8. Kejujuran
Beberapa hari berlalu, tibalah pada hari Minggu. Hari yang menyenangkan bagi semua pelajar karena libur sekolah walau hanya sehari.
Dan lagi-lagi, Cessia disuruh Fery untuk mengajak Aldorf sarapan. Dia mengetuk pintu ruang baca Aldorf, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Tangannya mencoba memutar gagang pintu, ternyata pintu itu tidak dikunci.
"Dorf?"
Netranya menjelajahi seluruh isi ruang baca Aldorf. Cessia menyadari bahwa ada sebuah pintu putih di samping pintu ruang baca yang terbuka. Sepertinya pintu itu menghubungkan ruang baca dan kamar Aldorf.
Cessia tersenyum memikirkan ide yang terlintas di kepalanya. "Mumpung Aldorf tidak ada," gumamnya sambil tersenyum.
Cessia mendekati rak buku dekat pintu putih, ada berbagai macam buku di sana. Mulai dari novel, cergam, komik, ensiklopedi, nomik, antologi, dongeng, biografi, novelet, karya ilmiah, kamus, paduan, dan atlas.
Setelah melihat berbagai macam judul buku, netranya terfokus pada sebuah buku yang berjudul Divorcio. Cessia mengambil buku itu, membaca tulisan yang terdapat pada belakang buku.
Yang seharusnya berpisah akan berpisah dan yang seharusnya bersama akan bersama.
Kalimat itu membuatnya tersenyum. Mengingat kejadian mata Aldorf ada kilauan merah. "Apa ini sebuah tanda, menunjukkan bahwa aku bisa bersama manusia?" Memikirkan masa depan mereka, membuatnya terkekeh.
Namun, apa yang akan terjadi jika aku melawan takdir? Aku rela mati jika aku diizinkan bersamamu, walau hanya sehari.
Kalimat selanjutnya membuat senyuman Cessia hilang. "Apakah aku akan begini juga jika bersama Aldorf?"
"Enggak, enggak. Aku sama Aldorf sudah ditakdirkan."
Aldorf muncul dari pintu putih, melihat Cessia yang sedang melihat buku sembari mengomel. Membuatnya mengerutkan dahi. "Kenapa?"
Cessia berbalik, melihat sosok Aldorf. "Gak papa."
Aldorf justru merasa aneh dengan sikap Cessia yang cengar-cengir.
"Dorf, apa arti dari judul buku ini?"
Aldorf menatap kata yang tertulis di cover buku, Divorcio.
"Divorcio artinya berpisah dalam bahasa Spanyol."
"Aku pinjam ya, kayaknya ceritanya bagus." Aldorf yang mengangguk membuat Cessia tersenyum semringah.
"Kamu kenapa di sini?"
Cessia menepuk jidat. "Aku lupa. Aku disuruh Fery untuk mengajakmu sarapan. Ayo, sarapan sekarang."
Cessia menarik tangan Aldorf dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang buku tadi. Wajah Aldorf yang terkejut karena ditarik tiba-tiba, sedangkan Cessia malah tertawa.
Jika saja Cessia ingat, dirinya akan kembali sedih. Kejadian ini mirip persis dengan dulu, ketika Azka lupa datang ke rumahnya saat dia ulang tahun saat berusia 7 tahun.
***
Laudilla mengira dirinya bisa bernapas lega lagi karena Deo sudah mau keluar dari kamar. Namun dugaannya salah. Deo keluar kamar untuk menantang orang-orang yang ditemui di istana, mau itu tabib, prajurit, jenderal, dan lainnya. Jika orang yang dilawan kalah, Deo akan meremehkan mereka. Sedangkan jika Deo kalah, Deo akan menantang lagi di lain waktu. Dia merasa, tidak lagi kenal dengan Deo.
Laudilla menghela napas, duduk di kursi ruang tamu dengan keras. Hingga terdengar suara dentuman dari kursi. Hal itu membuat ibu Laudilla, Lila keluar dari dapur.
Wanita beriris ungu itu menghampiri anak tunggalnya lalu menjongkok di hadapan Laudilla. "Kenapa, Dil?"
"Deo bikin ulah lagi, Bu. Dilla tidak tahu harus bagaimana. Padahal Raja menyuruh Dilla untuk menghentikan Deo. Dilla pusing."
Lila mengusap puncak kepala Laudilla pelan. "Deo pasti bisa dihentikan oleh pasangannya."
"Ibu yakin aku adalah pasangan Deo?"
Lila mengangguk. "Tentu, Ibu percaya. Bukankah Putri Laugel juga bilang Dilla adalah pasangan Deo? Lagi pula, bukankah kamu pernah melihat kilauan merah di mata Deo?"
"Tapi Deo pernah bilang padaku bahwa dia mencintai Cessia." Laudilla menunduk sembari memainkan jari.
Lila menggenggam tangan Laudilla membuat Laudilla kembali menatapnya. "Dilla tahu? Kenapa Ibu dan Ayah bisa menikah?"
Laudilla menggeleng mmebuat Lila tersenyum. "Padahal kami tidak ditakdirkan bersama. Raja Nazka menjodohkan kami karena pasangan kami meninggal saat sebuah perang besar antar kerajaan. Dan juga karena kami merasakan perasaan cinta sesaat. Jadi, Ibu yakin yang dirasakan Deo ini hanyalah sesaat."
"Dilla masih tidak mengerti kenapa Ibu seyakin ini?"
"Apakah kamu pikir Raja menyuruhmu menghentikan Deo hanya karena kamu pelayan pribadinya? Raja juga tahu bahwa kamu adalah pasangan Deo."
***
Hari Senin telah tiba. Cessia sudah siap debgan seragam putih abu, buku pelajaran hari ini di dalam tas. Dan rambut hitamnya dikuncir bagaikan ekor kuda.
"Sempurna," gumam Cessia.
Cessia keluar dari kamar lalu duduk di sofa ruang keluarga. Seperti biasa, mereka akan sarapan di sana.
Awalnya Cessia mengira bahwa hari ini akan berjalan seperti biasa. Namun, saat bel istirahat kedua berbunyi, perkiraannya hancur.
Gadis berambut pendek hitam kemarin menghampiri Aldorf di kelas. Cessia melihat dengan jelas Aldorf yang tampak tidak terganggu dengan kehadirannya.
"Kak Aldorf, makasih barangnya ya. Mama suka banget sama barangnya."
Aldorf tersenyum. "Sama-sama, Gel. Bagus deh, kalau kamu suka."
Cessia kesal melihat Aldorf yang tersenyum pada gadis yang dipanggil 'Gel' itu. Dia memilih memakai earphone, agar tidak mendengar percakapan mereka. Namun, matanya tidak bisa lepas dari sosok mereka berdua. Harinya merasa semakin panas saat melihat mereka tertawa.
Tiba-tiba, earphone sebelah kirinya dicabut, membuat Cessia menoleh. "Kenapa, Ly?"
"Kantin yuk."
"Gak mau ah, males."
"Ih, ayo dong ayo." Sanly menggoyang-goyangkan lengan Cessia.
"Iya-iya."
Setelah mendengar jawaban Cessia, Sanly langsung menariknya ke kantin. Dengan senyum di wajahnya tentu.
Sesampai di kantin--di sebelah parkiran-- Cessia dan Sanly duduk di salah satu tempat duduk yang ada di kantin.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Sanly.
"Samain aja deh."
"Oke."
Cessia melihat punggung Sanly yang pergi memesan makanan, lalu berbicara pada pria yang menjaga salah satu stan di sana. Dia memilih menunggu Sanly kembali sambil memainkan permainan di ponsel.
Sanly kembali duduk di tempatnya, yaitu di hadapan Cessia. Namun, kali ini ada dua gelas mi di tangannya.
"Nih, punyamu." Sanly memberikan satu gelas mi pada Cessia.
Cessia menyambutnya dengan senang hati. Dia membuka kertas yang ditutup dengan sebuah garpu plastik. Gelas styrofoam mengeluarkan aroma yang sangat mengundang lapar. Menyeruak aroma bawang putih yang sangat khas. Saat dia memasukkan segarpu mi itu, terasa gurihnya bawang putih dengan beberapa bumbu dan minyak terasa sangat cocok dan lezat.
Cessia mengakui mi ini sangat-sangatlah enak. Padahal tadi istirahat pertama dia sudah memakan bekal dari Fery, tetapi sekarang dia lapar karena mi ini. Menurutnya, ini benar-benar ajaib! Harusnya saat hari pertama masuk, dia memesan mi ini.
Saat minya tinggal sedikit, Cessia melihat sosok Aldorf, Fery dan gadis berambut hitam pendek tadi berjalan memasuki kantin, lalu mereka duduk di meja yang ada di hadapan Cessia.
Fery fokus dengan ponsel, sedangkan Aldorf dan gadis itu mengobrol dan sesekali merema ketawa. Cessia kesal melihat pemandangan tersebut. Namun, dia lebih kesal karena Aldorf tidak menyadari keberadaannya.
Cessia memilih tidak menghabiskan mi yang tinggal sedikit itu. "Ly, aku duluan."
Tanpa menunggu jawaban Sanly, Cessia langsung berjalan mendekati Aldorf. "Aldorf, kita perlu bicara."
Tanpa ba-bi-bu, , Cessia langsung menarik tangan Aldorf. Dia menarik Aldorf menuju lapangan hijau yang ada di samping lapangan basket. Mereka duduk di kursi yang tepat di bawah pohon besar.
"Mau ngomong soal apa?"
Cessia yang ditatap Aldorf, entah kenapa dia merasa gugup. Dia berdehem untuk menenangkan diri. "Bisakah kamu menjauh dari gadis tadi? Dia sepertinya menyukaimu."
"Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku?"
Cessia menunduk sembari memainkan jarinya. Dia bingung harus menjawab apa.
"Kenapa, Sia?"
"Tidakkah kamu tahu kalau aku menyukaimu?" Cessia tersadar dirinya yang keceplosan langsung meninggalkan Aldorf di sana.
"Dia suka sama aku? Gak mungkin," gumam Aldorf menatap punggunng Cessia yang menjauh.
Cessia terus merutuki dirinya, kenapa bisa dia keceplosan seperti tadi. Rasanya dia ingin langsung menghilang dari Hoins.
***
Fery menatap gadis di sampingnya yang sedang menikmati es teh. "Jadi, kamu beneran sengaja, Putri Laugel?" kata Fery dengan pelan.
"Tentu saja. Aku ingin tahu reaksi Cessia, ternyata reaksinya sesuai dugaanku."
"Tidakkah keterlaluan? Mempermainkan perasaan orang?"
"Aku tidak mempermainkan perasaan siapapun. Cessia saja yang mudah tersinggung melihat aku dan Aldorf tertawa, padahal itu hanya ilusi yang aku berikan." Laugel kembali meminum es teh dengan sedotan. "Lagi pula, dengan begini mungkin saja Pangeran sulung Feecris akan muncul."
"Muncul?"
Laugel menatap Fery sembari menopang dagu dengan tangan. "Kamu tau? Sejak Lebis menganggap Pangeran sulung Feecris mati, Cessia mau tidak mau harus memiliki pasangan baru. Dan Aldorf yang hampir mirip seperti Azka, Lebis memilihnya menjadi pasangan Cessia. Kurasa kamu mengerti maksudku."
"Jadi, kalau Pangeran Azka tidak muncul, maka Cessia akan menjadi Sorsam. Jika Pangeran Azka muncul, Pangeran Azka akan tetap menjadi pasangannya seperti itu?"
Laugel mengangguk. "Kurang lebih begitu."
"Lalu buat apa kamu membuat ilusi seperti tadi?"
"Aku ingin melihat reaksi Cessia, dan reaksinya hampir mirip sesuai dugaanku. Rencananya berjalan dengan sempurna. Namun, ini bukanlah rencana intinya."
"Lalu?"
"Aku mau melihat Pangeran sulung Feecris akan muncul atau tidak."
***
Tbc.
Makin asik aja cerita ini XD
Jadi menurut kalian, apakah Pangeran sulung Feecris akan muncul atau tidak?
29 Nov 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top