Roleplay 7: Deja Vu

Catatan:

Rekapan roleplay ini diedit sesuai sudut pandang J. Sehingga detail-detail atau kejadian yang terjadi pada karakter lain tidak tertulis di sini.

Silahkan mampir ke cerita masing-masing karakter untuk sudut pandang yang berbeda:

(Ducky) Kabur - Catsummoner
(Raz) Faith in The Dessert - rafpieces
(Xi) In Transit - amelaerliana
(Silas) Noil Desperare - Shireishou
(Deo/Pria berkacamata) Acta Diurna - boiwhodreams_

[Libertè]

Sayangnya, roda takdir tidak berpihak pada mereka. Lantai yang mereka pijak tiba-tiba bergetar, pun dengan dinding di sekitar mereka. Suara ledakan juga terdengar dari lantai di bawah mereka.

J refleks mengedarkan pandangannya, memastikan situasi di sekitarnya. Jika didengar dari bunyinya, mungkin bom itu pun ada di lantai lain dan sekarang sudah meledak. Hanya menunggu waktu sampai lantai ini mendapat gilirannya.

"Tuan! Hei, Tuan! Bangunlah!" Xi bolak-balik menampar pipi pria besar itu. "Bangun atau kami terpaksa meninggalkanmu."

J melongo, bingung dengan apa yang dilakukan Xi dan apa yang harus dilakukannya. Tapi sepertinya dia juga harus membangunkan tiga orang itu, seperti Xi.

Akhirnya, J mendekati pria berkacamata yang tidak jauh darinya dan mengguncang-guncangkan bahu pria di depannya. "Banguunn!"

Namun, baru sebentar J mengguncang tubuhnya, V sudah lebih dulu berjalan menuju leher pria itu dan menggigitinya.

"Aduh ..." Pria di depannya tiba-tiba bersuara, buru-buru J mengambil V dan memukul kepalanya pelan, nakal sekali!

"Maaf, sungguh maafkan aku, dia memang suka gigit-gigit," ucapnya pada pria di depannya. Entah apa pria itu sudah bisa mendengarnya atau tidak.

"No-Nona Sara?" J menoleh begitu mendengar suara yang asing. Ternyata pria besar yang tadi ditampari Xi sudah bangun. Dengan tubuh yang masih lemah, pria itu mendekati wanita yang dia panggil Sara. Kabel yang sebelumnya mengikat pria itu lepas, mungkin Xi yang melepasnya.

Pria itu memanggil lagi wanita di depannya, Sara, namun wanita tidak kunjung menjawab, matanya tetap menutup. "A-apa yang terjadi padanya?!" Pria itu meraung frustasi, menoleh pada J dan Xi seolah meminta penjelasan.

J menoleh pada Xi, dia pikir wanita masih hidup? Tapi kenapa pria itu bersikap seolah wanita bernama Sara itu sudah mati?

Xi buru-buru mendekat. Disentuhnya pergelangan tangan wanita itu. Beberapa detik Xi tidak memberi jawaban, dahinya malah mengernyit. Xi mencoba menyentuh leher Sara, namun ekspresi Xi tidak membaik.

"Ku-kurasa, dia sudah meninggal." Kalimat Xi yang terucap setelah dirinya menaruh jarinya pada bawah hidung Sara membawa suasana ruangan itu semakin suram. Wanita itu, Sara, sudah tidak lagi terselamatkan.

Pria besar itu bangkit, terhuyung kemudian jatuh menubruk lantai. "Tidak....." ucapnya lirih.

J tidak menyangka wanita bernama Sara itu mati. Pria besar itu terlihat sangat terpukul akan hal itu, J hanya bisa menunduk prihatin. Sara mestilah orang yang sangat berharga bagi pria itu.

Suara terbatuk-batuk terdengar setelahnya, ternyata pria berkacamata itu sudah tersadar sepenuhnya. "Kebakaran?" tanya pria berkacamata itu.

"Euh, mungkin. Tapi yang pasti tempat ini akan meledak, jadi kita harus segera pergi." J menjawab ragu.

Setelahnya, J berjalan pelan menuju pria besar itu dan menepuk pundaknya, dia terlihat masih bersedih atas kepergian Sara. "Maafkan kami tidak sempat menolongnya, tapi kita harus segera pergi."

Tepat setelah kalimat J berakhir, bunyi ledakan kembali terdengar. Jika mereka tidak segera keluar, mungkin tidak akan ada yang selamat dari mereka.

"Ayo." ucapnya lagi pada pria besar itu sembari melirik Xi. Jangan sampai Xi jadi terluka di sini karena permintaannya.

"Nona ... Jamur ... Teh ... Maaf...." Pria besar itu berkata lirih, entah memang itu yang ingin dia katakan, atau dia gagal merunut kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Namun untunglah pria itu segera bangkit, walau setelahnya terhuyung karena luka di kakinya.

"Ayo kita pergi!" Pria itu berdiru tegak. J terpana, pria itu kuat sekali untuk mengontrol kesedihannya.

"Maaf, Tuan. Apakah kau tahu lokasi tangga darurat di gedung ini? Tadi kami menemukan lift di ujung lorong, tapi tidak berfungsi." Xi menatap kedua pria di hadapannya bergantian.

Pria berkacamata itu mengangguk. Entah sejak kapan, dia sudah berada dalam posisi duduk. "Meski denah laboratorium utama statusnya sangat rahasia, demi keamanan para saintis dan pengguna gedung, jalur darurat tetap diberi penanda, kita bisa keluar mengikuti itu. Atau ...."

Pria itu memijit kepalanya, lalu batuk-batuk.

"Atau kita bisa keluar lewat pintu terdekat, semoga belum diblokade. Kalian bisa tinggalkan saya," ucap pria itu dengan yakin. J melongo kebingungan, meninggalkannya? Di gedung penuh bom?

"Tuan wartawan.... Apa maksudmu? Apa jangan-jangan kau...." Belum sempat J mencegah pria berkacamata itu untuk tinggal, pria besar itu sudah lebih dulu berbicara, menatap pria berkacamata dengan curiga.

"Oh, Tuan Silas masih hidup." Pria itu menjeda kalimatnya, melirik mayat Saras yang bergeming dan berganti menatap pria besar bernama Silas itu.

"Karena saya belum mati, jadi ada urusan yang harus saya selesaikan." Pria berkacamata tersenyum membalas Silas. "Jangan khawatirkan saya."

Silas terlihat menahan rasa kesalnya sebelum akhirnya berbicara. "Saya harap Anda tidak bertindak gegabah. Dan berdoa saja bahwa bukan Anda yang menyebabkan kematian Nona Sara!" Silas berkata kesal, lantas memutar tubuhnya dan bergerak menjauhi pria berkacamata itu.

J menatap kedua pria asing itu bergantian, dia kebingungan. Apa pria berkacamata itu musuh? Apa J salah menyelamatkan orang, seperti kata Xi?

"Gedung ini bisa runtuh kapan saja. Jadi, kita tidak punya waktu untuk berdebat. Kalau Anda tidak mau ikut, tunjukkan saja pada kami jalannya." Dalam nadanya, Xi terdengar jengkel. Tapi J bisa mengerti, karena pria-pria di depannya mengatakan hal yang juga membuat J bingung.

Terlebih, seperti kata Xi, mereka harus segera keluar dari tempat itu. Sebelum semua dari mereka terkubur bersama reruntuhan gedung ini.

"Tinggal ikuti saja arahnya, aku tidak terlalu hafal denah gedung ini, Nona. Namun, tentu saja penanda arah tidak pernah berbohong." Pria berkacamata itu nampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan berbicara. "Kalau lewat jalur yang cepat, Tuan Silas bisa menunjukkan jalannya ke kalian."

J sedikit berpikir sebelum bertanya, sepertinya memang orang di depannya bukan musuh mereka. Setidaknya dia tidak berniat mencelakakan dirinya dan Xi. "Apa benar kau yakin ingin ditinggal di sini? Urusan yang kau katakan itu, apa tidak sejalan dengan jalan keluar? Mungkin kita bisa pergi bersama?" J bertanya, memastikan keputusan pria berkacamata itu.

Pria itu tersenyum, mengangguk ramah. "Betul, kalian bisa pergi duluan. Ingat, kalian berpacu dengan waktu."

J terdiam sebentar sebelum menjawab, berpikir, "oke. Pastikan kau keluar dengan selamat ya." J tersenyum kecil pada pria itu sebelum akhirnya menghampiri Silas dan mengulurkan tangan. "Perlu bantuan untuk berjalan?"

Silas menatap pria berambut ikal di hadapannya sejenak. "Bisa tolong dorong saja kursi beroda itu? Saya akan duduk di sana. Lebih efektif bagi kita bergerak di lantai yang masih mulus ini. Nanti kalau kita bertemu reruntuhan, baru saya akan berjalan."

Silas bergerak terpincang ke arah kursi dan duduk di atasnya.

"Terima kasih."

"Sama-sama." Balasnya sembari tersenyum.

Gedung itu kembali bergetar hebat, bahkan kali ini diiringi suara benda-benda yang jatuh dan pecah. Mungkin sebentar lagi giliran bom di lantai mereka yang akan meledak.

"Tadi, kami menemukan lift di ujung lorong. Namun, kami belum berhasil menemukan pintu menuju tangga darurat. Mungkin tidak ada salahnya kita mengecek lagi ke sana." Xi membuka pintu dan menahannya agar J dan pria bernama Silas itu bisa lewat.

"Yang jelas, kita tidak bisa terus berdiam diri di sini." J mengangguk kecil pada Xi dan mendorong kursi itu keluar dari ruangan.

"Pergilah, jangan kebanyakan lihat-lihat." Deo terkekeh sambil mengisyaratkan mereka untuk segera pergi dengan mengibaskan tangannya.

J tidak tahu kalimat itu ditujukan untuk siapa, tapi dia memilih untuk melihat pria itu sekali lagi, "sampai bertemu lagi," ucapnya sembari tersenyum, sebelum akhirnya dia mendorong kursi itu sepenuhnya keluar ruangan.

Suasana lorong yang sebelumnya mereka lalui masih terasa sama, yang berbeda hanyalah salah satu jendela ruangan yang pecah. Mungkin karena Xi.

"Kita mau ke mana? Mana tanda petunjuk arah?" Silas menoleh ke sekeliling.

"Apa ada yang melihat?" Kali ini dia berganti menatap Xi dan J bergantian.

"Sepertinya tadi aku melihat beberapa tanda panah di dekat lift," jawab Xi sembari mempercepat langkah. Dia memimpin jalan menuju ujung lorong yang tadi sempat diperiksanya.

Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan J dan Silas masih mengikutinya.

Langkahnya terhenti di depan lift. Kini, lampu di bagian itu semuanya telah padam. Mungkin akhirnya aliran listrik di lantai itu telah seluruhnya terputus. Namun, kini mereka bisa melihat petunjuk arah yang berpendar dalam gelap.

Garis-garis itu mengarahkan mereka ke salah satu pintu di seberang lift. Xi buru-buru mendorong pintu tersebut, tetapi tidak terjadi apa-apa.

"Pintunya macet," seru Xi panik.

"Macet?" J melepaskan pegangannya pada kursi, menghampiri pintu.

J mencoba mendorongnya, benar macet. J mencoba mendorong tubuhnya ke pintu, mendobraknya.

Brak!

Bunyinya cukup keras, namun tidak cukup kuat untuk membuka pintu itu. "Coba kita dobrak bersama." J menatap Xi, meminta bantuannya.

Xi mengangguk. Mungkin pintu itu akan terbuka jika didorong dua orang.

"Satu ... Dua ...Ti--" Xi memberi aba-aba, "ga!"

Brak!

Pintu itu berbunyi lagi bersamaan dengan J yang hampir terjatuh karena pintu yang tiba-tiba terbuka.

"Terbuka!" J bersorak senang.

"Terima kasih banyak." Silas menatap kedua orang di depannya dengan tulus.

"Kau bisa berterima kasih kalau kita sudah sampai di atas," timpal Xi sambil mengamati deretan anak tangga yang seolah tanpa ujung.

Xi menoleh pada Silas dan berkata, "Kurasa sekarang kau harus berjalan, Tuan."

Silas mencoba berdiri. Namun sepertinya dia masih terlalu lemah untuk berjalan. "Baik. Jika terjadi sesuatu dan saya menghambat, tinggalkan saja saya di belakang. Lebih baik kalian menyelamatkan diri duluan daripada mencoba menyelamatkan saya yang sudah cedera."

J meraih tangan pria besar itu, membantunya berdiri. "Kita coba saja dulu untuk keluar bersama," ucapnya dan perlahan membantu Silas menaiki tangga.

"Apa kursinya perlu kita bawa?" J menoleh pada Xi, bertanya padanya.

"Biar aku yang bawa." Xi menawarkan diri. "Kalian naik dulu, aku akan menyusul."

"Oke." J menjawab pendek dan lanjut menaiki tangga bersama Silas.

Gedung terkadang kembali bergetar diiringi suara ledakan. Entah sudah ledakan keberapa, dan kapan bom yang berada di lantai ini meledak pun, J tidak tahu. Yang pasti mereka harus segera keluar dari sini sebelum itu terjadi.

J terus melangkah menaiki tangga, sesekali menoleh, memastikan Xi masih di belakangnya.

Meski sedikit kerepotan karena harus menaiki tangga sambil mendorong kursi, Xi terlihat terus berusaha untuk mengimbangi langkah J dan Silas.

"Kurasa, lantai berikutnya adalah jalan keluar. Perhatikan apabila ada pintu lagi, J," teriak Xi, berusaha menyaingi suara gemuruh dari lantai di bawahnya. Sepertinya sebentar lagi gedung ini runtuh, mereka harus cepat.

"Oke!" J balas berteriak, untunglah dia masih mendengar suara Xi diantara suara gemuruh itu. Dia tidak sempat menoleh ke belakang untuk mengecek Xi, tangga yang dipijaknya kini sedikit bergoyang, dirinya sibuk mempertahankan keseimbangan dirinya dan Silas di sampingnya.

J terus berusaha menaiki tangga, berharap tangga itu tidak roboh terlebih dahulu sebelum mereka sampai di lantai berikutnya.

Mata J menangkap pintu dengan tulisan GF berpendar di atas pintu itu, dia sumringah. "Itu pintunya, Xi!" Serunya sembari sedikit mempercepat langkahnya.

"Ayo, kita bergegas. Tinggalkan saja kursinya! Itu menghambatmu bergerak!" Silas menoleh ke arah Xi, memintanya mempercepat langkah. Wajahnya terlihat khawatir dan panik, entah apa yang membuatnya begitu.

"Kursi ini mungkin bisa berguna," jawab Xi dengan napas terengah-engah.

"Apa kau bisa buka pintunya, J?" J menoleh pada Xi yang masih di tangga. Dia terlihat kelelahan, mungkin seharusnya memang kursinya ditinggal saja seperti kata Silas.

"Aku coba dulu." J menurunkan Silas di samping pintu dan mendorong pintunya.

Diluar dugaan, pintu itu tidak macet seperti pintu sebelumnya. "Pintunya sudah dibuka! Ayo masuk Xi!" J berseru pada Xi. Sembar menahan pintunya, J mengulurkan tangan pada Silas untuk melanjutkan perjalanan.

"Waspadalah. Aku merasakan firasat buruk." Silas berbisik dengan napas terengah. J terdiam mendengar ucapan pria besar itu, lantas setelahnya mencoba tersenyum optimis. "Kita bisa keluar bersama."

"Anda bisa duduk lagi, Tuan Silas." Xi menurunkan kursi yang sedari tadi dia bawa, terlihat lega. "J bisa mendorong Anda sambil mencari jalan keluar. Dan kalau Anda tidak keberatan, saya ingin menitipkan ransel ini sebentar," ucap Xi sembari menurunkan ranselnya dari punggung.

Bum!

Suara ledakan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, dan sepertinya memang sudah dekat!

"Kita harus keluar! Xi, masih bisa berlari?" J menoleh pada Xi sembari membantu Silas duduk di kursinya, lantas mulai mendorong.

Xi menutupi hidung dengan ujung jubahnya. Debu dan asap makin pekat di udara. "Lihat ke depan, J!" omel Xi di sela batuknya. "Jangan sampai Tuan Silas terjungkal dari kursi!" Teriakan Xi langsung membuat J menoleh ke depan, tidak ingin Silas terjungkal.

Mereka terus berlari dan suara gemuruh terus membesar dan membesar, seolah mendekati mereka. J terus berlari sembari menoleh ke belakang, memastikan Xi masih mengikuti di belakang.

"Semua baik-baik saja?" Teriakan itu membuat J kembali menoleh ke depan. J kenal dengan suara itu, Raz. Dan jika ada Raz, pasti Ducky sedang bersamanya.

"Berpegangan!" J sedikit berseru pada Silas.

Namun belum sempat J mempercepat larinya, sebuah suara retakkan menghentikan langkahnya. J menatap lantai di bawahnya namun tidak melihat retakkan itu.

"J! Lari!" Teriakan Xi melengking tinggi, berusaha menyaingi bunyi retakan yang makin kencang terdengar. Tepat setelah teriakan Xi, suara retakkan itu membesar disusul dengan suara sesuatu yang berdebum kencang, seperti terjatuh.

Begitu kepala J menoleh sepenuhnya, matanya tidak melihat Xi yang seharusnya berada di belakangnya. Sebagai gantinya, sebuah lubang yang cukup besar menganga di sana. Dirinya sempat melihat kain yang berkibar, ikut jatuh ke bawah entah bersama apa.

Namun sepertinya J tahu, apa yang jatuh. "Xi? ..." Ekspresi J sulit diartikan, dia kebingungan, namun sedikit bisa menangkap apa yang terjadi sebelumnya. Dia ingin bersedih, namun semuanya terjadi terlalu cepat hingga air matanya bahkan tidak menetes.

"Jeii!!!" J mendengar panggilan itu, terdengar marah. Pasti Ducky. Seharusnya J senang mendengar suaranya, namun menoleh pun tidak. Tidak sampai Ducky berada di sampingnya, baru dia menoleh lemah.

"Ducky ..." Suaranya bergetar, lirih memanggil Ducky.

"Jei." Ducky menegurnya, amarah yang sebelumnya terdengar pada teriakannya untuk J menghilang, seolah dia tahu, sesuatu terjadi pada pemuda di depannya. "Ayo! Tempat ini sudah ..." J tidak lagi mendengar ucapan Ducky selanjutnya, semua suara sekitarnya teredam, tidak terdengar.

Emosinya kacau sekali kini, bahkan hingga dia tidak mampu menyusunnya atau memahami apa yang dirasakannya kini.

Seketika, rasa sakit menghantam dadanya, membuat dadanya sesak. Hingga, satu tetes air mata lolos, mengaliri pipinya.

J melepaskan pegangannya pada kursi dan menggenggam lengan Ducky, genggamannya lemah sekali, seperti meminta bantuan. "Xi ... Aku ... Maaf .." J kesulitan menyusun kalimatnya, mulutnya masih membuka, mencari kalimat yang tepat. Namun gagal, air mata sudah lebih dulu membanjiri pipinya, dia jatuh berlutut dengan kedua tangannya masih menggenggam lengan Ducky.

Rasa bersalah seketika menghampiri J, membuat tangisnya semakin kacau saja.

Semua ini tidak akan terjadi jika dia tidak keras kepala untuk menyelamatkan orang-orang di ruangan itu.

Tidak, jika saja dirinya tidak terlalu lemah hingga Xi merasa harus menjaganya, Xi mungkin bisa pergi terlebih dahulu tanpa mempedulikan dirinya.

Xi ... Ven ... Akankah kalian tetap berada di sini jika saja aku lebih kuat?

Tapi lagi, dirinya hanya menangis dan menangis, menyesali yang telah terjadi tanpa mampu berbuat apa-apa. Dia hanya bisa mengikuti, menerima perintah dari orang lain, kebingungan dan terlalu naif untuk semua ini.

Dia tidak bisa semahir Ducky dan Ven dalam bertahan hidup dan bertarung, tidak semahir Xi untuk memimpin jalan. Dirinya tidak bisa apa-apa, namun menyebalkannya selalu dia yang bertahan hidup.

Padahal mereka ... Lebih berguna ...

"Jei." Ducky memanggilnya lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. "Ayo kita pergi," ulangnya.

Ducky perlahan menarik J yang masih seperti menggantungkan seluruh harapan pada tangannya yang terulur.

"Raz." J terperanjat mendengar Ducky memanggil nama itu. Nama dari seseorang yang J belum siap untuk ditemui. Karena J tahu, orang itu sangat dekat dengan Xi.

"J," gumam Raz lirih. "Apa kau bersama Xi? Ke mana dia?"

Begitu Raz menyebut nama Xi, hati J terasa berat. Bagaimana dia mengatakannya? Bagaimana dia bisa bertatap muka dengan Raz setelah ini?

Apa yang telah kuperbuat ...

J melepaskan genggamannya pada lengan Ducky, dengan tangis yang masih tersisa dan suara gemetar J membuka mulutnya, "maafkan aku Raz." J berkata lirih, masih menunduk, tidak sanggup menatap wajah Raz.

J tidak tahu lagi, jika Raz marah padanya, dia akan menerimanya. Karena aku yang salah di sini.

"Mungkin ... Tuhan memang membuat kita hidup untuk ... tidak tersiksa di dunia yang ... Kehilangan." J mendengar ucapan Silas, terdengar patah-patah, namun perasaan J terlalu kacau untuk menjawab ucapannya.

"Kalau ada yang tidak berguna ..." J tidak mendengar lanjutannya, atau memang Silas sengaja tidak melanjutkannya? Entahlah, J tidak tahu, dia begitu tidak punya muka untuk mengangkat kepalanya, bahkan dia tidak tahu bagaimana ekspresi Raz sekarang. Pastinya ... Raz marah.

"Tak ada nyawa yang tak berguna. Besar atau kecil pengaruh nyawa itu pada dunia, siapa yang bisa mengukur ..." Suara seorang wanita yang terdengar asing di pendengaran J terdengar. J tidak tahu siapa, tapi terdengar dari percakapan Silas dan wanita itu yang semakin kecil, sepertinya orang itu membawa Silas menjauh.

"Kita pergi sekarang!" Ducky menarik lengan J. J tidak berbuat banyak, dia hanya menuruti Ducky dengan langkah gontai, membiarkan dirinya tertarik oleh Ducky.

"XI!" Teriakan Raz bagai sambaran petir pada J, "XIIIII!!!!!" Teriakan Raz semakin terdengar frustasi, terasa menyedihkan, membuat J semakin merasa bersalah.

"Aku sudah berjanji untuk selamat! Aku akan mengembalikan koinmu. Jadi, Xi, keluarlah kemari kalau kau memang datang bersama J!"

Teriakan Raz seolah menampar J. Dia teringat, yang memaksanya untuk pergi ke Libertè adalah dirinya, yang keras kepala untuk pergi ke Libertè adalah dirinya, yang membuat Xi terlibat semua ini adalah dirinya ... Semuanya ...

Tiba-tiba Ducky berlari kembali, melepaskan genggamannya pada lengan J, membuat J sedikit tersentak, nyaris terjatuh. "TUAN BEBEK!" Seruan itu terdengar setelahnya, membuat J ikut menoleh ke arah Ducky berlari.

Ducky berlari menghampiri Raz, dia menyambar senapan dan papan seluncurnya.

"Aku tak menyarankan cara yang memungkinkan cedera batang otak maupun tulang belakang secara permanen!" perempuan yang tadi menyerukan nama Ducky menambahkan.

"Cekikan di carotid artery juga sama bahayanya." Perempuan itu mendengus kesal, J tidak mengerti apa yang dikatakannya. J bahkan tidak tahu apa yang dilakukan Ducky pada Raz. Yang J tahu, Raz terlihat jatuh, seperti tertidur setelah lengan Ducky melingkari lehernya, atau Raz pingsan? J tidak tahu.

"Ayo, J ... Jangan diam saja. Jalan terus!" Ducky berseru padanya, membuat lamunan J tersadar.

Suara gemuruh bangunan yang runtuh semakin terdengar, J memilih mengekori Ducky dari belakang, menatap Raz yang tidak sadar di atas papan Ducky.

"Maafkan aku Raz ..." J bergumam lirih.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

18 Mei 2022

Author's Note

RP mau berakhir~ Dan aku akan rindu bermain gacha sepertinya.

Kalian coba mampir ke ceritanya para saintis Libertè deh. Penuh plot twissttt. Aku yang ikut RP aja gak nyangka...

Beberapa hari ke depan, bakal ada chapter terakhir di cerita Le' Inanite ini! Dan juga sebagai berakhirnya event RP Terrawalker!

Yeyy, bisa rebahann.

Sampai ketemu di chapter terakhirr!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top