Roleplay 3: Terlalu Cepat Pergi
Catatan:
Rekapan roleplay ini diedit sesuai sudut pandang J. Sehingga detail-detail atau kejadian yang terjadi pada karakter lain tidak tertulis dini.
Silahkan mampir ke cerita masing-masing karakter untuk sudut pandang yang berbeda:
Into Dust - zzztare
Kabur - Catsummoner
[Colony - AX0931]
J menaruh tombaknya, lelah berlatih. “Hari ini cukup deh,” ucapnya sembari meregangkan badan, menatap pada burung dan kadal yang masih memperhatikannya. J melihat Ducky yang tidak jauh dari posisinya kini, sepertinya dia sibuk beres-beres.
“Kita ke Ducky, yuk!” J menatap kedua hewan piaraannya itu, lantas bangkit dan berlari kecil menghampiri Ducky, diikuti burung dan kadal itu. Benar saja, begitu sampai J bisa melihat Ducky sedang beres-beres. Lantas dia duduk di dekatnya, mengamati Ducky. “Ducky, mana Ven?”
Ducky baru saja selesai membersihkan pisau dan peralatan masak yang lain, ketika J menyapanya. Dia perlu melihat sekeliling untuk mencari keberadaan gadis itu.
"Aku belum melihat dia sejak makan malam tadi," gumam Ducky. "Mungkin sudah kembali ke tenda?"
J mengedarkan pandangannya, mencari Ven. J menyipitkan pandangan sebelum akhirnya melihat Ven cukup jauh dari posisi Ducky dan dirinya. Beberapa benda berjejer di sebelahnya, tapi J tidak yakin itu apa.
“VEN!” J berteriak melambai-lambaikan tangannya pada Ven. Walau sejujurnya dia tidak yakin itu Ven. Entah apa yang membuatnya yakin itu Ven.
Tapi ternyata orang yang dimaksud menoleh pada J, “AYO SINI!” J berteriak lagi.
"Sebentar!" Ven menghampiri dengan langkah cepat sembari menggenggam pedang barunya. "Kenapa?"
“Tidak ada sih, hehe. Hanya bosan saja.” J nyengir, dirinya merasa lebih tenang saat mereka bertiga berkumpul seperti ini daripada saat terpisah. Mengingat saat berpisah sebelumnya Ven nyaris terkubur hidup-hidup.
“Itu senjata barunya Ven?” Mata J berbinar melihat pedang yang di genggaman Ven. Membayangkan Ven memakai senjata itu saat bertemu monster nanti, pastilah keren.
"Oh, ini." Ven menunjukkan pedang barunya—lama, lebih tepatnya. Sudah berkarat dan tak kunjung terlihat membaik meski dia gosok keras-keras dengan pasir. "Aku ambil sebelum insiden kekubur kemarin. Kenapa? J punya tombak baru, aku juga punya senjata baru." Ven menghela napas. "Meski tetap harus jarak pendek."
"Oh, kalau kamu masih pakai ketapel, aku juga nemu banyak proyektil baru." Ven menunjuk ke barang-barang yang ia tinggal. "Dan ... aku meninggalkan batu-batu agak besar di mobil. Kalau cukup tenaga, bisa buat nimpuk monster sekali serang, kayaknya."
J mengangguk-angguk kecil. Walau J tidak yakin kapan dia akan memakai ketapelnya lagi.
Sementara itu, Ducky melihat sekeliling, tanah terbuka tempat mereka berkemah seharusnya tak mungkin ada bebatuan longsor. Pada saat mengedarkan pandangan, salah satu kendaraan besar AYX terlihat berguncang. Samar-samar terdengar suara ribut dan seruan-seruan panik dari kendaraan lain yang memiliki radar paling canggih.
Tiba-tiba, Ducky meninggalkan peralatan yang sedang diurusnya tadi lalu melangkah menuju ke keributan itu.
"Ducky! Mau ke mana?" tanya Ven.
Ducky tiba-tiba saja pergi. J mengamati, yah walau tidak benar-benar 'mengamati' karena kadalnnya tiba-tiba duduk di kakinya, mengigit-gigit jari J. "Kenapa Ducky pergi ya?" J menggumam pelan sembari mengelus-elus kepala kadal.
Tapi tiba-tiba saja, burung condor yang bertengger di batu dekat mereka terbang menjauh. Menempati salah satu atap mobil yang paling tinggi.
Dia mendengar namanya dipanggil, tetapi Ducky perhatiannya kini beralih pada burung gurun peliharaan J yang baru saja terbang bertengger di atap kendaraan AYX. Ducky menyipitkan mata. Hewan itu terlihat gelisah.
"J, kamu sadar? Hewan-hewan itu bertingkah aneh." Ven mengetuk bahu J. "Mungkin Ducky pergi karena merasa aneh juga?"
Wajah Ven terlihat gelisah, sangat gelisah. Dan J tidmmak terbiasa akan hal itu. Mungkin saja, memang tengah terjadi sesuatu di sini, yang J tidak sadari.
"Kayaknya, kita harus menjauh ....."
J memiringkan kepalnya mendengar perkataan Ven yang merasa aneh.
"Iya kah?" Jujur memang burung condornya pun pergi seolah menyelamatkan diri, tapi J tidak merasakan apapun. Dia terlalu tidak peka untuk menyadari hal-hal aneh itu.
Detik ini juga, Ven merasa pasir yang dia pijak bergetar, membuatnya hampir terjatuh dan langsung berpegangan pada J.
"J, tanahnya bergetar, tapi enggak mungkin gempa kalau enggak ada bukit batu di sini." Ven mencengkeram lengan baju J erat-erat. Matanya nyalang, dia bersiap andai ada kemunculan makhluk apa pun dari bawah pasir. Tangannya satu lagi masih memegang pedang.
Tiba-tiba pasir ambles di bawah J yang berdiri di sebelahnya secara tidak wajar.
"J!!!!"
Seketika, tanah yang J pijak sedikit turun, dia oleng, hampir terjatuh sebelum akhirnya sesuatu mendorongnya jauh.
Ven.
Ven mendorong J dengan satu tangan yang sejak tadi mencengkeram, lalu langsung meraih senjata di balik jubahnya. dia kini memegang dua bilah.
Sedangkan di sana, sesuatu seperti moncong mencuat keluar dengan gigi-gigi yang tajam. Dengan mengerikannya, terbuka tepat di depan Ven yang tengah menatapnya dengan wajah pias dan air mata yang berlinang.
Ven terjatuh dalam lubang hitam bertepikan barisan gigi rapat yang tajam.
Bagaimana mungkin ia bisa bicara lagi? Sementara gerigi tajam itu menutup, mengoyak dirinya begitu saja.
"Jangan khawatir! Aku ... aku akan tetap hidup. Aku pasti hidup. Tunggu saja!"
Lantas detik berikutnya Ven mengangkat pedangnya bersamaan dengan menutupnya suatu moncong bergigi tajam. Setelahnya, cairan kental berwarna merah segar mengaliri moncong tersebut.
Lelaki yang selalu ceria itu kini menatung tidak mampu berkata apa-apa. Pada wajahnya yang pias, terkejut dan kebingungan terlihat sedikit bercak darah.
"Ven?" J bergumam dengan suara yang teramat kecil dan bergetar setelah sunyi selama beberapa saat.
Apa yang baru saja terjadi?
Zuukk!
Moncong itu hilang, masuk begitu saja ke dalam pasir.
"Ven!?" Melihat moncong itu yang masuk, J semakin panik dan kebingungan. Banyak pertanyaan muncul di benaknya, namun tak mampu dia tanyakan. Tapi satu pertanyaan yang sangat menganggunya ...
Apa Ven baru saja dimakan?
Sedangkan di belakang mereka, Ducky bergerak maju, melangkah pelan sembari mencoba menajamkan penglihatannya.
Kuncup itu terlihat bergerigi di tiap helai kelopaknya. Gerigi yang tajam dan meneteskan cairan gelap dan kental.
Seperti
....
"Darah?" gumam Ducky, tanpa sadar menyuarakan pikirannya.
"M-m-mo ... MONSTER!" seru pegawai AYX di ambang pintu. Suara melengking fals karena gemetar ketakutan.
Seperti baru saja tersadar dari mimpi panjang, Ducky berlari menuju barang-barang bawaannya. Di situ ada papan selancar yang bisa jadi perisai dan shotgun andalannya.
"Jeeei!!!" Ducky berseru. "MUNDUR DARI SITU!"
"JEI!!!" panggilnya lagi pada J yang masih terlihat duduk mematung di tempat semula. "HATI-HATI, DIA AKAN MENYERANG LAGI!!!"
Ducky berteriak memperingatinya, tapi J tetap di sana. Wajahnya masih saja tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Lalu tiba-tiba, pasir yang J pijak kembali bergetar. "VEN!?" Dirinya malah semakin gila, walau tahu bahaya akan datang, J masih saja berharap, dengan terjadinya getaran itu Ven datang kembali.
BUSH!
Moncong itu kembali muncul, kali ini memunculkan lebih banyak bagian tubuhnya dari sebelumnya. Napas J tercekat, terkejut akan kedatangan monster itu lagi.
Melihat monster itu kembali muncul di depan matanya, J mengepalkan tangan menatap monster di depannya itu.
Dia tidak tahu monster apa yang kali ini muncul. Tapi satu yang pasti, monster itu sudah melahap Ven dengan kurang ajarnya. J tidak akan membiarkan dia lolos dengan mudah.
Tangan J merogoh sesuatu dari sakunya, menggenggamnya erat. Diangkatnya tulang lancip yang beberapa hari lalu burung condor itu bawakan--entah apa maksudnya.
JLEB!
Tulang itu menancap, tapi tidak menghasilkan luka yang berarti. Terlebih, badannya yang terus muncul dari tanah itu membuat J sedikit terguling menjauh dari monster itu. Sedangkan monster itu memekik kesakitan dengan suara yang menggelikan.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ducky. Dia segera mengokang senapan, membidik lalu menembak tepat ketika moncong monster itu kembali terbuka, menampilkan gigi-giginya.
DARRR!
Suara letusan shotgun menggema. Ada cipratan cairan kental tersembur ketika butiran peluru menghantam sisi dalam mulut yang seperti bunga bergigi itu. Setelah mengeluarkan suara gerungan panjang, monster itu kembali meluncur masuk ke dalam tanah.
"Jangan lengah, J!" serunya. "Si Kepala Bunga mungkin akan muncul lagi dari tempat lain!"
Walau tahu mungkin Ducky tidak akan melihatnya, J tetap mengangguk mantap. Dia berdiri, berlari menghampiri mobil dan menyambar tombaknya.
Latihan bersama Ducky dan ... Ven tidak akan dia sia-siakan kali ini!
Monster itu tidak kunjung muncul lagi setelah serangan terakhir tadi. Tapi J sudah siap dengan tombaknya.
Pasir di bawah mereka terus bergerak-gerak. Menggulingkan salah satu mobil pegawai AYX, entah apa ada orang di dalamnya.
BUSH!
Moncong monster itu kembali muncul di tempat yang tidak ada orang, baguslah tidak ada yang terluka. Menguntungkannya lagi, dia berada tidak jauh dari J!
Segera J berlari menghampiri monster itu. Dan saat kedua kakinya melompat kecil, dia tancapkan tombak itu dalam-dalam. Namun saat dia ingin melebarkan lukanya monster itu kembali bergerak, kali ini keluar dari pasir sepenuhnya, hendak nenampakkan seluruh wujudnya.
Melihat hal itu datang, J buru-buru mencabut tombaknya dan berguling menjauh.
Nyaris saja tertimpa.
Di sisi lain, Ducky mengerahkan segenap tenaga untuk melompat ke tempat burung gurun itu bertengger, tetapi papan selancar yang dibawanya terlalu berat, keseimbangannya goyah. Dia terpaksa melepas papan itu untuk bisa mencapai atap mobil sebrang tanpa terjatuh.
Condor di sebelahnya mengepakkan sayap, terlihat terganggu. Ducky hanya meringis minta maaf. Namun sepertinya dia belum bisa tenang.
Begitu menoleh, dua meter di hadapannya terbuka lebar bunga raksasa dengan kelopak penuh gigi tajam. Refleknya membuat senapan di tangan segera terkokang dan menembak persis ke tengah-tengah mulut.
DARRR!!!
Tembakannya jitu mengenai dinding mulut yang lain, menambah lubang luka lagi.
Kepala bunga bergigi tajam itu mengeluarkan rintihan memekakkan telinga. Bergoyang ke sana-sini, terlihat kesakitan.
J mengatupkan rahangnya kesal, menatap moncong monster yang terbuka lebar. Mulut itu yang melahap Ven
J semakin mengeratkan genggaman pada tombaknya, mengangkatnya hingga pada titik yang pas.
Tapi fokusnya teralihkan, Ducky, kenapa dia berdiam di sana?
Entah apa yang dilakukannya, tapi Ducky diam mematung menatap monster itu dari atas mobil.
Dan tepat saat J melemparkan tembakannya, tangan Ducky terulur pada moncong monster itu seolah ingin menggapai sesuatu.
"DUCKY!!" J berteriak panik, lemparan tombaknya jadi sedikit tergeser. Namun untungnya, tangan Ducky berhasil lolos dari lahapan monster itu. Walau tombaknya meleset.
Namun setelahnya sabetan ekor raksasa monster itu berlangsung seketika, Ducky tak sempat menghindar. Namun ketika tubuhnya masih terlontar dari atap kendaraan AYX, mulut busuk yang terbuka lebar ke arahnya terlihat seperti kesempatan yang sangat bagus. Dia mengokang senapan sekali lagi.
"Enyah kau, kepala bunga keparat!"
Suara letusan shotgun membahana.
Tubuh Ducky terhempas jatuh ke tanah.
Monster itu meraung.
Lagi, untuk yang ketiga kalinya, sebuah tembakan bersarang ke dalam mulutnya.
Telak. Tiga tembakan itu mengoyak tubuhnya, menembus kulitnya, menghabisi darahnya.
Tubuh raksasa itu bergoyang cukup kencang sebelum jatuh berdebam dalam keadaan menggelinjang. Darah pekat masih mengalir dari mulut kembangnya yang bergigi rapat, terbuka lebar menampilkan isinya.
Ada dua bilah senjata tertancap di sana. Dua senjata yang masih dipegang pemiliknya yang sudah terbujur kaku dalam keadaan terkoyak.
Setelah monster cacing itu berhenti menggelepar, perlahan dari salah satu kendaraan AYX yang masih berdiri utuh, pintu terbuka. Penghuninya mengintip memastikan situasi sudah cukup aman. Kendaraan radar mereka yang paling canggih setengah tenggelam dalam kubangan pasir dalam posisi miring, entah apakah masih ada yang selamat di dalamnya.
Pintu dari kendaraan lain, yang bagian tangkinya dipakai mengangkut 3 orang pengawal dari Direland juga terbuka. Hanya ada satu orang yang keluar. Mereka yang cukup punya keberanian untuk mendekat bangkai monster, bisa melihat kepala yang seperti bunga terkulai dalam kondisi terbuka lebar.
Pintu dari kendaraan radar akhirnya terbuka. Tiga orang isinya selamat, walau terlihat luka-luka karena sempat terkocok dalam mobil akibat amukan monster.
Pimpinan konvoi mengernyit. Dua orang anggota mereka masih ada di dalam perut monster. Melihat dari jumlah pengawal mereka yang tersisa, sepertinya seseorang juga tak selamat.
J menghela napas lega. Walau kakinya terasa lemas, dia tetap berusaha berdiri menghampiri monster itu yang sudah dikelilingi para pegawai AYX.
Orang-orang itu membelah perut cacing itu dengan mudahnya. Melihat orang-orang AYX itu mengeluarkan korban-korban yang termakan, J tergopoh-gopoh mendekati salah satu pegawai di sana.
"Bisa ... Bisakah kalian mencari temanku, V-ven?" Bohong jika dikatakan J sudah tidak berharap Ven masih hidup di dalam sana. Walau terdengar mustahil, J tetap ingin berharap. Karena Ven yang J kenal adalah perempuan kuat yang bahkan setelah terluka sedemikian parah tetap berdiri dan melawan kalajengking raksasa hingga tumbang. Sulit mempercayai Ven tiada jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri.
Pegawai AYX itu mengangguk. J hanya mengamati orang-orang yang dikeluarkan secara bergantian. Hingga dirinya bertemu dengan Ven.
Di pangkal kembang bergerigi itu, di saluran menuju kerongkongan dengan banyak otot tebal—yang berguna untuk gerakan mendorong makanan ke dalamnya, sosok berbalut kain itu tersungkur.
Dua tangannya masih menggenggam erat pedang yang dia tunjukkan dengan bangga beberapa jam lalu, plus senjata yang selalu ia gunakan dalam pertarungan selama ini. Dua senjata itu menancap dalam di antara gigi, bergeming meski sejak tadi monster itu keluar-masuk pasir, terlempar, dan bergoyang hebat.
Ven masih menggenggamnya erat. Ia tak terjatuh ke dalam sistem pencernaan monster itu. Meski begitu, tubuhnya koyak. Hancur. Darah di mana-mana, mengalir hangat, membasahi sekitarnya.
Mustahil nyawa masih bersarang di dalam jasad itu.
Ven sudah tiada. Mau bagaimanapun, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada dirinya.
Perempuan tangguh itu, Ven, telah pergi, setelah membuktikan perlawanan diri hingga akhir.
Tubuh Ven yang masih menggenggam senjata di kedua tangannya itu dikeluarkan dengan hati-hati oleh pegawai AYX.
J menghampiri tubuh Ven yang kini terbaring di pasir yang dingin. J membeku, membisu tidak mampu berbuat apa-apa selain terduduk di sebelah Ven yang terbaring, mengenggam lengan kanan Ven erat.
"Ven." J memanggilnya lirih, genggamannya naik hingga tengkuk Ven. Perlahan, dibawanya kepala Ven pada pelukannya. J menutup matanya rapat-rapat seiring mengeratnya pelukannya pada Ven, seakan tidak akan melepaskannya hingga kapan pun. Berharap, tangis dan pelukannya kini bisa mengobati rasa sedih dan kehilangan yang teramat dalam.
"VEENN!!!" Baju J kini ternodai oleh darah dari mayat Ven yang bergeming. Air mata J mengalir deras dari matanya yang terpejam.
Tapi mau seperti apa pun J berseru memanggil, percuma. Ven tetap bergeming. Kulitnya memucat seiring pendarahan yang semakin banyak, mendingin seiring dengan hilangnya kehidupan. Sementara darahnya masih mengalir ke sekitar, memerahkan pasir dan juga J yang mendekapnya erat.
Dua senjata itu masih ia genggam, seolah mengisyaratkan siapa pun yang menemukannya untuk mengambil dan melanjutkan hidup dan impiannya.
Dari wajah Ven dapat terlihat gurat kegigihan. Bibirnya mengatup rapat. Meski di antara jejak air mata dan darah, dapat terlihat kedamaian di sana.
Ven tidak akan pernah sampai ke Liberté. Namun, dia sudah menjalankan kehidupannya, sebaik mungkin yang dia bisa, sampai titik darah penghabisan.
Di belakang, Ducky menggertakkan gigi kuat-kuat. Lalu bangkit berdiri seraya menepis lengan dari orang yang baru saja selesai membantunya mengikat perban. Seperti tak pernah terluka, dia berjalan menuju puing-puing bekas pertempuran. Kemudian mulai memungut dan memilah barang mana saja yang masih bisa digunakan dan yang akan dibuang.
Sedangkan empat orang kru AYX menggali tiga lubang kubur bersebelahan di tanah gurun yang relatif stabil—mencegah kemungkinan ada monster atau hewan gurun yang menggali. Tiga orang sisanya memeriksa dan mencoba mengoperasikan kendaraan, sepertinya kendaraan radar utama masih bisa berfungsi hanya perlu diberdirikan kembali, dengan bantuan dongkrak, katrol dan pengungkit yang selalu ada di setiap kendaraan lintas gurun milik AYX.
Salah satu pegawai AYX menghampiri J, meminta melepaskan pelukannya agar Ven bisa dikuburkan.
J melepaskan pelukannya pada Ven dengan terpaksa, berat rasanya harus melihatnya di bawa pergi oleh pegawai AYX. Namun mereka benar, Ven harus dikuburkan dengan layak.
Bersamaan dengan jenazah Ven, satu persatu jenazah korban dibawa dengan hati-hati untuk diturunkan ke liang kubur.
J menatap lekat-lekat Ven yang disimpan di dalam lubang itu. Dirinya sungguh tidak menyangka akan kehilangan Ven secepat ini. Padahal ... padahal J yang berjanji pada Ven akan terus menolongnya. Tapi nyatanya beberapa saat yang lalu, dirinyalah yang terselamatkan oleh Ven dari cacing menjijikan itu.
Seandainya J tidak berada di samping Ven saat itu, mungkin kini Ven masih selamat. Mungkin J masih bisa mendengar tawa tanpa alasannya setelah Ven selamat dari sesuatu.
Kini tidak lagi, tawanya tidak terdengar saat pertarungan berakhir. J tidak bisa lagi ikut tertawa lega begitu pertarungan berakhir. Karena seseorang yang memulai tawa itu pergi.
"Apa ada yang hendak kalian ambil dari barang-barang pribadi mendiang atau mau dikuburkan semua?"
Akhirnya J mendongak mendengar pertanyaan salah satu pegawai AYX ditengah-tengah pemakaman. Dia menoleh ke samping, ada Ducky di sana dengan-
Barang-barang Ven
Napas J kembali tercekat, dia menatap barang-barang yang Ducky bawa. Ada jurnal Ven di sana, J harus membacanya.
"Hanya jurnalnya dan ini." Untuk pertama kalinya semenjak kepergian kakaknya, J berkata dengan suara yang rintih dan kecil sekali. Keceriaan dan kekanakan yang ada dalam nada bicaranya hilang begitu saja.
J mengenggam belati yang selalu Ven bawa kemana-mana itu, setelah dia menatap jasad Ven, J menatap Ducky.
J tau Ducky terluka dan beberapa saat lalu diobati oleh salah satu pegawai AYX, dirinya hendak bertanya keadaan Ducky, tapi tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya sehingga J kembali menatap Ven.
"Kau tak mau pedangnya juga, J?"
Itu pertama kalinya Ducky bicara pada pemuda itu sejak pertempuran berakhir.
"Aku akan ambil obatnya juga, kalau kau tak mau," tambahnya.
J terdiam sejenak, sebelumnya Ven terlihat amat senang menemukan pedang itu. Apa boleh J mengambil pedang itu darinya?
"Aku akan tetap hidup. Aku pasti hidup. Tunggu saja!"
"Aku ambil." Teringat kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ven, mungkin dirinya memang harus mengambilnya. Mungkin dengan membawa pedang ini, jurnal dan belati milik Ven, J bisa membawanya ke Libertè seperti keinginan Ven.
"Ducky, lukamu tidak apa?" Akhirnya J menanyakan hal itu pada Ducky. Mendiami Ducky juga sepertinya bukan hal yang baik untuk dilakukan.
Walau dalam kalimatnya tidak disertai senyuman, lebih terdengar seperti orang yang tidak bersemangat hidup.
"Bukan masalah besar," jawabnya pendek
J tersenyum kecil merespon jawaban Ducky. Mungkin terlihat sedikit dipaksakan, karena J pun cukup kesusahan untuk mengangkat bibirnya.
"Pedang itu, nanti kuajari cara merawat dan menggunakannya. Jaga baik-baik." J menangguk mantap, mengenggam pedang Ven kuat-kuat.
Setelah mengatakan itu Ducky menyerahkan semua barang-barang Ven pada kru AYX untuk dikubur, kecuali pedang yang diberikan pada J, dan obat-obatan yang dia kantongi sendiri.
Mata J tidak lepas dari barang-barang Ven yang Ducky berikan pada pegawai AYX untuk dikuburkan bersama Ven.
"Ini saja, tak ada pesan terakhir pada mendiang?" orang dari AYX itu memastikan, karena dia tinggal memberi tanda pada yang sudah bersiap dengan sekop mereka.
Apa yang harus aku katakan? Apa Ven akan mendengarnya dari sana?
"Aku akan bertahan hidup seperti kata Ven, dan sampai di Libertè dengan Ven." J berkata dengan suara yang pelan sekali sampai tidak ada yang mendengarnya. Dia hanya berharap Ven yang mendengarnya, orang lain tidak perlu tau.
Mungkin dengan belatinya ini, Ven bisa melihat Libertè yang selalu diimpi-impikannya itu.
Mata kru AYX kini tertuju pada Ducky.
Ducky melirik obat-obatan di tangannya dan senjata peninggalan Ven di tangan J.
"Kau sudah bekerja dengan baik," ucapnya nyaris datar, setelah cukup lama terdiam. "Sekarang, kau bisa beristirahat sepuasmu!"
J mengangguk kecil mendengar ucapan Ducky.
Ven, semoga di sana kau bertemu banyak teman-teman baik yang bisa menemanimu. Agar kau tidak kesepian lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
25 April 2022
Author's Note
Kalian tau...
Berapa kali aku nangis pas nge-RP dan rekap!? ಥ‿ಥ
Ya aku tau sih PASTI bakal ada yang mati di RP ini. Cuma enggak nyangka secepet ini!
Ya emang sih yang jurnal chapter lalu tenang banget kayak enggak ada masalah. Masalahnya dilempar ke chapter ini semuaaa T-T
Kalian harus mampir juga ke ceritanya Ven sama Ducky biar makin nangis, hwhw.
Dan!
Mampir juga ke Doll, baru update dia sabtu-minggu kemarin(*´ω`*)
Ya udah itu aja, aku mau balik nangisi kepergian Ven. /enggak gini
Dadah! :"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top