4. Hal Baru

Panasnya sinar matahari terasa di wajah gadis berambut putih itu. Cessia pun memilih untuk bangun dari tidurnya. Kemudian, menatap jendela yang ada di sampingnya yang tidak ditutup tirai.

"Mungkin semalam aku lupa tutup tirainya," monolognya.

Cessia merengangkan tubuhnya agar tidak pegal. Gerakannya berhenti karena mendengar suara ketukan pintu. Dia melihat Fery setelah membuka pintu kamarnya.

"Sarapan sudah siap."

Cessia menatap punggung Fery yang menjauh. Cessia mengerutkan dahinya, sikap Fery seperti penjaga atau pelayan yang ada di istana. Apa jangan-jangan dia memang bekerja di sana? Tapi dia kenapa kabur? Ah, sudahlah, bukan urusanku.

Cessia berjalan menuju dapur, dia baru sadar bahwa di dapur tidak ada meja makan. Cessia pun melihat ke arah ruang keluarga, ternyata Fery dan Aldorf sudah sarapan di sana.

Cessia duduk di hadapan Aldorf dan Fery. Fery pun menyodorkan segelas minuman berwarna putih. Cessia mengambilnya dan menatap aneh.

"Ini tidak apa-apa diminum peri?" tanya Cessia sembari memperhatikan minuman itu dengan seksama dan menghirup aroma yang seperti apel.

"Itu sari buah apel, kamu biasa memakan apel, bukan?" kata Fery setelah menghabiskan jus apelnya.

Cessia yang melihat Fery pun ikut meneguknya hingga habis. Kemudian, memasang senyumannya. "Enak."

Pandangan Cessia tertuju pada Aldorf yang memakan salad buah, lalu tertuju pada Fery yang duduk di samping Aldorf. Fery sedang fokus dengan benda pipih berwarna emas di tangannya.

"Apa yang kamu pegang, Fery?"

"Ini?" tanya Fery semberi menggerakkan benda pipih berlogo apel digigit itu. Cessia menjawab Fery dengan anggukan. "Ini disebut ponsel pintar. Benda ini punya banyak kegunaan, kalau aku sebut sekarang kamu tidak akan mengerti, nanti pelan-pelan saja aku ajari."

Cessia mengangguk lagi. Sekarang pandangannya tertuju pada pakaian yang dipakai Aldorf dan Fery, mereka memakai pakaian yang sama. Kemeja putih berkerah dan celana panjang abu-abu.

"Kalian mau ke mana? Kenapa pakai pakaian yang sama?"

"Ini?" tanya Aldorf sembari menarik seragamnya. Netranya melihat Cessia yang mengangguk kembali berkata, "Ini nama pakaian seragam sekolah, jika kamu pergi ke sekolah harus memakai pakaian ini."

Aldorf menghabiskan salad buahnya, lalu bangkit dari duduknya. "Aku dan Fery ke sekolah dulu, kamu jaga rumah ya." Setelah itu, Aldorf dan Fery langsung melangkah menuju pintu utama.

Cessia membaringkan tubuhnya di sofa. "Aku sendiri dong di rumah."

Pandangan tertuju pada benda berbentuk balok yang ada di atas meja. Dia kemudian mengambil benda itu dengan sihirnya. Netranya melihat ada lingkaran yang timbul, di dalam lingkaran itu ada tulisan atau angka.

Cessia mengikuti intuisinya untuk memencet lingkaran berwarna merah itu, dia mengarah ke benda pipih yang gantung di dinding, benda pipih itu seketika memunculkan manusia. Dia terduduk karena terkejut melihat manusia yang muncul di sana dengan suara manusia itu bicara.

Cessia mendekati benda pipih itu, lalu mengetuknya. Dia menghela nafas lega saat manusia itu tidak bisa keluar dari sana.

"Dunia manusia canggih sekali, bisa mengurung manusia di dalam sana."

***

Aldorf memasuki rumah, mendapati Cessia yang ketiduran di sofa. Kemudian, pandangannya tertuju pada televisi yang menyala, dia segera mematikannya.

Fery mengerutkan dahinya melihat Aldorf yang hanya melihat Cessia. "Pangeran nyesal?"

Aldorf menoleh dan tersenyum sebelum menggeleng. "Enggak, aku biasa aja."

Fery memutar bola matanya dan mengangkat bahunya. Kemudian, melangkah menuju kamarnya. Namun, sebelum sampai di kamarnya, dia kembali menatap Aldorf. "Bangunin dia, lalu ngajak dia jalan-jalan."

Aldorf melototi pintu kamar Fery yang sudah tertutup. "Ngapain juga aku ngajak dia jalan-jalan."

Aldorf menaiki anak tangga, tinggal lima anak tangga lagi Aldorf akan sampai di lantai dua. Namun, langkah Aldorf terhenti karena mendengar Cessia mengigau, "Bosan."

Baru saja Aldorf memijak anak tangga di atasnya, Cessia kembali mengigaukan kata yang sama. Seketika Aldorf mengacak rambutnya kesal dan melototi punggung sofa yang menutupi tubuh Cessia. Dia mendekati Cessia dengan kesal.

"Cessia," kata Aldorf sembari menggoyangkan tubuh Cessia. "Cessia."

Cessia bergumam dan memunggungi Aldorf. Aldorf mengerutkan dahinya tidak suka sambil merutuk dalam hati. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintasi kepala Aldorf, hal itu membuatnya tersenyum lebar.

Aldorf melakukan ancang-ancang untuk berteriak. Sebelum itu, dia menarik nafas lalu mengembuskannya. "Cessia!"

Cessia membuka matanya dan bangun dari posisi tidur karena itu tulang dahinya terbentur tulang rahang bawah Aldorf. Cessia yang terduduk mengelus area terbentur tadi sembari menatap Aldorf tajam.

Aldorf tidak mengatakan apa pun, melangkah menaiki lantai dua. Menghiraukan teriakan namanya dari ruang keluarga. Cessia mendengus kesal, memilih kembali membuka televisi.

Aldorf menutup pintu kamarnya di lantai dua, lalu menuju lemari pakaiannya yang hanya terdapat warna-warna gelap. Dia mengambil kaos abu tua dan celana jengki hitam. Dia mengganti seragam putih abu-abu dengan pakaian yang diambilnya tadi.

Aldorf berdiri di anak tangga, menatap televisi yang sedang menyalakan, beralih pada puncak kepala yang tubuhnya tertutup sofa sedang mengomel. Ia tersenyum kecil. Walau Cessia sedang menggunakan bahasa peri, dia yakin Cessia mengomel tentangnya.

"Mau omel sampai kapan?"

Cessia segera berdiri menatap Aldorf yang berada di belakang sofa. "Sejak kapan kamu di sana?"

Aldorf mengangkat kedua bahunya. "Aku juga enggak paham apa yang kamu omel."

Baru saja Cessia menghela napas lega, Aldorf kembali membuatnya terkejut. Aldorf melompat dari belakang sofa dan mendarat tepat di bekas duduk Cessia.

"Bisa kamu bertingkah normal sebagai manusia?" kata Cessia sambil memelototi Aldorf.

Aldorf menggeleng. "Semenjak kehadiranmu dan Fery, sudah membuatku tidak normal."

"Jadi, mau jalan-jalan?"

"Aku enggak mau jalan-jalan sama manusia tidak normal."

"Oh, ya sudah. Berarti kamu mau terus memakai gaun kuning itu."

Cessia menatap gaun kuningnya yang sudah dipakainya sejak kemarin. "Aku mau beli gaun kuning lainnya. Tetapi ...."

"Tetapi?" Suara Aldorf ikut menggantung.

"Aku tidak punya barang yang bisa ditukar." Cessia memainkan jari-jarinya.

Aldorf mengambil di saku celananya sesuatu yang terbuat dari kulit. Aldorf menunjukkan itu pada Cessia. "Ini namanya dompet." Aldorf mengeluarkan kertas-kertas dari dompet. "Dan yang ini namanya uang, benda yang digunakan menukar barang yang kita inginkan. Aku bisa meminjamimu uang tetapi aku tidak ingin kamu mengembalikannya dengan uang."

"Lalu dengan apa?"

"Aku akan memikirkannya nanti. Jadi kamu mau beli?"

Cessia mengangguk antusias. "Tentu saja mau."

***

Terella melihat suaminya yang memasuki rumah langsung memberi Lichael air minum. Dia tersenyum melihat Lichael yang menenguknya hingga habis.

Lichael mengikuti Terella duduk di sofa ruang tamu. "Que esvapal (Ada apa?)."

Terella mengembuskan napasnya. "Aku memikirkan Cessia yang kabur ke Hoins (dunia manusia)."

"Aku yakin dia baik-baik saja di sana."

"Tetapi apakah kamu tidak memikirkan akibatnya jika nanti dia kembali, bisa saja dia dieksekusi."

Lichael terdiam, memikirkan perkataan istrinya. "Hal itu mungkin saja terjadi." Lichael berkata lagi, "Namun, hal itu juga bisa saja tidak terjadi."

"Aku yakin Cessia akan dieksekusi, Lichael."

"Apakah kamu melupakan sesuatu?" Terella mengerutkan dahinya.

***

Cessia menatap gedung lima lantai yang ada di hadapannya dengan kagum. Gedung itu besar dan lumayan dikit. Gedung yang tidak mungkin bisa Cessia temui di Feecris (kerajaan peri) atau bahkan kerajaan di Lebis lainnya. Namun, matanya lebih fokus pada bangunan bagian samping kanan itu yang memiliki lantai yang lebih banyak dan lebih tinggi.

Mobil Aldorf perlahan bergerak mendekati gedung, lalu berhenti di samping jalan. Cessia turun dari mobil dengan sandal Fery di kakinya, melihat orang-orang yang sedang makan di meja putih dan kursi putih di seberang jalan.

"Aku mau itu," kata Cessia sembari menunjuk orang yang sedang makan, tentu setelah melihat Aldorf berdiri di sampingnya.

"KFC?"

"Aku tidak tahu namanya apa, tapi melihat mereka memakan daging dengan kulit yang digigit memiliki suara seperti itu bikin aku pengen mencobanya. Lagi pula Fery bilang aku enggak apa-apa jika makan makanan seperti itu." Cessia menatap Aldorf memohon.

"Iya-iya."

Cessia dengan girang mengekori Aldorf. Sembari menunggu Aldorf yang memesan, dia bersandar pada kursi besi putih. Pandangannya terlalu pada sepasang kekasih yang sedang makan di sebelahnya, mereka saling menyuapi kentang goreng.

"Apakah sepasang kekasih harus seperti itu?" monolognya.

Kali ini pandangannya tertuju pada sebuah keluarga kecil yang duduk di hadapannya. Seorang kakak yang membagi isi roti bulatnya dengan adiknya, setelah makan segigit sang adik tampak kepedasan segera meminum minumannya. Orang tua mereka tersenyum geli, sang kakak malah ketawa, dan si adik cemberut. Cessia jadi kangen keluarganya.

Aldorf duduk di hadapannya dengan nampan yang berisi dua isi roti bulat, dua gelas soda dan sebungkus kentang goreng. Cessia segera mengambil sebuah isi roti bulat itu dan membuka bungkusannya. Cessia memperhatikan cara makan Aldorf dan mengikutinya. Dia kepedasan setelah menggigit isi roti bulat itu yang ada saus cabai. Aldorf terkekeh melihat mukanya yang memerah sedang meminum soda.

"Kenapa enggak kasih tahu kalau saus itu yang pedas?" Cessia cemberut.

"Siapa tahu kamu suka makanan yang pedas. Lagian kamu juga enggak tanya."

Cessia masih cemberut bertanya, "Kalau yang ini pedas?" Cessia menunjuk saus yang merah yang lebih tua dari saus cabai.

"Itu saus tomat, enggak pedas kok."

Cessia mengambil piring berisi saus tomat, kembali menglahap isi roti bulatnya. Isi roti bulatnya tinggal setengah, Aldorf berjalan meninggalkannya ketika nama Aldorf dipanggil. Dia menoleh ke arah jalan, netranya menangkap sosok gadis yang berjalan melewatinya. Dadanya berdetak kencang, gadis itu makhluk immortal. Dia mengalih menatap telapak tangannya. Sorsam. Kata itu muncul di telepak tangannya. Dia segera meletakkan makanannya, melangkah menuju jalanan memperhatikan arah jalan gadis tadi yang ke arah hotel. Namun, dia tidak menemukan gadis tadi.

"Cepat sekali dia," monolognya.

Seseorang menepuk bahu Cessia, membuatnya yang sedang memperhatikan hotel itu terkejut. "Kenapa kamu berdiri di tengah jalan?" tanya orang itu.

"Enggak apa-apa, Dorf." Cessia segera menuju tempat duduknya tadi.

Aldorf mengekori Cessia dengan bingung. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikannya. Aldorf mendorong piring berisi nasi dan sepotong ayam goreng pada Cessia. Lagi-lagi, Cessia mengikuti cara makannya.

Setelah selesai makan, mereka menuju sebuah toko di lantai 2 yang menjual pakaian dan sebagainya. Cessia melihat toko tersebut bernama Matahari. Baru saja memasuki toko tersebut, dia melihat banyak perhiasan yang berkilauan. Tangannya mengambil salah satu cincin itu dan mencobanya.

"Aldorf aku beli ini boleh?"

Aldorf menggeleng. "Tidak. Gadis pelajar sepertimu, enggak usah beli yang beginian."

Cessia cemberut ketika Aldorf melepaskannya dari jari. "Tapi cantik."

"Kalau gitu, nanti kamu mau nikah suruh calon suami kamu beliin kamu cincin yang seperti itu. Sekarang aku hanya belikanmu pakaian."

Aldorf menarik tangan Cessia menjauh dari perhiasan-perhiasan itu, menaiki eskalator yang dekat dengan deretan jaket-jaket--di hadapan perhiasan. Cessia melihat kaca yang memantulkan bayangannya di samping eskalator, dia memegang bayangannya sendiri sambil tersenyum. Dia sadar akan satu hal, matanya menjadi hitam sama seperti punya Aldorf. Padahal seingatnya mata Fery itu agak kecoklatan. Apa setiap peri warnanya berbeda-beda?

Sesampainya di lantai atas, netra Cessia langsung bertemu dengan deretan pakaian perempuan. Dia bersemangat menuju deretan yang di hadapannya.

"Pilih saja semua pakaian yang kamu suka."

Cessia memilih semua pakaian yang dia suka, dari switer, baju, celana dan gaun. Aldorf menunggunya sambil memainkan ponsel pintarnya.

Setelah memilih pakaian yang dia suka, Cessia mendekati Aldorf yang berdiri. "Kalau aku suka, bayar di mana?"

"Ini kebanyakan, Sia. Kembalikan beberapa, dan mencobanya."

Cessia cemberut. "Iya-iya."

Cessia mengembalikan beberapa pakaian yang menurutnya tidak cocok dengan tubuhnya. Kemudian, mengekori Aldorf menunggu kamar pas yang ada di belakang kasir.

Cessia membuka pintu putih, ruangan bernuansa putih terdapat sebuah kaca yang memantulkan bayangannya bergaun kuning sedangkan di samping tubuhnya ada sebuah gantungan. Dia menggantung semua pakaiannya di gantungan itu, meninggalkan sebuah gaun berwarna merah muda di tangannya.

"Di dunia manusia tidak ada peraturan pada warna pakaian, jadi pilihlah warna yang kamu sukai."

Mengingat perkataan Fery itu, membuatnya tersenyum. Cessia menjadi menyukai warna merah muda ini. Dia semakin tidak sabar mencoba semua pakaian yang diambilnya.

Setelah Cessia mencoba semuanya, dia keluar dari kamar pas bertemu Aldorf yang berdiri dekat boneka samping kasir.

"Dorf, aku mau ini semua."

Aldorf mengangguk langsung menuju kasir untuk membayar pakaiannya. Cessia melihat Aldorf yang membayar dengan kartu emasnya dengan mengerutkan dahinya.

"Bukannya harus menggunakan uang?" tanya Cessia agak jauh dari kasir.

"Di dalam kartu tadi, ada uang yang banyak."

Sebenarnya Cessia kurang mengerti, tetapi dia tetap mengangguk. Cessia mengambil dua kantong yang berisi pakaiannya dari tangan Aldorf.

Setelah keluar dari toko besar itu, pandangan Cessia bertemu pada sebuah toko buku yang bernama Kharisma. Toko buku itu terlihat sepi, hanya terlihat pengawainya.

"Apakah kamu tidak suka membaca?"

"Suka. Kenapa?"

"Aku pikir manusia tidak suka membaca, karena toko buku itu terlihat sepi." Cessia menunjuk ke arah toko buku Kharisma.

Aldorf menoleh ke arah tunjukkan Cessia. "Itu karena buku-buku di sana banyak buku lama dan juga buku yang tidak menarik para remaja, jadinya itu terlihat sepi."

Cessia mengangguk. Mereka sekarang turun lagi ke lantai pertama. Turun dari eskalator melewati panggung yang terdapat di tengah mall. Aldorf menarik Cessia menuju sebuah toko yang menjual ponsel pintar.

"Pilihlah yang kamu suka."

Mata Cessia kembali berbinar, mulai memilih ponsel pintar yang dia suka. Pandangannya tertuju pada ponsel pintar berbahan kaca yang berwarna space gray.

"Aldorf, sini," kata Cessia sambil menggerakkan tangannya menyuruh Aldorf mendekatinya. "Aku mau yang ini."

Aldorf menatap ponsel pintarnya  berlogo apel digigit berwarna emas. Aldorf menggeleng. "Kamu harus memilih yang sama punyaku."

Cessia menatap ponsel tadi yang juga berlogo apel digigit, tetapi bedanya adalah bahannya kaca sedangkan punya Aldorf bahannya aluminium. "Bukankah sama saja?"

"Beda. Punyamu itu lebih mahal."

"Jadi kamu tidak ikhlas memberiku yang lebih mahal? Lagi pula aku juga akan membayarmu nanti," jeda Cessia. "Aku mau yang itu," katanya sembari memasang tampang memohon dan msnggoyang-goyang lengan Aldorf.

Aldorf menghela napas. "Ya sudah, ya sudah."

Cessia tersenyum semringah. "Makasih, Dorf."

"Iya-iya."

Cessia mengambil kantong berisi ponsel pintar tadi dengan senang, setelah Aldorf membayar. Cessia keluar dari toko itu, pandangannya kini tertuju pada toko seberang yang menjual es krim.

"Aku pengen coba itu."

"Ya sudah, kalau gitu kamu tunggu di bangku yang dekat panggung sana ya."

Cessia mengangguk dan berjalan menuju tempat yang dimaksud Aldorf, sementara Aldorf membeli es krim. Cessia menunggu Aldorf sambil menatap orang-orang yang lewat di hadapannya, orang-orang itu akan menatap Cessia dengan lekat seakan Cessia itu aneh. Dia baru sadar akan satu hal, warna rambutnya berbeda dengan mereka. Rata-rata warna rambut mereka berwarna hitam atau kecokelatan sedangkan punyanya berwarna putih.

"Apakah karena rambutku jadi mereka semua memperhatikanku?" monolognya sembari memegang rambut panjangnya.

"Ini." Aldorf tiba-tiba duduk di sampingnya dan menjulurkan es krim rasa vanila.

Cessia memakan es krim vanila dengan senang, bahkan sampai berlepotan. Aldorf terkekeh, membuat Cessia terpaku melihatnya dari samping. Apalagi ketika Aldorf menghapus es krim dari sudut mulutnya, dia terpaku melihat iris mata Aldorf yang ada kilauan merah. Dia segera mengingkirkan jari Aldorf dan menghapusnya sendiri dengan memalingkan wajahnya.

Aldorf tidak peduli dengan Cessia yang memalingkan wajahnya, tetap fokus memakan es krim rasa coklat. Dia tidak tahu kalau gadis di sebelahnya sedang memikirkan sesuatu.

Cessia menggigit bibir bagian bawahnya, dia sudah tidak berselera memakan es krimnya. Dia sibuk merutuki dirinya dalam hati. Kenapa dirinya melihat kilauan merah itu di mata Aldorf! Sial, dia pasti sudah gila!

***

Tbc.

Bab ini seperti teenfiction bukan? XD mungkin beberapa bab ke depan juga akan memiliki konflik yang ringan.

17 Nov 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top