Roleplay 4: Rogue Colony

Catatan:

Rekapan roleplay ini diedit sesuai sudut pandang J. Sehingga detail-detail atau kejadian yang terjadi pada karakter lain tidak tertulis di sini.

Silahkan mampir ke cerita masing-masing karakter untuk sudut pandang yang berbeda:

Into Dust - zzztare
Kabur - Catsummoner
Faith in The Dessert - rafpieces
In Transit - amelaerliana

Special Character:

Owen - Casting by NozdormuHonist


[Rogue Colony]


J terbangun karena suara pintu mobil yang terbuka. Anehnya bunyi kepakan sayap terdengar ricuh di luar.

Tapi bukan hanya itu, burung condor yang selalu mengekori J tiba-tiba terbang masuk dengan heboh, hinggap di wajah J yang baru bangun tidur.

"AW! Kenapa?!" Setengah sadar, J menarik burung condor itu, memeluknya. Goresan kecil terlihat di wajah J, mungkin karena cakar burung itu.

"Burungmu sepertinya jadi incaran orang-orang," jelas pegawai AYX yang berada di depan pintu. Mendengar penjelasan darinya, J langsung memeluk burung condor lebih erat,
mereka mau makan temanku!?

"Kita sudah sampai. Turunlah." J mengangguk, memasukan jurnal Ven ke dalam tas miliknya, menaruh V
-kadalnya- pada pundak dan membawa barang-barangnya turun.

Kali ini, burung condornya berdiam di kepala J, sepertinya dia begitu ketakutan. Masalahnya J tidak terbiasa dengan hal itu, belum apa-apa kepalanya sudah terasa berat saja.

J bisa melihat suasana koloni Rogue yang begitu berbeda dari koloni-koloni yang lain. Koloni ini terasa begitu lebih padat, bahkan udaranya terasa sedikit lebih baik. Hanya saja orang-orangnya jahat sekali mau memakan teman burungku. Mengingat itu, J kembali manyun, kesal.

Orang-orang AYX sibuk menurunkan barang, J diminta untuk menunggu petugas yang akan memandunya nanti.

Mata J menangkap dua orang lain, yang sepertinya sama dengan dirinya dan Ducky.

Haruskah J menghampirinya? Tapi dirinya merasa begitu ragu, atau mungkin tidak merasa begitu ingin berkenalan? Entahlah.

Akhirnya J menghela napas kecil, aku tidak boleh terlalu bersedih.

Sejujurnya, penampilannya kini aneh. Wajah yang baru bangun tidur dengan bekas cakar, burung yang bertengger di kepalanya dan kadal di pundaknya-bisa saja membuat kedua orang itu justru menganggap J orang aneh.

Tapi J tetap menghampiri kedua orang itu, "hai." J menepuk salah satu pundak mereka yang lebih tinggi dari satunya dengan tangan kanan yang tidak mengenggam tombak dan pedang Ven.

Lelaki yang ditepuk J menoleh kaget. "Hai?" sapa lelaki itu balik sambil mengangkat tangannya. Nada suaranya lebih seperti pertanyaan karena heran dengan sosok J.

J tersenyum menanggapi lelaki itu, walau tidak selebar biasanya. Dia menoleh pada perempuan di samping lelaki yang tadi disapanya.

Perempuan itu kecil sekali. Membuat J menunduk untuk menyajarkan tingginya dengan gadis kecil itu, "apa kamu adiknya?" J bertanya dengan suara yang dilembutkan dan semyuman manis. J pandai berurusan dengan anak kecil, jadi seharusnya tidak masalah.

Tapi sebaliknya, wajah gadis kecil malah terlihat memerah, kedua matanya membulat dan menatap J dengan garang.

Burung yang bertengger di atas kepala si pemuda berkaok gelisah saat gadis kecil berdiri dengan pose menantang. Dia menarik napas dalam-dalam, bersiap menyemburkan amarahnya kepada pemuda berwajah ramah itu.

Di samping itu, lelaki di sampingnya langsung melihat ke arah gadis kecil panik.

Lelaki itu buru-buru bangkit, menarik J lalu merangkulnya sambil berbisik, "Hei, jaga bicaramu! Ia itu bahkan mungkin lebih tua darimu! Kau tidak ingin ada pertumpahan darah malam ini, 'kan?"

Lantas sambil berdeham, dia melepas rangkulan lantas membuka syal biru yang selalu melilit lehernya. Sepertinya dia baru sadar sudah terlalu banyak berbicara di depan orang baru. Bahkan membuat J sampai tidak bisa berbicara.

Setelah syal birunya terbuka, lelaki itu tersenyum sambil menyapa, "Hai, aku Raz."

"J." Dia hanya menjawab singkat, dirinya kini bingung sekali. Belum lagi dengan lelaki di depannya-Raz-yang langsung bertanya, berbicara banyak hal pada J.

Raz, sembari menunjuk pada gadis di belakangnya, dia mengoceh, "kau harus tahu, kau tidak boleh, sekali-kali jangan, menyebut 'gadis kecil' atau sejenisnya di depan ia. Kau mengerti? Omong-omong siapa namamu? Kau berasal dari mana? Burung dan kadal yang keren ...."

Lelaki itu, Raz, bungkam lagi sambil tertawa canggung saat pertanyaannya terlampau banyak untuk ukuran orang yang baru saja bertemu bahkan belum lima menit.

Saking terlalu banyaknya pertanyaan yang di lempar, J jadi membisu, kebingungan harus menjawab yang mana.

Biasanya, jika bertemu orang yang seperti itu J kegirangannya bukan main. Hanya saja mungkin karena suasana hatinya belum cukup membaik dan orang di depannya menyerocos banyak hal, J jadi kebingungan.

"Jei!" Dirinya tiba-tiba terpanggil. J menoleh, ternyata Ducky.

"Meleng sebentar saja kau sudah terlibat masalah, ya?" Gerutu Ducky sembari menarik J menjauh dari dua yang lain.

"Maafkan bocah ini. Kadang dia bicara tanpa pakai otaknya," ujar Ducky sembari mengambil posisi di tengah-tengah antara J dan kedua orang yang baru mereka temui. "Kalian ikut perekrutan AYX juga?"

Sebenarnya, J hendak menyangkal kalimat Ducky yang mengatakan dirinya berbicara tanpa menggunakan otak, tapi Ducky keburu melemparkan pertanyaan pada Raz, jadi J kembali menutup mulutnya.

Raz mematung sebelum menjawab. "Iya, benar. Kalian juga jangan-jangan?"

"Hei! Kalian bertiga! Kenapa berbisik-bisik? Kalau ingin mengejekku, bilang saja langsung di depan mukaku!" Gadis kecil yang tadi J sapa berseru, ikut masuk ke percakapan.

J sangat terkejut saat anak- maksudnya kakak itu berteriak dan mendatangi mereka sambil marah-marah.

"Kalem, Non ... Tidak ada yang bermaksud mengejekmu di sini!"

"He .. hei, Xi, tidak ada yang mengejekmu, kok!"

Raz dan Ducky terlihat gelagapan dengan kedatangannya. Buru-buru menyangkal ucapan kakak itu.

"Omong-omong, Xi, ini J," tunjuk Raz pada J.

"Ini ...." Raz ragu sesaat sebelum bertanya pada si Pria Pemarah. "Siapa namamu kalau boleh tahu ... Om?"

"Aku Ducky dan aku tak suka padamu!"

Bukan hanya Raz, J pun terkejut dengan perkataan Ducky.

"Sepertinya kita semua sama-sama rekrutan AYX, jadi walau tak suka, aku akan berusaha untuk bekerjasama." Ducky buru-buru menambahkan.

"Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Ducky. Semoga saja kita tidak perlu bekerja sama," ujar Xi ketus.

"Walau kemungkinannya sangat kecil bisa terjadi, aku setuju." Balas Ducky

J tertegun, kenapa Xi dan Ducky jadi saling melempar kebencian begini? J merasa hubungan mereka tidak akan berjalan baik jika begini terus

"Ayo, Jei. Kita nambah uang saku dulu." Ducky tiba-tiba mengajaknya, menggiring J menuju papan selancar gurun yang kini berfungsi sebagai troli barang-barang.

J mengekorinya, tapi sebelum benar-benar pergi dia menoleh. "Aku mau kok bekerja sama, Ducky juga! Ayo kita berteman baik!" Serunya.

"Aku juga mau berteman!" balas Raz sembari tersenyum.

Begitu sampai, Ducky menunjukkan pada J cangkang tarantula gurun yang sudah Ducky bersihkan.

"Dipisahkan berdasar ukuran, lalu kita cari harga pasarnya sebelum dijual ke pengrajin," jelas Ducky sembari menunjukkan perbedaan ukuran toraks antara dua cangkang tarantula gurun yang ada di tangannya.

J mengangguk memisahkan cangkang-cangkang tarantula gurun itu seperti yang Ducky bilang.

"Permisi, Tuan dan Nona, apakah benar kalian dari Koloni 31 dan 76?"

Sebuah suara bass tiba-tiba berkumandang di antara Ducky dan J. Serentak, mereka menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang pria muda berambut hitam bergelombang belah kanan, menghampiri mereka dari pintu masuk Union Hall.

Kalau dilihat dengan saksama, rambut yang menjulur di sebelah kanan wajahnya itu menyembunyikan bekas luka gores horizontal. Senyumnya dan kedalaman mata hazelnya terlihat hangat. Pandangannya menelanjangi burung condor yang bertengger di bahu J.

"Ah, maaf, pasti kalian bingung siapa saya. Perkenalkan, saya Owen Jagsheetal. Tour Guide dari AYX yang akan memandu kalian selama ada di Koloni Rogue. Sepertinya kalian sudah saling berkenalan. Salam kenal," ujarnya sambil mengulurkan tangan kanan.

"Memandu," ulang Ducky. "Ke mana?" tanyanya curiga.

Owen membanting pandangannya menuju Ducky. Tatapan mata pria tersebut seolah sinis.

"Ke tempat kalian akan menginap, tentu saja," ungkap Owen tegas.

Mata Owen melihat sekitar, memperhatikan satu per satu keempat pengawal AYX itu.

"Ah, aku juga mendapat informasi kalau ada enam orang yang akan menginap hari ini. Apakah keduanya tidak bersama kalian?"

Pria yang mengaku Owen itu menanyakan tentang anggota yang tidak lengkap.

Seketika J teringat pada Ven, dirinya langsung mengenggam erat pedang Ven yang berada di sampingnya. Memilih tidak menjawab.

Xi yang sejak tadi hanya diam memperhatikan gerak-gerik Owen akhirnya bereaksi. Dengan mata memicing dan tangan terlipat di depan dada, gadis itu menjawab pertanyaan Owen.

"Memangnya Anda tidak dapat laporan dari rekan-rekan Anda, Tuan Owen?"

Dengan nada lembut, Owen akhirnya berbicara dengan hati-hati. "Maafkan aku, Nona. Aku ... turut berduka cita. Aku sempat mendengar kabar burung jika sandworm telah menggeliat lagi. Untuk menyaksikan dua orang bertalenta kehilangan umur begitu saja ...," ucapnya dengan tatapan yang simpatik.

Hening setelahnya, dan J tidak merasa begitu nyaman dengan situasi ini.

"Aku J." Tidak begitu nyaman dengan topik kurangnya anggota ini, akhirnya J memilih memperkenalkan dirinya juga. Apalagi tadi J tanpa sadar mengabaikan uluran tangan Owen, jadi kini dia mendekat pada Owen, balik mengulurkan tangan.

Mata Owen berbinar-binar sambil menjabat tangan J. "Salam kenal, J. Aku harap kita bisa menjadi rekan yang baik." Senyumnya mengembang lebar.

"Tentu!" J balas tersenyum pada Owen. Sepertinya memang Owen tidak perlu J curigai, dia terlihat baik di mata J.

Mengikuti J sebelumnya, Raz pun ikut memperkenalkan diri. "Aku Raz."

"Senang berkanalan dengan Anda. Tolong, panggil saya Owen saja," pintanya dengan suara sedikit lebih keras, supaya terdengar oleh mereka yang di belakang.

"Baiklah, aku yakin kalian sudah pasti lelah dari perjalanan jauh. Bagaimana kalau kita menghirup udara segar dulu di luar?" kata Owen sambil mengarahkan tangannya ke arah Obelisk yang ada di luar Union Hall.

Obelisk, itu pastilah monumen yang menjulang tinggi diantara langit kosong Rogue Colony. "Boleh juga, Ducky bagaimana?" J menoleh pada Ducky, sejujurnya jika Ducky tidak ikut, J akan tinggal bersama Ducky. Dia tidak ingin jauh dari rekannya lagi, tidak lagi.

"Aku ikut," jawabnya. Pendek, tetapi cukup untuk membuat J tenang.

Di hadapan mereka, sebuah tugu raksasa menjulang tinggi, dinding-dindingnya keropos dimakan waktu. Bayangan tugu tersebut menimpa tubuh mereka selagi bilah-bilah cahaya matahari mengudara menuju ufuk barat. Di sekeliling tugu tersebut terdapat sisa-sisa ratusan, bahkan ribuan lilin pancawarna-beberapa di antaranya bahkan masih menyala terang. Orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya, ada yang menabur bunga, menyulut lilin, dan menangkupkan kedua tangan seperti tengah khusyuk berdoa.

"Ini, kawanku, adalah Obelisk Memorial. Tugu yang dibangun untuk mereka yang masih berpatroli abadi di perbatasan Direland-Liberte. Kami mengingat mereka dengan cara menyalakan lilin dan menabur bunga di sini," jawabnya jelas.

Dari sakunya, Owen mengeluarkan dua batang lilin kecil dan menyerahkannya kepada J.

"Apakah kalian ingin melakukannya? Aku akan menunggu kalian jika perlu."

Sejujurnya, J tidak mengerti kalimat Owen yang mengatakan 'berpatroli abadi'. Mulanya J tidak ingin bertanya, tapi begitu Owen menawarkan dua lilin padanya, mau tidak mau J harus bertanya, walau dia tetap mengambil salah satu lilin tersebut.

"Ehm, maksudnya berpatroli abadi? Dan sepertinya tidak ada temanku yang sedang berpatroli.." J bertanya ragu, takut ada yang salah dari pertanyaannya.

Pertanyaan polos itu memancing senyum Ducky. "Bocah, yang dimaksud orang bernama Owen ini ... Lilin di tanganmu itu untuk mengenang rekan-rekan yang tak bisa kembali dari tugas. Hilang atau ...," dia terdiam sejenak untuk menarik napas pelan. "Tewas."

J terdiam mendengar pejelasan Ducky, mau menjawab pun bibirnya terkunci rapat tanpa keinginannya.

Xi yang dari tadi hanya mengekor dan mendengarkan percakapan keempat lelaki itu akhirnya angkat berbicara.

"Jadi, Tuan Owen," kata Xi dengan nada yang dibuat sesopan mungkin. Seulas senyum sinis terukir di bibirnya, sementara kedua matanya berkilat menatap sang pemandu. "Apakah kami direkrut untuk menjadi bagian patroli abadi itu?"

Xi berbicara, mengucapkan kalimat sinis pada Owen. J semakin terdiam, iya kah? Tapi Owen terlihat baik.

Namun J memilih tidak memutuskan lebih awal. Mengingat terakhir kali dia menggampangkan situasi, Ven jadi termakan monster.

"Nona, dengan anda datang kemari, maka anda sudah dengan sukarela menjadi bagian dari patroli abadi ... jika waktunya tiba nanti. Begitu juga dengan para pendahulu yang datang kemari. Perjalanan ini tentu bukan tanpa risiko." Owen menjawab pertanyaan sinis Xi dengan tenangnya.

"Tapi! Tentu saja waktu itu bukan hari ini. Selama kalian belum terjun ke misi-misi kelas S atau melakukan sesuatu yang ... berbahaya, aku rasa kalian tidak perlu takut. Aku akan pastikan, kejadian seperti kemarin tidak terjadi lagi. Tidak akan ada sandworm yang menganggu kalian di sini, atau di perjalanan nanti menuju Libertè, jika itu yang kalian khawatirkan," lanjutnya sejelas mungkin seraya tersenyum ramah.

Owen melihat Xi yang baru saja mencegah Raz untuk berjongkok, Owen menghampirinya dan menyodorkan tangan.

"Oh iya, aku belum sempat berkenalan denganmu, Nona. Maafkan kelalaianku tadi. Bagaimana aku harus memanggilmu?"

"Nah, begini lebih baik, Tuan Owen. Anda tidak perlu bersikap seperti seorang pemandu wisata yang memandu para turis." Sindir Xi.

Xi membiarkan tangan Owen menggantung di udara saat lelaki itu mengajaknya berkenalan. "Anda bisa memanggilku, Xi."

Sementara itu, J sungguh penasaran tentang misi-misi yang Owen bicarakan. Tentunya, 'misi kelas S' sungguh menganggu pemikiran J. "Seperti apa misi kelas S itu?" J bertanya setelah Owen berkenalan dengan Xi.

Dirinya berpikir, mungkin sebaiknya kali ini J lebih bersiap dan hati-hati, agar tidak ada lagi yang bernasib seperti Ven.

Melihat jabatan tangannya yang diberikan bertepuk sebelah tangan, Owen akhirnya menyeret tangannya kembali ke sisi kanan pinggangnya. Sorot matanya tajam menatap dalam-dalam wanita itu. Tangan kanannya sempat mengepal erat untuk beberapa detik. Belum lagi, dia mengabaikan pertanyaan J.

"Aku menanti salah satu dari kalian mengatakan itu sedari tadi. Anda memang perempuan yang cerdas, Nona Xi," balas Owen dengan senyum yang nyaris menyeringai.

"Oh ya, aku juga ingin mengucapkan selamat pada kalian yang sudah sampai sejauh ini. Kalian benar-benar pejuang yang tangguh," katanya seraya menebar pandangan pada J dan Ducky, kemudian pada Raz.

"Hari-hari berikutnya akan berat, dan aku tidak yakin kalian akan menemui momen seperti ini lagi." Owen tersenyum hangat dan menepuk bahu Raz. Sinar senja menjadikan rambutnya tampak berkilau.

"Berdoalah jika kalian perlu, aku tidak akan menganggu," jawabnya pendek.

Setelahnya, Owen melenggang pergi. Meninggalkan keempat orang itu di depan Obelisk.

"Jei," panggil Ducky pada J yang tampak kebingungan dan belum dijawab juga pertanyaannya. "Teruskan saja ritualnya kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Nanti, biar aku yang jawab semua pertanyaanmu, bahkan hingga yang mungkin kau tak ingin dengar."

"Ya." J hanya menjawab pendek dengan lirih. Sepertinya dia terlalu banyak merepotkan Ducky.

Mungkin jika Ducky tidak di sini, J bisa mati lebih awal. Bukan karena monster gurun, tapi karena J tidak begitu bisa menjaga diri sendiri.

Tapi aku tidak tahu harus apa.

J menghela napas pelan lalu berjalan mendekati monumen itu mengabaikan Ducky yang tengah berbicang dengan Raz.

J menangkupkan tangan, menutup matanya. Jujur dia tidak pernah berdoa, jadi J hanya menyampaikan dan mengharapkan hal-hal baik saja pada Kakak dan Ven.

Begitu J membuka mata, dia merasa pipinya basah. Buru-buru dia mengeringkan air mata itu dengan lengan bajunya, baru berbalik menghampiri Ducky.

"Aku sudah selesai," ucap J sembari tersenyum kecil, tidak ingin dirinya terlihat seperti habis menangis.

Yang lain saja kuat, aku juga harus kuat.

"Bagus," gumam Ducky, menepuk-nepuk punggung J pelan. "Sekarang, kau bawa ini!" tambahnya sambil menyerahkan tali penarik trolinya ke tangan J. "Yang muda-muda harus lebih banyak memakai ototnya, supaya kuat."

"Oke, Ducky." J mengambil tali troli itu sembari menjawab Ducky, mengekorinya di belakang.

Lalu Ducky menoleh pada Owen dan yang lainnya. "Kami sudah selesai."

Owen yang sedari tadi melipat tangannya dan menyisir daerah sekitar Obelisk mengangguk pelan.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan Pemandu?" Raz yang juga baru selesai berdo'a, bertanya pada Owen.

"Kalau begitu, ikuti aku. Aku akan membawa kalian ke penginapan," jelasnya sambil memberikan gestur tangan untuk berjalan ke sebelah barat Obelisk.

Selagi mereka mulai berjalan mendekati sisa-sisa senja di cakrawala, Owen menghela napas sepelan mungkin. Langkahnya ia lambatkan, seakan ia ragu-ragu untuk berpisah dengan keempat orang di belakangnya.

"Oh, ya, sebelumnya aku sudah menitipkan beberapa ratus koin perak untuk kalian di pemilik penginapan. Dia kenal baik denganku, jadi jika ada apa-apa, kalian bisa minta tolong padanya," ungkap Owen yang tengah menyisir rambut sebelah kanannya dengan jari-jemarinya.

Tadi, selagi menunggu mereka berdoa di Obelisk, Owen diam-diam menghubungi pemilik penginapan dengan ponsel yang ia dapat sewaktu masih jadi residen di Liberte. Laki-laki itu meminta agar si pemilik penginapan menyediakan beberapa ratus koin perak sebagai kompensasi meninggalnya dua anggota AYX dalam perjalanan, lalu berkata bahwa ia uang penggantinya akan ia berikan secepatnya.

"Anggap saja itu ... sebagai hadiah sekaligus ucapan terima kasih karena kalian berhasil sampai sejauh ini, plus kalian menyelamatkan kru AYX di tengah gurun antah-berantah. Kalau aku boleh saran, kompleks pasar ada di sebelah sana," ucap Owen sembari menunjuk ke arah timur.

"Jadi besok, setelah beristirahat, kalian bisa langsung memperbarui senjata dan perbekalan. Kalian akan membutuhkannya untuk hari-hari mendatang, jika kalian memang, benar-benar ingin datang ke Liberte minggu ini." Kalimat terakhirnya ia ucapkan dengan penuh tekanan. Seolah-olah Owen meminta kepada mereka untuk mempertimbangkan kembali secara tidak langsung.

"Minggu ini?" Ducky mengulangi ucapan Owen. "Cepat sekali. Memangnya terjadi sesuatu yang mendesak, di sana?" Tanya Ducky lagi.

Beberapa saat usai Ducky mengatakan hal itu, Owen mengehentikan langkahnya di tengah jalan. Sorot matanya celingak-celinguk memandang sekeliling. Untunglah hari sudah senja dan tidak banyak orang yang berlalu-lalang di Rogue. Seakan berjaga jika ada yang mendengar ucapannya.

"Sesuatu yang besar akan terjadi di sana. Dalam beberapa hari ke depan, bahkan Koloni Rogue sekalipun bisa menjadi lebih aman daripada Libertè," ucapnya dengan nada serius dan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berempat.

Owen melanjutkan langkahnya menuju tempat penginapan yang sudah ada di ujung mata sembari berkata kepada Ducky, "Kalau kalian masih berpikir bahwa Libertè adalah tempat yang serba makmur dan damai, agaknya kalian harus memendam ekspektasi itu dalam-dalam. Tapi, aku juga tidak akan memaksa kalian untuk tinggal."

"Beritahu aku, apakah kalian pernah menyadari alasan mengapa Libertè lebih makmur dari koloni-koloni lain?" tanya Owen tenang.

J hanya bisa melongo mendengar pertanyaan Owen. Apa ini semacam ujian? Tapi J sama sekali tidak tahu jawabannya apa.

"Karena mereka menyimpan semua sumber daya untuk mereka sendiri," timpal Xi. Tatapannya seolah kosong, menerawang entah kemana.

Beberapa detik kemudian, Xi seperti tersadar dari lamunan. Dia balas menatap Owen. "Libertè mengambil banyak hal dari koloni lain, lalu mengakuinya sebagai milik mereka sendiri dan tidak mau berbagi dengan yang lainnya," tambah Xi.

"Karena Liberté punya orang-orang hebat yang menunjang kehidupan mereka?" jawab Raz ragu, sangat bertolak belakang dengan Xi.

Namun wakau berbeda, untungnya Xi dan Raz bisa menjawab. Jadi sepertinya J tidak perlu menjawab lagi.

Tapi, sejujurnya dia baru tahu kalau Libertè tidak seindah bayangannya. J hanya pernah mendengar tentang Libertè dari Kakaknya, yang selalu berkata manis tentang Libertè.

Karena itu sampai sebelum percakapan ini, dia masih berpikir bahwa memang Libertè adalah tempat yang indah.

"Jawaban kalian berdua tidak ada yang salah," jawab Owen mendengar antusiasme Xi dan Raz. Matanya menyiratkan kepuasan mendengar jawaban mereka berdua.

"Sedari awal, Libertè memang tidak berniat untuk membagi-bagikan sumber daya untuk koloni lain. Kekuatan terbesar mereka ada di sumber daya manusianya. Namun, akhir-akhir ini, sepertinya mereka kekurangan orang kepercayaan," papar Owen, matanya melirik ke arah Ducky sekilas.

Owen melipat kedua tangannya dan mendesah ringan. Tatapan belas kasihannya jatuh pada J. "Hmm, bagaimana aku menjelaskannya, ya? Banyak orang elit-atau aristokrat-di Libertè yang menanggap mereka lebih setara dari yang lain. Jika kalian masuk Libertè, bukan tidak mungkin kalau kalian akan mengalami diskriminasi." Owen menyelesaikan penjelasannya. J terdiam.

"Hei, Tuan Pemandu," panggil Raz. "Di antara para rekrutan, katanya ada yang tak kembali dan mendapat posisi. Bisa kau jelaskan maksudnya? Apa mereka mati seperti katamu dan yang lainnya jadi budak pemerintah?" Nada Raz yang skeptis sedikit meragukan Owen.

"Budak?" tanya Owen, ekspresinya cukup terkejut dengan perkataan Raz. Bibirnya menyudut menahan tawa. "Ya, kita bisa pakai istilah itu, jika kau mau."

"Para rekrutan yang sampai di Libertè, pasti akan ditawari sebuah tempat tinggal oleh pemerintah. Kalau dirimu punya bakat khusus, mereka mungkin akan menawarimu sebidang tanah. Tentu saja, ini bukan tanpa pro-kontra. Kalian akan mencicipi seperti apa kualitas hidup yang lebih baik di Liberte dalam jangka pendek. Namun, kalian juga akan merasakan biaya sewa dan diskriminasinya dalam jangka panjang," jawab Owen panjang. Ia kelihatan begitu berhati-hati memilih kata-kata.

Laki-laki itu kembali melanjutkan, "Kalau kalian tidak bisa memenuhi ekspektasi di sana, kalian akan jatuh dalam dua kemungkinan: diusir, atau dipekerjakan di bawah pemerintah demi membayar biaya hidupnya." Owen memandang beberapa puluh meter ke depan dan menemui bahwa lirikannya telah menghantam sebuah bangunan bertingkat dua dengan warna karat besi, jendela-jendelanya berupa nyala pelita.

Aroma gandum dan daging bakar dengan cepat melesap ke dalam hidung mereka. Sepertinya seseorang tengah bersiap-siap untuk menjamu mereka.

"Nah, itu dia penginapan yang kumaksud. Bagaimana menurut kalian?" Senyum Owen mengembang lebar.

Ducky menarik napas dalam-dalam. Lalu membuka suara, "menurutku, kalian tak perlu melanjutkan rencana awal menuju Liberté. Kontrak dengan AYX hanya mengawal konvoi mereka ketika melintas Direland, kalian sudah memenuhi itu. Selanjutnya, sepeti kata si Kemay- ... Owen ini, kalian bisa hidup di Koloni Rogue. Kondisinya memang tak sempurna tetapi jelas lebih baik daripada koloni asal kalian." Saran Ducky, mengabaikan pertanyaan Owen.

"Tapi ...," dia buru-buru menambahkan sebelum ada yang menyela. "Apabila kalian masih penasaran akan Liberté-bahkan setelah mendengar omongannya, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Itu hak kalian dan kalian sudah tahu resikonya."

"Lalu bagaimana denganmu, Ducky? Kau akan tinggal di sini? Bagaimana jika, Libertè bisa memperbaiki masalahnya dan kemungkinan kita untuk hidup lebih baik masih ada?" J langsung menimpali Ducky begitu dia selesai bicara, menatap Ducky lurus.

Walau dia tidak begitu paham dengan pembicaraan sebelumnya dan hanya bisa menarik kesimpulan bahwa kehidupan di Libertè tidak seindah itu, J merasa dia tidak seharusnya menyerah begitu saja. Dia sudah sedekat ini, bukankah sayang jika harus tinggal di sini dan melepaskan kesempatan untuk ke Libertè yang jarang didapatkan?

Lagipun Ven ingin ke sana, Kakak juga, kini di tangannya dia membawa barang-barang mereka yang memimpikan untuk pergi ke Libertè. Setidaknya, mencoba untuk ke sana terlebih dahulu bukan pilihan yang buruk, 'kan?

"Kalian tahu, kalau kalian ikut bersama kami ke Libertè, kalian bisa jadi menyelamatkan banyak orang. Bukankah beberapa di antara kalian punya keluarga atau orang spesial di sana? Kalian setidaknya bisa memastikan mereka benar-benar aman di tengah situasi genting seperti ini." Alis Owen naik sebelah, wajahnya berseri-seri sementara jari-jarinya menopang dagu.

Ducky terlihat menarik napas perlahan. Mengendurkan kembali lengannya yang sempat kaku sesaat tadi.

"Baiklah, aku dan bocah ini ikut ke Libertè. Tapi, selain koin-koin perak, aku menginginkan bantuan untuk menjual barang-barang yang kukumpulkan di gurun, dananya masuk kantong pribadiku."

Owen langsung menjawab dengan nada yang tegar, "Tentu saja, Tuan Ducky. Aku yakin, pemilik penginapan, Tuan Kai, akan senang melihat barang-barang yang Anda tawarkan dan menunjukkan vendor yang tepat. Siapa tahu, kau bersedia menjualnya di pelelangan." Kata-katanya penuh dengan kehati-hatian ketika menyebut Kai, kawannya yang kebetulan memiliki estate di Koloni Rogue.

"Xi, apa kau akan terus lanjut?" tanya Raz.

Xi yang sejak tadi tidak berkomentar menoleh kepada Raz. "Aku lanjut," katanya menjawab pertanyaan Raz. Tidak ada setitik pun keraguan di wajahnya.

Gadis itu kemudian menoleh kepada Owen. "Apakah kau punya saran untuk mendapat informasi tentang orang yang pernah tinggal di Libertè?" Tanya Xi.

Baru saja hendak mengetuk pintu depan bangunan penginapan, Owen mengalihkan pandangannya pada Xi.

"Hmm. Sejak kalian akan berangkat ke Libertè, kurasa akan mudah mendapatkannya. Tapi, tentu saja, karena situasi di Libertè kurang stabil, aku tidak bisa menjamin informasinya aktual. Mungkin paling update, setahun atau dua tahun sebelumnya. Untuk informasi di atas itu, kalian sepertinya harus datang sendiri ke Biro Kependudukan di Libertè," jawab Owen sejelas mungkin.

Laki-laki itu membuka kenop pintu depan perlahan dan berkata, "Sekarang, mari masuk dulu ke dalam. Aku yakin kalian sudah lelah dengan penjelasanku, bukan?" Owen menatap keempat orang di dekatnya.

"Katakan, Tuan Pemandu, apa yang akan kami hadapi sebenarnya? Berapa persen kemungkinan kami tetap hidup? Apa salah satu dari kami kemungkinan tidak akan selamat?" cecar Raz. Dia melihat ke arah Xi.

Mulanya J sudah tidak ingin memikirkan apa-apa lagi dan ingin beristirahat dengan tenang saja. Tapi pertanyaan Raz yang dilontarkan sebelum mereka masuk ke penginapan sangat menarik perhatiannya.

J menghentikan langkahnya yang hendak masuk ke penginapan, beralih menatap Owen penasaran.

Owen menghela napas panjang, mengedarkan pandangannya pada meja dan kursi kayu yang tersebar dalam ruang tamu tempat penginapan.

Aroma lavender dan roti gandum mondar-mandir di hidungnya. Hanya ada satu atau dua pegawai yang sibuk membersihkan meja sementara yang lain agaknya fokus pada pembukuan harian di meja resepsionis. Sepertinya Kai, kawan Owein itu memang sudah mempersiapkan reservasinya dengan baik.

"Pertanyaan bagus, Tuan Raz," kata Owen sambil melangkah masuk, "beritahu aku, apa kalian pernah mendengar kata revolusi?" Pandangan matanya sekilas tertuju pada J, seringainya muncul ke permukaan.

J menoleh pada Ducky dan Owen bergantian, bingung harus menjawab apa. Belum lagi dengan seringaian Owen yang memiliki banyak arti.

Namun akhirnya J mengangguk, menjawab ragu, "sepertinya, tahu?"

Sedangkan Ducky menepuk kening, menutupi wajah dengan sebelah tangan. "Jadi, itu sebabnya ....," desah Ducky. Ada sedikit kelegaan tetapi juga terdengar penyesalan dalam suaranya.

"Lalu, apakah AYX yang mendanai Revolusi ini?" Mata cokelat Ducky menatap tajam pada Owen.

"Di mana posisi kita-aku, kau, dan mereka dalam revolusi ini?" Kali ini dia mengarahkan tangan pada rekan-rekan asal Direland nya. "Apa kami hanya prajurit bayaran sekali pakai?"

Mata Owen memicing pada Ducky selagi ia menggiring mereka ke meja resepsionis. Tatapannya seolah meneliti setiap tindakan dan perkataan Ducky.

"Tuan Ducky, pertanyaan Anda seolah menempatkan AYX sebagai satu-satunya sponsor dalam revolusi. Tapi, kenyataannya, tidak sedikit dari anggota koloni dan para pekerja Libertè yang akan bertepuk tangan saat dinding yang memisahkan Libertè dan Direland runtuh," ujar Owen yang melayangkan tatapan serius pada pekerja yang ada di meja resepsionis.

"Apa Kai sudah menerima pesanku tadi?" tanyanya pada sang pekerja.

"I-iya, sudah Tuan," ucapnya gugup, seakan-akan berhadapan dengan orang penting.

"Baiklah, empat orang ini akan menginap sampai lusa. Kuharap kalian bisa membuat mereka nyaman," pintanya tegas.

Sang pekerja yang berdiri lantas membungkukkan kepalanya sedikit dan berkata sebelum bergegas pergi, "Baik, siap Tuan."

Owen mengalihkan pandangannya ke arah empat anggota baru AYX. "Untuk pertanyaan kedua, kukira sudah jelas. AYX memberikan kalian pilihan: berjuang bersama kami dan selamatkan orang yang kalian sayangi, atau tinggal di Rogue dan menanti hasilnya. Jika kalian memilih yang pertama, tentu saja kami tidak akan memandang kalian sebagai senjata sekali pakai. Tidak, mestinya kalian tahu apa yang membedakan kami dari Libertè," ujar Owen, menatap dingin pria berambut ijuk.

"Terus terang saja, " Ducky kembali memulai. "Buatku, peduli setan dengan Liberté. Mau koloni itu berdiri makmur atau hancur entah karena revolusi atau kudeta atau apalah ... Bebas! Tapi, apa kau yakin cara ini menjamin keselamatan warga sipil di sana? Bagaimana dengan para peneliti?" Ducky bertanya dengan nada yang hampir terdengar sinis.

"Aku bukan ahlinya, tapi ... tak pernah kudengar revolusi yang tidak mengorbankan darah rakyat sipil, sengaja atau tak sengaja." Ducky menutup kalimatnya dengan lebih tenang dari cara berbicara sebelumnya.

Owen mengernyitkan dahi. "Maka dari itu, AYX membutuhkan kalian. Tidak ada revolusi yang tidak menumbangkan korban jiwa. Kami tahu itu. Tapi, jumlah korban tersebut bisa diminimalisir jika ada orang-orang berani yang mau mengevakuasi mereka sebelum konflik akhirnya pecah. Itulah peran kalian," jelasnya sembari menatap dengan penuh determinasi pada Xi dan Raz.

Membentangkan tangan kanannya, Owen menghela napas dan menegaskan kembali, "Selagi kita berbicara, AYX sedang mengerahkan agen-agennya untuk membujuk mereka yang ada di Libertè untuk menepi-setidaknya sampai minggu depan-ke daerah luar kota. Termasuk para peneliti yang kau khawatirkan itu." Mata Owen tertuju pada Ducky, senyumnya kian memudar.

"Tentu saja, untuk pergi atau tidak, itu keputusan kalian pribadi. AYX tidak akan mengintervensi. Kalian punya waktu sampai lusa. Gunakan baik-baik untuk membuat keputusan yang bijak," kata Owen sambil menyentuh pundak J, entah apa maksudnya. Lalu Owen tersenyum hangat kepada laki-laki berambut hitam itu.

Mulanya J merasa merinding kala pundaknya ditepuk Owen. Tapi perasaan itu hilang begitu Owen tersenyum, J balas tersenyum.

Lantas, setelahnya, dia beranjak pergi dari meja resepsionis menuju ke pintu depan. Langkahnya terasa santai dan ringan.

"Baiklah, karena sepertinya keberadaanku tidak lagi dibutuhkan dan kalian juga pasti sangat lelah, aku akan meninggalkan kalian berempat di sini. Ada beberapa hal yang harus kuurus. Selamat menikmati fasilitas yang ada!"

Owen menatap keempatnya dengan senyum simpul, sebelum menutup pintu tempat penginapan rapat-rapat.

Owen sudah lebih dulu melenggang pergi sebelum J sempat mengucapkan terima kasih. Mungkin nanti-nanti saja J ucapkan.

Sekarang dirinya ingin beristirahat, dan mungkin bertanya pada Ducky tentang percakapan tadi. Masih banyak yang belum J pahami.

"Jei, tolong berikan cangkang kepiting gurun yang sudah dipilah pada resepsionis. Katakan juga kalau Si Kemayu itu bilang dia mau bantu jualkan, besok kita tagih uangnya."

"Maaf, aku mau istirahat duluan. Kau boleh ambil dendeng di troli sepuasmu, buat yang lain juga kalau mau."

Lalu dia melangkah pergi sambil menyeret tas, setelah meminta kunci dan nomor kamarnya pada resepsionis.

Tapi sepertinya Ducky kelelahan, jadi sepertinya nanti saja J bertanya-tanya pada Ducky.

"Selamat berisitirahat, Ducky!" J berseru sebelum akhirnya dia membawa cangkang tarantula raksasa itu pada resepsionis dan menitipkan untuk menjualnya. Tidak lupa dia sebutkan nama Owen, ajaib sekali saat resepsionis itu langsung mengambilnya begitu mendengar nama Owen.

Begitu kesemua cangkanh tarantula itu sudah di tangan resepsionis, J menarik troli berisi dendeng itu mendekat pada Raz dan Xi.

"Kalian mau?" J menawarkan dengan senyuman.

Xi menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih. Untukmu saja. Aku masih kenyang," jawabnya dengan nada datar.

Tidak seperti Xi, Raz menerima dendeng pemberian J dengan senang hati. Lantas setelahnya J tersenyum pada hendak mereka pamit pergi.

Namun Xi sudah melenghang duluan, membuat J memperhatikannya. Ternyata dia mengambil kunci di resepsionis.

Lantas setelahnya menghampiri Raz, membisikinya sesuatu.

"Oke," jawabnya gugup. Dia kemudian ke meja resepsionis untuk mengambil kunci kamar dan pergi.

J memiringkan kepalanya bingung. Apa yang Xi bisikkan sampai Raz salah tingkah begitu?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

04 Mei 2022

Author's Note

Ada karakter baru!

Kalian bisa mampir loh ke cerita masing-masing karakternya biar tau apa yang Xi bisikkin ke Raz (. ❛ ᴗ ❛.)

Kalau aku sih, tau. Hahaha( '◡‿ゝ◡')

Mampir juga ke worknya om bebek (Ducky maksudnya) Biar tau gimana orang itu jadi sangat bapakable dan protektip ke J.

//Aku makin suka ama Ducky(≧▽≦)

Btw, selamat lebaran yaa. Jangan lupa mampir ke Doll juga!

Babayy!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top