Roleplay 5: Menyusul
Catatan:
Rekapan roleplay ini diedit sesuai sudut pandang J. Sehingga detail-detail atau kejadian yang terjadi pada karakter lain tidak tertulis di sini.
Silahkan mampir ke cerita masing-masing karakter untuk sudut pandang yang berbeda:
Kabur - Catsummoner
Faith in The Dessert - rafpieces
In Transit - amelaerliana
[Rogue Colony - Libertè]
J mengeluh, kepalanya terasa sedikit pusing. Selain sinar matahari, lidah V yang menjilati wajah J juga membuatnya terbangun.
Tidurnya semalam nyenyak sekali, J bahkan tidak ingat mimpi apa semalam. Dia hanya tau, tidurnya pulas sekali tadi malam.
"Ah, aku harus berkumpul dengan yang lain." J bergumam, menggosok matanya dan bangkit dari kasur.
J menghampiri barang-barangnya yang terletak di sudut kamar, matanya menangkap barang-barang yang bukan miliknya. Sebuah tas dan sarung pedang.
J kenal dengan sarung pedang itu, Ducky membelinya kemarin di pasar. Tapi, sebuah kertas yang tertempel di sarung pedang itu menarik perhatian J, dia mencabut surat itu, membacanya,
Untuk J
Maaf, kurasa memang sebaiknya kau tetap di Rogue.
Papan selancarnya kubawa, tetapi kau masih bisa membawa barang-barang. Ada ransel cukup besar, bahkan untuk batu-batu Ven. Sarung pedangnya juga untukmu.
Kuharap kau bisa menemukan tujuan hidup yang lebih menarik daripada Koloni sekarat macam Liberté
Aku pergi dulu.
- Ducky -
J membisu, otaknya seolah tengah memproses apa yang dimaksud Ducky di surat itu.
Jadi, Ducky pergi duluan? Atau ...
"AKU DITINGGAL!?" J berseru tidak percaya, burungnya bahkan sampai berkoak karena terkejut.
Menyadari dirinya kini tertinggal, J mendobrak pintu kamar, berlari keluar penginapan.
J mengedarkan pandangannya, mencari mobil AYX di tempat terakhir dia melihatnya, tapi J tidak menemukannya.
Tidak, mungkin saja Ducky masih di kamarnya! J kembali berlari masuk ke penginapan, menghampiri kamar Ducky.
Begitu sampai di depan kamar Ducky, J mengambil napas panjang, berharap Ducky masih ada di dalam.
"Ducky?" J membuka pintu, tapi tidak ada siapapun di kamar itu, bahkan Ducky.
"Sungguhan?" J bergumam kecil, tidak percaya dirinya kini tertinggal sendiri di koloni antah berantah.
Apa karena aku bangun kesiangan, jadi mereka meninggalkanku?
J menghela napas, dia ingin melanjutkan perjalanan, namun tidak tau harus memulai darimana. "Aku harus menyusul Ducky!" J bertekad sembari berjalan keluar kamar.
Begitu menoleh ke sisi lorong lain, mata J menangkap sosok yang dikenalnya, "Xi!"
J berlari menghampirinya. Xi yang berada tidak jauh dari posisi J sekarang, mengangkat wajah dan memasang ekspresi datar.
"Percuma menyusul. Mereka sudah berangkat dari tadi," jelas Xi sebelum J lanjut bertanya. "Kalau kau tidak punya kenalan di kota ini, lebih baik kau ikut aku saja. Kudengar larimu cukup kencang, mungkin kau bisa jadi kurir sepertiku."
J kembali bengong mendengar penjelasan Xi. Dia bahkan belum sempat bertanya apa-apa, tapi sudah ditawari untuk menjadi kurir.
"Aku tidak mau jadi kurir. Aku mau menyusul Ducky!"
Air mata mulai meleleh di pipi J. Sorot kekecewaan terlihat kental pada mata hijua jade J.
"Liberte tidak seindah yang kau bayangkan. Lebih baik kau turuti saran Ducky dan menunggunya di sini. Kalau ikut, kau hanya akan jadi beban baginya," kata Xi dengan nada lirih.
J terdiam mendengar perkataan Xi. Perasaannya jadi kacau sekarang, dia ingin sekali pergi ke Libertè, tapi perkataan Xi ada benarnya.
Selama ini, J tidak bisa membantu banyak. Tidak membantu sama sekali, malah. Dia lebih sering menerima dari Ducky dan Ven, terbantu karena mereka.
"Tapi..." J berkata lirih, menghapus air mata di pipinya, percuma karena air matanya terus mengalir.
Karena tidak kunjung berhenti, akhirnya J menutup wajahnya. "Maafkan aku." ucapnya sembari menundukkan wajah.
Ah memalukan sekali, jika begini bagaimana bisa aku menyusul Ducky?
"Tidak perlu minta maaf. Kalau begitu kembalilah ke kamarmu dan mulai berkemas. Meski kau tidak mau jadi kurir, daripada sendirian di tempat asing seperti ini, lebih baik kau ikut aku ke markas Messenger di pinggir kota," ujar Xi dengan ekspresi lebih lunak. Dia kemudian berdiri dan menyelipkan pisau-pisau yang telah diasah ke ikat pinggangnya. "Kau mau sarapan dulu di sini atau di perjalanan?"
J mengambil napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab pertanyaan Xi.
"Aku akan tetap pergi ke Libertè. Aku belum tau caranya bagaimana, tapi aku akan cari tahu. Tidak apa jika Xi tidak mau ikut." J akhirnya berbicara setelah tangis sesenggukannya hilang, walau tidak sepenuhnya hilang.
Ya, mungkin J sudah gila. Dia belum pernah berpindah koloni seorang diri. Tapi J merasa dirinya harus ke sana, dia harus menyelesaikan perjalanannya. Untuk dirinya sendiri, Ven dan Kakak.
"Jangan keras kepala, J. Memangnya kau pikir mudah pergi ke Liberte sendirian?" Dia membentak J, tapi dengan cepat langsung menyesalinya.
Kadal J yang entah selama ini bersembunyi di mana, tiba-tiba muncul dari balik leher J dan mendesis-desis marah ke arah Xi.
"J. Pikirkan Ducky. Dia pasti sudah memikirkan semuanya matang-matang. Ini semua demi kebaikanmu."
J terdiam lagi mendengar ucapan terakhir Xi, tidak mengerti kenapa Xi membahas Ducky. Atau, Ducky ada hubungannya dengan J yang tertinggal?
"Eh? Ducky memikirkan apa memangnya? Apanya yang demi kebaikanku?"
Sebenarnya apa yang aku tidak tahu? J semakin mengerut kebingungan.
Xi memalingkan muka, tak berani menatap J. Sejenak dia terdiam, sebelum akhirnya menjawab.
"Begini, J. Kondisi di Liberte saat ini sedang sangat berbahaya. Perang bisa pecah kapan saja. Ducky tidak ingin kau terjebak di sana. Makanya, dia menitipkanmu kepadaku." Xi merogoh kantongnya dan mengeluarkan beberapa keping koin. "Dia bahkan menitipkan uang jajanmu kepadaku, supaya kau bisa hidup nyaman di Rogue."
Apa maksud Xi dengan menitipkanku padanya? Apa Ducky sengaja meninggalkanku?
J tiba-tiba merasa pusing, apa karena otaknya terlalu banyak berpikir? Tapi penjelasan Xi meninggalkan banyak peryanyaan dan spekulasi di kepala J. J bahkan tidak begitu memperhatikan kalimat Xi berikutnya. Namun sepertinya, bertanya pada Xi tidak akan memberikan jawaban memuaskan, lebih baik dia bertemu dengan Ducky.
"Kalau Libertè bisa seberbahaya itu, aku berarti harus pergi. Ducky bisa saja dalam bahaya 'kan?" J berkata cepat, dirinya langsung meraih burung condor yang sempat turun tadi.
"Maafkan aku Xi, tapi aku tetap pergi, aku akan mencari cara untuk sampai ke Libertè." J berkata sebelum akhirnya dia melenggang pergi menuju kamarnya.
"Tunggu, J!" Xi meraih lengan J, tapi segera menarik tangannya ketika kadal gurun J mendesis marah, hendak menggigit jemarinya.
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri. Aku sudah telanjur berjanji kepada Ducky untuk menjagamu." Xi membuang napas sebelum lanjut bicara. "Biar aku cari informasi, apakah ada rombongan yang akan berangkat ke Liberte setelah ini. Lebih baik, kau berkemas dan sarapan dulu."
Sejujurnya J cukup terkejut Xi langsung berubah pikiran, tapi baguslah, J pikir Xi akan bersikeras menahannya. "Oke, aku akan siap-siap dengan cepat!" J tersenyum, susana hatinya sudah lebih baik karena kini dia tetap jadi pergi ke Libertè.
Setelahnya, J masuk ke kamar dan mengambil barang-barangnya. Begitu dirinya mengambil pedang yang sudah dilapisi sarung pemberian Ducky, J terdiam.
Jujur saja, J cukup kesal jika Ducky memang benar sengaja meninggalkannya. Tapi melihat Ducky meninggalkan banyak barang untuknya, membuat J yakin Ducky meninggalkannya untuk hal baik. "Maaf Ducky, tapi aku harus tetap pergi." J bergumam pelan dan mengikat tali pedang di pinggangnya.
Begitu J keluar kamar, Xi sudah tidak ada di penginapan. Sepertinya dia sudah pergi mencari kendaraan untuk ditumpangi.
Sembari menunggu, J memilih sarapan seperti yang dikatakan Xi. Tidak ada yang tahu apa yang menunggu di perjalanan nanti, jadi J harus siap, terutama urusan perutnya.
J mengambil beberapa sendok nasi dan lauk ke piringnya, mencari tempat duduk di kafetaria penginapan dan mulai melahap makanannya.
Baru empat-lima suap, derap langkah terburu-buru terdengar seolah menghampirinya.
"J! Ayo bergegas! Kita harus berangkat sekarang!"
J belum menyelesaikan makanannya dan Xi sudah mengajaknya pergi. Namun walau begitu, J langsung mengangguk dan mengekori Xi di belakang, berusaha mengunyah dan menelan makanannya sembari berjalan.
"Apa ada AYX yang belum berangkat? Kita pergi dengan mereka?" J bertanya begitu menelan habis makanannya, tidak menurunkan tempo berjalannya.
"Kita bisa ikut rombongan yang berangkat siang ini. Kau tidak keberatan, kan, semobil dengan ...," Xi melirik hewan-hewan peliharaan J yang ikut bersama mereka. "Lupakan saja. Ayo cepat bergegas. Ikuti aku, jangan sampai ketinggalan."
J mengangguk kecil, berusaha menyusul Xi yang berlari. Sebenarnya untuk ukuran orang pendek, lari Xi cepat juga. J yang membawa batu-batu milik Ven sampai harus bersusah payah untuk menyamai langkah Xi.
Mereka berdua terus berlari nelewati kerumunan hingga akhirnya sampai di Union Hall. Ternyata Union Hall cukup sibuk, mungkin karena rombongan yang juga pergi ke Libertè hari ini sedang bersiap.
"Jadi kita naik yang mana?"
Xi mengarahkan telunjuknya ke truk dengan bak setengah terbuka. Beberapa tanduk kambing tampak mencuat di atas dinding bak.
"Yang itu J." Xi berseru dan truk itu mulai bergerak. Xi kembali mengayun tungkainya secepat yang dia bisa. "Lemparkan barangmu ke bak dan segera loncat masuk."
J sempat mengira Xi salah tunjuk saat melihat ujung tanduk pada sela-sela truk. Tapi Xi serius, dia bahkan menyuruh J melempar barang-barangnya.
Tapi bagaimana caranya aku melempar batu berat ini!?
Akhirnya dengan susah payah, J melayangkan ransel berisi batu-batu itu dan tas miliknya. Tangannya langsung terasa sedikit nyeri saat ransel itu terlepas dari genggamannya dan melayang masuk ke dalam bak truk. Belum lagi, cukup susah untuk menyeimbangkan lemparan tas itu agar masuk tepat ke dalam bak truk.
Begitu semua barangnya sudah masuk, J melompat masuk. Mungkin karena dirinya tinggi, melompat untuk menggapai ujung bak truk dan memanjatinya bukan hal yang terlalu sulit untuknya.
"Wow." J hampir terjungkang begitu wajahnya bertemu dengan pantat kambing saat mendarat.
Tidak lama setelah J melompat masuk, Xi pun melompat masuk, mendarat di samping J.
"Sekarang istirahatlah." Xi menatap J sambil mengatur napas. "Jangan bertingkah aneh-aneh, jangan memancing keributan, dan ... Jangan mengganggu kambing-kambing ini."
J tidak menjawab ucapan Xi, lebih tepatnya bingung harus menjawab apa. Dirinya bisa mematuhi hal itu, tapi entah dengan V dan burungnya. Terutama burungnya.
Setelahnya Xi menggeser beberapa karung rumput untuk memberi ruang bagi mereka berdua. Dia kemudian merebahkan tubuhnya dengan berbantalkan ransel.
"Bangunkan aku kalau kita sudah hampir sampai ke liberte." Xi memejamkan mata.
"Oke." J menjawab pendek, menarik tas berisi batu-batunya ke dekatnya. Untunglah tas itu tidak mengenai kambing manapun.
"Dan suruh kadalmu itu jauh-jauh dariku!" Xi berbicara lagi setelah menutup matanya, J menatap Xi heran. V jinak dan baik, kenapa Xi meminta seperti itu?
"Aku tidak yakin bisa, soalnya dia suka kemana-mana kalau di perjalanan." J menjawab, tapi sepertinya Xi sudah tidak mendengarkan.
Memang ada kalanya V duduk diam di pangkuan atau leher J, tapi V lebih sering berkeliaran saat di mobil AYX dulu, namun entahlah dengan truk yang dipenuhi kambing ini.
J meilirik burung condornya yang bertengger di sisi bak truk. "Kamu jangan makan mereka, ya!" J memperingati burung yang menatapnya lurus.
Lantas setelahnya J berbaring, menatap langit yang bisa terlihat dari bak terbuka ini. Dia tidak mengantuk, hanya ingin mengistirahatkan kaki setelah berlari sambil membawa batu-batu Ven.
Entah apa yang akan dilakukan setelahnya, mungkin bermain dengan V dan burung.
Yang pasti, J akan menikmati perjalanan dulu sebelum sampai di Libertè nanti.
*****
Setelah berjam-jam perjalanan, Libertè perlahan muncul di cakrawala. Langit yang perlahan memerah menjadi latar dari asap hitam yang membumbung tinggi dari koloni yang seharusnya tampak asri.
Di sekeliling mobil tampak tanaman tercabut dan bangunan yang rusak atau dijarah. Sementara di depan terlihat kelompok massa sedang berusaha menerobos pertahanan Libertè yang dijaga oleh sekelompok penjaga beserta barikade.
Mobil berhenti menandak, tak jauh dari garis pertahanan, membuat mobil itu berada diantara massa yang mengamuk, hendak memaksa masuk ke Libertè
J terbangun, rasanya dia baru tidur beberapa menit sebelum mobil berhenti mendadak.
Sedikit jauh darinya, J bisa melihat Xi yang bangkit dari posisi baring sambil menggerutu, sepertinya Xi terguling karena rem mendadak tadi.
"J, kemasi barang-barang. Aku akan mengecek keluar sebentar." J mengangguk, mengambil barang-barangnya, sedikit kesusahan saat mengangkat ransel berisi batu-batu Ven ke punggungnya. V yang semula berdiam di tumpukan rumput naik ke leher J.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar disusul teriakan yang saling sahut menyahut. Burung J berkoak panik, sedangkan J terkejut, menoleh ke arah sumber suara.
"J. Sepertinya, kita harus turun di sini." Xi berkata dengan raut yang lebih kaku dan serius dari biasanya. J mempertanyakan perubahahan ekspresi Xi yang terlalu tiba-tiba, namun mendengar tembakan dan teriakan di luar sana, sudah menjelaskan pada J, apa yang terjadi di luar bak truk ini.
"Sepertinya sudah terjadi, ya? Revolusi itu? Baiklah, ayo turun." J menarik napas panjang, Ducky sudah memperingatiku, aku bisa.
Setelahnya J melompat turun dari truk dengan susah payah, terutama saat dia mendarat, kakinya terasa nyeri karena harus menahan berat batu yang di bawanya juga.
Burung yang panik karena suara tembakan itu langsung hinggap di kepala J, lagi. "Ah, sepertinya aku akan kesusahan berlari." J berkata miris mengingat beban yang dibawanya tidak sedikit.
J mengedarkan pandangan, keadaan di Libertè tenyata memang sekacau yang dikatakan Owen dan Ducky. J bisa melihat asap hitam yang memenuhi langit Libertè, menghalangi gedung-gedung tinggi itu.
Tanaman hijau yang seharusnya terlihat cantik seperti yang dirumorkan kini terlihat kacau, beberapa bahkan tercabut dari tanah.
Sedangkan bunyi tembakan bercampur dengan teriakan marah, panik dan ketakutan terdengar bagai melodi pengantar menuju kematian dan kekacuan.
J tersenyum miris sebelum menoleh pada Xi yang sudah berada di sampingnya, "apa yang kita lakukan terlebih dahulu? Mencari Ducky dan Raz?"
"Kita tidak bisa mencari kalau kita mati. Lebih baik kita bersembunyi dulu." Xi berkata.
J ingin bertanya 'dimana' tapi Xi sudah lebih dulu pergi ke ruang kemudi.
Tiba-tiba, suara berdebum terdengar dari dalam bak truk disertai dengan bunyi-bunyi kambing yang panik.
"Kasian sekali kalian." J bergumam sembari mendekati bak itu. "Bagaimana membukanya, ya?" Dia mengedarkan pandangan, hingga akhirnya menangkap kunci selot yang berada di ujung atas kanan dan kiri. J mendekatinya, melompat dan membuka kunci itu, begitupula dengan yang satunya.
BRAK!
Pintu bak truk itu langsung jatuh berdebum begitu kunci terakhir terbuka. Kambing itu satu persatu turun dengan buru-buru.
Mungkin karena mendengar suara berdebum, Xi kembali ke tempat J, terperangah melihat kambing-kambing yang keluar dari truk.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Xi dengan suara tersekat. Matanya membelalak menatap J.
"Me-membebaskan mereka?" J menjawab ragu. Takut-takut jika Xi memarahinya.
Namun sepertinya Xi urung memarahi J. Berganti dengan Xi yang mengayunkan tangan, memberi kode pada J agar mengikutinya. "Tinggalkan barang-barang yang tidak terlalu berguna," desis Xi.
"Tidak ada barang yang tidak berguna kok." J menjawab sembari mengekorinya di belakang, mengendap-endap diantara kambing menuju tembok yang mengelilingi Libertè.
Mereka kemudian mengendap-endap ke arah tembok tinggi yang memagari Libertè. Orang-orang terlalu fokus pada gerbang utama, jadi penjagaan di sisi tembok yang lain tidak terlalu ketat.
Mereka terus mengitari tembok dalam waktu lama. J bahkan sampai ingin mempertanyakan hal yang mereka lakukan kini. Namun melihat Xi yang sama frustasinya karena tidak kunjung menemukan jalan masuk, membuat J batal bertanya.
Tapi sepertinya keberuntungan sedang di pihak mereka. Xi sepertinya melihat sesuatu. Dia melompat ke parit kering yang memisahkan daratan dengan tembok. Dengan ujung goloknya, dia menyibak semak belukar yang berada tepat di bawah logo yang asing di mata J, namun sepertinya Xi tahu logo itu.
Xi mengetuk-ngetukkan gagang goloknya kepada batu-batu yang berwarna lebih gelap dari yang lain.
Tiba-tiba, Xi menoleh pada J dan rombongan kambing yang masih mengikuti mereka. "J. Apa kau bisa menyuruh salah satu kambing itu menanduk bagian tembok yang ini?" tanya Xi sambil meringis kepada J.
J berkedip beberapa kali mendengar pertanyaan Xi, pandangannya berganti menatap gerombolan kambing yang tidak jauh darinya.
"Euh..." J masih menatap kambing-kambjng itu, bingung harus menjawab Xi dengan jawaban apa.
Bagaimana cara menyuruhnyaa!!??
"E-entahlah? Mungkin bisa dicoba?" J berjalan mendekati gerombolan kambing itu dengan ragu. J tidak tau mana yang gila, Xi yang menyuruhnya untuk bicara pada kambing atau dirinya yang menurut dan mengira dirinya bisa.
Sembari membungkuk, J memulai bicara pada kambing itu. "Euh, maaf, kambing?" Gila, J merasa dirinya gila. Dia memang terbiasa bercerita dengan siapapun bahkan hewan, tapi J tidak sebodoh itu untuk mengetahui hewan-hewan itu tidak bisa mengerti dirinya.
Kambing itu bergeming, tidak memberi reaksi apapun. "Euh, bisa ... euh ... robohin batu-batu itu?" J menunjuk tempat Xi berdiri, di dalam parit. Tapi kambing itu tetap bergeming.
Yup, tidak bisa. J menegakkan badannya, dia merasa bodoh sekali. Lantas J berbalik, hendak mengabarkan Xi bahwa rencananya gagal. Tapi burung di atas kepalanya tiba-tiba berkoak-koak, terbang menuju gerombolan kambing itu.
Merasa nyawa mereka terancam, kambing-kambing itu berlari menuju parit tempat Xi berdiri, sedangkan burung condor itu seolah menuntun gerombolan kambing menuju tempat yang J tunjuk, petak-petak batu yang ingin Xi hancurkan.
J terperangah sesaat, mengikuti gerombolan kambing itu dari belakang. Menuruti si Burung, kambing-kambing itu turun ke bawah. J melebarkan matanya tidak percaya, apa berhasil?
Namun, bukannya menyeruduk tembok yang Xi maksud, kambing itu malah berlari ke arah sebaliknya. J mematung kecewa, tidak percaya kambing-kambing itu pergi ke arah yang salah. J menatap burungnya yang juga sepertinya mematung karena sudah menuntun ke arah yang salah.
"Kambingnya kabur." J menatap Xi dengan tatapan polos. Namun melihat Xi yang juga terdiam, akhirnya J buru-buru menurunkan tasnya sebelum amarah Xi meledak. "Aku punya batu besar, mungkin bisa merobohkannya!"
Xi terlihat menahan diri untuk tak tertawa saat melihat tampang polos J. Mengabaikan tawaran J, Xi berbalik menatap batu-batu di depannya, termenung.
Sambil berjongkok, Xi memperhatikan susunan batu di hadapannya. Sesekali dia menekan beberapa petak batu. Sedangkan J masih mengamati dari sisi parit.
Entah dari mana datangnya, kadal J merayap di tembok dan nyaris membuat Xi terjungkal saking kagetnya. Namun, hal itu justru membuatnya menyadari adanya celah kecil berbentuk segitiga di satu sudut yang tertutupi semak-semak.
Xi refleks mengeluarkan sesuatu, mengarahkan benda yang digenggamnya pada petak-petak batu.
Beberapa detik setelah Xi mendorong masuk benda—yang sepertinya kunci— ke celah itu. Terdengar suara derit mekanis dari dalam tembok. Petak-petak batu tadi perlahan bergeser ke atas.
Pada saat yang nyaris bersamaan, suara derap langkah kaki dan teriakan makin mendekat. Sepertinya sebagian orang yang tadi berdemo menyadari keributan yang dibuat kambing-kambing tadi dan berusaha memeriksa.
J menyadari suara langkah derap kaki yang mendekati mereka, karena itu dia segera melompat turun.
"J! Kau masuk lebih dulu, dan gunakan batu-batumu untuk menandai jalan yang kau lewati. Jaga-jaga kalau jalannya bercabang di dalam." Xi menggenggam kedua goloknya erat-erat dan memasang kuda-kuda. "Aku akan segera menyusul."
J mengangguk, sejujurnya dia ragu untuk meninggalkan Xi tapi bisa saja Ducky butuh bantuan di dalam sana, dan J harus segera menemukannya.
J berlari memasuki pintu yang tergeser dari bebatuan itu, V yang semula berada di pintu batu itu melompat ke pundak J, dan burungnya melesat masuk ke dalam.
"Berjanjilah untuk menyusul!" J berseru sembari memindahkan letak ranselnya menjadi di depan, mengeluarkan batu-batunya untuk penanda jalan nanti.
Seperti yang terlihat dari luar, jalur rahasia ini cukup gelap, sedangkan lampu selanjutnya memiliki cahaya remang, itupun masih jauh di depan.
Tapi J harus tetap berjalan.
Napas J yang memburu terdengar menggema di lorong remang itu. Dirinya sudah berlari cukup jauh dari pintu masuk tadi, cahaya dari pintu masuk semakin terasa jauh seiring langkah J.
Burung di atasnya sepertinya sengaja melambatkan kecepatan terbangnya untuk menyamai kecepatan lari J. Bagaimanapun, burung di atasnya itu bisa terbang cukup cepat bahkan untuk menyamai kecepatan kendaran AYX yang selama ini ditumpanginya.
"J!" Lari J terhenti mendengar namanya terpanggil. Terdengar jauh, namun J kenal dengan suara itu, Xi.
"Terus berjalan dan cari jalan keluar. Aku harus mencabut kunci ini agar tidak ada pemberontak yang ikut masuk. Kalau kau bertemu Raz, sampaikan bahwa dia bisa menyimpan koinku!"
Kalimat itu merupakan mimpi buruk bagi J. Seketika, ingatan saat V mendorongnya menjauh dari moncong monster cacing itu kembali, bagai mimpi buruk.
J berdecih, melempar ranselnya ke lantai lorong, setelahnya J berlari sembari berseru pada burungnya untuk mengikutinya.
Tidak! Tidak akan aku biarkan hal yang sama terulang!
J berlari kembali ke pintu masuk dengan dada yang terasa sesak, bukan karena ruangan ini pengap atau dia kelelahan, namun ingatan buruk yang kembali itu mengacaukan emosinya, membuat larinya lebih cepat dari sebelumnya.
"Burung, kau duluan keluar dan cabut kuncinya!" J berseru pada burung yang terbang rendah di atasnya.
Namun ternyata, burung itu tetap terbang di atasnya tanpa menambah kecepatan, J menghela napas kecewa dan berlari lebih cepat.
Bodo amat, J tidak peduli jika ternyata burung itu tidak mengerti dirinya. Jika ternyata burungnya tidak mengerti, biarlah dirinya yang menarik kuncinya dan membawa Xi masuk!
Pintu keluar dan masuk itu sudah terlihat, dan Xi terlihat tengah menghajar dua orang di luar sana.
"Xi!" J menyerukan namanya begitu sudah keluar dari lorong itu.
Xi menoleh pada J dengan napas yang terengah-engah. Wanita mungil itu sudah merobohkan tiga pria yang lebih besar darinya.
Tanpa mempedulikan derap langkah kaki yang mendekat, J menarik tangan Xi, "kita masuk bersama!"
"Ta-tapi ..."
J mengabaikan ucapan Xi, menatap burung yang terbang di atasnya dan menunjuk kunci, memberi isyarat untuk menariknya.
Setelahnya, J buru-buru masuk ke dalam sebelum pintu itu benar-benar menutup.
"Harus ada yang mencabut kun--"
Bum!
Belum sempat Xi menuntaskan kalimatnya, pintu batu tersebut telah jatuh menutup. Memutus sumber cahaya dari luar. Yang tersisa hanya sayup-sayup suara orang-orang yang meninju dan menendang tembok.
"Bagaimana bisa?" Xi menoleh pada J.
Mengabaikan pertanyaan Xi, J berbalik dan melepaskan genggamannya pada Xi, menghampiri pintu.
"Burung?" Burung kondor yang tadi menarik kunci tidak berhasil masuk. Sebagai gantinya, suara koakan burung itu terdengar diantara kemarahan para warga yang memukul-mukul pintu.
"TEMUI AKU DI DALAM!" J berteriak, bukan untuk para warga itu, melainkan burungnya. Entahlah apa dia bisa mengerti atau tidak, tapi melihat dia berhasil membimbing gerombolan kambing menuju parit dan menarik kunci, bisa jadi burung itu sudah bisa memahami J.
Mendengar suara burung itu menjauh, J akhirnya berbalik menuju Xi, "kau baik-baik saja? Maaf menyusulmu, tapi setidaknya kita berhasil masuk berkat teman burungku itu."
"Aku baik-baik saja," jawab Xi sambil berdiri. "Terima kasih, J. Aku berutang padamu. Maaf karena sempat menyebutmu sebagai beban," ucap Xi tulus. J hanya tersenyum, tidak menjawab apapun.
"Kurasa kita harus bergegas. Bisa saja mereka berhasil meledakkan pintu dan menyusul ke sini." J mengangguk, mengikuti Xi dari belakang.
Mereka mulai berjalan, semakin dalam mereka masuk ke lorong itu, semakin sering mereka menemui jalan yang berkelak-kelok, kadang juga mendaki dan menurun. Terus membawa mereka ke jantung Libertè.
Ada kalanya mereka salah berbelok dan berakhir ke jalan buntu. Namun, batu-batu yang J tinggalkan sebagai penanda selalu berhasil menuntun mereka kembali, juga mencegah mereka berputar-putar di rute yang sama.
Sesekali Xi menoleh ke belakang, untuk memastikan J tidak tertinggal.
"Kalau kau lelah, bilang saja, J. Kita bisa beristirahat sebentar kalau kau mau."
"Terima kasih, tapi aku masih kuat kok." J tersenyum pada Xi, mengeratkan ransel yang dibawanya. Untunglah beberapa batunya sudah digunakan tadi, jadi beban di ranselnya berkurang.
Mereka terus berjalan di lorong itu, namun tidak kunjung menemukan pintu atau ujung jalan ini. Bahkan setelah melewati beberapa kelokan pun, mereka tetap tidak menemukan apapun.
Selama perjalanan J tetap menggunakan batu-batunya sebagai penanda jalan saat bertemu jalan bercabang, jaga-jaga jika sewaktu-waktu mereka harus kembali ke jalur sebelumnya.
Semakin lama berada di lorong ini, perasaan J semakin tidak enak. Dia teringat pada burungnya yang tertinggal di luar, entah apa dia sudah sampai atau belum, apa dia mau menunggunya atau tidak. Sejujurnya J khawatir pada burung itu, mengingat burung itu bisa ketakutan karena suara tembakan.
Tunggu, bagaimana jika burung itu tertembak!? Pemikiran itu melintas begitu saja di kepala J, tapi buru-buru dia menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin J kembali ke pintu masuk. Sekarang, dia hanya bisa berharap saat keluar nanti dia bisa bertemu dengan burungnya lagi.
"Buntu." J bergumam begitu mereka tidak lagi menemukan apa-apa di depan kecuali tembok.
J mencoba maju, menyentuh tembok itu, tapi tembok itu benar-benar ada, bukan sekadar imajinasinya.
"Sepertinya kita harus berbalik." J menghela napas kecewa, berbalik menatap Xi dan menyandarkan punggungnya yang lelah pada dinding itu.
"ASTAGA!" J berseru terkejut begitu dirinya terjungkang ke belakang.
"Hati-ha...ti J." Xi terlihat terperangah melihat cahaya putih di depan yang melesat masuk ke lorong gelap dan sempit tempat mereka berada.
"Aduh, kok bisa jatuh." J bergumam kecil, pinggangnya terasa sakit karena terpentuk pembatas ruangan.
Namun rasa sakitnya hilang begitu saja begitu melihat cahaya putih masuk, dinding yang disenderinya tadi baru saja terbuka!
J segera berdiri dan mengajak Xi masuk. Begitu dia masuk, J bisa melihat pintu masuk tadi yang ternyata berada di belakang foto lelaki tua beruban. J tidak mengenalinya, tapi sepertinya dia orang penting hingga fotonya terpajang di sini—sebagai pintu jalan rahasia pula.
J melangkah lebih jauh, dia tidak tau berada dimana dirinya kini. Namun satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu begitu terlihat mencolok, entah ada apa—atau mungkin siapa— di dalamnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
12 Mei 2022
Author's Note
Aku baru ngecek jurnal kemarin, dan baru sadar aku salah nulis tanggaalll!!!! T-T
Harusnya tanggal 10 tapi malah 01...
ಥ‿ಥ
Mungkin aku terlalu ngantuk dan gak sadar salah tulis, mana lupa di-bold lagi.
Oh ya, kalian jangan lupa mampir ke ceritanya Kak Amel buat POVnya Xi, ya!
Oke, bayy!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top