resign
Resign.
Impian yang akhirnya tercapai? Sekarang aku tahu kalau mencintai perjuangan seperti sesuatu yang sejati. Memori dan bekas luka yang membekas dikaca masa lalu seakan menandakan kalau retak itu pernah dijajah. Retak itu pernah membuat cerita. Retak itu pernah mengubah malam menjadi pagi dan pagi menjadi malam. Mengawali air mata untuk menutup rasa syukur. Membacakan doa yang tak sempat tercapai, tapi kini didengar.
Baru kali ini aku merasakan bagaimana beratnya untuk meninggalkan penderitaan yang pernah mencengkram seluruh kakiku hingga sulit berjalan ini. Aku tak pernah menyangka bahwa keputusan ini berakhir dengan ketakutan hebat yang membuatku bertanya-tanya apakah resign itu benar?
Lalu hatiku berteriak, "kamu sedang tidak memikirkan itu lagi." Kemudian kepalaku dengan tegas mengangguk dan setuju, kalau semua penderitaan yang kualami ini hanya untuk membuatku semakin kuat. Aku tidak tahu apakah sekarang aku kuat, tapi keteguhan setiap aku mengutarakannya sudah cukup membuatku menahan air mata. Aku cukup serius dan sungguh-sungguh untuk angkat kaki dari sini. Dan hal itu selamanya membekas keras kalau aku benar-benar akan melanjutkan impian ini.
Rasa berat yang dulu mengais amarah, memeras air mata, membuat kepalaku mendongak dan bertanya pada langit apakah penderitaan ini akan selesai akhirnya memberi jawaban. Ada sebagian kendi yang terisi. Ketidaktahuan yang dulu membutakan langkah, menggelapkan terowongan, kini menampakkan satu titik terang.
"Kamu yakin resign? Bapak berharap kamu bisa memikirkan ini lagi."
Tapi dorongan dari dalam diri ini tidak berhenti menggebu-gebu.
"Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Yang diam, yang sabar pun mungkin punya waktunya sendiri untuk bersuara. Dan inilah saat yang tepat untuk saya, semua indra saya mendengarnya. Saya ingin memberi bawah alam saya, saya yang lain, kesempatan kalau hidup bisa begitu berarti ketika kita berani memulai langkah."
"Kenapa sekarang? Padahal kamu udah cocok sama Bapak. Udah enak tektokannya."
Aku tidak menyayangi hal itu. Aku menghargai, dan diluar perkiraan, hatiku tersenyum mendengarnya. Aku merasakan diriku terayun dari masa lalu yang sering mendongakkan dagu dan mengibaskan tangan seakan hari esok adalah hari yang mudah. Seakan masa depan bukanlah ketakutan. Tapi sekarang ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Sesuatu yang tidak pernah kutahu ketika tidak merasakan penderitaan. Penderitaan yang membuatku bertahan di tiap sendi langkahku, penderitaan yang membuat sisi lain dari diriku menerimanya dan mempelajarinya. Aku ingin membagikan kalau sebuah masalah bukan untuk dikasihani. Teringat ketika aku menangis di jalan, sore itu waktu matahari memandangiku tanpa bersuara di antara megahnya awan dan langit ungu, mengelilingiku seakan berbisik, kamu bisa menjalaninya. Kamu akan baik-baik saja. Kemudian aku mengadu kepada gedung-gedung masa lalu, tempat aku memikirkan diriku yang lain dan mereka mengangkatku dan mengembalikan itu. Jiwa yang masih menyangkut di masa lalu itu, terbang kembali, dikembalikan olehnya lewat matahari. Lewat sinarnya yang menyentuh air mataku.
Kamu akan baik-baik saja.
Satu kalimat itu membangkitkan gelap menjadi terang, membuka suara yang diam, menghentikan rasa pahit, memutar balikannya dengan satu tengukan keyakinan. Dunia yang berputar akan selamanya begitu, tapi seseorang bisa memilih apakah ia akan mengikutinya atau tidak. Dan aku memilih tidak. Aku ingin membuat duniaku sendiri, impian yang sudah kukubur dalam-dalam, kini memunculkan tunasnya. Memberi pemandangan baru di hidupku yang ke 23 tahun ini. Perjuangan yang tersimpan dibalik pena, dibalik heningnya senja, sampai sekarang terekam linimasa. Dan aku tidak menyangka kalau aku menghargai orang yang memberiku penderitaan ini.
Dunia.
"Saya terima kasih, karena dari sini saya belajar banyak hal. Saya sendirian tapi saya tahu bagaimana caranya bertahan, saya tahu celah untuk bangkit meski lutut berdarah-darah, meski tak ada yang mendengar suara napas yang tersengal dan air mata yang jejaknya telah hilang. Saya paham perasaan itu dan memilih untuk mengikhlaskannya. Dan tanpa saya sadar, kekuatan menghargai penderitaan membuat saya baik-baik saja. Apa saya akan miskin? Mungkin iya, mungkin tidak. Logika selalu mengata-ngatai saya, tapi dorongan besar itu selalu berbisik. Bisik yang amat pelan hingga kadang sulit mendengarnya. Saya masih ingin menulis. Saya masih ingin melanjutkan dorongan itu. Saya tidak ingin selamanya terkunci dalam kegelapan yang selama ini saya buat sendiri. Saya ingin selamanya tidak menyesal."
Atasanku menarik napas panjang, aku pun sama. Melepaskan berbagai perjuangan itu membuatku berterima kasih. Sungguh-sungguh berterima kasih karena aku bisa merasa begitu hidup. Aku merasa begitu nyaman. Walaupun aku sering takut, tapi hatiku selalu berkata, "kamu bisa. Jangan pikirkan apa-apa, kamu bisa selama mempercayaiku."
"Kalau begitu, kami sangat menghargai keputusanmu."
Aku ingin bebas baik-baik. Aku ingin mereka tahu kalau hal ini sangat berat bagiku karena seakan melepas sebagian jiwa yang telah melekat lama dalam penderitaan akan lepas. Sama seperti ketika aku harus melambaikan tangan ke cerita ku sendiri. Tapi dunia akan terus berputar, dunia akan terus menuliskan penanya. Di antara malam dan pagi, mereka yang tidak terpisah adalah mimpi yang akhirnya menjadi nyata.
Terima kasih karena telah memberikan perjuangan. Terima kasih karena kamu telah bertahan dan menceritakan kekuatan itu untuk diri sendiri, atau untuk kamu yang membaca.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top