuk pintu rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab seorang perempuan dari dalam.

"Loh, Mas Bima? Mari masuk Mas." ajak seorang wanita paruh baya yang membuka kan pintu rumah.

Dia melirik sekilas ke arahku dan tersenyum. "Mari Mbak nya juga masuk."

Aku pun mengikuti langkah mereka, setelah tiba di ruang tamu dan dipersilahkan duduk aku pun segera duduk.

"Mbok panggil dulu bapak sama ibu ya," ucap perempuan itu dengan tetap tersenyum ramah, sepertinya dia ART di sini.

Mas Arga pun duduk di sofa yang sama dengan ku. Aku menatap sekilas ke sekeliling, tapi sebuah piagam yang ditempel di dinding kok rasanya tidak asing ya?

"Mas itu piagam milik kamu?" tanya ku sambil menunjuk sebuah piagam yang aku yakin terdapat logo peradi di dalamnya.

"Punya bapak saya," jawabnya dan langsung membuat ku menoleh.

"Bapak kamu juga pengacara?"

Pertanyaan ku tak sempat di jawab olehnya karena suara heboh milik seorang wanita mengalihkan perhatian kami.

"Ya ampun Bima, kamu datang gak bilang-bilang. Ibu kan belum nyiapin apa-apa," ucap perempuan yang ternyata ibunya mas Bima sambil langsung memeluknya.

"Aku ada pekerjaan di Yogya Bu, sekalian mampir dulu," jawab mas Arga.

Aku tersenyum canggung ke arah seorang pria yang berdiri di belakang ibu dan mas Arga yang masih berpelukan. Tapi wajahnya kenapa tidak asing? Dimana aku pernah melihatnya?

"Ini siapa Bim? Kok gak dikenalin?" tanya ayahnya sambil melirik ku.

"Loh iya, Ibu sampai lupa kalau ada perempuan cantik di sini. Siapa Bim?" tanya ibunya juga dan melepaskan pelukannya ke mas Arga.

"Dia pegawai magang di kantor Pak, Bu. Kenalin namanya Raina, putrinya pak Adrian," ucap mas Arga memperkenalkan ku.

"Saya Raina Pak, Bu," ucapku sambil mencium tangan mereka satu persatu.

"Wahh cantik ya, Nduk. Mirip ibu bapak mu," ujar ibu sambil terkekeh pelan.

"Ibu ini ibunya Bima, dan ini bapaknya," ucap ibu memperkenalkan diri.

Setelah berkenalan singkat kami pun duduk di sofa. Ibu terus mengajak ngobrol mas Arga, sepertinya beliau sangat merindukan putranya ini.

"Opa kamu gimana, sehat?" tanya bapak mas Arga mengawali pembicaraan dengan ku yang dari tadi hanya diam melihat interaksi ibu dan anak di hadapanku.

"Alhamdulillah sehat Pak," jawab ku dan tersenyum sopan.

"Beliau pasti kaget kalau tahu cucunya sedang di rumah ku," ujarnya sambil terkekeh.

"Udah berapa lama magang?" tanya beliau lagi.

"Sudah hampir satu tahun Pak, dan rencananya aku mau lanjut satu tahun lagi di firma tempat mas Arga," jawab ku.

"Arga?" ulang bapak.

"Bima Pak," ucap mas Arga seperti paham kebingungan bapaknya. Aku hanya tersenyum simpul, rupanya mas Arga diam-diam mendengarkan obrolan ku dengan bapak walaupun dia tengah mengobrol dengan ibu.

"Owalah, Bapak ndak tahu," ucap bapak sambil tersenyum.

Setelah itu mengalirlah pembicaraan di antara kami seputar dunia hukum. Aku begitu bersemangat mendengarkan setiap apa yang beliau ucapkan. Tahu gak sih? Kaya lagi nerima pengajaran dari pakar yang begitu profesional.

Rupanya beliau ini adalah salah satu senior partner di firma hukum di Jakarta, tapi aku tidak tahu firma apa karena beliau tidak memberi tahu ku. Sudah hampir 3 tahun ini menetap kembali di Yogya. Bapak dan ibu memang menjalani ldm atau long distance married. Ibu tinggal di Yogya dan bapak di Jakarta. Bapak katanya pulang tiap akhir pekan ke Yogya. Saat ini bapak lebih sering berkegiatan seperti jadi dosen tamu di fakultas hukum universitas-universitas yang ada di Yogya, dan juga menjadi trainer untuk seminar-seminar seputar hukum. Bapak juga mengatakan padaku bahwa mungkin 1 atau 2 tahun lagi hendak pensiun dari pekerjaannya di firma.

"Uwis Pak jangan di ajak belajar terus. Ayo Nduk ibu antar kamu ke kamar. Pasti lelah kan?" tanya ibu menghentikan obrolan ku dan bapak yang semakin seru.

"I—iya Bu," jawab ku dan tersenyum canggung ke arah bapak.

"Silahkan Rain, Bapak juga mau ada yang di bicarakan dengan Bima," kata bapak seperti mengerti apa yang aku pikirkan.

Aku pun mengikuti ibu menuju ke salah satu kamar yang sepertinya memang kamar tamu.

"Kamu boleh istirahat di sini Nduk. Kamar mandinya juga ada di dalam," ucap ibu dan membuka kan pintu kamar.

"Terima kasih Bu," ucapku tulus.

"Sama-sama. Kamu gak usah sungkan ya di sini, anggap aja rumah sendiri," ucap ibu dan duduk di kursi yang berada di dalam kamar.

"Kamu itu pasti istimewa ya untuk Bima?"

Pertanyaan ibu sukses membuat ku terkekeh pelan dan berkata, "Istimewa merepotkan nya Bu. Mas Arga biasanya menceramahi aku setiap harinya."

"Kamu beneran istimewa Nduk. Bima itu irit bicara, jika dia menceramahi kamu itu artinya dia nyaman bicara sama kamu."

"Kamu juga perempuan pertama yang Bima ajak ke rumah selama 10 tahun terakhir ini," lanjut ibu membuat mataku membulat tak percaya.

"Se—sepuluh tahun?" ulang ku dan mendapat anggukan dari ibu.

"Rekan kerjanya belum ada yang di ajak kesini Bu?" tanyaku.

"Rekan kerja laki-lakinya belum ada yang pernah di ajak, apalagi perempuan." Jawaban dari ibu membuat hati ku bersorak kegirangan.

"Oh ya Bu, mas Arga punya adik, kan?" tanya ku penasaran, dulu saat aku ulang tahun dia pernah membicarakan sekilas tentang adiknya.

"Adik Bima itu laki-laki, namanya Aditya dan berusia 22 tahun. Sekarang sedang kuliah di Jerman," jawab ibu dan membuat ku mengangguk mengerti. Pantas saja dari tadi aku tidak melihat orang lain lagi di rumah ini.

"Usia mu berapa Nduk?" tanya ibu.

"24 tahun Bu," jawab ku sambil melirik ke arah jam tangan pemberian mas Arga.

"Walah ... ibu pikir kamu masih 20 tahun," ucap ibu sambil tertawa kecil dan aku pun ikut terkekeh.

"Ibu bisa aja," ucap ku.

"Kalau kamu masih 20 tahun mungkin bakalan Ibu jodohkan dengan Adit." Ucapan ibu membuat ku tercengang untuk sesaat, dan kemudia aku pun terkekeh pelan mencoba menepis pikiran buruk ku. Kenapa tidak ibu jodohkan dengan mas Arga aja?

"Yaudah Ibu tinggal dulu ya, mungkin kamu pengen mandi atau apa gitu," ucap ibu dan ku balas anggukan juga senyuman manis.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top